"Kenapa? Bukankah wajahnya tampan?"
"C'mon, Grace. Wajahnya terlalu mirip dengan Edgar meskipun Edgar lebih tampan!"
Grace mengerutkan dahinya. "Maksudmu, kau tidak menyukai orang yang wajahnya mirip Profesor Edgar? Lalu bagaimana jika anakmu nanti mirip dengan suamimu?"
Jika anaknya mirip dengan Edgar, tentu saja itu kabar baik. Lagi pula, Edgar adalah suami sekaligus calon ayah untuk anak-anaknya nanti, mana mungkin Anna membenci wajah anaknya yang mirip seperti sang ayah. Ucapan Grace sungguh tidak masuk akal!
"Grace, aku tidak tahu kalau kau sebodoh itu! Tentu saja aku akan bahagia jika anak masa depanku memiliki wajah seperti Edgar!"
"Ah, benar. Profesor Edgar 'kan suamimu."
Larut dalam obrolan mereka, Anna dan Grace sampai tidak sadar kalau mata kuliah paginya telah berakhir. Mereka bahkan sampai tidak mencatat apa pun dalam buku karena sibuk membicarakan Kevin dan Edgar.
"Baiklah ... karena waktu mengajar sud
Sampai di kafe sebrang kampus, Anna dan Grace sontak memesan makanan yang biasa mereka pesan. Kafe itu memang sudah menjadi langganan mereka sehingga pelayan pun tahu apa yang akan mereka pesan tanpa memberikan buku menu."Kau bilang kau lapar! Tapi ketika makanan sudah ada di hadapanmu, kau malah sibuk memainkan ponsel!""Kau makan saja lebih dulu, Grace. Aku sedang bertukar pesan dengan Edgar."Grace tampak kesal karena sikap Anna yang terlalu menunjukkan bahwa dia mencintai sang suami. Temannya itu memang sudah menjadi budak cinta!"Anna, sejujurnya ada yang ingin aku beritahukan padamu."Tidak biasanya Grace serius begitu, Anna sampai teralihkan dari ponselnya."Kenapa serius sekali? Memangnya apa yang ingin kau bicarakan?"Grace menggigit bibir bawahnya. "Tante Lucia menyuruhku untuk mengawasimu dan Profesor Edgar," terangnya.Sebelum melanjutkan ceritanya, Grace menatap mata Anna, takut jika temann
Sebenarnya Anna menemui Edgar karena ingin bertanya perihal wanita tua yang sempat dia temui dengan Grace. Mungkinkah Edgar mengenal wanita tua itu? Sampai di depan pintu ruangan Edgar, Anna tidak langsung masuk ke dalam, melainkan mengintip sedikit dari celah pintu gang sedikit dibukanya. Dilihatnya Edgar tengah sibuk berkutik dengan lembaran-lembaran kertas putih dan laptopnya. Pria itu mengenakan kacamata bulat yang biasa dipakai saat sedang bekerja. Setelah melihat situasi ruangan tersebut, Anna masuk dengan langkah pelan dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Karena Edgar terlalu sibuk, pria itu bahkan tidak menyadari kehadiran Anna yang sudah ada di belakang kursinya. Anna melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Edgar dari belakang. "Kau sibuk sekali!" "Hn?!" Tampaknya Edgar benar-benar terkejut karena pelukan Anna yang tiba-tiba. Pria itu sedikit tersentak dan hampir membenturkan kepalanya dengan Anna. "Maaf, apa kau terkejut?" Edgar membuka kacamata dan menarik
"Hanya menebaknya karena kau menyebutnya wanita tua." "Kau benar!" Anna terkekeh kecil. "Ah! Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apakah sudah selesai?" "Sedikit lagi. Kau pulanglah lebih dulu, jangan menungguku." Anna tidak berpikir untuk meninggalkan Edgar karena dia tidak ingin pulang sendiri. Dia juga tidak mungkin pulang bersama Grace karena temannya itu pasti sudah pulang sejak tadi setelah ditinggalkan olehnya di kafe. "Sepertinya aku akan menunggumu hingga selesai dengan pekerjaanmu. Aku ingin kita pulang bersama." "Jika itu keinginanmu, aku tidak akan memaksamu untuk pulang. Tapi, jangan salahkan aku jika kau merasa bosan di sini." Edgar bangkit dari sofa dan segera duduk di kursi kerjanya. Dia kembali berkutat dengan laptop dan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. 'Suamiku memang tampan!' batin Anna. Meskipun menunggu adalah hal yang membosankan, namun jika menunggu suami dengan paras tampan dan rupawan, tentu saja Anna tidak akan merasa bosan. Sebab, dia bisa melih
