Anna langsung membuang wajahnya saat tak sengaja beradu pandang dengan Edgar dan bergegas masuk ke kamarnya.
“Ah, sayang sekali. Anna berkata dia ingin beristirahat. Maaf, Nak Edgar."
Edgar hanya membalas ucapan Olivia dengan senyuman, lalu tatapannya beralih pada pintu kamar Anna yang tertutup.
Edgar ingin tahu alasan Anna terus menghindarinya. Maka dari itu, dia mendatangi kediaman Anna sekaligus mengakrabkan diri dengan keluarga gadis itu.
Sementara itu, Anna masih mengurung diri di kamar. Sejak tadi dia masih mendengar obrolan keluarganya dengan Edgar. Hari sudah mulai malam, tetapi Edgar masih belum pergi dari rumahnya.
“Argh! Kenapa dia belum pergi juga? Ini 'kan sudah waktunya jam makan malam. Aku lapar!” Anna memegang perutnya yang lapar karena belum makan apa pun dari siang.
Tunggu! Sepertinya Anna mendengar ibunya mengatakan sesuatu pada Edgar.
Anna merapatkan daun telinganya pada pintu kamarnya. Menginap? Apa ibunya baru saja meminta Edgar agar menginap di rumahnya? Kurasa ibunya sudah gila. Mengapa ibunya berkata seperti itu padahal putrinya bersusah payah menghindari Edgar demi kesehatan jantungnya?
“Nak Edgar, bisa tolong bangunkan Anna? Ketuk saja pintunya, jika Anna masih belum bangun, Nak Edgar masuk saja ke dalam.”
Tampaknya Olivia sangat mempercayai Edgar sampai mengizinkan pria itu memasuki kamar Anna.
Anna yang sejak tadi menguping lewat pintu sontak berbaring di ranjangnya dan berpura-pura tidur ketika mendengar suara langkah kaki mendekati pintu kamarnya.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dari luar kamar dan suara Edgar memanggil namanya.
Anna tak menanggapi dan terus berpura-pura tidur dengan harapan Edgar segera pergi dari depan kamar.
Namun, Edgar belum menyerah, dia memutar pegangan pintu kamar Anna sampai terbuka dan masuk ke dalamnya seperti yang Olivia perintahkan sebelumnya.
Edgar duduk di sisi ranjang, lalu mendekatkan bibirnya tepat di telinga Anna.
“Aku tahu kau tidak tidur. Puu—uuh.” Edgar dengan sengaja meniup telinga Anna dan membuat Anna bergidik.
“Hooaamm ... jam berapa sekarang?” Anna berpura-pura melihat jam weker di sebelahnya.
Demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Anna segera beranjak dari ranjangnya dan berlari kecil menuju pintu kamarnya yang terbuka, meninggalkan Edgar sendiri.
“Gadis aneh! Tapi aku tetap menyukainya,” gumam Edgar saat melihat sosok Anna mulai menjauh.
Edgar kemudian menyusulnya untuk ikut makan malam bersama dengan keluarga Florence.
Edgar merasakan kehangatan saat dia bersama keluarga Florence dibanding dengan keluarganya sendiri. Itu karena keluarga Florence selalu penuh dengan canda tawa meskipun sedang makan.
Sebaliknya, di keluarganya selalu penuh dengan keheningan kecuali saat sang ayah yang memulai pembicaraan.
Meskipun begitu, sebenarnya William Dominic sangat menyayanginya. Hanya saja dengan sifatnya yang dingin dan juga kaku, beliau tidak bisa mengekspresikan kasih sayangnya dengan benar.
Setelah makan malam selesai, satu persatu orang mulai meninggalkan meja makan. Dimulai dari sang kepala keluarga, kemudian adik laki-laki Anna dan menyisakan tiga orang. Anna, Edgar, serta Olivia.
Sebelum pergi, Olivia menyerahkan kunci kamar tamu kepada Edgar.
“Nak Edgar boleh memakai kamar tamu untuk di tempati.” Olivia menunjuk ke arah kamar tamu yang tepat di samping kamar Anna.
