Ada orang yang mengatakan bahwa ucapan adalah do'a. Namun, yang terjadi pada Anna malah sebaliknya.
Pagi ini ada seorang dosen baru yang datang menggantikan dosen yang sebelumnya di depak keluar dari kampus karena melecehkan seorang mahasiswa.
Namun, dosen baru itu tak lain adalah pria yang merupakan tetangga baru Anna. Pria bel pintu. Itulah julukan yang Anna berikan pada pria itu.
"Ada apa? Kau sejak tadi terus menatap dosen baru itu."
Ucapan Grace memang benar, Anna terus menatap dosen baru itu dengan tatapan tajam. Kevin Rowman, nama dosen baru itu.
"Aku hanya tidak menyukainya."
Tidak ada kebohongan dalam ucapan Anna. Karena kemarin hari liburnya terganggu, Anna masih merasa kesal terhadap Kevin, orang yang merusak hari liburnya.
"Ey, jangan begitu. Bagaimana kalau nanti kau menyukainya?"
Konyol. Mana mungkin Anna menyukai Kevin. Lagi pula, Anna sudah memiliki calon suami. Itulah yang dipikirkan Anna, namun dia belum bisa memberitahu Grace.
Bukannya Anna berniat membohongi Grace, namun Anna ingin memberitahu Grace di waktu yang tepat. Untuk saat ini, Anna akan menyimpan rahasia hubungannya dengan Edgar seorang diri.
"Untukmu saja. Dosen baru itu bukan tipeku. Lagi pula, bukankah kau menyukai pria berwajah tampan? Kurasa dia lumayan."
Meskipun wajah Kevin tampan, namun bagi Anna wajah Edgar sepuluh kali lipat lebih tampan dari Kevin.
Drrtt Drrtt
Ponselnya bergetar, Anna membaca pesan yang dia terima dari nomor tidak dikenal. Dia tersenyum ketika membaca pesan tersebut. Sebab, nomor itu ternyata milik Edgar.
Edgar meminta Anna datang ke ruangannya sebelum Anna pulang dan pergi meninggalkan kampus.
"Maaf, Grace. Aku ada urusan sebentar, jadi kau bisa pulang lebih dulu. Bye."
Melambaikan tangan, Anna berlari kecil meninggalkan Grace yang tengah berteriak memanggil namanya.
Senyuman terlukis di wajah cantik Anna, sedikit tak sabar untuk bertemu dengan Edgar. Padahal mereka hanya terpisah satu hari kemarin.
"Permisi, Profesor."
Anna membuka pintu ruangan Edgar dengan hati-hati setelah sebelumnya dia mengetuk pintu terlebih dahulu.
Seperti Deja Vu, Anna melihat Edgar yang tengah sibuk dengan laptopnya. Namun, kali ini pria itu tidak seorang diri. Seorang pria yang baru saja menjadi dosen berada di atas sofa di ruangan Edgar. Ya, Kevin berada di sana.
"Jangan hanya berdiri di sana. Duduklah."
Meskipun Edgar berkata seperti itu, namun Anna tampak ragu-ragu jika dia harus duduk di samping Kevin.
"Maaf, Profesor, sepertinya Anda sedang ada tamu. Jadi, saya akan datang lain kali."
Sebelum Anna memutar balik, Kevin angkat bicara.
"Masuklah, gadis tetangga. Tidak perlu malu-malu seperti itu."
"Kalian sudah saling mengenal?" Edgar mengangkat sebelah alisnya.
Padahal Anna berusaha untuk tidak terlibat dengan Kevin. Namun, dewi fortuna tampaknya berkata lain. Karena tidak ada gunanya berbohong, Anna menganggukkan kepalanya, sedangkan Kevin tersenyum.
Sementara Anna dan Kevin belum membuka suara, Edgar berinisiatif untuk memulai percakapan.
"Karena kalian berdua ada di sini, aku akan memperkenalkan masing-masing dari kalian. Anna, ini adalah Kevin, sepupuku. Dia adalah dosen baru di kampus ini."
Edgar bergantian memandang Anna juga Kevin, lalu melanjutkan ucapannya.
"Kevin, gadis ini adalah Anna, calon istriku."
Baik Anna maupun Kevin, mereka masih mendengar perkataan Edgar dengan saksama. Namun, beberapa detik kemudian, mereka membelalakkan mata secara serempak.
"Sepupu?"
"Calon istri?"
"Dia?!"
Saling menunjuk, Anna dan Kevin sama-sama terkejut dengan perkataan Edgar yang tidak masuk akal menurut mereka
Pertama kali melihat Kevin, Anna memang sempat berpikir bahwa wajahnya terasa tidak asing. Kevin sedikit mirip dengan Edgar, meskipun Edgar jauh lebih tampan darinya. Namun, Anna tidak menyangka kalau Kevin adalah sepupu Edgar.
