Hanya satu kata itu yang terucap dari mulut Anna. "Aku setuju! Bagaimanapun juga, aku sudah tidak sabar ingin menggendong cucu." Cucu? Anna hampir lupa kalau nanti menikah dengan Edgar dan ingin memiliki anak maka dia harus melewati malam intim dengan pria itu. "Tunggu sampai Anna lulus kuliah. Setelah itu kami akan menikah sesuai keinginan Ayah dan Ibu." "Tidak! Kami akan melaksanakan pernikahan seperti yang Tuan dan Nyonya rencanakan!" Sejujurnya Anna tidak tahu alasan Edgar ingin menunda pernikahan. Padahal Anna tidak keberatan meskipun akan menikah hari ini, besok, atau kapan pun itu. Lagi pula, Anna dan Edgar akan tetap menikah bagaimanapun caranya! Pertama, Anna menyukai Edgar. Kedua, pernikahan mereka adalah bagian dari kesepakatan di mana Anna harus menikah dengan Edgar agar utang Andrew dihapuskan. Jadi, Anna tidak keberatan jika pernikahannya dengan Edgar dipercepat. "Baguslah! Kalau begitu, kau harus mulai memanggil kami Ayah dan Ibu, Anna." William mengarahkan pan
Perasaan hangat menjalar hingga ke seluruh tubuh Anna, kala mendengar pernyataan Edgar yang terdengar sangat tulus. Jika Edgar meminta Anna untuk selalu berada di sampingnya maka dengan senang hati Anna akan melakukannya. Berada di samping pria yang dicintainya merupakan suatu kebahagiaan besar dalam hidup Anna. "Sssshh ...!" Dinginnya angin malam semakin menusuk kulit, Anna mengutuk dirinya yang memakai gaun pendek di atas lutut. Kaki jenjangnya gemetaran, bahkan mulutnya mengeluarkan asap tatkala dia sedang menghembuskan napas di malam yang dingin itu. "Berdirilah. Kita harus masuk ke dalam rumah karena cuaca di luar semakin dingin." Anna menerima uluran tangan Edgar yang membantunya berdiri. Karena udaranya terlalu dingin, Anna merasakan kakinya sedikit kram sehingga sakit ketika dipaksakan berdiri. "Akh!" Belum sempat berdiri tegak, Anna kembali pada posisi duduknya karena tak kuasa menahan kakinya yang kram dan kebas. "Aku tidak akan mengizinkanmu keluar dengan gaun p
Bertepatan dengan selesainya pembicaraan antara Anna dan Kevin, Edgar datang dengan membawa nampan berisi dua gelas coklat panas dan selimut tebal yang dililitkan di lehernya. "Kau sudah selesai?" Anna tersenyum lembut ketika melihat Edgar berjalan menghampirinya dan memakaikan selimut untuk menutupi bagian pinggang hingga ujung kaki Anna yang sempat kram dan kebas. "Untukmu. Minumlah agar tubuhmu terasa lebih hangat." "Kau tidak membuatkannya untukku?" Baik Anna maupun Edgar, mereka sama-sama menolehkan kepalanya ke arah Kevin yang menginterupsi kemesraan mereka. "Tangan dan kakimu baik-baik saja, jadi buatlah sendiri!" "Cih. Kau hanya baik pada seorang wanita. Kalau begitu aku akan membuatnya sendiri!" Melihat perseteruan antara Edgar dengan Kevin, sontak membuat Anna menggelengkan kepala. Mereka beradu mulut hanya karena hal sepele. Sungguh kekanak-kanakan! Setelah Kevin beranjak dari sofa, Anna menarik tangan Edgar agar duduk di sampingnya. Kepalanya sengaja dia sandar
