Melalui pantulan cermin, Edgar dapat melihat Anna telah selesai mengenakan pakaian sontak menutup matanya rapat-rapat sebelum Anna mengetahui bahwa dia mengintip. "Aku sudah selesai. Kau boleh berbalik dan membuka matamu." "Ah, baiklah." Anna sudah rapi dengan kaus dan jeans miliknya. Dia mengambil gaun pengantin yang tergeletak di lantai, lalu meminta tolong pada Edgar untuk membawanya karena gaunnya cukup berat jika dibawa sendiri. Keluar dari fitting room, Anna menyerahkan gaun pengantin pada karyawan wanita yang ternyata sudah kembali dan berdiri di dekat tirai. Karyawan itu sedikit terkejut ketika melihat Anna keluar bersama Edgar, lalu mengubah ekspresinya menjadi tersenyum. "Aku akan memakai gaun ini untuk pernikahan nanti. Kebetulan ukurannya pun pas dengan tubuhku." "Saya mengerti." Anna dan Edgar pergi meninggalkan butik dengan mobil sport merah yang terparkir di depan butik tersebut. Semua p
Anna berpikir kalau hanya ditinggal oleh orang tuanya selama dua hari tidak akan menjadi masalah dan dia bisa mengatasinya. Namun, kenyataan tidak seperti itu. Misalnya hari ini, biasanya pagi-pagi sekali sudah tersedia sarapan di meja makan dan Anna hanya tinggal memakannya. Karena ibunya yang selalu memasak tidak ada, Anna harus memasak sendiri jika lapar dan bahkan mencuci piring sendiri. Sementara Anna sibuk dengan pekerjaan rumah, Andy hilang entah ke mana. Dia pergi setelah sarapan dan hingga kini sudah malam pun, dia belum pulang ke rumah. 'Sudah hampir tengah malam, tapi Andy masih belum pulang juga. Cih! Padahal aku tidak boleh tidur terlalu malam agar kulitku tetap sehat!' batin Anna kesal. Mondar-mandir di depan TV, Anna masih menunggu kepulangan Andy yang bahkan dia tidak tahu pergi ke mana. Sebagai seorang kakak, Anna khawatir jika adiknya keluyuran hingga tengah malam. Dia takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap adiknya. Tepat pukul 01.00 dini hari, Anna duduk
Anna menggantungkan ucapannya. "Aku ... belum gosok gigi, jadi jangan menciumku ...." Bukan itu saja, Anna juga malu dengan penampilannya yang berantakan seperti seorang gelandang. Sungguh memalukan berpenampilan seperti itu di hadapan calon suaminya! "He? Begitu saja kau malu? Padahal nanti kita akan tidur bersama dan aku akan melihat wajah bangun tidurmu setiap hari." "Tetap saja aku malu," lirih Anna pelan. Benar. Anna hampir lupa dengan kenyataan yang akan terjadi setelah menikah. Tidur bersama! Oh, memikirkannya saja sudah membuat Anna meneguk saliva. "Tunggu di sini dan jangan dulu sarapan tanpaku! Aku akan kembali setelah mencuci muka dan gosok gigi!" Anna mengatakan itu sambil berlari kecil ke kamar mandi, lalu kembali setelah lima menit kemudian. Tampilannya lebih segar dan rapi dibanding sebelumnya yang tampak berantakan karena baru bangun tidur. Duduk berhadapan dengan Edgar, Anna terperangah dengan keterampilan Edgar dalam hal memasak. Di atas meja makan sudah ter
