“Jangan mengingat-ingat kejadian tadi.”
“Tidak.” Apakah gadis itu kurang puas dengan jawaban dan lebih memilih penalarannya sendiri? Agaknya memang begitu. Soalnya, pertanyaan yang sama sudah dilayangkan beberapa kali. “Aku muak melihatnya tersenyum seperti itu.”Khanara mencari tahu siapa yang dimaksud, yang didapati adalah manusia-manusia berjas, Khanara mengerutkan alis. “Mereka fokus makan,” gumamnya.“Bukan, tapi si Nenek Sihir!”Seakan menepuk jidat dengan telapak tangan, ia membeliak. Harusnya cukup paham dengan siapa yang dimaksud. Lansia yang dipanggilnya sebagai Madame memang selalu terlihat lebih riang saat tokonya penuh. “Na ...”Khanara menoleh, lantas mengikuti lagi arah pandangan temannya itu. Kali ini sungguh memandangi manusia-manusia berjas. Kebanyakan dari mereka memesan roti keju panas dan coklat panas, meski banyak juga yang memesan teh panas. “Apa mereka juga tahu soal Slander Man?”“Bukankah di tempat mereka bekerja justru tersedia akses internet? Menurut berita, foto makhluk itu tersebar di internet.”“Ya ... adikku pernah memperlihatkannya kepadaku. Sungguh, aku tidak tahu apa itu Slander Man jika tidak ada berita konyol ini,” keluhnya tampak sedih, “aku rasa, aku ini manusia paling penakut, bahkan jantungku selalu berdegup cepat saat harus pulang larut, dan lihat, apa ini sekarang ...?”“Aku bisa menemanimu—““Jangan aneh, Na! Kau tak perlu jadi pahlawan untuk sekarang ini ... biarlah aku pulang sambil mempertaruhkan nyawaku—““Tak apa, Mee. Aku akan mengantarmu,” potongnya lembut dan yakin, juga rematan yang ia berikan di tangan Meea, itu menunjukkan kesungguhan.“Baiklah jika kau memaksa.” Meea tergugu, namun senyum di wajahnya tetap lebih mendominasi. “Sebagai imbalan yang tak seberapa, bawalan minyak gosok ini. Rasa panasnya akan membantu meredakan rasa nyeri.”***Jalanan Handini memang tersohor dengan keramaiannya. Di sana sering didirikan pasar malam yang cukup menyegarkan hari. Pedagang keliling akan berdiam di sana selama beberapa waktu, menjajakan makanan yang masih mengepulkan asap. Sangat lezat, apalagi jika itu adalah cilok. Pilihan lain selain makanan murah, bersaus, dan kenyal adalah martabak. Martabak ada dua jenis, telur dan manis. Manis karena terdapat gula, mesis, atau keju di atasnya. Jika memilih martabak telur maka seluruh mulut akan berbau daun bawang, tetap lezat dan mengenyangkan. Kerlap-kerlip lampu dari wahana-wahana juga menjadi bentuk sederhana dari bintang-bintang, menandakan bahwa lokasi tersebut memang dibuat untuk meramaikan kota yang suram dan membosankan. Meski tak akan para pria berjas mampir sekalipun anak gadisnya merengek minta dibelikan gula kapas. Lebih baik—kata mereka—mampir saja ke Mall besar, menemui varian nasi putih yang dibentuk melingkar, ditemani ayam goreng tepung. 'Kau tak apa pulang sendiri ...?'Masih terngiang, kala itu ia bingung harus menjawab bagaimana. Bukan karena berani juga ia mampu menawarkan diri. Ternyata, gelap malam memang tidak main-main. Apalagi setelah memandangi taman kota yang senyap—tak seperti dulu kala. 