Anna memandang aneh gaun yang ada hadapannya. Hari ini dia memang akan melakukan kencan pertama dengan pria misterius yang akan menikah dengannya. Tapi ayolah, memang seberapa pentingnya hari ini hingga keluarga Dominic mengirimkan sebuah gaun yang harus Anna pakai khusus hari ini?
Dikatakan bahwa gaun ini merupakan pasangan dari setelan tuksedo yang akan dipakai Tuan Muda Dominic.
Sejujurnya Anna sangat takut menerima kenyataan yang belum tentu manis atau pahit itu. Pasalnya, saat Anna mencari tahu tentang putra tertua keluarga Dominic di internet, artikelnya sama sekali tidak muncul, bahkan satu foto pun tidak ada!
Bagaimana mungkin putra keluarga tersohor tidak ada di internet? Apakah dugaan Anna benar tentang wajahnya yang buruk rupa itu hingga wajahnya tidak ingin diperlihatkan? Oh astaga, semoga saja bukan seperti yang Anna pikirkan.
Anna melihat pantulan dirinya pada cermin besar di kamar. Tangannya menepuk kedua pipi yang memakai riasan tipis, lalu menyemangati dirinya agar tetap tenang dalam situasi apa pun.
“Ayo, Anna, saatnya pergi bertempur!” Anna mengeratkan pegangannya pada tas yang dia jinjing.
Sekarang Anna berdiri tepat di depan restoran mewah yang hanya bisa dimasuki konglomerat. Anna sempat ragu, namun memantapkan dirinya agar tetap maju. Dia melangkah dengan takut dan nyaris terjatuh karena sepatu hak tingginya menginjak kerikil.
'Ck, sial!' batin Anna mengumpat.
“Permisi, saya datang untuk bertemu Tuan Muda Dominic," ucap Anna kepada pelayan yang berada di dekatnya.
“Apakah Anda, Nona Florence? Saya akan mengantar Anda.”
Sang pelayan mengantar Anna menghampiri meja tepat di sudut restoran dekat dengan jendela. Anna melihat pria itu dari belakang, dia memakai tuksedo berwarna sama dengan gaunnya.
Sebelum Anna duduk, dia menelan ludah dan merapikan kembali gaunnya takut-takut gaun itu kusut.
“Maaf, saya terlambat Tuan Muda Dom--Profesor?!" Anna terbelalak kaget saat dia mendongakkan wajahnya.
“Duduklah. Mengapa kau terkejut begitu?” Edgar tersenyum ramah menyambut Anna.
Anna masih belum bisa berpikir jernih tentang keadaannya saat ini. Apa maksudnya ini?! Jadi, pria yang harus dia nikahi adalah profesornya sendiri?
Tunggu! Anna baru ingat sekarang, profesornya memiliki marga Dominic. Pantas saja terasa tidak asing!
Anna kemudian teringat dengan ucapannya saat dia mengatakan kemungkinan bahwa Tuan Muda Dominic yang akan dia nikahi berengsek, buruk rupa dan semacamnya kepada sang profesor. Ternyata pria yang Anna bicarakan adalah profesornya sendiri.
“Anna, apa kau sakit?” Edgar bertanya setelah melihat wajah Anna yang terlihat sedikit pucat.
“Tidak. Saya tidak apa-apa, Prof-“
“Edgar. Jangan panggil aku dengan sebutan Profesor selain di kampus,” potong Edgar.
Belum sempat Anna berbicara, Edgar kembali berucap sambil menyeringai.
“Tenang saja, aku bukan pria berengsek atau buruk rupa seperti yang kau pikirkan."
“Ka-kapan saya mengatakan i-itu?” Anna merasa malu dan mengutuk dirinya sendiri.
Edgar terkekeh geli. Ternyata gadis di hadapannya itu sangat mudah digoda.
Wajah Anna yang tadinya pucat berubah menjadi merah karena menahan malu setelah Edgar menggodanya sedikit. Edgar ingin sekali menyentuh pipinya yang merona itu.
“Haruskan kita jalan-jalan? Duduk terlalu lama di sini cukup membosankan,” kata Edgar. Edgar berdiri dan meraih tangan Anna. “Satu hal lagi, tolong jangan berbicara formal padaku.”
Mereka meninggalkan restoran itu dan berjalan berdua menyusuri kota sekitar.
Anna merasa sangat gugup. Bagaimanapun juga, pria di sampingnya adalah dosen di kampus tempatnya berkuliah. Meskipun sekarang mereka sedang berkencan untuk mengenal satu sama lain lebih dalam, tetap saja terasa aneh bagi Anna.