Suara teriakan melengking memenuhi area kamar. Anna terkejut karena Edgar tidur di sampingnya dan yang lebih parahnya adalah dia malah meraba-raba Edgar. Tangannya kini berada di pangkal pinggang Edgar yang masih terpejam. Segera menarik tangannya, Anna refleks mendorong dada Edgar hingga pria itu jatuh dari ranjang dan terdengar suara benturan yang lumayan keras. "Akh!" erang Edgar ketika dia jatuh dari ranjang. Edgar berdiri sambil mengerjapkan matanya yang sedikit buram. "Kau sudah bangun? Bagaimana dengan perutmu?" "Keluar dari kamarku!" Anna menyembunyikan dirinya di bawah selimut. Dia menatap kedua telapak tangannya yang sempat meraba-raba tubuh Edgar, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan tersebut. "Baiklah, kurasa kau sudah sembuh. Kalau begitu aku akan pulang." Suara langkah kaki Edgar terdengar semakin menjauh. Namun, sebelum Edgar benar-benar pergi, Anna berlirih pelan. "Terima kasih." "
Pernikahan pun tiba, Anna duduk di kursi tunggu ruang ganti pengantin wanita dengan risau. Sebab, kedua orang tuanya belum terlihat sama sekali sampai saat ini. Padahal sebentar lagi dia akan naik ke altar dan mengucapkan ikrar."Relax, Anna. Aku yakin orang tuamu akan segera datang." Grace mencoba menghibur Anna yang terus menggigit bibir bawahnya."Bagaimana aku bisa relax? Aku sudah menunda acaranya selama hampir dua puluh menit, namun kedua orang tuaku belum datang juga!"Orang tuanya sudah berjanji bahwa mereka kan pulang dari London sebelum acara pernikahan dimulai. Jika mereka tidak datang maka Anna tidak segan-segan untuk membatalkan pernikahannya dengan Edgar."MC sudah memanggilmu. Anna, sudah waktunya kau keluar.""Tapi, Grace, bagaimana mungkin aku memasuki altar tanpa didampingi ayahku?"Pernikahan adalah momen yang seharusnya membahagiakan di mana seorang ayah mendampingi putrinya sambil berpegangan tangan menuju altar pe
Hap Bunga yang Anna lemparkan ditangkap oleh seorang pria tampan yang berdiri jauh dari kerumunan orang yang merebutkan buket bunga. Pria itu tak lain adalah Kevin. Dia bahkan terkejut karena tiba-tiba ada bunga yang terlempar ke arahnya sehingga membuat dia refleks menangkap bunga tersebut. "Profesor? Wah ... sepertinya Anda yang akan menyusul Profesor Edgar dan Anna, ya!" Grace menghampiri Kevin yang tengah diam dengan sebuket bunga di tangannya. Sementara itu, Kevin yang tak peduli dengan tradisi lempar bunga dan artinya itu hanya mengangkat bahu dan menyerahkan bunga tersebut kepada Grace. "Aku tidak membutuhkan ini!" Setelah mengatakan itu dan memberikan bunga pada Grace, Kevin melangkahkan kakinya dan pergi entah ke mana. "Heh?" Bagai pinang dibelah dua, sikap acuh Kevin sangat mirip dengan Edgar. Bukan hanya wajah, namun juga sikapnya pun mirip! Sepertinya memang semua anggota keluarga Dominic seperti itu. "Dia memberikannya padamu?" Anna langsung bertanya begitu Gra
Suara guyuran air shower di dalam kamar mandi terdengar oleh telinga Anna yang tengah menunggu dengan gelisah di kamar pengantin barunya dengan Edgar. Dengan piyama hitam sedikit terbuka, Anna duduk di sisi ranjang seraya menggigit bibir bawahnya pelan. Dia takut. Takut dengan apa yang akan terjadi setelah Edgar keluar dari kamar mandi dan sesuatu akan terjadi. "Rileks, Anna, rileks ...." Seperti sebuah mantera, Anna terus menenangkan hati dan meyakinkan dirinya bahwa dia akan baik-baik saja. Namun, tetap saja hatinya tidak bisa tenang dan malah bertambah gelisah ketika dia mendapati pria yang telah menjadi suaminya selesai membersihkan diri. Aroma harum menguar di sekitar kamar. Aroma harum itu berasal dari sampo yang Edgar gunakan. Bisa Anna lihat, rambut basah Edgar dibiarkan menetes di lantai. Dada bidang yang terbentuk sempurna pun terlihat sangat jelas karena Edgar hanya memakai handuk yang menutupi bawah pinggangnya setelah keluar dari kamar mandi. Masih terpaku dengan