'Salah satu pengunjung di sana kepalanya digorok oleh Slander Man.'Lagi-lagi, kenapa justru suara-suara seperti itu yang muncul?Khanara meneguk saliva. Ia tak tahu jika waktu akan sangat lambat bergulir, jalanan aspal terlihat begitu licin jika harus memilih berlari, lampu-lampu jalanan bagaikan bernyawa. Oh, Tuhan ...Dari balik pundaknya, seperti melintas seseorang. Ia yakin sangat hafal dengan siluet itu.“Lim ...?”Orang itu berhenti sebentar, memastikan apa yang dilihatnya adalah benar. “Khana ...? Itu kau?”“Y-ya! K-kau dari ... dari mana?”“Aku harus membeli paket data,” jawabnya dengan wajah tidak senang, “kenapa kau masih di sini?”“Aku harus mengantar Meea dulu, dia tidak berani pulang.”Pertama, wilayah tempat tinggal Meea memang tidak dekat, bahkan ia harus memutar arah. Belum lagi, perlu menyeberang jalan raya sebanyak dua kali atau harus berjalan lebih jauh. Pantas saja jika waktunya tergerus banyak.“Sebentar lagi hujan, ayo ...!”Lim adalah kawan SMA-nya dulu, anak itu bernasib mujur karena tanpa melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, pamannya yang seorang bos di sebuah perusahaan tentu akan dengan hati membawa keponakannya kepada nasib baik. Lim juga merupakan lelaki yang tempo hari mengobrol dengannya di toko roti. Mereka memang cukup dekat. “Bawakan ini untuk Nee.”Kantung plastik hitam. Dari baunya, sudah ketahuan bahwa isinya adalah bakso. “Em, Lim ....”“Uh?”Pikirnya, ia hanya perlu mengucap syukur banyak-banyak karena sudah mendatangkan Lim di saat yang tepat. Kebetulan paling melegakan. Lim selalu menjadi tetangga sekaligus sahabatnya, bahkan dalam kondisi mendesak sekalipun. Bisa dikatakan bahwa Khanara memang sedikit suka mencari gara-gara, bukannya bersujud mengucap syukur saja, ia justru terpikirkan dengan apa-yang-ada-di-sosial-media. Ia tidak pernah mencapai dunia maya tersebut. “Ada apa, Na?”“Berapa harga warnet untuk satu jam?” tanya buru-buru.Setelah diam cukup lama, Lim agak tersenyum, sedikit sekali. “Sepuluh ribu. Kau ingin menggunakan internet?” tanyanya, kali ini tersenyum lebih lebar. “Kau bisa menggunakan ponselku, dari sini juga dapat mengakses internet—““Tapi Mee yang mau memakainya. Jadi ... jadi aku tidak mungkin meminjam ponselmu.”“Ah begitu.”“Y-ya.”Entah kenapa matanya melirik ke arah pagar di sebuah rumah besar, di sampingnya adalah gang menuju area rumahnya. Rumah itu selalu ramai, paling tidak ada beberapa penduduk yang berjaga malam. Biasanya hanya diisi oleh satu atau dua orang, namun sejak berita tentang Slander Man merebak, gotong-royong dalam satu titik seakan dijunjung lagi. Kali ini, entah kenapa sepi, mungkin para penjaganya tengah berkeliling.Gang. Matanya sekarang mengarah ke sana. Sangat sempit dan gelap. Ia menggelengkan kepala, ingat saat sebuah jemari menyentuh bibir bawahnya dengan gerakan pelan. Itu aneh.“Na ...?”“K-kau duluan saja.” Benar saja, laki-laki bertubuh tinggi dengan kulit putih itu berjalan lebih dulu. Satu-satunya laki-laki yang memiliki potensi dan bisa menyalurkannya, juga dikaruniai wajah cukup tampan lengkap dengan gesture sopan, membuatnya cukup disegani. “Na ... apa kau merasakan sesuatu saat berdua denganku?”“Me ... me ... bagaimana?”