"Hn?" "Aku lapar." Sudah pukul 02.10 siang! Tentu saja Edgar pasti lapar, pria itu bahkan belum mengisi perutnya dengan makanan apa pun karena melewatkan makan siangnya. Anna juga merasa bodoh karena dia tidak membawa makanan saat berkunjung ke ruangan Edgar. "Kalau begitu kita harus makan dulu sebelum pulang ke apartemen." Edgar menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak! Aku ingin memakan masakan yang kau buat." Padahal Edgar tahu betul kalau Anna tidak pandai memasak seperti dirinya, namun pria itu selalu saja menyuruhnya memasak. "Jangan salahkan aku jika rasanya tidak enak, ya?!" Anna mengembungkan pipi dan membuatnya terlihat menggemaskan di mata Edgar. Sementara Edgar yang tak bisa mengontrol tangannya, sontak tersenyum seraya mencubit pipi Anna hingga meninggalkan bekas merah di sana. "Jika kau berekspresi seperti itu, mungkin saja aku akan memakanmu saat ini juga!" goda Edgar dengan menampilkan seringai khasnya. "Aku tidak keberatan, asalkan kau bisa memperlakukanku d
37 kali total Anna memberikan sebuah ciuman pada Edgar hingga dia bisa merasakan rasa mashed potato yang dia buat sendiri di bibir sang suami. Seperti yang Edgar katakan sebelumnya bahwa rasanya terlalu asin dan kentangnya belum matang sempurna. Padahal Anna hanya tak sengaja mencicipinya, namun rasanya benar-benar parah. Bagaimana bisa Edgar sanggup menghabiskannya sendiri? "Apa kau sudah puas sekarang? Aku mencium bibirmu hingga 37 kali karena kau sengaja memakan masakanku sedikit demi sedikit!" Edgar terkekeh kecil, dia berpikir kalau sikap merajuk Anna sangat lucu. "Kau menghitungnya? Wah! Aku tidak tahu kalau ciumannya akan sebanyak itu!" "Cih! Dasar pria licik!" "Kalau kau tidak ikhlas menciumku, akan kukembalikan semuanya padamu." Dikembalikan? Itu artinya Edgar akan mencium Anna sebanyak 37 kali juga! Melihat seringai jahil Edgar, tampaknya pria itu belum cukup puas setelah mempermainkan Anna sebanyak itu! *** Hari telah berganti, tibalah saatnya Anna dan Edgar untu
Anna dan Edgar mengikuti langkah Dokter Bryan dari belakang hingga tiba di sebuah ruangan dengan pintu berwarna coklat. Ruangan tersebut sangat rapi dan terdapat satu ranjang pasien di dalamnya. Biasanya, orang yang pertama kali datang menemui psikiater akan diminta untuk bercerita mengenai gangguan yang mereka alami. Namun, karena Dokter Bryan sudah mengetahui semuanya tentang Edgar, jadi dia tidak perlu meminta pemuda itu untuk bercerita. "Duduklah!" ucap Dokter Bryan. Anna dan Edgar duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerja Dokter Bryan. Meskipun mereka sudah mengenal sang dokter, konsultasi tetaplah konsultasi. Ada aturan untuk itu! Tidak ada yang namanya konsultasi seperti duduk-duduk di sofa empuk dan memakan cemilan. Dokter Bryan memakai kacamata dan jas putih miliknya, layaknya seorang dokter pada umumnya. "Sadisme seksual tidak bisa disembuhkan!" Membelalakkan mata, Anna dengan cepat menjawab, "Tapi, Dokter, bukankah Anda bilang jika Edgar bisa sembuh?!" "Pern