Pagi menyapa, Anna sontak membuka matanya yang masih terasa berat ketika seseorang membuka tirai jendela sehingga silau matahari menerpa wajahnya yang cantik. Meregangkan tangannya ke atas, Anna kemudian mengeluarkan suara lenguhan sama seperti orang yang baru bangun tidur lainnya. "Selamat pagi," sapa Edgar seraya mencium sekilas bibir Anna yang setengah sadar. "Hmm, selamat pagi ... hoaammm ...." "Turunlah setelah selesai mandi. Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kita berdua." Tampan, kaya, cerdas, dan bahkan pintar memasak. Anna sungguh beruntung karena memiliki Edgar sebagai suaminya. Pria sempurna yang diidamkan semua orang. Karena air shower terlalu dingin jika digunakan di pagi hari, Anna berendam di bathtub dengan air hangat dan menyelesaikan ritual mandinya sedikit lebih cepat karena tak ingin membuat Edgar menunggu lebih lama. "Apa aku mandi terlalu lama?" Anna keluar dari kamar dan mengh
Setelah Grace mengaku pada Anna pada hari itu, Anna memutuskan kontak dengan Grace dan tidak ingin menemuinya lagi. Grace memang teman baiknya, namun Grace sudah mengkhianati Anna dan sudah menyebabkan Anna keguguran secara tidak langsung. Sekarang Anna tengah berlatih berjalan dengan bantuan Edgar. Sudah hampir dua minggu dia melakukannya dan dia sudah bisa berdiri sendiri serta berjalan tiga hingga lima langkah. "Sudah cukup untuk hari ini. Kau melakukannya dengan baik," ucap Edgar seraya mengelus kepala Anna. Satu hari setelah keguguran, Edgar memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus. Dia sudah bukan seorang dosen lagi. Sekarang dia memilih fokus dari jabatannya sebagai direktur dan merawat Anna sendiri di rumah. Ya, lagi pula, pekerjaannya sebagai direktur bisa dikerjakan di rumah dan tanpa harus pergi ke perusahaan. Edgar menggendong Anna dan mendudukannya kembali di kursi roda. "Aku ingin ke kamar," ucap Anna. "Baiklah, Istriku." Sejurus kemudian Edgar mendoron
Dua minggu telah berlalu ... Wendy yang menyebabkan Anna keguguran dihukum skors selama tiga bulan. Meskipun Edgar belum puas dengan hukuman itu, namun dia tidak bisa menambah hukumannya lagi karena tidak memiliki wewenang di kampus. Anna sudah keluar dari rumah sakit. Namun, dia belum berbicara sedikit pun bak orang yang bisu. Anna pun kehilangan cara berjalannya. Dokter mengatakan jika Anna mengalami hal itu karena terlalu syok dan stress berat. Setiap malam setelah Anna tidur, Edgar minum alkohol hingga mabuk di dapurnya sendirian. Dia menangis tatkala melihat Anna yang seperti boneka hidup. Tak mengatakan apa pun dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan suatu alat. Sekarang, Edgar sedang bersama Anna di taman. Dia membawa Anna jalan-jalan menggunakan kursi roda untuk menghirup udara segar. "Anna, bukankah bunganya sangat cantik? Jika aku memetiknya, apa kau mau menerimanya?" ucap Edgar. Anna bergeming. Dia diam saja karena memang tidak ingin mengatakan apa pun. Namun, dalam hat
