Anna menggantungkan ucapannya. "Aku ... belum gosok gigi, jadi jangan menciumku ...." Bukan itu saja, Anna juga malu dengan penampilannya yang berantakan seperti seorang gelandang. Sungguh memalukan berpenampilan seperti itu di hadapan calon suaminya! "He? Begitu saja kau malu? Padahal nanti kita akan tidur bersama dan aku akan melihat wajah bangun tidurmu setiap hari." "Tetap saja aku malu," lirih Anna pelan. Benar. Anna hampir lupa dengan kenyataan yang akan terjadi setelah menikah. Tidur bersama! Oh, memikirkannya saja sudah membuat Anna meneguk saliva. "Tunggu di sini dan jangan dulu sarapan tanpaku! Aku akan kembali setelah mencuci muka dan gosok gigi!" Anna mengatakan itu sambil berlari kecil ke kamar mandi, lalu kembali setelah lima menit kemudian. Tampilannya lebih segar dan rapi dibanding sebelumnya yang tampak berantakan karena baru bangun tidur. Duduk berhadapan dengan Edgar, Anna terperangah dengan keterampilan Edgar dalam hal memasak. Di atas meja makan sudah ter
Suara teriakan melengking memenuhi area kamar. Anna terkejut karena Edgar tidur di sampingnya dan yang lebih parahnya adalah dia malah meraba-raba Edgar. Tangannya kini berada di pangkal pinggang Edgar yang masih terpejam. Segera menarik tangannya, Anna refleks mendorong dada Edgar hingga pria itu jatuh dari ranjang dan terdengar suara benturan yang lumayan keras. "Akh!" erang Edgar ketika dia jatuh dari ranjang. Edgar berdiri sambil mengerjapkan matanya yang sedikit buram. "Kau sudah bangun? Bagaimana dengan perutmu?" "Keluar dari kamarku!" Anna menyembunyikan dirinya di bawah selimut. Dia menatap kedua telapak tangannya yang sempat meraba-raba tubuh Edgar, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan tersebut. "Baiklah, kurasa kau sudah sembuh. Kalau begitu aku akan pulang." Suara langkah kaki Edgar terdengar semakin menjauh. Namun, sebelum Edgar benar-benar pergi, Anna berlirih pelan. "Terima kasih." "
Pernikahan pun tiba, Anna duduk di kursi tunggu ruang ganti pengantin wanita dengan risau. Sebab, kedua orang tuanya belum terlihat sama sekali sampai saat ini. Padahal sebentar lagi dia akan naik ke altar dan mengucapkan ikrar."Relax, Anna. Aku yakin orang tuamu akan segera datang." Grace mencoba menghibur Anna yang terus menggigit bibir bawahnya."Bagaimana aku bisa relax? Aku sudah menunda acaranya selama hampir dua puluh menit, namun kedua orang tuaku belum datang juga!"Orang tuanya sudah berjanji bahwa mereka kan pulang dari London sebelum acara pernikahan dimulai. Jika mereka tidak datang maka Anna tidak segan-segan untuk membatalkan pernikahannya dengan Edgar."MC sudah memanggilmu. Anna, sudah waktunya kau keluar.""Tapi, Grace, bagaimana mungkin aku memasuki altar tanpa didampingi ayahku?"Pernikahan adalah momen yang seharusnya membahagiakan di mana seorang ayah mendampingi putrinya sambil berpegangan tangan menuju altar pe
Hap Bunga yang Anna lemparkan ditangkap oleh seorang pria tampan yang berdiri jauh dari kerumunan orang yang merebutkan buket bunga. Pria itu tak lain adalah Kevin. Dia bahkan terkejut karena tiba-tiba ada bunga yang terlempar ke arahnya sehingga membuat dia refleks menangkap bunga tersebut. "Profesor? Wah ... sepertinya Anda yang akan menyusul Profesor Edgar dan Anna, ya!" Grace menghampiri Kevin yang tengah diam dengan sebuket bunga di tangannya. Sementara itu, Kevin yang tak peduli dengan tradisi lempar bunga dan artinya itu hanya mengangkat bahu dan menyerahkan bunga tersebut kepada Grace. "Aku tidak membutuhkan ini!" Setelah mengatakan itu dan memberikan bunga pada Grace, Kevin melangkahkan kakinya dan pergi entah ke mana. "Heh?" Bagai pinang dibelah dua, sikap acuh Kevin sangat mirip dengan Edgar. Bukan hanya wajah, namun juga sikapnya pun mirip! Sepertinya memang semua anggota keluarga Dominic seperti itu. "Dia memberikannya padamu?" Anna langsung bertanya begitu Gra
