Tatapan tajam yang Anna terima sesaat setelah dia memasuki ruangan ini tidak akan membuatnya goyah. Anna justru balas menatap pemilik mata tajam tersebut.
“Selamat pagi, Tuan William. Perkenalkan saya Anna Florence. Mungkin ini terdengar sedikit lancang, tapi saya memohon kepada Tuan agar menghapuskan semua utang ayah saya. Sebagai gantinya, saya akan bekerja untuk Anda,” jelas Anna panjang lebar dengan sedikit rasa takut, akan tetapi Anna berhasil menutupinya.
Ucapan konyol, namun berani. Pria paruh baya itu menarik sudut bibirnya ke atas. Gadis mungil itu rela bertemu dengannya dan menawarkan diri sebagai ganti utang sang ayah. Menarik sekali.
“Kau yakin, Nona? Mungkin kau harus bekerja seumur hidup agar bisa menebus utang yang dipinjam ayahmu.”
Anna sangat tahu itu. Namun, hanya ini satu-satunya cara yang terpikirkan olehnya.
Bagaimanapun, melihat kondisi keuangan keluarganya saat ini, sangat tidak mungkin bagi keluarganya membayar utang senilai tiga miliar dolar.
“Baiklah!” tegas William tanpa ragu.
Semudah itu? Itu tidak mungkin. Pasti ada sesuatu yang diinginkan dari pria paruh baya di hadapannya ini. Anna harus ingat bahwa di dunia ini tak ada yang gratis!
“Sepertinya usiamu tidak terlalu jauh dengan putraku. Berapa usiamu, Nona?” William melihat penampilan Anna dari atas hingga bawah.
“Usia saya dua puluh satu tahun."
Entah mengapa firasat Anna makin buruk. Mengapa pula pria tua itu menanyakan usianya? Bahkan dia membawa-bawa putranya.
“Anna, aku akan menghapus semua utang ayahmu.”
William memainkan bolpoin di tangannya secara memutar berulang kali.
Sementara itu, Anna dengan cepat membungkukkan badan dan berterima kasih.
“Sebagai gantinya, kau harus menikah dengan putraku.”
“Ah ... iya,” ucap Anna spontan tidak sadar dengan ucapannya.
Tunggu! Apa yang dikatakannya barusan? Menikah?! Pacaran saja belum pernah dan sekarang Anna malah disuruh menikah!
Bak disambar petir, Anna syok hingga kehilangan kata-kata setelah mendengar perkataan yang tidak masuk akal keluar dari mulut William Dominic.
Mengapa pula Anna harus menikah dengan anak William Dominic?
“Ta—tapi itu tidak masuk ak-”
“Kalau begitu kau boleh pulang. Diskusi kita sudah berakhir.” William memotong ucapan Anna seolah-olah dia tidak menerima penolakan!
Anna berjalan ke luar ruangan dengan badan yang lesu. Dia merutuki kebodohannya karena menemui William Dominic dan mendapat masalah baru.
Persetan dengan utang itu! Bagaimana mungkin Anna harus menikah dengan orang yang bahkan belum dia temui sebelumnya?!
Bagaimana jika pria yang akan dia nikahi adalah pria berengsek, jelek, gendut, dan sebagainya? Anna bahkan sudah takut saat memikirkannya.
Sesampainya di rumah, Anna langsung menemui Andrew dan mengatakan bahwa dia tidak perlu khawatir lagi dengan utang itu. Sebab, Anna sudah menyelesaikan masalahnya dengan bersedia menikahi putra keluarga Dominic.
Andrew menangis dan membujuk Anna agar menarik kembali keputusannya.
“Nak, apa kau yakin dengan keputusanmu? Kau tidak perlu melakukan itu, Nak. Ayah akan mencari cara untuk membayar utang itu,” kata Andrew sedih.
Anna memeluk Andrew erat.
“Ayah tidak perlu khawatir, Anna akan baik-baik saja. Anna janji!”
***
Pagi hari ketika di kampus, Anna tidak bisa fokus sama sekali pada mata kuliah karena masih memikirkan tentang pria yang harus dinikahinya.
Anna menyesal karena dirinya menemui William Dominic saat itu, bagaimana jika saat itu Anna tidak pergi? Pasti tidak akan jadi serumit ini bukan? Padahal dia hanya berniat menolong ayahnya, meskipun semuanya jadi kacau dan tidak sesuai rencana.
Anna menghela napas berulang kali, dan terus melamun di tengah pelajaran.
“Na ... Anna ... Anna?!” Grace - teman baik Anna menyenggol tangannya hingga membuyarkan lamunannya.
"Profesor bertanya padamu," bisik Grace pelan.
Profesor yang sedang mengajar adalah Edgar. Edgar menyadari bahwa Anna tidak memperhatikan pelajarannya dan sengaja bertanya pada Anna.
