'Mati aku! Pasti Profesor akan murka dan menelanku hidup-hidup karena berani mengabaikan pelajarannya!' batin Anna.
Ucapan Edgar membuat Anna resah. Anna memegang tangan Grace untuk meminta bantuan, akan tetapi Grace hanya mengangkat bahunya seolah tak peduli.
Sepertinya Anna terkena sebuah kutukan, sejak kemarin kesialan selalu menimpanya. Kemarin pernikahan, lalu sekarang dia harus berhadapan dengan Edgar yang terkenal dingin dan mengintimidasi.
Sendirian di ruang kelas, Anna masih bergelut dengan pikirannya sambil memangku wajah dengan kedua tangan.
'Apa aku kabur saja, ya? Tapi, besok kami pasti akan bertemu lagi. Argh! Menjengkelkan!'
Pikiran itu sempat terlintas di kepala Anna. Apalagi jam kuliah telah berakhir lima menit yang lalu, di mana dia harus berhadapan dengan Edgar dan bersiap untuk menerima hukuman.
Sebelum pergi ke ruangan Edgar, Anna membuang napas panjang sambil memejamkan mata. Langkahnya yang berat pun pada akhirnya membawanya pada sebuah ruangan dengan pintu berwarna putih bertuliskan "Profesor Edgar Dominic".
Dominic? Nama yang terdengar tidak asing di telinga Anna, namun dia tidak mengingat kapan dan di mana dia pernah mendengarnya.
“Permisi ... Profesor Edgar.” Anna membuka pintu ruangan itu dengan hati-hati.
Terlihat Edgar sedang memainkan laptopnya dengan serius. Namun, begitu dia tahu bahwa Anna berada di ambang pintu, segera dia menutup laptopnya.
Edgar mempersilahkan Anna masuk dan duduk di sofa yang tersedia, kemudian pria itu menyeduh dua kopi instan untuknya dan Anna.
"Minumlah.”
Sejujurnya, Anna tidak terlalu menyukai kopi. Namun, karena Anna merasa tidak enak hati jika menolak pemberian Edgar yang notabene-nya seorang profesor, jadi dia menerimanya dengan sangat terpaksa.
“Terima kasih,” balas Anna seraya menerima kopi itu sambil tersenyum lembut.
“Apa kau ada masalah? Kulihat kau tidak fokus saat pelajaran."
Anna terdiam cukup lama. Dia ragu, apakah dia harus menceritakan masalahnya kepada pria di hadapannya? Pasti akan sangat memalukan apabila dia menceritakan masalahnya pada orang lain.
“Tidak usah diceritakan jika kau tidak menginginkannya. Lagi pula, aku tidak akan memaksa,” lanjut Edgar menambahkan.
“Sebenarnya ....”
Anna ingin sekali berbagi cerita, akan tetapi dia sedikit ragu.
"Mmm ... a-anu saya ... ada sesuatu yang terjadi kepada ayah saya, lalu entah bagaimana menjelaskannya saya harus menikah dengan orang yang tidak saya kenal. Jadi, saya merasa sedikit tertekan dan juga takut."
Anna menghela napas panjang setelah dia menceritakan masalahnya. Dia menundukkan kepala dan terus menatap kopi instan yang dia genggam tanpa meminumnya.
Sementara itu, Edgar hanya tersenyum saat mendengar cerita Anna, pasalnya dia sangat paham inti permasalahannya. Tentu saja karena itu menyangkut dirinya juga.
“Jadi, kau tidak ingin menikah dengan pria itu?” tanya Edgar tiba-tiba setelah menyeruput kopi dalam genggaman tangannya.
“Maksud saya, bagaimana jika pria itu berengsek atau buruk rupa?”
Anna tanpa sadar menyerukan pikirannya sambil memukul meja, kemudian dia meminta maaf.
Edgar tersentak ketika meja di depannya dipukul begitu saja oleh Anna. Ternyata badannya saja yang kecil, akan tetapi tenaganya cukup besar.
“Aku paham. Tapi lain kali apa pun masalahmu jangan sampai kau melamun saat pelajaran! Kau boleh pergi.”