Setelah berjalan cukup jauh, mereka sampai di tempat yang selalu ramai dengan orang-orang yang menghabiskan waktu libur mereka dengan keluarga, taman bermain.
Banyak sekali kerumunan orang di setiap sudut taman bermain, terutama anak-anak yang didampingi oleh orang tuanya. Banyak juga para pasangan muda di sana yang sedang kencan di akhir pekan.
Anna melihat sekelilingnya yang begitu ramai, lalu matanya tertuju pada salah satu wahana di sana. Bianglala. Dia ingin sekali menaiki bianglala. Anna sontak menarik tangan Edgar dan mengajaknya untuk membeli tiket dan mengantre.
“Ma-maaf,” ucap Anna sambil melepasnya tangan Edgar.
Rasanya sangat canggung, bahkan saat sudah menaiki bianglala pun mereka hanya diam saja. Edgar menatap Anna yang sedari tersenyum sambil menengok ke arah jendela bianglala.
“Apa yang membuatmu tersenyum seperti itu?” tanya Edgar, memecah keheningan di antara mereka.
“Ah, itu karena saat menaiki bianglala, saya—eh aku bisa melihat semua orang di bawah sana dan itu membuatku senang.”
Edgar tidak mengerti apa yang Anna katakan. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut.
Sayang sekali giliran mereka sudah habis, Anna sedikit kecewa saat dia turun dari wahana itu. Namun, Edgar menyadari perubahan ekspresi Anna sontak mencoba menghiburnya. “Kau mau es krim?”
Setelah Anna mengangguk, Edgar pergi ke tempat penjual es krim.
Bodohnya Edgar, dia lupa bertanya kepada Anna rasa es krim yang gadis itu sukai. Jadi, Edgar membeli es krim rasa cokelat setelah dia melihat gadis yang di sampingnya membeli es krim juga.
Edgar kembali dengan dua buah es krim di tangannya. Dia kemudian memberikan yang rasa cokelat pada Anna dan rasa vanila untuknya.
Mereka menikmati es krim masing-masing di bangku taman yang berada di dekat mereka. Tanpa Anna sadari, Edgar terus menatapnya dalam diam.
Melihat lelehan es krim yang tersisa di sudut bibir Anna, perlahan tangan Edgar meraih wajah mungil gadis itu, sedangkan ibu jarinya menyeka lelehan es krim yang menempel di sudut bibirnya.
CUP
Edgar mencium bibir Anna dengan lembut dan hati-hati karena takut akan penolakan. Namun, tampaknya Anna menerima sentuhan bibirnya bahkan membalas ciuman Edgar. Memperdalam ciumannya, perlahan Edgar mendorong kepala Anna agar lebih dekat dengan dirinya dan sesekali menggigit bibir gadis itu. Anna merasa sesak. Dia kehabisan napas karena pria itu terus menciumnya. Anna mendorong dada Edgar agar melepaskannya dan memberinya waktu untuk menghirup udara. Namun, lagi-lagi pria itu menarik dirinya dan mempertemukan bibir mereka kembali. “Mmmmmhhh.” Anna mulai memberontak, dia sungguh-sungguh kehabisan napas. Anna menggigit bibir Edgar hingga pria itu meringis kesakitan dan mengakhiri pagutan bibir mereka. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Anna menenggelamkan wajah memerahnya pada dada bidang Edgar sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Bisa-bisanya pria itu menciumnya di tempat ramai. Anna sangat malu, akan tetapi dia juga menikmatinya. Apalagi itu adalah ciuman pertama bersa
Seminggu berlalu setelah kejadian di taman bermain. Di saat itu pula Anna mulai menghindari Edgar.Ketika mereka tidak sengaja berpapasan di kampus, Anna langsung memutar balik arah jalannya agar pandangan mereka tidak bertemu.Begitu pula saat di tengah pelajaran. Tatkala Edgar menjelaskan semua materi yang dia ajarkan, Anna selalu menundukkan kepalanya. Jika Edgar memberi pertanyaan pun, Anna menjawab seraya menatap sepatunya bukan matanya.Anna melakukan itu karena dia memiliki alasan tersendiri. Anna tidak bisa mengontrol debaran jantungnya saat melihat sosok Edgar. Selalu seperti itu. Rasanya seperti jantungnya akan melompat ke luar, lalu Anna akan mati.“Apa kau ada acara setelah ini?” tanya Grace yang sedang mengoleskan lipstik merah ke bibirnya melalui pantulan cermin toilet.“Tidak. Kenapa kau bertanya?” timpal Anna yang sibuk memainkan ponselnya.“Kalau begitu, temani aku makan dessert di k