"Ehem ... aku akan menjelaskan cara yang bisa digunakan untuk menyembuhkan kelainan Edgar," ucap Dokter Bryan setelah berdeham kecil. Anna menggenggam tangan Edgar lebih erat dan kembali fokus pada pembicaraan mereka bertiga. "Ada dua cara yang bisa digunakan, yaitu dengan pemberian obat atau hipnotis. Obat yang diberikan berupa obat yang menekan hormon testosteron dan ada efek samping jika digunakan dalam jangka panjang." Setiap obat memang selalu memiliki efek samping, namun untuk obat yang dimaksud Dokter Bryan, Anna penasaran dengan efek sampingnya terhadap Edgar. "Efek samping seperti apa yang Anda maksud?" ucap Anna memastikan. "Impoten." "Impoten?!" kaget Anna dan Edgar secara serempak. Tujuan mereka datang berkonsultasi adalah untuk menyembuhkan kelainan Edgar agar mereka bisa berhubungan intim tanpa khawatir saling menyakiti. Namun, jika Edgar sembuh dengan pemberian obat yang membuatnya impoten, maka itu akan menjadi masalah besar. Kelainan seksualnya sembuh, namu
Meskipun Edgar berhasil memanipulasi ingatannya sendiri, namun dia belum tahu hasilnya jika belum berhubungan intim dengan Anna. Dia berharap jika terapi hipnotis itu berhasil dan dirinya tidak lagi akan menyakiti wanita yang dicintainya saat berhubungan. Dokter Bryan tersenyum seraya menepuk bahu lebar Edgar. "Tidak ada usaha yang sia-sia, Ed." Glup! Anna meneguk ludahnya dengan susah payah, saat ini dia tengah bersama Edgar di kamar apartemen mereka. Ya, mereka berencana melakukan praktik untuk mengetahui hasil dari terapi hipnotis Edgar siang tadi. Beberapa hari lalu, sebelum kejadian Edgar mabuk yang berujung malam panas, Anna menggebu-gebu karena ingin melakukan hubungan suami-istri dengan Edgar dan melakukan segala cara demi keinginannya itu. Namun, ketika mereka hendak melakukannya untuk kedua kali, entah mengapa baik Anna maupun Edgar merasa gugup dan kikuk secara bersamaan. Seperti yang orang-orang katakan bahwa sesuatu yang direncanakan selalu tidak berhasil. Oleh se
Setelah Grace mengaku pada Anna pada hari itu, Anna memutuskan kontak dengan Grace dan tidak ingin menemuinya lagi. Grace memang teman baiknya, namun Grace sudah mengkhianati Anna dan sudah menyebabkan Anna keguguran secara tidak langsung. Sekarang Anna tengah berlatih berjalan dengan bantuan Edgar. Sudah hampir dua minggu dia melakukannya dan dia sudah bisa berdiri sendiri serta berjalan tiga hingga lima langkah. "Sudah cukup untuk hari ini. Kau melakukannya dengan baik," ucap Edgar seraya mengelus kepala Anna. Satu hari setelah keguguran, Edgar memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus. Dia sudah bukan seorang dosen lagi. Sekarang dia memilih fokus dari jabatannya sebagai direktur dan merawat Anna sendiri di rumah. Ya, lagi pula, pekerjaannya sebagai direktur bisa dikerjakan di rumah dan tanpa harus pergi ke perusahaan. Edgar menggendong Anna dan mendudukannya kembali di kursi roda. "Aku ingin ke kamar," ucap Anna. "Baiklah, Istriku." Sejurus kemudian Edgar mendoron
Dua minggu telah berlalu ... Wendy yang menyebabkan Anna keguguran dihukum skors selama tiga bulan. Meskipun Edgar belum puas dengan hukuman itu, namun dia tidak bisa menambah hukumannya lagi karena tidak memiliki wewenang di kampus. Anna sudah keluar dari rumah sakit. Namun, dia belum berbicara sedikit pun bak orang yang bisu. Anna pun kehilangan cara berjalannya. Dokter mengatakan jika Anna mengalami hal itu karena terlalu syok dan stress berat. Setiap malam setelah Anna tidur, Edgar minum alkohol hingga mabuk di dapurnya sendirian. Dia menangis tatkala melihat Anna yang seperti boneka hidup. Tak mengatakan apa pun dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan suatu alat. Sekarang, Edgar sedang bersama Anna di taman. Dia membawa Anna jalan-jalan menggunakan kursi roda untuk menghirup udara segar. "Anna, bukankah bunganya sangat cantik? Jika aku memetiknya, apa kau mau menerimanya?" ucap Edgar. Anna bergeming. Dia diam saja karena memang tidak ingin mengatakan apa pun. Namun, dalam hat
