“Kau kesiangan, dia habis mengamuk tadi,” bisik Meea. “Kau dari mana?”
“Dari rumah. Apa dia juga mempermasalahkan adonan? Aku tidak cukup fokus tadi malam.”“Kakimu sakit, pasti kau kesulitan bekerja. Terima kasih untuk tadi malam, ya. Aku janji akan membawa senter, tidak akan merepotkanmu lagi,” bisik Meea dengan wajah sendu. “Kau sudah sarapan?”Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai respons. “Kau sendiri sudah sarapan?”“Seperti biasa, sembunyi-sembunyi.” Mencomot lagi bagian kue yang sudah tidak utuh, dimasukannya ke dalam mulut yang tertutup masker. Mengunyahnya harus pelan-pelan agar tidak ketahuan.“Sebentar lagi bel istirahat untuk pejuang kantor! Bersiaplah!”Sambil tersenyum kecil, ia mengangguk singkat. Toko roti ini bukanlah satu-satunya, namun karena letaknya cukup dekat dengan area penyeberangan dan market kecil, banyak karyawan yang lebih memilih ke sini. Pilihan lain bisa kok ke warung-warung besar yang menyajikan makanan berat berkuah, makanan pedas, atau olahan mi. Semua tergantung selera. Memakan roti dengan sayur mentah dan susu adalah pilihan sebagian saja. Jika soal harga, tentu lebih mahal, tidak sekenyang ketika makan nasi. Lonceng toko dibunyikan paksa karena pintu terbuka, diam sesaat lalu berbunyi lagi, begitu selama beberapa kali. Lambat laun kursi pun terisi oleh pinggul-pinggul yang merasa lelah. Mereka menghempaskan tubuh dengan raut penuh rasa syukur, iris matanya sampai bersembunyi ke atas kelopak, menyisakan putihnya saja. Khanara meringis, 'Apakah selelah itu? Bukankah hanya mengetik seperti di warnet tadi dan berhitung saja? Tidak mencuci piring, kan? Tidak mengepel, kan? Tidak tersedak tepung, kan? Tidak membuang sisa bahan roti yang berbau bus—'“Na!”Ia menoleh cepat.“Ke sini!”Ia berlalu ke belakang tanpa berlari—takut menimbulkan kegaduhan bagi orang-orang yang tengah melahap makan siang. Di sana, Meea memperlihatkan beberapa pesanan di nota. “Ada yang memesan minuman dari bunga Akasia. Bunga yang wanginya seperti sperma sehat, katanya sih.”Khanara melotot sebentar, “Bunga ini? Kenapa bunga dijadikan minuman ...?”Tiba-tiba Meea menggeram dan berteriak frustrasi, sampai terjungkat dibuatnya. Gadis itu memberikan penjelasan bahwa migrain-nya tengah kumat, tentu saja harus beristirahat. Untunglah semua pesanan sudah siap, tinggal satu itu saja.“Biar aku yang mengurus ini.” Selanjutnya, ia harus mengecek diri di cermin, jangan sampai penampilannya menjijikkan sehingga membuat para pengunjung memuntahkan roti. Mengamati secara khidmat semua orang di kursi, ia malah lupa menanyakan meja nomor berapa, namun, pasti terlihat. Ciri utama adalah tidak ada minuman di atas meja orang tersebut. “Nah ... itu dia,” serunya kecil. Orang itu menunduk seperti tengah membaca buku, mungkin itu dilakukannya untuk mengisi waktu menunggu makanannya siap. Khanara berdeham pelan, “Selamat siang, Tuan. Saya ingin mengatakan bahwa di sini tidak minuman dari bunga akasia,” ... 'Yang baunya seperti sperma bagus.'“Sweet Alyssum?”Khanara yang masih menertawakan sesuatu di pikirannya jadi terperanjat, “Bu ... bunga apa?”“Sweet Alyssum.” Kali ini, buku di telapak tangan orang itu telah ditutup dengan sekali tepuk. Dagunya terangkat, membuat netra yang sedari tadi tidak menatap lawan bicaranya itu kemudian terdongak. “Kau tidak pernah mendengar nama bunga yang punya struktur rapi itu?”Khanara menggeleng spontan. “Tuan, di sini tidak ada jenis minuman dari bunga atau beraroma bunga. Teh melati ada sih, tapi hanya itu saja.”“Kalau begitu tidak usah, ganti dengan yang lain.”“Ganti ... apa, Tuan?”