“Kau gugup, Na. Kau masih ... ingat?” Tubuh Khanara berhenti, bukan karena dihentikan. Jalan laju kakinya dihalangi oleh orang yang saat ini tengah bersamanya. Gang. Gang. Gang. Tempat kedua kali tubuhnya menjadi patung hidup yang berharap bisa mati hanya pada malam ini. Sekarang, tubuhnya dirapatkan ke sebuah benda menjulang. Tembok, apa lagi?“K-kau—““Na ... aku ....”Tinggallah mata yang melotot, namun itu tidak bertahan lama, sebab selanjutnya ia justru ingin memejamkan mata. Ia tidak kuasa melihat langit, tidak kuasa melihat tembok di sekelilingnya, tidak berani melihat pelipis orang yang tengah menyeruput bibir luarnya. Cukup lama dan makin dalam, apalagi saat tangan dingin mulai terasa membelai tengkuknya. Mengelus pelan dan menekan beberapa kali. Kemudian, tangan tersebut terasa turun ke atas dadanya, mencari celah.“L-Lim ... s-sudah ...!”Benar saja, sedotan dan rematan yang belum sempurna di atas dadanya berhenti. Laki-laki itu menjauh sambil terengah, sorot matanya masih turun dalam beberapa saat. “Maafkan aku, Na. Aku sangat ingin ...” katanya, kali ini telah mendongak. Khanara tidak bisa melihat sorot mata yang ditampilkan laki-laki itu, keadaannya memang gelap. “Kakimu terluka?” Pertanyaan mendadaknya dengan nada tinggi.“T-tidak apa-apa.” Menyeka sesuatu yang nyaris menetes dengan cepat, ia segera berlari, menyelesaikan langkah di dalam gang yang tersisa setengah jalan.Lampu pekarangan padam, perhatiannya langsung terbeliak karena hal itu. Sedikit berlari untuk menuntaskan jarak, kepalan tangannya mengetuk pintu.“Nee!”“Buka saja, Kak. Aku di dalam.”Pintu terbuka lebar, pintu yang hanya terdiri dari satu sisi saja itu menghasilkan bunyi ‘duk’ saat menubruk papan rumah. Terpampanglah suasana rumah yang
“Kau kesiangan, dia habis mengamuk tadi,” bisik Meea. “Kau dari mana?”“Dari rumah. Apa dia juga mempermasalahkan adonan? Aku tidak cukup fokus tadi malam.”“Kakimu sakit, pasti kau kesulitan bekerja. Terima kasih untuk tadi malam, ya. Aku janji akan membawa senter, tidak akan merepotkanmu lagi,” bisik Meea dengan wajah sendu. “Kau sudah sarapan?”Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai respons. “Kau sendiri sudah sarapan?”“Seperti biasa, sembunyi-sembunyi.” Mencomot lagi bagian kue yang sudah tidak utuh, dimasukannya ke dalam mulut yang tertutup masker. Mengunyahnya harus pelan-pelan agar tidak ketahuan.“Sebentar lagi bel istirahat untuk pejuang kantor! Bersiaplah!”Sambil tersenyum kecil, ia mengangguk singkat. Toko roti ini bukanlah satu-satunya, namun karena letaknya cukup dekat dengan area penyeberangan dan market kecil, banyak karyawan yang lebih memil
“Kita saling mengenal sejak kecil. Kau ingat ... kau selalu minta digendong.” Sambil terkekeh, tangannya menghempaskan bebatuan kecil ke semak.“Jujur, aku lupa.” Ia berkata apa adanya, “Yang kuingat, kau selalu ada di dekatku dan Neesa, atau malah jauh sebelum Neesa lahir. Sebelum ...”“Sudahlah, jangan diteruskan.”Sebelum manusia pembawa rahim yang mengandungnya selama sembilan bulan kehilangan nyawa. Saat itu, pastilah gadis sekecil dirinya akan mengalami pergolakan batin luar biasa. Namun ketika Ayahnya bilang bahwa ia akan memiliki teman hidup yang dikirimkan oleh Ibunya—senyuman senang tidak bisa terhindar. Tubuh mungil itu bisa menari dengan asal di rumah sakit, membuat beberapa orang tersenyum. Tersenyum haru lebih tepatnya.“Kau masih memilikiku juga.”Melihat Lim ibarat melihat lautan dari atas palung, begitu luar biasa luas dan tenang, seakan tidak ada siapapun di sana, dan k