Selang beberapa waktu, ambulans datang dan membawa Anna ke rumah sakit terdekat. Edgar dan Kevin ikut menemani, tetapi tidak dengan Grace. Padahal Grace adalah teman baik Anna. Anna dilarikan ke ICU karena sedang dalam keadaan darurat. Sudah lama sejak dokter memeriksanya, namun belum ada tanda-tanda dokter yang akan keluar dari ruangan. Setelah menunggu beberapa menit kemudian, akhirnya sang dokter muncul dengan raut wajah yang kurang baik. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Edgar segera. "Istri Anda baik-baik saja, namun bayi dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan karena benturan yang cukup keras hingga menyebabkan pendarahan.""Maksud Dokter, istri saya keguguran?" Edgar memastikan perkataan sang dokter. "Benar. Saat saya memeriksanya pun, bayi dalam kandungannya sudah sangat lemah."Edgar kehilangan kata-kata, begitu juga dengan Kevin. Mereka syok mendengar berita buruk ini, namun Anna pasti lebih syok dan sedih mendengarnya. "Dok, saya ingin menemui istri saya,"
Di forum kampus, ada seseorang tanpa nama yang membongkar rahasia Wendy. Karena hal itu, Wendy menjadi ramai dibicarakan. Tatapan-tatapan intimidasi pun diberikan kepada Wendy setiap kali dia berjalan. Wendy, membuka forum kampus dan membaca postingan tersebut. Judulnya 'Kebohongan Besar Wendy'. Di sana tertulis, 'Wendy hanya orang miskin yang berpura-pura kaya di depan teman-temannya. Dia memakai barang mahal dari hasil meminta paksa kepada ayahnya yang hanya pekerja kantoran. Bahkan, ayahnya sudah dipecat karena perilaku kasarnya terhadap seseorang.'Setelah membaca semuanya, rahang Wendy mengeras dan tangannya mengepal. Dia tahu siapa pelaku yang menyebar rahasianya. Siapa lagi kalau bukan Anna! Dengan hati yang penuh amarah, Wendy sontak mencari keberadaan Anna. Dia tak menyangka jika Anna akan mengkhianatinya seperti itu. Padahal Anna berjanji akan menjaga rahasianya jika dia menuruti semua perintahnya. "Awas kau, ya! Jika aku hancur, kau pun harus hancur, Anna!" geram Wendy.
Keesokan harinya, Anna menunggu kedatangan Grace di gerbang kampus. Sudah hampir 15 menit dia menunggu, namun Grace belum menampakkan dirinya sama sekali. Ketika Anna sudah bosan menunggu dan hendak pergi, Grace tiba-tiba turun dari taksi langganannya dengan wajah yang tidak bersemangat. Meskipun begitu, Anna tetap menyapanya dengan riang dan berharap jika temannya itu kembali bersemangat. "Grace!" panggil Anna sembari melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Grace sempat melihat Anna dalam sepersekian detik, namun segera memalingkan wajah. 'Apa dia tidak melihatku, ya? Mungkin aku harus memanggilnya lagi!' pikir Anna kemudian. "Grace! Aku di sini!" panggil Anna lagi dengan suara tak kalah kencang. Nihil. Grace sama sekali tidak menjawab panggilan Anna seperti biasanya.Saat Grace berjalan melewati Anna, dia tiba-tiba berhenti sejenak dan berbisik, "Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendirian hari ini."Setelah mengatakan itu, Grace pun melanjutkan jalannya tanpa menoleh sedikit pun ke
Di kamarnya, Anna tengah duduk di atas ranjang sembari menatap ponsel yang ada di depannya. Lebih dari 30 menit dia diam seperti itu. Dia ingin menelpon Grace, namun ragu hingga membuatnya berpikir lama. Grace bukan tipikal orang yang memikirkan pelajaran. Jika dia murung maka permasalahannya ada pada kencan yang dia lakukan dengan Kevin. Namun, apa permasalahannya? "Apa kau akan terus seperti itu?" seru Edgar tiba-tiba. Dia risih melihat istrinya yang diam seperti patung selama bermenit-menit. "Apa menurutmu aku harus menelponnya?" Betapa rumitnya seorang wanita. Para pria tidak pernah memikirkan permasalahan orang lain, jadi Edgar bingung harus menjawab apa. "Lakukanlah seperti yang ingin kau lakukan. Tapi menurutku, lebih baik jika kau membiarkan Grace sendiri. Lagi pula, dia pasti akan menelponmu jika ingin bercerita." "Kau benar. Lebih baik aku tidak menelponnya," lirih Anna. Namun, tampaknya pikirannya berubah dalam seketika. "Tapi, aku harus menelponnya!" Anna meraih