Begitu saja? Anna mengira dia akan dimarahi habis-habisan karena mengabaikan pelajaran. Ternyata profesornya hanya ingin tahu alasan Anna tidak fokus. Sia-sia saja tadi dia sempat takut menghadap ruangannya.
"Anu ... apa saya benar-benar boleh pergi?"
Meskipun Anna mendengar jelas perkataan Edgar, namun dia ingin memastikan kembali pendengarannya.
"Hm, aku sudah selesai denganmu. Apa kau tidak ingin segera pulang?"
Tentu saja Anna ingin segera pulang dan bermalas-malasan, namun dia tidak percaya karena Edgar melepasnya begitu saja.
Pergi dari ruangan Edgar, Anna tidak menyadari bahwa pria itu tengah melihatnya melalu kaca jendela dengan melipat kedua tangannya di depan dada.
Edgar bahkan tersenyum saat melihat Anna tak sengaja menendang batu tepat di kepala sekuriti dan dia berpura-pura tidak tahu, lalu lari begitu saja.
“Gadis aneh,” gumam Edgar sambil tersenyum menghiasi wajah tampannya, "Ayah benar, sepertinya aku akan menyukainya.”
Anna memandang aneh gaun yang ada hadapannya. Hari ini dia memang akan melakukan kencan pertama dengan pria misterius yang akan menikah dengannya. Tapi ayolah, memang seberapa pentingnya hari ini hingga keluarga Dominic mengirimkan sebuah gaun yang harus Anna pakai khusus hari ini? Dikatakan bahwa gaun ini merupakan pasangan dari setelan tuksedo yang akan dipakai Tuan Muda Dominic. Sejujurnya Anna sangat takut menerima kenyataan yang belum tentu manis atau pahit itu. Pasalnya, saat Anna mencari tahu tentang putra tertua keluarga Dominic di internet, artikelnya sama sekali tidak muncul, bahkan satu foto pun tidak ada! Bagaimana mungkin putra keluarga tersohor tidak ada di internet? Apakah dugaan Anna benar tentang wajahnya yang buruk rupa itu hingga wajahnya tidak ingin diperlihatkan? Oh astaga, semoga saja bukan seperti yang Anna pikirkan. Anna melihat pantulan dirinya pada cermin besar di kamar. Tangannya menepuk kedua pipi yang memakai riasan tipis, lalu menyemangati dirinya aga
Edgar mencium bibir Anna dengan lembut dan hati-hati karena takut akan penolakan. Namun, tampaknya Anna menerima sentuhan bibirnya bahkan membalas ciuman Edgar. Memperdalam ciumannya, perlahan Edgar mendorong kepala Anna agar lebih dekat dengan dirinya dan sesekali menggigit bibir gadis itu. Anna merasa sesak. Dia kehabisan napas karena pria itu terus menciumnya. Anna mendorong dada Edgar agar melepaskannya dan memberinya waktu untuk menghirup udara. Namun, lagi-lagi pria itu menarik dirinya dan mempertemukan bibir mereka kembali. “Mmmmmhhh.” Anna mulai memberontak, dia sungguh-sungguh kehabisan napas. Anna menggigit bibir Edgar hingga pria itu meringis kesakitan dan mengakhiri pagutan bibir mereka. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Anna menenggelamkan wajah memerahnya pada dada bidang Edgar sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Bisa-bisanya pria itu menciumnya di tempat ramai. Anna sangat malu, akan tetapi dia juga menikmatinya. Apalagi itu adalah ciuman pertama bersa
Seminggu berlalu setelah kejadian di taman bermain. Di saat itu pula Anna mulai menghindari Edgar.Ketika mereka tidak sengaja berpapasan di kampus, Anna langsung memutar balik arah jalannya agar pandangan mereka tidak bertemu.Begitu pula saat di tengah pelajaran. Tatkala Edgar menjelaskan semua materi yang dia ajarkan, Anna selalu menundukkan kepalanya. Jika Edgar memberi pertanyaan pun, Anna menjawab seraya menatap sepatunya bukan matanya.Anna melakukan itu karena dia memiliki alasan tersendiri. Anna tidak bisa mengontrol debaran jantungnya saat melihat sosok Edgar. Selalu seperti itu. Rasanya seperti jantungnya akan melompat ke luar, lalu Anna akan mati.“Apa kau ada acara setelah ini?” tanya Grace yang sedang mengoleskan lipstik merah ke bibirnya melalui pantulan cermin toilet.“Tidak. Kenapa kau bertanya?” timpal Anna yang sibuk memainkan ponselnya.“Kalau begitu, temani aku makan dessert di k
