Pukul 07.15 pagi, baik Anna maupun Edgar sudah rapi dengan penampilan mereka. Anna memiliki jadwal kuliah di pagi hari, sedangkan Edgar adalah dosen bergelar profesor yang menjadi salah satu pengajar di kelas Anna. Oleh sebab itu, mereka selalu berangkat bersama menuju kampus.
"Kita sarapan di luar saja, waktunya sudah tidak cukup!" Anna melihat jam tangan di pergelangan tangannya.
"Hn. Terserah padamu, Sayang."
Keluar dari kamar, Anna terkejut karena Lucia tengah merapikan meja makan. Di sana sudah tersedia banyak sekali menu sarapan. Tampaknya ibu mertuanya sudah bangun lebih dahulu dan memasak.
"Ibu? Apa Ibu yang memasak semua ini? Harusnya Ibu beristirahat saja, kami bisa sarapan di luar nanti."
Anna merasa tidak enak hati karena telah merepotkan Lucia yang notabene-nya adalah tamu di apartemennya dan Edgar. Seharusnya Anna yang menyiapkan sarapan, bukan ibu mertuanya.
"Tidak apa-apa. Lagi pula, Ibu ak
"Kenapa? Bukankah wajahnya tampan?" "C'mon, Grace. Wajahnya terlalu mirip dengan Edgar meskipun Edgar lebih tampan!" Grace mengerutkan dahinya. "Maksudmu, kau tidak menyukai orang yang wajahnya mirip Profesor Edgar? Lalu bagaimana jika anakmu nanti mirip dengan suamimu?" Jika anaknya mirip dengan Edgar, tentu saja itu kabar baik. Lagi pula, Edgar adalah suami sekaligus calon ayah untuk anak-anaknya nanti, mana mungkin Anna membenci wajah anaknya yang mirip seperti sang ayah. Ucapan Grace sungguh tidak masuk akal! "Grace, aku tidak tahu kalau kau sebodoh itu! Tentu saja aku akan bahagia jika anak masa depanku memiliki wajah seperti Edgar!" "Ah, benar. Profesor Edgar 'kan suamimu." Larut dalam obrolan mereka, Anna dan Grace sampai tidak sadar kalau mata kuliah paginya telah berakhir. Mereka bahkan sampai tidak mencatat apa pun dalam buku karena sibuk membicarakan Kevin dan Edgar. "Baiklah ... karena waktu mengajar sud
Sampai di kafe sebrang kampus, Anna dan Grace sontak memesan makanan yang biasa mereka pesan. Kafe itu memang sudah menjadi langganan mereka sehingga pelayan pun tahu apa yang akan mereka pesan tanpa memberikan buku menu."Kau bilang kau lapar! Tapi ketika makanan sudah ada di hadapanmu, kau malah sibuk memainkan ponsel!""Kau makan saja lebih dulu, Grace. Aku sedang bertukar pesan dengan Edgar."Grace tampak kesal karena sikap Anna yang terlalu menunjukkan bahwa dia mencintai sang suami. Temannya itu memang sudah menjadi budak cinta!"Anna, sejujurnya ada yang ingin aku beritahukan padamu."Tidak biasanya Grace serius begitu, Anna sampai teralihkan dari ponselnya."Kenapa serius sekali? Memangnya apa yang ingin kau bicarakan?"Grace menggigit bibir bawahnya. "Tante Lucia menyuruhku untuk mengawasimu dan Profesor Edgar," terangnya.Sebelum melanjutkan ceritanya, Grace menatap mata Anna, takut jika temann
Sebenarnya Anna menemui Edgar karena ingin bertanya perihal wanita tua yang sempat dia temui dengan Grace. Mungkinkah Edgar mengenal wanita tua itu? Sampai di depan pintu ruangan Edgar, Anna tidak langsung masuk ke dalam, melainkan mengintip sedikit dari celah pintu gang sedikit dibukanya. Dilihatnya Edgar tengah sibuk berkutik dengan lembaran-lembaran kertas putih dan laptopnya. Pria itu mengenakan kacamata bulat yang biasa dipakai saat sedang bekerja. Setelah melihat situasi ruangan tersebut, Anna masuk dengan langkah pelan dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Karena Edgar terlalu sibuk, pria itu bahkan tidak menyadari kehadiran Anna yang sudah ada di belakang kursinya. Anna melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Edgar dari belakang. "Kau sibuk sekali!" "Hn?!" Tampaknya Edgar benar-benar terkejut karena pelukan Anna yang tiba-tiba. Pria itu sedikit tersentak dan hampir membenturkan kepalanya dengan Anna. "Maaf, apa kau terkejut?" Edgar membuka kacamata dan menarik
"Hanya menebaknya karena kau menyebutnya wanita tua." "Kau benar!" Anna terkekeh kecil. "Ah! Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apakah sudah selesai?" "Sedikit lagi. Kau pulanglah lebih dulu, jangan menungguku." Anna tidak berpikir untuk meninggalkan Edgar karena dia tidak ingin pulang sendiri. Dia juga tidak mungkin pulang bersama Grace karena temannya itu pasti sudah pulang sejak tadi setelah ditinggalkan olehnya di kafe. "Sepertinya aku akan menunggumu hingga selesai dengan pekerjaanmu. Aku ingin kita pulang bersama." "Jika itu keinginanmu, aku tidak akan memaksamu untuk pulang. Tapi, jangan salahkan aku jika kau merasa bosan di sini." Edgar bangkit dari sofa dan segera duduk di kursi kerjanya. Dia kembali berkutat dengan laptop dan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. 'Suamiku memang tampan!' batin Anna. Meskipun menunggu adalah hal yang membosankan, namun jika menunggu suami dengan paras tampan dan rupawan, tentu saja Anna tidak akan merasa bosan. Sebab, dia bisa melih