Anna langsung membuang wajahnya saat tak sengaja beradu pandang dengan Edgar dan bergegas masuk ke kamarnya.“Ah, sayang sekali. Anna berkata dia ingin beristirahat. Maaf, Nak Edgar."Edgar hanya membalas ucapan Olivia dengan senyuman, lalu tatapannya beralih pada pintu kamar Anna yang tertutup.Edgar ingin tahu alasan Anna terus menghindarinya. Maka dari itu, dia mendatangi kediaman Anna sekaligus mengakrabkan diri dengan keluarga gadis itu.Sementara itu, Anna masih mengurung diri di kamar. Sejak tadi dia masih mendengar obrolan keluarganya dengan Edgar. Hari sudah mulai malam, tetapi Edgar masih belum pergi dari rumahnya.“Argh! Kenapa dia belum pergi juga? Ini 'kan sudah waktunya jam makan malam. Aku lapar!” Anna memegang perutnya yang lapar karena belum makan apa pun dari siang.Tunggu! Sepertinya Anna mendengar ibunya mengatakan sesuatu pada Edgar.Anna merapatkan daun telinganya pada pintu kamarnya. Meng
Tadi pagi, Edgar pamit untuk pulang sekaligus berterima kasih pada keluarga Florence karena mengizinkannya menginap tadi malam. Berkat itu, Edgar mengetahui alasan Anna yang terus menghindarinya, dan tentu saja sekarang dia tidak perlu khawatir dengan sikap Anna ke depannya, sebab dia sudah menyelesaikan masalahnya semalam. Anna mendengar kebisingan di luar rumah. Karena penasaran, dia melihat apa yang terjadi melalui jendela kamarnya. Ternyata ada penghuni baru yang pindah ke rumah di sebelahnya. Ketika Anna sibuk mengintip melalui jendela, seorang pria muda keluar dari rumah itu dan memergoki Anna, sontak membuat Anna menutup gordennya rapat-rapat. Ponselnya berdering. Anna mengambil ponselnya yang dia taruh di atas meja. Dia melihat nama yang tertera di layar ponselnya yang berdering. Grace. Dengan sentuhan ibu jarinya, Anna menggeser ikon telepon warna hijau untuk menjawab. “Halo, Anna? Apa kau masih marah?” tanya Grace melalui telepon. Anna hanya bergeming mendengar suara G
Ada orang yang mengatakan bahwa ucapan adalah do'a. Namun, yang terjadi pada Anna malah sebaliknya. Pagi ini ada seorang dosen baru yang datang menggantikan dosen yang sebelumnya di depak keluar dari kampus karena melecehkan seorang mahasiswa. Namun, dosen baru itu tak lain adalah pria yang merupakan tetangga baru Anna. Pria bel pintu. Itulah julukan yang Anna berikan pada pria itu. "Ada apa? Kau sejak tadi terus menatap dosen baru itu." Ucapan Grace memang benar, Anna terus menatap dosen baru itu dengan tatapan tajam. Kevin Rowman, nama dosen baru itu. "Aku hanya tidak menyukainya." Tidak ada kebohongan dalam ucapan Anna. Karena kemarin hari liburnya terganggu, Anna masih merasa kesal terhadap Kevin, orang yang merusak hari liburnya. "Ey, jangan begitu. Bagaimana kalau nanti kau menyukainya?" Konyol. Mana mungkin Anna menyukai Kevin. Lagi pula, Anna sudah memiliki calon suami. Itulah yang dipikirkan Anna, namun dia belum bisa memberitahu Grace. Bukannya Anna berniat mem
Sedikit bersandiwara, Anna mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Kevin. "Terima kasih karena telah banyak membantuku tempo hari, gadis tetangga." "Kau terus saja memanggil Anna dengan sebutan 'gadis tetangga'. Apa jangan-jangan kau pindah ke rumah di sebelahnya?" Pada akhirnya pertanyaan yang membuat Edgar bertanya-tanya pun keluar dari mulutnya. Pasalnya dia terus mendengar Kevin memanggil Anna dengan sebutan yang aneh. "Hm, aku pindah ke sana tempo hari." Kevin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada urusan mendadak." Tanpa sadar, Anna tersenyum tipis ketika Kevin pergi dari ruangan itu, meninggalkan Anna dan Edgar berdua di sana. Sebab, Anna tidak terlalu nyaman dengan keberadaan Kevin yang sangat mengganggu. Begitu sosok Kevin tidak terlihat, Anna dibuat terkejut oleh tangan besar Edgar yang telah memeluknya dari belakang. "Sebegitu senangnya 'kah melihat Kevin pergi?" Karena perbeda