Anna langsung membuang wajahnya saat tak sengaja beradu pandang dengan Edgar dan bergegas masuk ke kamarnya.“Ah, sayang sekali. Anna berkata dia ingin beristirahat. Maaf, Nak Edgar."Edgar hanya membalas ucapan Olivia dengan senyuman, lalu tatapannya beralih pada pintu kamar Anna yang tertutup.Edgar ingin tahu alasan Anna terus menghindarinya. Maka dari itu, dia mendatangi kediaman Anna sekaligus mengakrabkan diri dengan keluarga gadis itu.Sementara itu, Anna masih mengurung diri di kamar. Sejak tadi dia masih mendengar obrolan keluarganya dengan Edgar. Hari sudah mulai malam, tetapi Edgar masih belum pergi dari rumahnya.“Argh! Kenapa dia belum pergi juga? Ini 'kan sudah waktunya jam makan malam. Aku lapar!” Anna memegang perutnya yang lapar karena belum makan apa pun dari siang.Tunggu! Sepertinya Anna mendengar ibunya mengatakan sesuatu pada Edgar.Anna merapatkan daun telinganya pada pintu kamarnya. Meng
Tadi pagi, Edgar pamit untuk pulang sekaligus berterima kasih pada keluarga Florence karena mengizinkannya menginap tadi malam. Berkat itu, Edgar mengetahui alasan Anna yang terus menghindarinya, dan tentu saja sekarang dia tidak perlu khawatir dengan sikap Anna ke depannya, sebab dia sudah menyelesaikan masalahnya semalam. Anna mendengar kebisingan di luar rumah. Karena penasaran, dia melihat apa yang terjadi melalui jendela kamarnya. Ternyata ada penghuni baru yang pindah ke rumah di sebelahnya. Ketika Anna sibuk mengintip melalui jendela, seorang pria muda keluar dari rumah itu dan memergoki Anna, sontak membuat Anna menutup gordennya rapat-rapat. Ponselnya berdering. Anna mengambil ponselnya yang dia taruh di atas meja. Dia melihat nama yang tertera di layar ponselnya yang berdering. Grace. Dengan sentuhan ibu jarinya, Anna menggeser ikon telepon warna hijau untuk menjawab. “Halo, Anna? Apa kau masih marah?” tanya Grace melalui telepon. Anna hanya bergeming mendengar suara G
Ada orang yang mengatakan bahwa ucapan adalah do'a. Namun, yang terjadi pada Anna malah sebaliknya. Pagi ini ada seorang dosen baru yang datang menggantikan dosen yang sebelumnya di depak keluar dari kampus karena melecehkan seorang mahasiswa. Namun, dosen baru itu tak lain adalah pria yang merupakan tetangga baru Anna. Pria bel pintu. Itulah julukan yang Anna berikan pada pria itu. "Ada apa? Kau sejak tadi terus menatap dosen baru itu." Ucapan Grace memang benar, Anna terus menatap dosen baru itu dengan tatapan tajam. Kevin Rowman, nama dosen baru itu. "Aku hanya tidak menyukainya." Tidak ada kebohongan dalam ucapan Anna. Karena kemarin hari liburnya terganggu, Anna masih merasa kesal terhadap Kevin, orang yang merusak hari liburnya. "Ey, jangan begitu. Bagaimana kalau nanti kau menyukainya?" Konyol. Mana mungkin Anna menyukai Kevin. Lagi pula, Anna sudah memiliki calon suami. Itulah yang dipikirkan Anna, namun dia belum bisa memberitahu Grace. Bukannya Anna berniat mem