Berlari ke arah sepeda, matanya malah gatal untuk menengok ke belakang. Lalu-lalang manusia membuat matanya kesulitan mencari objek incaran. Ah, bahkan ia tidak ingat pakaian yang dikenakan orang tadi. Tapi dilihat dari warna dan bentuknya, kalau tidak salah, menggunakan mantel navy—biru ketuaan. “Dia benar-benar sudah pergi?” gumamnya, selingan senyum tipis pun muncul di bibir. Ah, dia terlalu terburu-buru untuk terpesona. Bisa saja memang laki-laki tadi selalu manis terhadap setiap gadis. “Siapa peduli.” Mencoba tak acuh agar konsentrasinya segera terkumpul, waktu telah terbuang lama, ia tak enak kepada Meea apalagi Madame. Kring ... kring ... sepasang muda-mudi sampai menoleh, Khanara pun menundukkan tubuh sebagai permintaan maaf. Sayang, Madame sangat pengiritan, ia tidak mau membayar orang untuk membenahi pintu belakang, jadilah engselnya yang rusak dibiarkan begitu saja. Suara ketukan palu melaung pagi buta, tiba-tiba saja pintunya sudah dit
“Anak itu menyebalkan!”Khanara terkekeh. Bagaimana tidak? Rico menyelonong kembali ke dalam dapur hanya untuk meminta sedikit adonan. Ditambah, kerisauannya karena tidak menemukan alat yang bisa membantunya membawa benda tersebut, anak itu juga menolak tas paper, bersikeras untuk dicarikan plastik. Oh ...! Meea menggeram berulang kali, jarinya sudah mengudara dengan gemas, bersiap mencubit.“Hati-hati di jalan! Lain kali aku akan mengenalkanmu dengan Neesa!” Lambaikan tangannya dibalas dengan anggukan semangat, selanjutnya, anak tersebut berlari menyusul rombongan yang sudah antre masuk ke dalam bus.“Apa dia sangat lucu bagimu? Anak paling pintar di dunia ini hanya Neesa!” celetuk Meea sengit.Jika dipikir, memang. Neesa bukan seperti anak kecil pada umumnya. Dia periang, selalu berpikir, tidak pernah mengacak-ngacak benda, tidak bersuara saat makan, tidak terlalu banyak tingkah.&nb
“Benar tidak masalah kutinggal sendiri?” Meneguk saliva sesaat, raut gugup berubah ketika bertatap muka dengan gadis yang sudah mengenakan mantel. “Iya, tidak apa-apa. Kalau kemalaman, aku akan tidur di sini.” Meea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Jika kau punya pilihan tempat lain, pergilah, Na. Tempat ini sudah mirip neraka,” desisnya, embun sudah memupuk di bawah netranya, menyirat betapa getir gadis itu. Meea bilang bahwa dirinya harus segera pulang—ibunya sakit. Tujuan dari seorang anak yang bekerja adalah membantu diri sendiri dan orang terdekat. Meea hanya punya ibu dan seorang nenek, merasa begitu diandalkan adalah sesuatu yang dipahami oleh Meea. Entahlah, kenapa dua gadis itu memiliki kesamaan—anggota keluarga yang kurang. “Aku tidak apa-apa, kok.” Khanara meyakinkan diri, meski batinnya mulai lelah. Matanya mengerjap saat pun