Hari-hari selanjutnya, Anna mulai disibukkan dengan persiapan pernikahannya dengan Edgar yang akan digelar dalam hitungan hari. Urusan gedung dan dekorasi sudah disiapkan oleh keluarga Dominic, undangan pun sudah disebarluaskan kepada para kerabat dan teman terdekat kedua belah pihak, baik Anna maupun Edgar. Kali ini, Anna dan Edgar hendak mengunjungi butik untuk melakukan fitting baju pengantin. Seharusnya mereka sudah mempersiapkannya lebih awal, namun keduanya sibuk dengan urusan kampus. Anna sibuk dengan tugas kuliahnya, sedangkan Edgar sibuk mempersiapkan materi untuk bahan pembelajaran selama tiga hari ke depan agar para mahasiswa bisa tetap belajar meskipun dia tidak hadir dan cuti dalam tiga hari tersebut. "Maaf menunggu lama." Berhubung para mahasiswa satu fakultas dan dosen sudah menerima undangan, Anna dan Edgar tidak perlu lagi menyembunyikan hubungan mereka yang selama ini dirahasiakan. Tatapan senang, iri, dan kesal tertuju pada Anna yang sedang berduaan dengan E
Melalui pantulan cermin, Edgar dapat melihat Anna telah selesai mengenakan pakaian sontak menutup matanya rapat-rapat sebelum Anna mengetahui bahwa dia mengintip. "Aku sudah selesai. Kau boleh berbalik dan membuka matamu." "Ah, baiklah." Anna sudah rapi dengan kaus dan jeans miliknya. Dia mengambil gaun pengantin yang tergeletak di lantai, lalu meminta tolong pada Edgar untuk membawanya karena gaunnya cukup berat jika dibawa sendiri. Keluar dari fitting room, Anna menyerahkan gaun pengantin pada karyawan wanita yang ternyata sudah kembali dan berdiri di dekat tirai. Karyawan itu sedikit terkejut ketika melihat Anna keluar bersama Edgar, lalu mengubah ekspresinya menjadi tersenyum. "Aku akan memakai gaun ini untuk pernikahan nanti. Kebetulan ukurannya pun pas dengan tubuhku." "Saya mengerti." Anna dan Edgar pergi meninggalkan butik dengan mobil sport merah yang terparkir di depan butik tersebut. Semua p
Anna berpikir kalau hanya ditinggal oleh orang tuanya selama dua hari tidak akan menjadi masalah dan dia bisa mengatasinya. Namun, kenyataan tidak seperti itu. Misalnya hari ini, biasanya pagi-pagi sekali sudah tersedia sarapan di meja makan dan Anna hanya tinggal memakannya. Karena ibunya yang selalu memasak tidak ada, Anna harus memasak sendiri jika lapar dan bahkan mencuci piring sendiri. Sementara Anna sibuk dengan pekerjaan rumah, Andy hilang entah ke mana. Dia pergi setelah sarapan dan hingga kini sudah malam pun, dia belum pulang ke rumah. 'Sudah hampir tengah malam, tapi Andy masih belum pulang juga. Cih! Padahal aku tidak boleh tidur terlalu malam agar kulitku tetap sehat!' batin Anna kesal. Mondar-mandir di depan TV, Anna masih menunggu kepulangan Andy yang bahkan dia tidak tahu pergi ke mana. Sebagai seorang kakak, Anna khawatir jika adiknya keluyuran hingga tengah malam. Dia takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap adiknya. Tepat pukul 01.00 dini hari, Anna duduk
Anna menggantungkan ucapannya. "Aku ... belum gosok gigi, jadi jangan menciumku ...." Bukan itu saja, Anna juga malu dengan penampilannya yang berantakan seperti seorang gelandang. Sungguh memalukan berpenampilan seperti itu di hadapan calon suaminya! "He? Begitu saja kau malu? Padahal nanti kita akan tidur bersama dan aku akan melihat wajah bangun tidurmu setiap hari." "Tetap saja aku malu," lirih Anna pelan. Benar. Anna hampir lupa dengan kenyataan yang akan terjadi setelah menikah. Tidur bersama! Oh, memikirkannya saja sudah membuat Anna meneguk saliva. "Tunggu di sini dan jangan dulu sarapan tanpaku! Aku akan kembali setelah mencuci muka dan gosok gigi!" Anna mengatakan itu sambil berlari kecil ke kamar mandi, lalu kembali setelah lima menit kemudian. Tampilannya lebih segar dan rapi dibanding sebelumnya yang tampak berantakan karena baru bangun tidur. Duduk berhadapan dengan Edgar, Anna terperangah dengan keterampilan Edgar dalam hal memasak. Di atas meja makan sudah ter