Sedikit bersandiwara, Anna mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Kevin. "Terima kasih karena telah banyak membantuku tempo hari, gadis tetangga." "Kau terus saja memanggil Anna dengan sebutan 'gadis tetangga'. Apa jangan-jangan kau pindah ke rumah di sebelahnya?" Pada akhirnya pertanyaan yang membuat Edgar bertanya-tanya pun keluar dari mulutnya. Pasalnya dia terus mendengar Kevin memanggil Anna dengan sebutan yang aneh. "Hm, aku pindah ke sana tempo hari." Kevin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada urusan mendadak." Tanpa sadar, Anna tersenyum tipis ketika Kevin pergi dari ruangan itu, meninggalkan Anna dan Edgar berdua di sana. Sebab, Anna tidak terlalu nyaman dengan keberadaan Kevin yang sangat mengganggu. Begitu sosok Kevin tidak terlihat, Anna dibuat terkejut oleh tangan besar Edgar yang telah memeluknya dari belakang. "Sebegitu senangnya 'kah melihat Kevin pergi?" Karena perbeda
"Anything for you, baby."Lagi. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya, Anna tidak mampu menahan senyumnya tatkala Edgar mengucap kata cinta.Ini pertama kali Anna jatuh cinta pada seorang pria. Sebelumnya dia belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta bahkan berpacaran.Meskipun Anna selalu ingin memiliki kekasih, namun dia tidak pandai bersosialisasi dengan lawan jenis. Begitu pula ketika dia pertama kali berkencan dengan Edgar, rasanya sangat canggung. Padahal mereka sudah lama mengenal meski sebatas dosen dan mahasiswa."Ah, nyaris saja lupa. Ayah mengundangmu makan malam di kediaman Dominic jam 07.00 malam. Aku akan menjemputmu setengah jam sebelum acara."Terakhir kali Anna bertemu William Dominic adalah saat menawarkan kesepakatan beberapa minggu lalu, setelah itu Anna belum pernah bertemu lagi dengan pria paruh baya itu."Apa ada yang ingin beliau bicarakan denganku?"Tentu saja karena
Setelah Grace mengaku pada Anna pada hari itu, Anna memutuskan kontak dengan Grace dan tidak ingin menemuinya lagi. Grace memang teman baiknya, namun Grace sudah mengkhianati Anna dan sudah menyebabkan Anna keguguran secara tidak langsung. Sekarang Anna tengah berlatih berjalan dengan bantuan Edgar. Sudah hampir dua minggu dia melakukannya dan dia sudah bisa berdiri sendiri serta berjalan tiga hingga lima langkah. "Sudah cukup untuk hari ini. Kau melakukannya dengan baik," ucap Edgar seraya mengelus kepala Anna. Satu hari setelah keguguran, Edgar memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus. Dia sudah bukan seorang dosen lagi. Sekarang dia memilih fokus dari jabatannya sebagai direktur dan merawat Anna sendiri di rumah. Ya, lagi pula, pekerjaannya sebagai direktur bisa dikerjakan di rumah dan tanpa harus pergi ke perusahaan. Edgar menggendong Anna dan mendudukannya kembali di kursi roda. "Aku ingin ke kamar," ucap Anna. "Baiklah, Istriku." Sejurus kemudian Edgar mendoron
Dua minggu telah berlalu ... Wendy yang menyebabkan Anna keguguran dihukum skors selama tiga bulan. Meskipun Edgar belum puas dengan hukuman itu, namun dia tidak bisa menambah hukumannya lagi karena tidak memiliki wewenang di kampus. Anna sudah keluar dari rumah sakit. Namun, dia belum berbicara sedikit pun bak orang yang bisu. Anna pun kehilangan cara berjalannya. Dokter mengatakan jika Anna mengalami hal itu karena terlalu syok dan stress berat. Setiap malam setelah Anna tidur, Edgar minum alkohol hingga mabuk di dapurnya sendirian. Dia menangis tatkala melihat Anna yang seperti boneka hidup. Tak mengatakan apa pun dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan suatu alat. Sekarang, Edgar sedang bersama Anna di taman. Dia membawa Anna jalan-jalan menggunakan kursi roda untuk menghirup udara segar. "Anna, bukankah bunganya sangat cantik? Jika aku memetiknya, apa kau mau menerimanya?" ucap Edgar. Anna bergeming. Dia diam saja karena memang tidak ingin mengatakan apa pun. Namun, dalam hat