Neesa memeluk erat, ketiba-tibaan itu sontak membuat rasa khawatirnya mendadak hidup. Ia yang berstatus sebagai anak pertama sekaligus orang tua bagi gadis kecil itu, telah meninggalkan rumah selama dua hari.Berbekal izin untuk menitipkan kepada tetangga samping rumahnya untuk menjaga Neesa, namun tampaknya, tidak membuahkan hasil baik.Ketakutan yang sangat kentara justru menjadi bomerang sekarang.“Katakan ada apa? Jangan membuatku takut,” ucapnya lagi dengan tulus, berharap kali ini gadis itu mampu mengatakan sepatah kata, alih-alih hanya memeluk dan merengkuh dengan erat saja.“Aku ... aku takut, Kak.”“Takut kenapa, huh? Katakan pada Kakak.”“Aku ingin Kakak di rumah.”Sorot mata berkaca-kaca, namun tak mampu memantulkan apapun yang ada di depannya. Luluh, tanpa berpikir panjang,
Apakah kalian percaya tentang sebuah ilmu yang bisa menghilangkan ingatan? Apakah kalian percaya tentang keberadaan semacam mantra-mantra? Baiklah, kehidupan memang telah maju sejak beberapa kurun waktu lalu. Namun, soal fantasi, belum ada bukti yang menyatakan ketiadaannya. Semuanya bisa terjadi, apalagi jika benar dunia tidak terdiri atas satu universe saja.Banyak ketidakmungkinan di luaran sana yang mungkin tengah terjadi atau memang biasa berlangsung seperti kegiatan pagi, siang, serta malam orang-orang di sekeliling kita. Mungkin kita sudah sepatutnya menggunakan kaki untuk berjalan dan terbiasa menempuh jarak untuk bisa sampai ke suatu tempat. Sekali lagi, mungkin saja di luaran sana tidak memerlukan step-step tersebut. Bisa jadi hanya dengan menjentikkan jari, banyak hal bisa dilakukan dalam sekali genggam.Yang dilakukan saat seseorang tengah tertegun atau tertohok adalah tidak mampu memprediksi apa yang tengah dihadapin
Ada beberapa hal yang membuat seseorang bertahan di sebuah tempat. Bisa karena keterpaksaan atau tidak ada pilihan lain. Sebuah kata terpaksa bisa dipergunakan sekalipun mempunyai peluang di lain tempat. Sedangkan tidak ada pilihan lain adalah bualan yang dilebih-lebihkan. Setiap makhluk hidup selalu dihadapkan oleh pilihan, itu pasti.‘Neesa hati-hati. Makanlah banyak dan jangan merepotkan gurumu. Saat pulang nanti, cepat mandi lalu istirahat, jangan lupa mengunci pintu.’Suara gemercik sudah berhenti dari bilik kamar mandi sekian menit lalu, kini, keluarlah seorang anak dengan handuk yang masih meliliti tubuhnya.“Kak, sedang apa?”“Membuat bekal, ada pesan untukmu di sini. Kakak hanya takut kau lupa.”“Jangan sedih begitu, aku perlu tak lama. Guru juga akan menjagaku.”Khanara menunduk agar tinggi tubuh mereka lebih sejajar. “Iya, kau han
Apakah kalian percaya tentang sebuah ilmu yang bisa menghilangkan ingatan? Apakah kalian percaya tentang keberadaan semacam mantra-mantra? Baiklah, kehidupan memang telah maju sejak beberapa kurun waktu lalu. Namun, soal fantasi, belum ada bukti yang menyatakan ketiadaannya. Semuanya bisa terjadi, apalagi jika benar dunia tidak terdiri atas satu universe saja.Banyak ketidakmungkinan di luaran sana yang mungkin tengah terjadi atau memang biasa berlangsung seperti kegiatan pagi, siang, serta malam orang-orang di sekeliling kita. Mungkin kita sudah sepatutnya menggunakan kaki untuk berjalan dan terbiasa menempuh jarak untuk bisa sampai ke suatu tempat. Sekali lagi, mungkin saja di luaran sana tidak memerlukan step-step tersebut. Bisa jadi hanya dengan menjentikkan jari, banyak hal bisa dilakukan dalam sekali genggam.Yang dilakukan saat seseorang tengah tertegun atau tertohok adalah tidak mampu memprediksi apa yang tengah dihadapin