Edgar tampak gelisah saat sedang menyetir. Bukannya dia tidak ingin mencegah Anna pergi tadi, namun karena dia pun harus mendinginkan kepalanya dulu agar tidak meledak-ledak. Biasanya jika Anna marah, dia akan pergi ke rumah orang tuanya atau rumah Grace. Berhubung Grace masih belum pulang kuliah, jadi Anna pasti asa di rumah orang tuanya. Menekan bel, Edgar sontak masuk ke dalam rumah orang tua Anna setelah dibukakan pintu. "Anna ... apa dia ada di sini?" ucap Edgar sedikit gusar. Tidak sopan memang jika dia tiba-tiba menanyakan keberadaan istrinya hingga tidak menyapa kedua mertuanya terlebih dahulu. Ya, lagi pula, dia sedang panik sekarang. "Anna sudah pergi sejak 30 menit yang lalu. Apa Nak Edgar tidak berpapasan dengannya di jalan?" lirih Olivia. Shit! Tampaknya Edgar terlambat. Kalau sudah seperti ini, tentu saja dia harus pulang ke apartemennya lagi. Dia takut jika Anna mencari keberadaannya. Tanpa pamit, Edgar pun segera melesat dengan mobilnya menuju arah pulang. Dia m
"Loh? Tumben kamu ke sini, Nak," ucap Olivia saat melihat Anna sudah ada di depan rumah. Kepalanya menoleh ke belakang Anna seperti mencari sesuatu. Olivia sendiri sedang merawat kebun kecilnya yang ada di halaman depan, dia tak menyangka jika putrinya akan datang secara tiba-tiba. "Kamu datang sendiri? Ke mana suamimu?" sambung Olivia. Dia tidak melihat Edgar, melainkan seekor anj*ng yang dibawa Anna. Helaan napas pun keluar dari mulut Anna. Dia sedang tidak ingin membicarakan Edgar, emosinya masih belum reda. "Jangan membicarakan dia, Bu. Aku sedang emosional hari ini," ungkap Anna. Untuk seorang wanita yang pernah mengandung bayi, tentu saja Olivia paham dengan situasi Anna. Ibu hamil memang selalu emosional dan perasaannya sensitif. Ya, mungkin saja Anna sedang mengalami hal itu. Ah, Olivia merasa kasihan kepada Edgar karena menjadi korban emosional Anna. "Anna, ayo masuk ke dalam. Kebetulan Ibu masak banyak hari ini, mungkin karena Ibu punya firasat kalau kau akan datang k
Mendengar teriakan Anna yang mengeluarkan kata kasar, Edgar sontak terbangun dari tidurnya. Dia juga terkejut karena mobilnya tiba-tiba direm secara mendadak oleh Anna. "Ada apa? Aku baru saja mendengarmu mengumpat," tanya Edgar yang kebingungan. Anna menghela napas panjang. "Itu, ada anj*ing yang berhenti di tengah jalan saat aku menyetir. Untung saja tidak tertabrak."Meskipun Anna yakin kalau dia tidak menabrak seekor anj*ng, namun dia tetap jarus memastikannya dengan mata kepalanya sendiri. Anna keluar dari mobil dan berjalan ke arah depan. Dia melihat seekor anak anj*ng berbulu putih tengah duduk di depan mobilnya. "Sepertinya anj*ing ini lepas dari pemiliknya," ucap Anna setelah menggendong anak anj*ng tersebut dan melihat kalung yang terpasang di lehernya. "Apa kau mau membawanya pulang?" tanya Edgar yang baru turun dari mobil. "Hn, aku akan membawa pulang."Lagi pula, Anna merasa kasihan jika anak anj*ng itu ditinggal begitu saja di jalanan. Untuk sementara waktu, Anna a