Selang beberapa waktu, ambulans datang dan membawa Anna ke rumah sakit terdekat. Edgar dan Kevin ikut menemani, tetapi tidak dengan Grace. Padahal Grace adalah teman baik Anna. Anna dilarikan ke ICU karena sedang dalam keadaan darurat. Sudah lama sejak dokter memeriksanya, namun belum ada tanda-tanda dokter yang akan keluar dari ruangan. Setelah menunggu beberapa menit kemudian, akhirnya sang dokter muncul dengan raut wajah yang kurang baik. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Edgar segera. "Istri Anda baik-baik saja, namun bayi dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan karena benturan yang cukup keras hingga menyebabkan pendarahan.""Maksud Dokter, istri saya keguguran?" Edgar memastikan perkataan sang dokter. "Benar. Saat saya memeriksanya pun, bayi dalam kandungannya sudah sangat lemah."Edgar kehilangan kata-kata, begitu juga dengan Kevin. Mereka syok mendengar berita buruk ini, namun Anna pasti lebih syok dan sedih mendengarnya. "Dok, saya ingin menemui istri saya,"
Di forum kampus, ada seseorang tanpa nama yang membongkar rahasia Wendy. Karena hal itu, Wendy menjadi ramai dibicarakan. Tatapan-tatapan intimidasi pun diberikan kepada Wendy setiap kali dia berjalan. Wendy, membuka forum kampus dan membaca postingan tersebut. Judulnya 'Kebohongan Besar Wendy'. Di sana tertulis, 'Wendy hanya orang miskin yang berpura-pura kaya di depan teman-temannya. Dia memakai barang mahal dari hasil meminta paksa kepada ayahnya yang hanya pekerja kantoran. Bahkan, ayahnya sudah dipecat karena perilaku kasarnya terhadap seseorang.'Setelah membaca semuanya, rahang Wendy mengeras dan tangannya mengepal. Dia tahu siapa pelaku yang menyebar rahasianya. Siapa lagi kalau bukan Anna! Dengan hati yang penuh amarah, Wendy sontak mencari keberadaan Anna. Dia tak menyangka jika Anna akan mengkhianatinya seperti itu. Padahal Anna berjanji akan menjaga rahasianya jika dia menuruti semua perintahnya. "Awas kau, ya! Jika aku hancur, kau pun harus hancur, Anna!" geram Wendy.
Keesokan harinya, Anna menunggu kedatangan Grace di gerbang kampus. Sudah hampir 15 menit dia menunggu, namun Grace belum menampakkan dirinya sama sekali. Ketika Anna sudah bosan menunggu dan hendak pergi, Grace tiba-tiba turun dari taksi langganannya dengan wajah yang tidak bersemangat. Meskipun begitu, Anna tetap menyapanya dengan riang dan berharap jika temannya itu kembali bersemangat. "Grace!" panggil Anna sembari melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Grace sempat melihat Anna dalam sepersekian detik, namun segera memalingkan wajah. 'Apa dia tidak melihatku, ya? Mungkin aku harus memanggilnya lagi!' pikir Anna kemudian. "Grace! Aku di sini!" panggil Anna lagi dengan suara tak kalah kencang. Nihil. Grace sama sekali tidak menjawab panggilan Anna seperti biasanya.Saat Grace berjalan melewati Anna, dia tiba-tiba berhenti sejenak dan berbisik, "Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendirian hari ini."Setelah mengatakan itu, Grace pun melanjutkan jalannya tanpa menoleh sedikit pun ke