Neesa memeluk erat, ketiba-tibaan itu sontak membuat rasa khawatirnya mendadak hidup. Ia yang berstatus sebagai anak pertama sekaligus orang tua bagi gadis kecil itu, telah meninggalkan rumah selama dua hari.Berbekal izin untuk menitipkan kepada tetangga samping rumahnya untuk menjaga Neesa, namun tampaknya, tidak membuahkan hasil baik.Ketakutan yang sangat kentara justru menjadi bomerang sekarang.“Katakan ada apa? Jangan membuatku takut,” ucapnya lagi dengan tulus, berharap kali ini gadis itu mampu mengatakan sepatah kata, alih-alih hanya memeluk dan merengkuh dengan erat saja.“Aku ... aku takut, Kak.”“Takut kenapa, huh? Katakan pada Kakak.”“Aku ingin Kakak di rumah.”Sorot mata berkaca-kaca, namun tak mampu memantulkan apapun yang ada di depannya. Luluh, tanpa berpikir panjang,
“Benar tidak masalah kutinggal sendiri?” Meneguk saliva sesaat, raut gugup berubah ketika bertatap muka dengan gadis yang sudah mengenakan mantel. “Iya, tidak apa-apa. Kalau kemalaman, aku akan tidur di sini.” Meea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Jika kau punya pilihan tempat lain, pergilah, Na. Tempat ini sudah mirip neraka,” desisnya, embun sudah memupuk di bawah netranya, menyirat betapa getir gadis itu. Meea bilang bahwa dirinya harus segera pulang—ibunya sakit. Tujuan dari seorang anak yang bekerja adalah membantu diri sendiri dan orang terdekat. Meea hanya punya ibu dan seorang nenek, merasa begitu diandalkan adalah sesuatu yang dipahami oleh Meea. Entahlah, kenapa dua gadis itu memiliki kesamaan—anggota keluarga yang kurang. “Aku tidak apa-apa, kok.” Khanara meyakinkan diri, meski batinnya mulai lelah. Matanya mengerjap saat pun
“Anak itu menyebalkan!”Khanara terkekeh. Bagaimana tidak? Rico menyelonong kembali ke dalam dapur hanya untuk meminta sedikit adonan. Ditambah, kerisauannya karena tidak menemukan alat yang bisa membantunya membawa benda tersebut, anak itu juga menolak tas paper, bersikeras untuk dicarikan plastik. Oh ...! Meea menggeram berulang kali, jarinya sudah mengudara dengan gemas, bersiap mencubit.“Hati-hati di jalan! Lain kali aku akan mengenalkanmu dengan Neesa!” Lambaikan tangannya dibalas dengan anggukan semangat, selanjutnya, anak tersebut berlari menyusul rombongan yang sudah antre masuk ke dalam bus.“Apa dia sangat lucu bagimu? Anak paling pintar di dunia ini hanya Neesa!” celetuk Meea sengit.Jika dipikir, memang. Neesa bukan seperti anak kecil pada umumnya. Dia periang, selalu berpikir, tidak pernah mengacak-ngacak benda, tidak bersuara saat makan, tidak terlalu banyak tingkah.&nb