Kini, tinggal mereka berdua saja yang tersisa. Anna dan Edgar.
Anna beberapa kali menatap Edgar dengan sudut matanya. Edgar tampak tenang.
Anna kemudian beranjak dari kursi hendak masuk ke kamar, akan tetapi Edgar membuntutinya dari belakang.
Anna mempercepat jalannya dan berhasil masuk lewat pintu yang dia buka. Namun, saat akan menutup pintunya kembali, ada sesuatu yang menghalangi.
Edgar menahan pintu kamar Anna dengan tangannya. Anna berusaha mendorong pintunya dan berakhir melukai tangan Edgar hingga Edgar meringis sakit.
Anna refleks membuka pintunya lebar-lebar setelah mendengar suara kesakitan Edgar.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Anna khawatir.
Ketika Anna sibuk mengkhawatirkan Edgar, itulah kesempatan Edgar memasuki kamar Anna. Edgar menutup pintu kamar Anna dan menguncinya dari dalam.
“Kenapa kau terus menghindariku?” desak Edgar yang mulai makin mendekati Anna.
Anna terus memundurkan dirinya saat Edgar mendekat. Selangkah demi selangkah dia terus mundur sampai punggungnya menyentuh tembok.
Anna menelan ludahnya saat tahu dia sudah terpojok. Edgar kemudian mengurung Anna dengan kedua tangannya yang dia tempelkan di tembok agar Anna tidak bisa kabur.
“Ka-kapan aku menghindarimu?” sanggah Anna.
“Seperti sekarang. Kau bahkan tidak berani menatap mataku langsung.”
Jantung Anna berdebar sangat kencang, wajahnya mulai memerah dan badannya mulai lemas.
“I-itu ka-karena-“ Anna berhenti sejenak sebelum mengatakan semua alasannya. “kau seperti akan membunuhku,” sambung Anna.
“Membunuhmu? Kapan aku begitu?” Edgar sedikit bingung dengan apa yang sedang Anna katakan.
Anna menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
“Maksudku, kau selalu membuatku berdebar tak karuan. Rasanya seperti jantungku akan lepas dari tempatnya.”
Edgar tertawa mendengar penuturan Anna.
Ternyata Anna tidak membencinya. Edgar sempat takut saat mengetahui Anna yang terus menghindarinya, sekarang perasaan Edgar sudah lega.
Mendengar Edgar tertawa, Anna meraih tangan Edgar yang sempat terjepit lalu meremasnya kencang.
"Akh!"
Suara tawa berganti dengan suara rintihan. Edgar menaruh tangannya yang tidak sakit di atas kepala Anna, lalu mengacak-acak rambut gadis itu.
“Jangan menghindariku lagi! Aku tidak suka!”
Tadi pagi, Edgar pamit untuk pulang sekaligus berterima kasih pada keluarga Florence karena mengizinkannya menginap tadi malam. Berkat itu, Edgar mengetahui alasan Anna yang terus menghindarinya, dan tentu saja sekarang dia tidak perlu khawatir dengan sikap Anna ke depannya, sebab dia sudah menyelesaikan masalahnya semalam. Anna mendengar kebisingan di luar rumah. Karena penasaran, dia melihat apa yang terjadi melalui jendela kamarnya. Ternyata ada penghuni baru yang pindah ke rumah di sebelahnya. Ketika Anna sibuk mengintip melalui jendela, seorang pria muda keluar dari rumah itu dan memergoki Anna, sontak membuat Anna menutup gordennya rapat-rapat. Ponselnya berdering. Anna mengambil ponselnya yang dia taruh di atas meja. Dia melihat nama yang tertera di layar ponselnya yang berdering. Grace. Dengan sentuhan ibu jarinya, Anna menggeser ikon telepon warna hijau untuk menjawab. “Halo, Anna? Apa kau masih marah?” tanya Grace melalui telepon. Anna hanya bergeming mendengar suara G