"Hn?" "Aku lapar." Sudah pukul 02.10 siang! Tentu saja Edgar pasti lapar, pria itu bahkan belum mengisi perutnya dengan makanan apa pun karena melewatkan makan siangnya. Anna juga merasa bodoh karena dia tidak membawa makanan saat berkunjung ke ruangan Edgar. "Kalau begitu kita harus makan dulu sebelum pulang ke apartemen." Edgar menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak! Aku ingin memakan masakan yang kau buat." Padahal Edgar tahu betul kalau Anna tidak pandai memasak seperti dirinya, namun pria itu selalu saja menyuruhnya memasak. "Jangan salahkan aku jika rasanya tidak enak, ya?!" Anna mengembungkan pipi dan membuatnya terlihat menggemaskan di mata Edgar. Sementara Edgar yang tak bisa mengontrol tangannya, sontak tersenyum seraya mencubit pipi Anna hingga meninggalkan bekas merah di sana. "Jika kau berekspresi seperti itu, mungkin saja aku akan memakanmu saat ini juga!" goda Edgar dengan menampilkan seringai khasnya. "Aku tidak keberatan, asalkan kau bisa memperlakukanku d
37 kali total Anna memberikan sebuah ciuman pada Edgar hingga dia bisa merasakan rasa mashed potato yang dia buat sendiri di bibir sang suami. Seperti yang Edgar katakan sebelumnya bahwa rasanya terlalu asin dan kentangnya belum matang sempurna. Padahal Anna hanya tak sengaja mencicipinya, namun rasanya benar-benar parah. Bagaimana bisa Edgar sanggup menghabiskannya sendiri? "Apa kau sudah puas sekarang? Aku mencium bibirmu hingga 37 kali karena kau sengaja memakan masakanku sedikit demi sedikit!" Edgar terkekeh kecil, dia berpikir kalau sikap merajuk Anna sangat lucu. "Kau menghitungnya? Wah! Aku tidak tahu kalau ciumannya akan sebanyak itu!" "Cih! Dasar pria licik!" "Kalau kau tidak ikhlas menciumku, akan kukembalikan semuanya padamu." Dikembalikan? Itu artinya Edgar akan mencium Anna sebanyak 37 kali juga! Melihat seringai jahil Edgar, tampaknya pria itu belum cukup puas setelah mempermainkan Anna sebanyak itu! *** Hari telah berganti, tibalah saatnya Anna dan Edgar untu
Anna dan Edgar mengikuti langkah Dokter Bryan dari belakang hingga tiba di sebuah ruangan dengan pintu berwarna coklat. Ruangan tersebut sangat rapi dan terdapat satu ranjang pasien di dalamnya. Biasanya, orang yang pertama kali datang menemui psikiater akan diminta untuk bercerita mengenai gangguan yang mereka alami. Namun, karena Dokter Bryan sudah mengetahui semuanya tentang Edgar, jadi dia tidak perlu meminta pemuda itu untuk bercerita. "Duduklah!" ucap Dokter Bryan. Anna dan Edgar duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerja Dokter Bryan. Meskipun mereka sudah mengenal sang dokter, konsultasi tetaplah konsultasi. Ada aturan untuk itu! Tidak ada yang namanya konsultasi seperti duduk-duduk di sofa empuk dan memakan cemilan. Dokter Bryan memakai kacamata dan jas putih miliknya, layaknya seorang dokter pada umumnya. "Sadisme seksual tidak bisa disembuhkan!" Membelalakkan mata, Anna dengan cepat menjawab, "Tapi, Dokter, bukankah Anda bilang jika Edgar bisa sembuh?!" "Pern
"Ehem ... aku akan menjelaskan cara yang bisa digunakan untuk menyembuhkan kelainan Edgar," ucap Dokter Bryan setelah berdeham kecil. Anna menggenggam tangan Edgar lebih erat dan kembali fokus pada pembicaraan mereka bertiga. "Ada dua cara yang bisa digunakan, yaitu dengan pemberian obat atau hipnotis. Obat yang diberikan berupa obat yang menekan hormon testosteron dan ada efek samping jika digunakan dalam jangka panjang." Setiap obat memang selalu memiliki efek samping, namun untuk obat yang dimaksud Dokter Bryan, Anna penasaran dengan efek sampingnya terhadap Edgar. "Efek samping seperti apa yang Anda maksud?" ucap Anna memastikan. "Impoten." "Impoten?!" kaget Anna dan Edgar secara serempak. Tujuan mereka datang berkonsultasi adalah untuk menyembuhkan kelainan Edgar agar mereka bisa berhubungan intim tanpa khawatir saling menyakiti. Namun, jika Edgar sembuh dengan pemberian obat yang membuatnya impoten, maka itu akan menjadi masalah besar. Kelainan seksualnya sembuh, namu