Memperbaiki ekspresi wajahnya, Anna tersenyum kaku ke arah Kevin. Senyum yang sangat dipaksakan.
'Dia tidak akan mengadu pada Edgar tentang sikap kasarku padanya tempo hari, bukan?' pikir Anna dengan sedikit gusar.
"Ah, jadi Anda sepupu dari Profesor Edgar?"
Sedikit bersandiwara, Anna mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Kevin. "Terima kasih karena telah banyak membantuku tempo hari, gadis tetangga." "Kau terus saja memanggil Anna dengan sebutan 'gadis tetangga'. Apa jangan-jangan kau pindah ke rumah di sebelahnya?" Pada akhirnya pertanyaan yang membuat Edgar bertanya-tanya pun keluar dari mulutnya. Pasalnya dia terus mendengar Kevin memanggil Anna dengan sebutan yang aneh. "Hm, aku pindah ke sana tempo hari." Kevin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada urusan mendadak." Tanpa sadar, Anna tersenyum tipis ketika Kevin pergi dari ruangan itu, meninggalkan Anna dan Edgar berdua di sana. Sebab, Anna tidak terlalu nyaman dengan keberadaan Kevin yang sangat mengganggu. Begitu sosok Kevin tidak terlihat, Anna dibuat terkejut oleh tangan besar Edgar yang telah memeluknya dari belakang. "Sebegitu senangnya 'kah melihat Kevin pergi?" Karena perbeda
"Anything for you, baby."Lagi. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya, Anna tidak mampu menahan senyumnya tatkala Edgar mengucap kata cinta.Ini pertama kali Anna jatuh cinta pada seorang pria. Sebelumnya dia belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta bahkan berpacaran.Meskipun Anna selalu ingin memiliki kekasih, namun dia tidak pandai bersosialisasi dengan lawan jenis. Begitu pula ketika dia pertama kali berkencan dengan Edgar, rasanya sangat canggung. Padahal mereka sudah lama mengenal meski sebatas dosen dan mahasiswa."Ah, nyaris saja lupa. Ayah mengundangmu makan malam di kediaman Dominic jam 07.00 malam. Aku akan menjemputmu setengah jam sebelum acara."Terakhir kali Anna bertemu William Dominic adalah saat menawarkan kesepakatan beberapa minggu lalu, setelah itu Anna belum pernah bertemu lagi dengan pria paruh baya itu."Apa ada yang ingin beliau bicarakan denganku?"Tentu saja karena
Kini, Anna tengah sibuk mengacak-acak semua pakaian yang ada di dalam lemari. Kaus, kemeja, dan piyama tidur. Tiga jenis pakaian itulah yang memenuhi lemarinya, sedangkan gaunnya hanya ada beberapa buah. Setelah menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk memilih, akhirnya Anna memilih gaun hitam selutut dengan renda di bawahnya, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak butuh waktu lama untuk mandi, Anna segera memakai gaun hitam yang dia pilih untuk pergi ke acara makan malam keluarga Dominic. Gaun hitam, sepatu hak tinggi, dan tas kecil hitam telah siap menemani Anna pergi. Dia berdiri di depan gerbang kediaman Florence, menunggu Edgar datang. Tin tin Suara klakson terdengar tak jauh dari tempat Anna berdiri. Mobil sport merah berhenti tepat di hadapan Anna yang sudah berpenampilan cantik. "Masuklah." Begitu Anna masuk dan duduk di kursi depan sebelah Edgar, sontak membuat Edgar memandangi penampilan Anna dari atas hingga bawah. Sementara Anna yang merasa
Hanya satu kata itu yang terucap dari mulut Anna. "Aku setuju! Bagaimanapun juga, aku sudah tidak sabar ingin menggendong cucu." Cucu? Anna hampir lupa kalau nanti menikah dengan Edgar dan ingin memiliki anak maka dia harus melewati malam intim dengan pria itu. "Tunggu sampai Anna lulus kuliah. Setelah itu kami akan menikah sesuai keinginan Ayah dan Ibu." "Tidak! Kami akan melaksanakan pernikahan seperti yang Tuan dan Nyonya rencanakan!" Sejujurnya Anna tidak tahu alasan Edgar ingin menunda pernikahan. Padahal Anna tidak keberatan meskipun akan menikah hari ini, besok, atau kapan pun itu. Lagi pula, Anna dan Edgar akan tetap menikah bagaimanapun caranya! Pertama, Anna menyukai Edgar. Kedua, pernikahan mereka adalah bagian dari kesepakatan di mana Anna harus menikah dengan Edgar agar utang Andrew dihapuskan. Jadi, Anna tidak keberatan jika pernikahannya dengan Edgar dipercepat. "Baguslah! Kalau begitu, kau harus mulai memanggil kami Ayah dan Ibu, Anna." William mengarahkan pan