Ada orang yang mengatakan bahwa ucapan adalah do'a. Namun, yang terjadi pada Anna malah sebaliknya. Pagi ini ada seorang dosen baru yang datang menggantikan dosen yang sebelumnya di depak keluar dari kampus karena melecehkan seorang mahasiswa. Namun, dosen baru itu tak lain adalah pria yang merupakan tetangga baru Anna. Pria bel pintu. Itulah julukan yang Anna berikan pada pria itu. "Ada apa? Kau sejak tadi terus menatap dosen baru itu." Ucapan Grace memang benar, Anna terus menatap dosen baru itu dengan tatapan tajam. Kevin Rowman, nama dosen baru itu. "Aku hanya tidak menyukainya." Tidak ada kebohongan dalam ucapan Anna. Karena kemarin hari liburnya terganggu, Anna masih merasa kesal terhadap Kevin, orang yang merusak hari liburnya. "Ey, jangan begitu. Bagaimana kalau nanti kau menyukainya?" Konyol. Mana mungkin Anna menyukai Kevin. Lagi pula, Anna sudah memiliki calon suami. Itulah yang dipikirkan Anna, namun dia belum bisa memberitahu Grace. Bukannya Anna berniat mem
Sedikit bersandiwara, Anna mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Kevin. "Terima kasih karena telah banyak membantuku tempo hari, gadis tetangga." "Kau terus saja memanggil Anna dengan sebutan 'gadis tetangga'. Apa jangan-jangan kau pindah ke rumah di sebelahnya?" Pada akhirnya pertanyaan yang membuat Edgar bertanya-tanya pun keluar dari mulutnya. Pasalnya dia terus mendengar Kevin memanggil Anna dengan sebutan yang aneh. "Hm, aku pindah ke sana tempo hari." Kevin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada urusan mendadak." Tanpa sadar, Anna tersenyum tipis ketika Kevin pergi dari ruangan itu, meninggalkan Anna dan Edgar berdua di sana. Sebab, Anna tidak terlalu nyaman dengan keberadaan Kevin yang sangat mengganggu. Begitu sosok Kevin tidak terlihat, Anna dibuat terkejut oleh tangan besar Edgar yang telah memeluknya dari belakang. "Sebegitu senangnya 'kah melihat Kevin pergi?" Karena perbeda
"Anything for you, baby."Lagi. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya, Anna tidak mampu menahan senyumnya tatkala Edgar mengucap kata cinta.Ini pertama kali Anna jatuh cinta pada seorang pria. Sebelumnya dia belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta bahkan berpacaran.Meskipun Anna selalu ingin memiliki kekasih, namun dia tidak pandai bersosialisasi dengan lawan jenis. Begitu pula ketika dia pertama kali berkencan dengan Edgar, rasanya sangat canggung. Padahal mereka sudah lama mengenal meski sebatas dosen dan mahasiswa."Ah, nyaris saja lupa. Ayah mengundangmu makan malam di kediaman Dominic jam 07.00 malam. Aku akan menjemputmu setengah jam sebelum acara."Terakhir kali Anna bertemu William Dominic adalah saat menawarkan kesepakatan beberapa minggu lalu, setelah itu Anna belum pernah bertemu lagi dengan pria paruh baya itu."Apa ada yang ingin beliau bicarakan denganku?"Tentu saja karena
Kini, Anna tengah sibuk mengacak-acak semua pakaian yang ada di dalam lemari. Kaus, kemeja, dan piyama tidur. Tiga jenis pakaian itulah yang memenuhi lemarinya, sedangkan gaunnya hanya ada beberapa buah. Setelah menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk memilih, akhirnya Anna memilih gaun hitam selutut dengan renda di bawahnya, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak butuh waktu lama untuk mandi, Anna segera memakai gaun hitam yang dia pilih untuk pergi ke acara makan malam keluarga Dominic. Gaun hitam, sepatu hak tinggi, dan tas kecil hitam telah siap menemani Anna pergi. Dia berdiri di depan gerbang kediaman Florence, menunggu Edgar datang. Tin tin Suara klakson terdengar tak jauh dari tempat Anna berdiri. Mobil sport merah berhenti tepat di hadapan Anna yang sudah berpenampilan cantik. "Masuklah." Begitu Anna masuk dan duduk di kursi depan sebelah Edgar, sontak membuat Edgar memandangi penampilan Anna dari atas hingga bawah. Sementara Anna yang merasa