Suara teriakan melengking memenuhi area kamar. Anna terkejut karena Edgar tidur di sampingnya dan yang lebih parahnya adalah dia malah meraba-raba Edgar. Tangannya kini berada di pangkal pinggang Edgar yang masih terpejam. Segera menarik tangannya, Anna refleks mendorong dada Edgar hingga pria itu jatuh dari ranjang dan terdengar suara benturan yang lumayan keras. "Akh!" erang Edgar ketika dia jatuh dari ranjang. Edgar berdiri sambil mengerjapkan matanya yang sedikit buram. "Kau sudah bangun? Bagaimana dengan perutmu?" "Keluar dari kamarku!" Anna menyembunyikan dirinya di bawah selimut. Dia menatap kedua telapak tangannya yang sempat meraba-raba tubuh Edgar, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan tersebut. "Baiklah, kurasa kau sudah sembuh. Kalau begitu aku akan pulang." Suara langkah kaki Edgar terdengar semakin menjauh. Namun, sebelum Edgar benar-benar pergi, Anna berlirih pelan. "Terima kasih." "
Setelah Grace mengaku pada Anna pada hari itu, Anna memutuskan kontak dengan Grace dan tidak ingin menemuinya lagi. Grace memang teman baiknya, namun Grace sudah mengkhianati Anna dan sudah menyebabkan Anna keguguran secara tidak langsung. Sekarang Anna tengah berlatih berjalan dengan bantuan Edgar. Sudah hampir dua minggu dia melakukannya dan dia sudah bisa berdiri sendiri serta berjalan tiga hingga lima langkah. "Sudah cukup untuk hari ini. Kau melakukannya dengan baik," ucap Edgar seraya mengelus kepala Anna. Satu hari setelah keguguran, Edgar memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus. Dia sudah bukan seorang dosen lagi. Sekarang dia memilih fokus dari jabatannya sebagai direktur dan merawat Anna sendiri di rumah. Ya, lagi pula, pekerjaannya sebagai direktur bisa dikerjakan di rumah dan tanpa harus pergi ke perusahaan. Edgar menggendong Anna dan mendudukannya kembali di kursi roda. "Aku ingin ke kamar," ucap Anna. "Baiklah, Istriku." Sejurus kemudian Edgar mendoron
Dua minggu telah berlalu ... Wendy yang menyebabkan Anna keguguran dihukum skors selama tiga bulan. Meskipun Edgar belum puas dengan hukuman itu, namun dia tidak bisa menambah hukumannya lagi karena tidak memiliki wewenang di kampus. Anna sudah keluar dari rumah sakit. Namun, dia belum berbicara sedikit pun bak orang yang bisu. Anna pun kehilangan cara berjalannya. Dokter mengatakan jika Anna mengalami hal itu karena terlalu syok dan stress berat. Setiap malam setelah Anna tidur, Edgar minum alkohol hingga mabuk di dapurnya sendirian. Dia menangis tatkala melihat Anna yang seperti boneka hidup. Tak mengatakan apa pun dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan suatu alat. Sekarang, Edgar sedang bersama Anna di taman. Dia membawa Anna jalan-jalan menggunakan kursi roda untuk menghirup udara segar. "Anna, bukankah bunganya sangat cantik? Jika aku memetiknya, apa kau mau menerimanya?" ucap Edgar. Anna bergeming. Dia diam saja karena memang tidak ingin mengatakan apa pun. Namun, dalam hat