“Maaf, Profesor, bisa diulang pertanyaannya?” ucap Anna ragu-ragu sambil memaksakan tawa.
'Aish! Memalukan!' batin Anna menggerutu.
“Sebelum pulang, datanglah ke ruanganku!"
'Mati aku! Pasti Profesor akan murka dan menelanku hidup-hidup karena berani mengabaikan pelajarannya!' batin Anna.Ucapan Edgar membuat Anna resah. Anna memegang tangan Grace untuk meminta bantuan, akan tetapi Grace hanya mengangkat bahunya seolah tak peduli.Sepertinya Anna terkena sebuah kutukan, sejak kemarin kesialan selalu menimpanya. Kemarin pernikahan, lalu sekarang dia harus berhadapan dengan Edgar yang terkenal dingin dan mengintimidasi.Sendirian di ruang kelas, Anna masih bergelut dengan pikirannya sambil memangku wajah dengan kedua tangan.'Apa aku kabur saja, ya? Tapi, besok kami pasti akan bertemu lagi. Argh! Menjengkelkan!'Pikiran itu sempat terlintas di kepala Anna. Apalagi jam kuliah telah berakhir lima menit yang lalu, di mana dia harus berhadapan dengan Edgar dan bersiap untuk menerima hukuman.Sebelum pergi ke ruangan Edgar, Anna membuang napas panjang sambil memejamkan mata. Langkahnya yang bera
Anna memandang aneh gaun yang ada hadapannya. Hari ini dia memang akan melakukan kencan pertama dengan pria misterius yang akan menikah dengannya. Tapi ayolah, memang seberapa pentingnya hari ini hingga keluarga Dominic mengirimkan sebuah gaun yang harus Anna pakai khusus hari ini? Dikatakan bahwa gaun ini merupakan pasangan dari setelan tuksedo yang akan dipakai Tuan Muda Dominic. Sejujurnya Anna sangat takut menerima kenyataan yang belum tentu manis atau pahit itu. Pasalnya, saat Anna mencari tahu tentang putra tertua keluarga Dominic di internet, artikelnya sama sekali tidak muncul, bahkan satu foto pun tidak ada! Bagaimana mungkin putra keluarga tersohor tidak ada di internet? Apakah dugaan Anna benar tentang wajahnya yang buruk rupa itu hingga wajahnya tidak ingin diperlihatkan? Oh astaga, semoga saja bukan seperti yang Anna pikirkan. Anna melihat pantulan dirinya pada cermin besar di kamar. Tangannya menepuk kedua pipi yang memakai riasan tipis, lalu menyemangati dirinya aga
Edgar mencium bibir Anna dengan lembut dan hati-hati karena takut akan penolakan. Namun, tampaknya Anna menerima sentuhan bibirnya bahkan membalas ciuman Edgar. Memperdalam ciumannya, perlahan Edgar mendorong kepala Anna agar lebih dekat dengan dirinya dan sesekali menggigit bibir gadis itu. Anna merasa sesak. Dia kehabisan napas karena pria itu terus menciumnya. Anna mendorong dada Edgar agar melepaskannya dan memberinya waktu untuk menghirup udara. Namun, lagi-lagi pria itu menarik dirinya dan mempertemukan bibir mereka kembali. “Mmmmmhhh.” Anna mulai memberontak, dia sungguh-sungguh kehabisan napas. Anna menggigit bibir Edgar hingga pria itu meringis kesakitan dan mengakhiri pagutan bibir mereka. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Anna menenggelamkan wajah memerahnya pada dada bidang Edgar sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Bisa-bisanya pria itu menciumnya di tempat ramai. Anna sangat malu, akan tetapi dia juga menikmatinya. Apalagi itu adalah ciuman pertama bersa
Seminggu berlalu setelah kejadian di taman bermain. Di saat itu pula Anna mulai menghindari Edgar.Ketika mereka tidak sengaja berpapasan di kampus, Anna langsung memutar balik arah jalannya agar pandangan mereka tidak bertemu.Begitu pula saat di tengah pelajaran. Tatkala Edgar menjelaskan semua materi yang dia ajarkan, Anna selalu menundukkan kepalanya. Jika Edgar memberi pertanyaan pun, Anna menjawab seraya menatap sepatunya bukan matanya.Anna melakukan itu karena dia memiliki alasan tersendiri. Anna tidak bisa mengontrol debaran jantungnya saat melihat sosok Edgar. Selalu seperti itu. Rasanya seperti jantungnya akan melompat ke luar, lalu Anna akan mati.“Apa kau ada acara setelah ini?” tanya Grace yang sedang mengoleskan lipstik merah ke bibirnya melalui pantulan cermin toilet.“Tidak. Kenapa kau bertanya?” timpal Anna yang sibuk memainkan ponselnya.“Kalau begitu, temani aku makan dessert di k