"Anything for you, baby."Lagi. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya, Anna tidak mampu menahan senyumnya tatkala Edgar mengucap kata cinta.Ini pertama kali Anna jatuh cinta pada seorang pria. Sebelumnya dia belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta bahkan berpacaran.Meskipun Anna selalu ingin memiliki kekasih, namun dia tidak pandai bersosialisasi dengan lawan jenis. Begitu pula ketika dia pertama kali berkencan dengan Edgar, rasanya sangat canggung. Padahal mereka sudah lama mengenal meski sebatas dosen dan mahasiswa."Ah, nyaris saja lupa. Ayah mengundangmu makan malam di kediaman Dominic jam 07.00 malam. Aku akan menjemputmu setengah jam sebelum acara."Terakhir kali Anna bertemu William Dominic adalah saat menawarkan kesepakatan beberapa minggu lalu, setelah itu Anna belum pernah bertemu lagi dengan pria paruh baya itu."Apa ada yang ingin beliau bicarakan denganku?"Tentu saja karena
Kini, Anna tengah sibuk mengacak-acak semua pakaian yang ada di dalam lemari. Kaus, kemeja, dan piyama tidur. Tiga jenis pakaian itulah yang memenuhi lemarinya, sedangkan gaunnya hanya ada beberapa buah. Setelah menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk memilih, akhirnya Anna memilih gaun hitam selutut dengan renda di bawahnya, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak butuh waktu lama untuk mandi, Anna segera memakai gaun hitam yang dia pilih untuk pergi ke acara makan malam keluarga Dominic. Gaun hitam, sepatu hak tinggi, dan tas kecil hitam telah siap menemani Anna pergi. Dia berdiri di depan gerbang kediaman Florence, menunggu Edgar datang. Tin tin Suara klakson terdengar tak jauh dari tempat Anna berdiri. Mobil sport merah berhenti tepat di hadapan Anna yang sudah berpenampilan cantik. "Masuklah." Begitu Anna masuk dan duduk di kursi depan sebelah Edgar, sontak membuat Edgar memandangi penampilan Anna dari atas hingga bawah. Sementara Anna yang merasa
Setelah Grace mengaku pada Anna pada hari itu, Anna memutuskan kontak dengan Grace dan tidak ingin menemuinya lagi. Grace memang teman baiknya, namun Grace sudah mengkhianati Anna dan sudah menyebabkan Anna keguguran secara tidak langsung. Sekarang Anna tengah berlatih berjalan dengan bantuan Edgar. Sudah hampir dua minggu dia melakukannya dan dia sudah bisa berdiri sendiri serta berjalan tiga hingga lima langkah. "Sudah cukup untuk hari ini. Kau melakukannya dengan baik," ucap Edgar seraya mengelus kepala Anna. Satu hari setelah keguguran, Edgar memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus. Dia sudah bukan seorang dosen lagi. Sekarang dia memilih fokus dari jabatannya sebagai direktur dan merawat Anna sendiri di rumah. Ya, lagi pula, pekerjaannya sebagai direktur bisa dikerjakan di rumah dan tanpa harus pergi ke perusahaan. Edgar menggendong Anna dan mendudukannya kembali di kursi roda. "Aku ingin ke kamar," ucap Anna. "Baiklah, Istriku." Sejurus kemudian Edgar mendoron
Dua minggu telah berlalu ... Wendy yang menyebabkan Anna keguguran dihukum skors selama tiga bulan. Meskipun Edgar belum puas dengan hukuman itu, namun dia tidak bisa menambah hukumannya lagi karena tidak memiliki wewenang di kampus. Anna sudah keluar dari rumah sakit. Namun, dia belum berbicara sedikit pun bak orang yang bisu. Anna pun kehilangan cara berjalannya. Dokter mengatakan jika Anna mengalami hal itu karena terlalu syok dan stress berat. Setiap malam setelah Anna tidur, Edgar minum alkohol hingga mabuk di dapurnya sendirian. Dia menangis tatkala melihat Anna yang seperti boneka hidup. Tak mengatakan apa pun dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan suatu alat. Sekarang, Edgar sedang bersama Anna di taman. Dia membawa Anna jalan-jalan menggunakan kursi roda untuk menghirup udara segar. "Anna, bukankah bunganya sangat cantik? Jika aku memetiknya, apa kau mau menerimanya?" ucap Edgar. Anna bergeming. Dia diam saja karena memang tidak ingin mengatakan apa pun. Namun, dalam hat