Selang beberapa waktu, ambulans datang dan membawa Anna ke rumah sakit terdekat. Edgar dan Kevin ikut menemani, tetapi tidak dengan Grace. Padahal Grace adalah teman baik Anna. Anna dilarikan ke ICU karena sedang dalam keadaan darurat. Sudah lama sejak dokter memeriksanya, namun belum ada tanda-tanda dokter yang akan keluar dari ruangan. Setelah menunggu beberapa menit kemudian, akhirnya sang dokter muncul dengan raut wajah yang kurang baik. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Edgar segera. "Istri Anda baik-baik saja, namun bayi dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan karena benturan yang cukup keras hingga menyebabkan pendarahan.""Maksud Dokter, istri saya keguguran?" Edgar memastikan perkataan sang dokter. "Benar. Saat saya memeriksanya pun, bayi dalam kandungannya sudah sangat lemah."Edgar kehilangan kata-kata, begitu juga dengan Kevin. Mereka syok mendengar berita buruk ini, namun Anna pasti lebih syok dan sedih mendengarnya. "Dok, saya ingin menemui istri saya,"
Di forum kampus, ada seseorang tanpa nama yang membongkar rahasia Wendy. Karena hal itu, Wendy menjadi ramai dibicarakan. Tatapan-tatapan intimidasi pun diberikan kepada Wendy setiap kali dia berjalan. Wendy, membuka forum kampus dan membaca postingan tersebut. Judulnya 'Kebohongan Besar Wendy'. Di sana tertulis, 'Wendy hanya orang miskin yang berpura-pura kaya di depan teman-temannya. Dia memakai barang mahal dari hasil meminta paksa kepada ayahnya yang hanya pekerja kantoran. Bahkan, ayahnya sudah dipecat karena perilaku kasarnya terhadap seseorang.'Setelah membaca semuanya, rahang Wendy mengeras dan tangannya mengepal. Dia tahu siapa pelaku yang menyebar rahasianya. Siapa lagi kalau bukan Anna! Dengan hati yang penuh amarah, Wendy sontak mencari keberadaan Anna. Dia tak menyangka jika Anna akan mengkhianatinya seperti itu. Padahal Anna berjanji akan menjaga rahasianya jika dia menuruti semua perintahnya. "Awas kau, ya! Jika aku hancur, kau pun harus hancur, Anna!" geram Wendy.
Keesokan harinya, Anna menunggu kedatangan Grace di gerbang kampus. Sudah hampir 15 menit dia menunggu, namun Grace belum menampakkan dirinya sama sekali. Ketika Anna sudah bosan menunggu dan hendak pergi, Grace tiba-tiba turun dari taksi langganannya dengan wajah yang tidak bersemangat. Meskipun begitu, Anna tetap menyapanya dengan riang dan berharap jika temannya itu kembali bersemangat. "Grace!" panggil Anna sembari melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Grace sempat melihat Anna dalam sepersekian detik, namun segera memalingkan wajah. 'Apa dia tidak melihatku, ya? Mungkin aku harus memanggilnya lagi!' pikir Anna kemudian. "Grace! Aku di sini!" panggil Anna lagi dengan suara tak kalah kencang. Nihil. Grace sama sekali tidak menjawab panggilan Anna seperti biasanya.Saat Grace berjalan melewati Anna, dia tiba-tiba berhenti sejenak dan berbisik, "Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendirian hari ini."Setelah mengatakan itu, Grace pun melanjutkan jalannya tanpa menoleh sedikit pun ke
Di kamarnya, Anna tengah duduk di atas ranjang sembari menatap ponsel yang ada di depannya. Lebih dari 30 menit dia diam seperti itu. Dia ingin menelpon Grace, namun ragu hingga membuatnya berpikir lama. Grace bukan tipikal orang yang memikirkan pelajaran. Jika dia murung maka permasalahannya ada pada kencan yang dia lakukan dengan Kevin. Namun, apa permasalahannya? "Apa kau akan terus seperti itu?" seru Edgar tiba-tiba. Dia risih melihat istrinya yang diam seperti patung selama bermenit-menit. "Apa menurutmu aku harus menelponnya?" Betapa rumitnya seorang wanita. Para pria tidak pernah memikirkan permasalahan orang lain, jadi Edgar bingung harus menjawab apa. "Lakukanlah seperti yang ingin kau lakukan. Tapi menurutku, lebih baik jika kau membiarkan Grace sendiri. Lagi pula, dia pasti akan menelponmu jika ingin bercerita." "Kau benar. Lebih baik aku tidak menelponnya," lirih Anna. Namun, tampaknya pikirannya berubah dalam seketika. "Tapi, aku harus menelponnya!" Anna meraih