Selang beberapa waktu, ambulans datang dan membawa Anna ke rumah sakit terdekat. Edgar dan Kevin ikut menemani, tetapi tidak dengan Grace. Padahal Grace adalah teman baik Anna. Anna dilarikan ke ICU karena sedang dalam keadaan darurat. Sudah lama sejak dokter memeriksanya, namun belum ada tanda-tanda dokter yang akan keluar dari ruangan. Setelah menunggu beberapa menit kemudian, akhirnya sang dokter muncul dengan raut wajah yang kurang baik. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Edgar segera. "Istri Anda baik-baik saja, namun bayi dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan karena benturan yang cukup keras hingga menyebabkan pendarahan.""Maksud Dokter, istri saya keguguran?" Edgar memastikan perkataan sang dokter. "Benar. Saat saya memeriksanya pun, bayi dalam kandungannya sudah sangat lemah."Edgar kehilangan kata-kata, begitu juga dengan Kevin. Mereka syok mendengar berita buruk ini, namun Anna pasti lebih syok dan sedih mendengarnya. "Dok, saya ingin menemui istri saya,"
Di forum kampus, ada seseorang tanpa nama yang membongkar rahasia Wendy. Karena hal itu, Wendy menjadi ramai dibicarakan. Tatapan-tatapan intimidasi pun diberikan kepada Wendy setiap kali dia berjalan. Wendy, membuka forum kampus dan membaca postingan tersebut. Judulnya 'Kebohongan Besar Wendy'. Di sana tertulis, 'Wendy hanya orang miskin yang berpura-pura kaya di depan teman-temannya. Dia memakai barang mahal dari hasil meminta paksa kepada ayahnya yang hanya pekerja kantoran. Bahkan, ayahnya sudah dipecat karena perilaku kasarnya terhadap seseorang.'Setelah membaca semuanya, rahang Wendy mengeras dan tangannya mengepal. Dia tahu siapa pelaku yang menyebar rahasianya. Siapa lagi kalau bukan Anna! Dengan hati yang penuh amarah, Wendy sontak mencari keberadaan Anna. Dia tak menyangka jika Anna akan mengkhianatinya seperti itu. Padahal Anna berjanji akan menjaga rahasianya jika dia menuruti semua perintahnya. "Awas kau, ya! Jika aku hancur, kau pun harus hancur, Anna!" geram Wendy.
Keesokan harinya, Anna menunggu kedatangan Grace di gerbang kampus. Sudah hampir 15 menit dia menunggu, namun Grace belum menampakkan dirinya sama sekali. Ketika Anna sudah bosan menunggu dan hendak pergi, Grace tiba-tiba turun dari taksi langganannya dengan wajah yang tidak bersemangat. Meskipun begitu, Anna tetap menyapanya dengan riang dan berharap jika temannya itu kembali bersemangat. "Grace!" panggil Anna sembari melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Grace sempat melihat Anna dalam sepersekian detik, namun segera memalingkan wajah. 'Apa dia tidak melihatku, ya? Mungkin aku harus memanggilnya lagi!' pikir Anna kemudian. "Grace! Aku di sini!" panggil Anna lagi dengan suara tak kalah kencang. Nihil. Grace sama sekali tidak menjawab panggilan Anna seperti biasanya.Saat Grace berjalan melewati Anna, dia tiba-tiba berhenti sejenak dan berbisik, "Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendirian hari ini."Setelah mengatakan itu, Grace pun melanjutkan jalannya tanpa menoleh sedikit pun ke