Selang beberapa waktu, ambulans datang dan membawa Anna ke rumah sakit terdekat. Edgar dan Kevin ikut menemani, tetapi tidak dengan Grace. Padahal Grace adalah teman baik Anna. Anna dilarikan ke ICU karena sedang dalam keadaan darurat. Sudah lama sejak dokter memeriksanya, namun belum ada tanda-tanda dokter yang akan keluar dari ruangan. Setelah menunggu beberapa menit kemudian, akhirnya sang dokter muncul dengan raut wajah yang kurang baik. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Edgar segera. "Istri Anda baik-baik saja, namun bayi dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan karena benturan yang cukup keras hingga menyebabkan pendarahan.""Maksud Dokter, istri saya keguguran?" Edgar memastikan perkataan sang dokter. "Benar. Saat saya memeriksanya pun, bayi dalam kandungannya sudah sangat lemah."Edgar kehilangan kata-kata, begitu juga dengan Kevin. Mereka syok mendengar berita buruk ini, namun Anna pasti lebih syok dan sedih mendengarnya. "Dok, saya ingin menemui istri saya,"
Di forum kampus, ada seseorang tanpa nama yang membongkar rahasia Wendy. Karena hal itu, Wendy menjadi ramai dibicarakan. Tatapan-tatapan intimidasi pun diberikan kepada Wendy setiap kali dia berjalan. Wendy, membuka forum kampus dan membaca postingan tersebut. Judulnya 'Kebohongan Besar Wendy'. Di sana tertulis, 'Wendy hanya orang miskin yang berpura-pura kaya di depan teman-temannya. Dia memakai barang mahal dari hasil meminta paksa kepada ayahnya yang hanya pekerja kantoran. Bahkan, ayahnya sudah dipecat karena perilaku kasarnya terhadap seseorang.'Setelah membaca semuanya, rahang Wendy mengeras dan tangannya mengepal. Dia tahu siapa pelaku yang menyebar rahasianya. Siapa lagi kalau bukan Anna! Dengan hati yang penuh amarah, Wendy sontak mencari keberadaan Anna. Dia tak menyangka jika Anna akan mengkhianatinya seperti itu. Padahal Anna berjanji akan menjaga rahasianya jika dia menuruti semua perintahnya. "Awas kau, ya! Jika aku hancur, kau pun harus hancur, Anna!" geram Wendy.
Keesokan harinya, Anna menunggu kedatangan Grace di gerbang kampus. Sudah hampir 15 menit dia menunggu, namun Grace belum menampakkan dirinya sama sekali. Ketika Anna sudah bosan menunggu dan hendak pergi, Grace tiba-tiba turun dari taksi langganannya dengan wajah yang tidak bersemangat. Meskipun begitu, Anna tetap menyapanya dengan riang dan berharap jika temannya itu kembali bersemangat. "Grace!" panggil Anna sembari melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Grace sempat melihat Anna dalam sepersekian detik, namun segera memalingkan wajah. 'Apa dia tidak melihatku, ya? Mungkin aku harus memanggilnya lagi!' pikir Anna kemudian. "Grace! Aku di sini!" panggil Anna lagi dengan suara tak kalah kencang. Nihil. Grace sama sekali tidak menjawab panggilan Anna seperti biasanya.Saat Grace berjalan melewati Anna, dia tiba-tiba berhenti sejenak dan berbisik, "Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendirian hari ini."Setelah mengatakan itu, Grace pun melanjutkan jalannya tanpa menoleh sedikit pun ke