Berlari ke arah sepeda, matanya malah gatal untuk menengok ke belakang. Lalu-lalang manusia membuat matanya kesulitan mencari objek incaran. Ah, bahkan ia tidak ingat pakaian yang dikenakan orang tadi. Tapi dilihat dari warna dan bentuknya, kalau tidak salah, menggunakan mantel navy—biru ketuaan. “Dia benar-benar sudah pergi?” gumamnya, selingan senyum tipis pun muncul di bibir. Ah, dia terlalu terburu-buru untuk terpesona. Bisa saja memang laki-laki tadi selalu manis terhadap setiap gadis. “Siapa peduli.” Mencoba tak acuh agar konsentrasinya segera terkumpul, waktu telah terbuang lama, ia tak enak kepada Meea apalagi Madame. Kring ... kring ... sepasang muda-mudi sampai menoleh, Khanara pun menundukkan tubuh sebagai permintaan maaf. Sayang, Madame sangat pengiritan, ia tidak mau membayar orang untuk membenahi pintu belakang, jadilah engselnya yang rusak dibiarkan begitu saja. Suara ketukan palu melaung pagi buta, tiba-tiba saja pintunya sudah dit
“Kita saling mengenal sejak kecil. Kau ingat ... kau selalu minta digendong.” Sambil terkekeh, tangannya menghempaskan bebatuan kecil ke semak.“Jujur, aku lupa.” Ia berkata apa adanya, “Yang kuingat, kau selalu ada di dekatku dan Neesa, atau malah jauh sebelum Neesa lahir. Sebelum ...”“Sudahlah, jangan diteruskan.”Sebelum manusia pembawa rahim yang mengandungnya selama sembilan bulan kehilangan nyawa. Saat itu, pastilah gadis sekecil dirinya akan mengalami pergolakan batin luar biasa. Namun ketika Ayahnya bilang bahwa ia akan memiliki teman hidup yang dikirimkan oleh Ibunya—senyuman senang tidak bisa terhindar. Tubuh mungil itu bisa menari dengan asal di rumah sakit, membuat beberapa orang tersenyum. Tersenyum haru lebih tepatnya.“Kau masih memilikiku juga.”Melihat Lim ibarat melihat lautan dari atas palung, begitu luar biasa luas dan tenang, seakan tidak ada siapapun di sana, dan k
“Kau kesiangan, dia habis mengamuk tadi,” bisik Meea. “Kau dari mana?”“Dari rumah. Apa dia juga mempermasalahkan adonan? Aku tidak cukup fokus tadi malam.”“Kakimu sakit, pasti kau kesulitan bekerja. Terima kasih untuk tadi malam, ya. Aku janji akan membawa senter, tidak akan merepotkanmu lagi,” bisik Meea dengan wajah sendu. “Kau sudah sarapan?”Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai respons. “Kau sendiri sudah sarapan?”“Seperti biasa, sembunyi-sembunyi.” Mencomot lagi bagian kue yang sudah tidak utuh, dimasukannya ke dalam mulut yang tertutup masker. Mengunyahnya harus pelan-pelan agar tidak ketahuan.“Sebentar lagi bel istirahat untuk pejuang kantor! Bersiaplah!”Sambil tersenyum kecil, ia mengangguk singkat. Toko roti ini bukanlah satu-satunya, namun karena letaknya cukup dekat dengan area penyeberangan dan market kecil, banyak karyawan yang lebih memil
Benar saja, sedotan dan rematan yang belum sempurna di atas dadanya berhenti. Laki-laki itu menjauh sambil terengah, sorot matanya masih turun dalam beberapa saat. “Maafkan aku, Na. Aku sangat ingin ...” katanya, kali ini telah mendongak. Khanara tidak bisa melihat sorot mata yang ditampilkan laki-laki itu, keadaannya memang gelap. “Kakimu terluka?” Pertanyaan mendadaknya dengan nada tinggi.“T-tidak apa-apa.” Menyeka sesuatu yang nyaris menetes dengan cepat, ia segera berlari, menyelesaikan langkah di dalam gang yang tersisa setengah jalan.Lampu pekarangan padam, perhatiannya langsung terbeliak karena hal itu. Sedikit berlari untuk menuntaskan jarak, kepalan tangannya mengetuk pintu.“Nee!”“Buka saja, Kak. Aku di dalam.”Pintu terbuka lebar, pintu yang hanya terdiri dari satu sisi saja itu menghasilkan bunyi ‘duk’ saat menubruk papan rumah. Terpampanglah suasana rumah yang