Anna langsung membuang wajahnya saat tak sengaja beradu pandang dengan Edgar dan bergegas masuk ke kamarnya.“Ah, sayang sekali. Anna berkata dia ingin beristirahat. Maaf, Nak Edgar."Edgar hanya membalas ucapan Olivia dengan senyuman, lalu tatapannya beralih pada pintu kamar Anna yang tertutup.Edgar ingin tahu alasan Anna terus menghindarinya. Maka dari itu, dia mendatangi kediaman Anna sekaligus mengakrabkan diri dengan keluarga gadis itu.Sementara itu, Anna masih mengurung diri di kamar. Sejak tadi dia masih mendengar obrolan keluarganya dengan Edgar. Hari sudah mulai malam, tetapi Edgar masih belum pergi dari rumahnya.“Argh! Kenapa dia belum pergi juga? Ini 'kan sudah waktunya jam makan malam. Aku lapar!” Anna memegang perutnya yang lapar karena belum makan apa pun dari siang.Tunggu! Sepertinya Anna mendengar ibunya mengatakan sesuatu pada Edgar.Anna merapatkan daun telinganya pada pintu kamarnya. Meng
Tadi pagi, Edgar pamit untuk pulang sekaligus berterima kasih pada keluarga Florence karena mengizinkannya menginap tadi malam. Berkat itu, Edgar mengetahui alasan Anna yang terus menghindarinya, dan tentu saja sekarang dia tidak perlu khawatir dengan sikap Anna ke depannya, sebab dia sudah menyelesaikan masalahnya semalam. Anna mendengar kebisingan di luar rumah. Karena penasaran, dia melihat apa yang terjadi melalui jendela kamarnya. Ternyata ada penghuni baru yang pindah ke rumah di sebelahnya. Ketika Anna sibuk mengintip melalui jendela, seorang pria muda keluar dari rumah itu dan memergoki Anna, sontak membuat Anna menutup gordennya rapat-rapat. Ponselnya berdering. Anna mengambil ponselnya yang dia taruh di atas meja. Dia melihat nama yang tertera di layar ponselnya yang berdering. Grace. Dengan sentuhan ibu jarinya, Anna menggeser ikon telepon warna hijau untuk menjawab. “Halo, Anna? Apa kau masih marah?” tanya Grace melalui telepon. Anna hanya bergeming mendengar suara G
Ada orang yang mengatakan bahwa ucapan adalah do'a. Namun, yang terjadi pada Anna malah sebaliknya. Pagi ini ada seorang dosen baru yang datang menggantikan dosen yang sebelumnya di depak keluar dari kampus karena melecehkan seorang mahasiswa. Namun, dosen baru itu tak lain adalah pria yang merupakan tetangga baru Anna. Pria bel pintu. Itulah julukan yang Anna berikan pada pria itu. "Ada apa? Kau sejak tadi terus menatap dosen baru itu." Ucapan Grace memang benar, Anna terus menatap dosen baru itu dengan tatapan tajam. Kevin Rowman, nama dosen baru itu. "Aku hanya tidak menyukainya." Tidak ada kebohongan dalam ucapan Anna. Karena kemarin hari liburnya terganggu, Anna masih merasa kesal terhadap Kevin, orang yang merusak hari liburnya. "Ey, jangan begitu. Bagaimana kalau nanti kau menyukainya?" Konyol. Mana mungkin Anna menyukai Kevin. Lagi pula, Anna sudah memiliki calon suami. Itulah yang dipikirkan Anna, namun dia belum bisa memberitahu Grace. Bukannya Anna berniat mem
Sedikit bersandiwara, Anna mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Kevin. "Terima kasih karena telah banyak membantuku tempo hari, gadis tetangga." "Kau terus saja memanggil Anna dengan sebutan 'gadis tetangga'. Apa jangan-jangan kau pindah ke rumah di sebelahnya?" Pada akhirnya pertanyaan yang membuat Edgar bertanya-tanya pun keluar dari mulutnya. Pasalnya dia terus mendengar Kevin memanggil Anna dengan sebutan yang aneh. "Hm, aku pindah ke sana tempo hari." Kevin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada urusan mendadak." Tanpa sadar, Anna tersenyum tipis ketika Kevin pergi dari ruangan itu, meninggalkan Anna dan Edgar berdua di sana. Sebab, Anna tidak terlalu nyaman dengan keberadaan Kevin yang sangat mengganggu. Begitu sosok Kevin tidak terlihat, Anna dibuat terkejut oleh tangan besar Edgar yang telah memeluknya dari belakang. "Sebegitu senangnya 'kah melihat Kevin pergi?" Karena perbeda