Di kamarnya, Anna tengah duduk di atas ranjang sembari menatap ponsel yang ada di depannya. Lebih dari 30 menit dia diam seperti itu. Dia ingin menelpon Grace, namun ragu hingga membuatnya berpikir lama. Grace bukan tipikal orang yang memikirkan pelajaran. Jika dia murung maka permasalahannya ada pada kencan yang dia lakukan dengan Kevin. Namun, apa permasalahannya? "Apa kau akan terus seperti itu?" seru Edgar tiba-tiba. Dia risih melihat istrinya yang diam seperti patung selama bermenit-menit. "Apa menurutmu aku harus menelponnya?" Betapa rumitnya seorang wanita. Para pria tidak pernah memikirkan permasalahan orang lain, jadi Edgar bingung harus menjawab apa. "Lakukanlah seperti yang ingin kau lakukan. Tapi menurutku, lebih baik jika kau membiarkan Grace sendiri. Lagi pula, dia pasti akan menelponmu jika ingin bercerita." "Kau benar. Lebih baik aku tidak menelponnya," lirih Anna. Namun, tampaknya pikirannya berubah dalam seketika. "Tapi, aku harus menelponnya!" Anna meraih
Edgar tampak gelisah saat sedang menyetir. Bukannya dia tidak ingin mencegah Anna pergi tadi, namun karena dia pun harus mendinginkan kepalanya dulu agar tidak meledak-ledak. Biasanya jika Anna marah, dia akan pergi ke rumah orang tuanya atau rumah Grace. Berhubung Grace masih belum pulang kuliah, jadi Anna pasti asa di rumah orang tuanya. Menekan bel, Edgar sontak masuk ke dalam rumah orang tua Anna setelah dibukakan pintu. "Anna ... apa dia ada di sini?" ucap Edgar sedikit gusar. Tidak sopan memang jika dia tiba-tiba menanyakan keberadaan istrinya hingga tidak menyapa kedua mertuanya terlebih dahulu. Ya, lagi pula, dia sedang panik sekarang. "Anna sudah pergi sejak 30 menit yang lalu. Apa Nak Edgar tidak berpapasan dengannya di jalan?" lirih Olivia. Shit! Tampaknya Edgar terlambat. Kalau sudah seperti ini, tentu saja dia harus pulang ke apartemennya lagi. Dia takut jika Anna mencari keberadaannya. Tanpa pamit, Edgar pun segera melesat dengan mobilnya menuju arah pulang. Dia m
"Loh? Tumben kamu ke sini, Nak," ucap Olivia saat melihat Anna sudah ada di depan rumah. Kepalanya menoleh ke belakang Anna seperti mencari sesuatu. Olivia sendiri sedang merawat kebun kecilnya yang ada di halaman depan, dia tak menyangka jika putrinya akan datang secara tiba-tiba. "Kamu datang sendiri? Ke mana suamimu?" sambung Olivia. Dia tidak melihat Edgar, melainkan seekor anj*ng yang dibawa Anna. Helaan napas pun keluar dari mulut Anna. Dia sedang tidak ingin membicarakan Edgar, emosinya masih belum reda. "Jangan membicarakan dia, Bu. Aku sedang emosional hari ini," ungkap Anna. Untuk seorang wanita yang pernah mengandung bayi, tentu saja Olivia paham dengan situasi Anna. Ibu hamil memang selalu emosional dan perasaannya sensitif. Ya, mungkin saja Anna sedang mengalami hal itu. Ah, Olivia merasa kasihan kepada Edgar karena menjadi korban emosional Anna. "Anna, ayo masuk ke dalam. Kebetulan Ibu masak banyak hari ini, mungkin karena Ibu punya firasat kalau kau akan datang k
Mendengar teriakan Anna yang mengeluarkan kata kasar, Edgar sontak terbangun dari tidurnya. Dia juga terkejut karena mobilnya tiba-tiba direm secara mendadak oleh Anna. "Ada apa? Aku baru saja mendengarmu mengumpat," tanya Edgar yang kebingungan. Anna menghela napas panjang. "Itu, ada anj*ing yang berhenti di tengah jalan saat aku menyetir. Untung saja tidak tertabrak."Meskipun Anna yakin kalau dia tidak menabrak seekor anj*ng, namun dia tetap jarus memastikannya dengan mata kepalanya sendiri. Anna keluar dari mobil dan berjalan ke arah depan. Dia melihat seekor anak anj*ng berbulu putih tengah duduk di depan mobilnya. "Sepertinya anj*ing ini lepas dari pemiliknya," ucap Anna setelah menggendong anak anj*ng tersebut dan melihat kalung yang terpasang di lehernya. "Apa kau mau membawanya pulang?" tanya Edgar yang baru turun dari mobil. "Hn, aku akan membawa pulang."Lagi pula, Anna merasa kasihan jika anak anj*ng itu ditinggal begitu saja di jalanan. Untuk sementara waktu, Anna a