Di kamarnya, Anna tengah duduk di atas ranjang sembari menatap ponsel yang ada di depannya. Lebih dari 30 menit dia diam seperti itu. Dia ingin menelpon Grace, namun ragu hingga membuatnya berpikir lama. Grace bukan tipikal orang yang memikirkan pelajaran. Jika dia murung maka permasalahannya ada pada kencan yang dia lakukan dengan Kevin. Namun, apa permasalahannya? "Apa kau akan terus seperti itu?" seru Edgar tiba-tiba. Dia risih melihat istrinya yang diam seperti patung selama bermenit-menit. "Apa menurutmu aku harus menelponnya?" Betapa rumitnya seorang wanita. Para pria tidak pernah memikirkan permasalahan orang lain, jadi Edgar bingung harus menjawab apa. "Lakukanlah seperti yang ingin kau lakukan. Tapi menurutku, lebih baik jika kau membiarkan Grace sendiri. Lagi pula, dia pasti akan menelponmu jika ingin bercerita." "Kau benar. Lebih baik aku tidak menelponnya," lirih Anna. Namun, tampaknya pikirannya berubah dalam seketika. "Tapi, aku harus menelponnya!" Anna meraih
Edgar tampak gelisah saat sedang menyetir. Bukannya dia tidak ingin mencegah Anna pergi tadi, namun karena dia pun harus mendinginkan kepalanya dulu agar tidak meledak-ledak. Biasanya jika Anna marah, dia akan pergi ke rumah orang tuanya atau rumah Grace. Berhubung Grace masih belum pulang kuliah, jadi Anna pasti asa di rumah orang tuanya. Menekan bel, Edgar sontak masuk ke dalam rumah orang tua Anna setelah dibukakan pintu. "Anna ... apa dia ada di sini?" ucap Edgar sedikit gusar. Tidak sopan memang jika dia tiba-tiba menanyakan keberadaan istrinya hingga tidak menyapa kedua mertuanya terlebih dahulu. Ya, lagi pula, dia sedang panik sekarang. "Anna sudah pergi sejak 30 menit yang lalu. Apa Nak Edgar tidak berpapasan dengannya di jalan?" lirih Olivia. Shit! Tampaknya Edgar terlambat. Kalau sudah seperti ini, tentu saja dia harus pulang ke apartemennya lagi. Dia takut jika Anna mencari keberadaannya. Tanpa pamit, Edgar pun segera melesat dengan mobilnya menuju arah pulang. Dia m
"Loh? Tumben kamu ke sini, Nak," ucap Olivia saat melihat Anna sudah ada di depan rumah. Kepalanya menoleh ke belakang Anna seperti mencari sesuatu. Olivia sendiri sedang merawat kebun kecilnya yang ada di halaman depan, dia tak menyangka jika putrinya akan datang secara tiba-tiba. "Kamu datang sendiri? Ke mana suamimu?" sambung Olivia. Dia tidak melihat Edgar, melainkan seekor anj*ng yang dibawa Anna. Helaan napas pun keluar dari mulut Anna. Dia sedang tidak ingin membicarakan Edgar, emosinya masih belum reda. "Jangan membicarakan dia, Bu. Aku sedang emosional hari ini," ungkap Anna. Untuk seorang wanita yang pernah mengandung bayi, tentu saja Olivia paham dengan situasi Anna. Ibu hamil memang selalu emosional dan perasaannya sensitif. Ya, mungkin saja Anna sedang mengalami hal itu. Ah, Olivia merasa kasihan kepada Edgar karena menjadi korban emosional Anna. "Anna, ayo masuk ke dalam. Kebetulan Ibu masak banyak hari ini, mungkin karena Ibu punya firasat kalau kau akan datang k
Mendengar teriakan Anna yang mengeluarkan kata kasar, Edgar sontak terbangun dari tidurnya. Dia juga terkejut karena mobilnya tiba-tiba direm secara mendadak oleh Anna. "Ada apa? Aku baru saja mendengarmu mengumpat," tanya Edgar yang kebingungan. Anna menghela napas panjang. "Itu, ada anj*ing yang berhenti di tengah jalan saat aku menyetir. Untung saja tidak tertabrak."Meskipun Anna yakin kalau dia tidak menabrak seekor anj*ng, namun dia tetap jarus memastikannya dengan mata kepalanya sendiri. Anna keluar dari mobil dan berjalan ke arah depan. Dia melihat seekor anak anj*ng berbulu putih tengah duduk di depan mobilnya. "Sepertinya anj*ing ini lepas dari pemiliknya," ucap Anna setelah menggendong anak anj*ng tersebut dan melihat kalung yang terpasang di lehernya. "Apa kau mau membawanya pulang?" tanya Edgar yang baru turun dari mobil. "Hn, aku akan membawa pulang."Lagi pula, Anna merasa kasihan jika anak anj*ng itu ditinggal begitu saja di jalanan. Untuk sementara waktu, Anna a