Suara guyuran air shower di dalam kamar mandi terdengar oleh telinga Anna yang tengah menunggu dengan gelisah di kamar pengantin barunya dengan Edgar. Dengan piyama hitam sedikit terbuka, Anna duduk di sisi ranjang seraya menggigit bibir bawahnya pelan. Dia takut. Takut dengan apa yang akan terjadi setelah Edgar keluar dari kamar mandi dan sesuatu akan terjadi. "Rileks, Anna, rileks ...." Seperti sebuah mantera, Anna terus menenangkan hati dan meyakinkan dirinya bahwa dia akan baik-baik saja. Namun, tetap saja hatinya tidak bisa tenang dan malah bertambah gelisah ketika dia mendapati pria yang telah menjadi suaminya selesai membersihkan diri. Aroma harum menguar di sekitar kamar. Aroma harum itu berasal dari sampo yang Edgar gunakan. Bisa Anna lihat, rambut basah Edgar dibiarkan menetes di lantai. Dada bidang yang terbentuk sempurna pun terlihat sangat jelas karena Edgar hanya memakai handuk yang menutupi bawah pinggangnya setelah keluar dari kamar mandi. Masih terpaku dengan
Pagi menyapa, Anna sontak membuka matanya yang masih terasa berat ketika seseorang membuka tirai jendela sehingga silau matahari menerpa wajahnya yang cantik. Meregangkan tangannya ke atas, Anna kemudian mengeluarkan suara lenguhan sama seperti orang yang baru bangun tidur lainnya. "Selamat pagi," sapa Edgar seraya mencium sekilas bibir Anna yang setengah sadar. "Hmm, selamat pagi ... hoaammm ...." "Turunlah setelah selesai mandi. Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kita berdua." Tampan, kaya, cerdas, dan bahkan pintar memasak. Anna sungguh beruntung karena memiliki Edgar sebagai suaminya. Pria sempurna yang diidamkan semua orang. Karena air shower terlalu dingin jika digunakan di pagi hari, Anna berendam di bathtub dengan air hangat dan menyelesaikan ritual mandinya sedikit lebih cepat karena tak ingin membuat Edgar menunggu lebih lama. "Apa aku mandi terlalu lama?" Anna keluar dari kamar dan mengh
"Kau sudah siap?" Edgar berdiri di depan pintu kamar yang terbuka lebar. "Tunggu sebentar! Kau tidak memgemas barangmu?" Anna heran karena Edgar sangat santai, tidak seperti dirinya yang sejak tadi sangat antusias dan tergesa-gesa memilih barang untuk dibawa pergi berlayar. "Aku sudah menyiapkannya pagi-pagi sekali." Edgar mengarahkan pandangannya ke arah koper hitam yang tersimpan di samping meja kecil. "Bagaimana bisa kopermu ada di sana tapi aku tidak melihatnya?" Anna menaikkan sebelas alisnya ke atas. "Aku sudah selesai. Mari kita berangkat!" Karena jarak villa dan pelabuhan tidak terlalu jauh, Anna dan Edgar sampai di pelabuhan hanya dalam waktu kurang lebih sepuluh menit dengan menggunakan mobil. "Waaaahhh! Dari mana kau menyewa kapal pesiar ini?" Anna terperangah dengan sebuah benda logam yang terapung di permukaan air laut. "Kapal itu milikku. Lebih tepatnya adalah ayahku menghadiahkan kapal pesiar itu saat ulang tahunku yang ke dua puluh." "Aku tidak tahu harus be
Saking paniknya karena tenggelam, Anna bahkan mulai berpikiran negatif. Sementara itu di lain sisi, Edgar tampak heran karena Anna belum muncul ke permukaan air. Dia melihat sekilas sebuah tangan yang memercikkan air dan mulai gelisah. Dengan sigap, Edgar sontak menyeburkan dirinya ke dalam kolam renang dan mencari sosok wanita yang merupakan istrinya tenggelam. Kedua bola matanya membesar, kala melihat tubuh Anna yang terkulai lemas di dalam air dan hampir menyentuh dasar kolam. Edgar bergegas meraih tubuh Anna dan membawanya ke permukaan. Dia membaringkan tubuh Anna di sisi kolam dan mulai melakukan CPR sebagai pertolongan pertamanya. " ... Na ... Anna!" Uhuk! Uhuk! Tampaknya Edgar berhasil menyelamatkan Anna. Anna terbatuk-batuk dan mengeluarkan air di dalam mulutnya. "Syukurlah kau selamat. Maafkan aku karena aku lengah, Anna." Dalam sekejap, Edgar memeluk erat tubuh Anna. Dia dapat merasakan tubuh wanita itu yang menggigil kedinginan dan berusaha berbagi kehangatan.