Hanya satu kata itu yang terucap dari mulut Anna. "Aku setuju! Bagaimanapun juga, aku sudah tidak sabar ingin menggendong cucu." Cucu? Anna hampir lupa kalau nanti menikah dengan Edgar dan ingin memiliki anak maka dia harus melewati malam intim dengan pria itu. "Tunggu sampai Anna lulus kuliah. Setelah itu kami akan menikah sesuai keinginan Ayah dan Ibu." "Tidak! Kami akan melaksanakan pernikahan seperti yang Tuan dan Nyonya rencanakan!" Sejujurnya Anna tidak tahu alasan Edgar ingin menunda pernikahan. Padahal Anna tidak keberatan meskipun akan menikah hari ini, besok, atau kapan pun itu. Lagi pula, Anna dan Edgar akan tetap menikah bagaimanapun caranya! Pertama, Anna menyukai Edgar. Kedua, pernikahan mereka adalah bagian dari kesepakatan di mana Anna harus menikah dengan Edgar agar utang Andrew dihapuskan. Jadi, Anna tidak keberatan jika pernikahannya dengan Edgar dipercepat. "Baguslah! Kalau begitu, kau harus mulai memanggil kami Ayah dan Ibu, Anna." William mengarahkan pan
Perasaan hangat menjalar hingga ke seluruh tubuh Anna, kala mendengar pernyataan Edgar yang terdengar sangat tulus. Jika Edgar meminta Anna untuk selalu berada di sampingnya maka dengan senang hati Anna akan melakukannya. Berada di samping pria yang dicintainya merupakan suatu kebahagiaan besar dalam hidup Anna. "Sssshh ...!" Dinginnya angin malam semakin menusuk kulit, Anna mengutuk dirinya yang memakai gaun pendek di atas lutut. Kaki jenjangnya gemetaran, bahkan mulutnya mengeluarkan asap tatkala dia sedang menghembuskan napas di malam yang dingin itu. "Berdirilah. Kita harus masuk ke dalam rumah karena cuaca di luar semakin dingin." Anna menerima uluran tangan Edgar yang membantunya berdiri. Karena udaranya terlalu dingin, Anna merasakan kakinya sedikit kram sehingga sakit ketika dipaksakan berdiri. "Akh!" Belum sempat berdiri tegak, Anna kembali pada posisi duduknya karena tak kuasa menahan kakinya yang kram dan kebas. "Aku tidak akan mengizinkanmu keluar dengan gaun p
Bertepatan dengan selesainya pembicaraan antara Anna dan Kevin, Edgar datang dengan membawa nampan berisi dua gelas coklat panas dan selimut tebal yang dililitkan di lehernya. "Kau sudah selesai?" Anna tersenyum lembut ketika melihat Edgar berjalan menghampirinya dan memakaikan selimut untuk menutupi bagian pinggang hingga ujung kaki Anna yang sempat kram dan kebas. "Untukmu. Minumlah agar tubuhmu terasa lebih hangat." "Kau tidak membuatkannya untukku?" Baik Anna maupun Edgar, mereka sama-sama menolehkan kepalanya ke arah Kevin yang menginterupsi kemesraan mereka. "Tangan dan kakimu baik-baik saja, jadi buatlah sendiri!" "Cih. Kau hanya baik pada seorang wanita. Kalau begitu aku akan membuatnya sendiri!" Melihat perseteruan antara Edgar dengan Kevin, sontak membuat Anna menggelengkan kepala. Mereka beradu mulut hanya karena hal sepele. Sungguh kekanak-kanakan! Setelah Kevin beranjak dari sofa, Anna menarik tangan Edgar agar duduk di sampingnya. Kepalanya sengaja dia sandar