Di kamarnya, Anna tengah duduk di atas ranjang sembari menatap ponsel yang ada di depannya. Lebih dari 30 menit dia diam seperti itu. Dia ingin menelpon Grace, namun ragu hingga membuatnya berpikir lama. Grace bukan tipikal orang yang memikirkan pelajaran. Jika dia murung maka permasalahannya ada pada kencan yang dia lakukan dengan Kevin. Namun, apa permasalahannya? "Apa kau akan terus seperti itu?" seru Edgar tiba-tiba. Dia risih melihat istrinya yang diam seperti patung selama bermenit-menit. "Apa menurutmu aku harus menelponnya?" Betapa rumitnya seorang wanita. Para pria tidak pernah memikirkan permasalahan orang lain, jadi Edgar bingung harus menjawab apa. "Lakukanlah seperti yang ingin kau lakukan. Tapi menurutku, lebih baik jika kau membiarkan Grace sendiri. Lagi pula, dia pasti akan menelponmu jika ingin bercerita." "Kau benar. Lebih baik aku tidak menelponnya," lirih Anna. Namun, tampaknya pikirannya berubah dalam seketika. "Tapi, aku harus menelponnya!" Anna meraih
Edgar tampak gelisah saat sedang menyetir. Bukannya dia tidak ingin mencegah Anna pergi tadi, namun karena dia pun harus mendinginkan kepalanya dulu agar tidak meledak-ledak. Biasanya jika Anna marah, dia akan pergi ke rumah orang tuanya atau rumah Grace. Berhubung Grace masih belum pulang kuliah, jadi Anna pasti asa di rumah orang tuanya. Menekan bel, Edgar sontak masuk ke dalam rumah orang tua Anna setelah dibukakan pintu. "Anna ... apa dia ada di sini?" ucap Edgar sedikit gusar. Tidak sopan memang jika dia tiba-tiba menanyakan keberadaan istrinya hingga tidak menyapa kedua mertuanya terlebih dahulu. Ya, lagi pula, dia sedang panik sekarang. "Anna sudah pergi sejak 30 menit yang lalu. Apa Nak Edgar tidak berpapasan dengannya di jalan?" lirih Olivia. Shit! Tampaknya Edgar terlambat. Kalau sudah seperti ini, tentu saja dia harus pulang ke apartemennya lagi. Dia takut jika Anna mencari keberadaannya. Tanpa pamit, Edgar pun segera melesat dengan mobilnya menuju arah pulang. Dia m
"Loh? Tumben kamu ke sini, Nak," ucap Olivia saat melihat Anna sudah ada di depan rumah. Kepalanya menoleh ke belakang Anna seperti mencari sesuatu. Olivia sendiri sedang merawat kebun kecilnya yang ada di halaman depan, dia tak menyangka jika putrinya akan datang secara tiba-tiba. "Kamu datang sendiri? Ke mana suamimu?" sambung Olivia. Dia tidak melihat Edgar, melainkan seekor anj*ng yang dibawa Anna. Helaan napas pun keluar dari mulut Anna. Dia sedang tidak ingin membicarakan Edgar, emosinya masih belum reda. "Jangan membicarakan dia, Bu. Aku sedang emosional hari ini," ungkap Anna. Untuk seorang wanita yang pernah mengandung bayi, tentu saja Olivia paham dengan situasi Anna. Ibu hamil memang selalu emosional dan perasaannya sensitif. Ya, mungkin saja Anna sedang mengalami hal itu. Ah, Olivia merasa kasihan kepada Edgar karena menjadi korban emosional Anna. "Anna, ayo masuk ke dalam. Kebetulan Ibu masak banyak hari ini, mungkin karena Ibu punya firasat kalau kau akan datang k
Mendengar teriakan Anna yang mengeluarkan kata kasar, Edgar sontak terbangun dari tidurnya. Dia juga terkejut karena mobilnya tiba-tiba direm secara mendadak oleh Anna. "Ada apa? Aku baru saja mendengarmu mengumpat," tanya Edgar yang kebingungan. Anna menghela napas panjang. "Itu, ada anj*ing yang berhenti di tengah jalan saat aku menyetir. Untung saja tidak tertabrak."Meskipun Anna yakin kalau dia tidak menabrak seekor anj*ng, namun dia tetap jarus memastikannya dengan mata kepalanya sendiri. Anna keluar dari mobil dan berjalan ke arah depan. Dia melihat seekor anak anj*ng berbulu putih tengah duduk di depan mobilnya. "Sepertinya anj*ing ini lepas dari pemiliknya," ucap Anna setelah menggendong anak anj*ng tersebut dan melihat kalung yang terpasang di lehernya. "Apa kau mau membawanya pulang?" tanya Edgar yang baru turun dari mobil. "Hn, aku akan membawa pulang."Lagi pula, Anna merasa kasihan jika anak anj*ng itu ditinggal begitu saja di jalanan. Untuk sementara waktu, Anna a