Edgar tampak gelisah saat sedang menyetir. Bukannya dia tidak ingin mencegah Anna pergi tadi, namun karena dia pun harus mendinginkan kepalanya dulu agar tidak meledak-ledak. Biasanya jika Anna marah, dia akan pergi ke rumah orang tuanya atau rumah Grace. Berhubung Grace masih belum pulang kuliah, jadi Anna pasti asa di rumah orang tuanya. Menekan bel, Edgar sontak masuk ke dalam rumah orang tua Anna setelah dibukakan pintu. "Anna ... apa dia ada di sini?" ucap Edgar sedikit gusar. Tidak sopan memang jika dia tiba-tiba menanyakan keberadaan istrinya hingga tidak menyapa kedua mertuanya terlebih dahulu. Ya, lagi pula, dia sedang panik sekarang. "Anna sudah pergi sejak 30 menit yang lalu. Apa Nak Edgar tidak berpapasan dengannya di jalan?" lirih Olivia. Shit! Tampaknya Edgar terlambat. Kalau sudah seperti ini, tentu saja dia harus pulang ke apartemennya lagi. Dia takut jika Anna mencari keberadaannya. Tanpa pamit, Edgar pun segera melesat dengan mobilnya menuju arah pulang. Dia m
"Loh? Tumben kamu ke sini, Nak," ucap Olivia saat melihat Anna sudah ada di depan rumah. Kepalanya menoleh ke belakang Anna seperti mencari sesuatu. Olivia sendiri sedang merawat kebun kecilnya yang ada di halaman depan, dia tak menyangka jika putrinya akan datang secara tiba-tiba. "Kamu datang sendiri? Ke mana suamimu?" sambung Olivia. Dia tidak melihat Edgar, melainkan seekor anj*ng yang dibawa Anna. Helaan napas pun keluar dari mulut Anna. Dia sedang tidak ingin membicarakan Edgar, emosinya masih belum reda. "Jangan membicarakan dia, Bu. Aku sedang emosional hari ini," ungkap Anna. Untuk seorang wanita yang pernah mengandung bayi, tentu saja Olivia paham dengan situasi Anna. Ibu hamil memang selalu emosional dan perasaannya sensitif. Ya, mungkin saja Anna sedang mengalami hal itu. Ah, Olivia merasa kasihan kepada Edgar karena menjadi korban emosional Anna. "Anna, ayo masuk ke dalam. Kebetulan Ibu masak banyak hari ini, mungkin karena Ibu punya firasat kalau kau akan datang k
Mendengar teriakan Anna yang mengeluarkan kata kasar, Edgar sontak terbangun dari tidurnya. Dia juga terkejut karena mobilnya tiba-tiba direm secara mendadak oleh Anna. "Ada apa? Aku baru saja mendengarmu mengumpat," tanya Edgar yang kebingungan. Anna menghela napas panjang. "Itu, ada anj*ing yang berhenti di tengah jalan saat aku menyetir. Untung saja tidak tertabrak."Meskipun Anna yakin kalau dia tidak menabrak seekor anj*ng, namun dia tetap jarus memastikannya dengan mata kepalanya sendiri. Anna keluar dari mobil dan berjalan ke arah depan. Dia melihat seekor anak anj*ng berbulu putih tengah duduk di depan mobilnya. "Sepertinya anj*ing ini lepas dari pemiliknya," ucap Anna setelah menggendong anak anj*ng tersebut dan melihat kalung yang terpasang di lehernya. "Apa kau mau membawanya pulang?" tanya Edgar yang baru turun dari mobil. "Hn, aku akan membawa pulang."Lagi pula, Anna merasa kasihan jika anak anj*ng itu ditinggal begitu saja di jalanan. Untuk sementara waktu, Anna a