Perasaan hangat menjalar hingga ke seluruh tubuh Anna, kala mendengar pernyataan Edgar yang terdengar sangat tulus. Jika Edgar meminta Anna untuk selalu berada di sampingnya maka dengan senang hati Anna akan melakukannya. Berada di samping pria yang dicintainya merupakan suatu kebahagiaan besar dalam hidup Anna. "Sssshh ...!" Dinginnya angin malam semakin menusuk kulit, Anna mengutuk dirinya yang memakai gaun pendek di atas lutut. Kaki jenjangnya gemetaran, bahkan mulutnya mengeluarkan asap tatkala dia sedang menghembuskan napas di malam yang dingin itu. "Berdirilah. Kita harus masuk ke dalam rumah karena cuaca di luar semakin dingin." Anna menerima uluran tangan Edgar yang membantunya berdiri. Karena udaranya terlalu dingin, Anna merasakan kakinya sedikit kram sehingga sakit ketika dipaksakan berdiri. "Akh!" Belum sempat berdiri tegak, Anna kembali pada posisi duduknya karena tak kuasa menahan kakinya yang kram dan kebas. "Aku tidak akan mengizinkanmu keluar dengan gaun p
Bertepatan dengan selesainya pembicaraan antara Anna dan Kevin, Edgar datang dengan membawa nampan berisi dua gelas coklat panas dan selimut tebal yang dililitkan di lehernya. "Kau sudah selesai?" Anna tersenyum lembut ketika melihat Edgar berjalan menghampirinya dan memakaikan selimut untuk menutupi bagian pinggang hingga ujung kaki Anna yang sempat kram dan kebas. "Untukmu. Minumlah agar tubuhmu terasa lebih hangat." "Kau tidak membuatkannya untukku?" Baik Anna maupun Edgar, mereka sama-sama menolehkan kepalanya ke arah Kevin yang menginterupsi kemesraan mereka. "Tangan dan kakimu baik-baik saja, jadi buatlah sendiri!" "Cih. Kau hanya baik pada seorang wanita. Kalau begitu aku akan membuatnya sendiri!" Melihat perseteruan antara Edgar dengan Kevin, sontak membuat Anna menggelengkan kepala. Mereka beradu mulut hanya karena hal sepele. Sungguh kekanak-kanakan! Setelah Kevin beranjak dari sofa, Anna menarik tangan Edgar agar duduk di sampingnya. Kepalanya sengaja dia sandar
Hari-hari selanjutnya, Anna mulai disibukkan dengan persiapan pernikahannya dengan Edgar yang akan digelar dalam hitungan hari. Urusan gedung dan dekorasi sudah disiapkan oleh keluarga Dominic, undangan pun sudah disebarluaskan kepada para kerabat dan teman terdekat kedua belah pihak, baik Anna maupun Edgar. Kali ini, Anna dan Edgar hendak mengunjungi butik untuk melakukan fitting baju pengantin. Seharusnya mereka sudah mempersiapkannya lebih awal, namun keduanya sibuk dengan urusan kampus. Anna sibuk dengan tugas kuliahnya, sedangkan Edgar sibuk mempersiapkan materi untuk bahan pembelajaran selama tiga hari ke depan agar para mahasiswa bisa tetap belajar meskipun dia tidak hadir dan cuti dalam tiga hari tersebut. "Maaf menunggu lama." Berhubung para mahasiswa satu fakultas dan dosen sudah menerima undangan, Anna dan Edgar tidak perlu lagi menyembunyikan hubungan mereka yang selama ini dirahasiakan. Tatapan senang, iri, dan kesal tertuju pada Anna yang sedang berduaan dengan E
Melalui pantulan cermin, Edgar dapat melihat Anna telah selesai mengenakan pakaian sontak menutup matanya rapat-rapat sebelum Anna mengetahui bahwa dia mengintip. "Aku sudah selesai. Kau boleh berbalik dan membuka matamu." "Ah, baiklah." Anna sudah rapi dengan kaus dan jeans miliknya. Dia mengambil gaun pengantin yang tergeletak di lantai, lalu meminta tolong pada Edgar untuk membawanya karena gaunnya cukup berat jika dibawa sendiri. Keluar dari fitting room, Anna menyerahkan gaun pengantin pada karyawan wanita yang ternyata sudah kembali dan berdiri di dekat tirai. Karyawan itu sedikit terkejut ketika melihat Anna keluar bersama Edgar, lalu mengubah ekspresinya menjadi tersenyum. "Aku akan memakai gaun ini untuk pernikahan nanti. Kebetulan ukurannya pun pas dengan tubuhku." "Saya mengerti." Anna dan Edgar pergi meninggalkan butik dengan mobil sport merah yang terparkir di depan butik tersebut. Semua p