“Terserah kau saja.” Matanya naik lagi, membuatnya menatap ke area yang sama. “Bawakan yang menurutmu enak, Nona.”Khanara beranjak setelah lebih dulu membungkuk hormat. Di perjalanan, ia terus bergumam, pastilah tentang nama-nama bunga yang membuatnya terheran setelah cukup lama bekerja di toko roti itu. Meea tidak ada di dapur, tempat sampah yang kosong menjadi penjawab sedang ke mana gadis itu. Melihat-lihat stoples beserta isinya, ia menunjuk salah satu, “Aku sampai lupa, ini juga bunga, kan?” Ia mengambil bunga rosella kering. Teh ini berwarna merah yang merupakan hasil dari ekstrak daun, kelopak, dan pucuk bunga rosella itu sendiri. “Kenapa aku tidak terpikirkan sejak tadi ...? Oh Tuhan, aku sudah mengecewakan Tuan itu.” Ratapannya memang bentuk ketakutan setulus hati. Madame-nya akan mengoceh seharian jika sampai mengetahui kejadian tersebut.Langkah kakinya tidak boleh gontai meski tengah dilanda kegundahan. Orang tadi, ah maksudnya laki-laki muda tadi, masih tampak menunggu, namun tidak dengan membaca buku, melainkan dengan ...Khanara meneguk ludah. Apa dia orang asli negara ini? Wajahnya lebih ke Asia Timur.“Ini milikku?”Ia berkedip sesaat, tidak sadar bahwa ternyata tubuhnya sudah sampai di meja laki-laki tersebut. “I-iya, ini ... saya buatkan Teh Rosella hangat.”“Kenapa kau memilih ini?”“Uh eh? K-karena ... karena rosella termasuk bunga, Tuan.”Laki-laki itu hanya membalas dengan senyuman kecil yang terletak di sudut bibir. Kecil sekali, bahkan hanya bisa tertangkap oleh detik. Meski Khanara masih berada di sana dengan nampan yang menutupi bagian perut, laki-laki itu tetap meminum minumannya dengan nyaman. Suara ‘srut srut slurt’ pun menjadi terdengar saat menguras dahaga. Khanara harus meneguk ludah lagi sebelum pergi.Apakah kepergiannya didahului oleh salam? Tidak. Apakah laki-laki itu juga berterima kasih? Tidak juga. Mereka sangat kompak, namun yang patut merasa di ambang kematian adalah Khanara, sebab posisinya adalah sebagai pekerja. Untuk menutupi rasa malunya itu karena tidak mengucap salam juga malah berdiri seperti patung—memperhatikan dengan tidak sopan kepada pelanggan yang tengah menyeruput teh—meski orangnya tidak protes. Ia harus segera sampai di dapur, andaikan seseorang tidak melambai ke arahnya.Tap!Orang itu ... spontan saja Khanara memperhatikan bibir merah merona di seberang sana, tidak jauh darinya. Sesaat kemudian, sorot mata orang tersebut seperti penuh arti, tetapi sangat sukar dieja. Khanara memilih pergi, ia sudah bertekad ingin melupakan kejadian semalam.Apa dia Kekasihmu?"
"B-bukan, Tuan. Kami hanya ... kami hanya ... kami hanya ...."
"Belum berpacaran, ya, tapi sikapmu barusan seperti dia telah mencuri ciuman pertamamu."
Hanya menggigiti bibir adalah yang bisa hanya bisa ia lakukan sekarang. Tidak mungkin juga menampar Tuan barusan karena telah melakukan hal lancang; menuduhnya macam-macam.
"Menuduh seperti tadi belum belum seberapa, lancang itu jika mencium secara paksa di gang gelap," imbuh Tuan tersebut.
Lagi pula, kenapa Khanara masih berdiri di sana? Sangat susah untuk memajukan langkah.
“Kita saling mengenal sejak kecil. Kau ingat ... kau selalu minta digendong.” Sambil terkekeh, tangannya menghempaskan bebatuan kecil ke semak.“Jujur, aku lupa.” Ia berkata apa adanya, “Yang kuingat, kau selalu ada di dekatku dan Neesa, atau malah jauh sebelum Neesa lahir. Sebelum ...”“Sudahlah, jangan diteruskan.”Sebelum manusia pembawa rahim yang mengandungnya selama sembilan bulan kehilangan nyawa. Saat itu, pastilah gadis sekecil dirinya akan mengalami pergolakan batin luar biasa. Namun ketika Ayahnya bilang bahwa ia akan memiliki teman hidup yang dikirimkan oleh Ibunya—senyuman senang tidak bisa terhindar. Tubuh mungil itu bisa menari dengan asal di rumah sakit, membuat beberapa orang tersenyum. Tersenyum haru lebih tepatnya.“Kau masih memilikiku juga.”Melihat Lim ibarat melihat lautan dari atas palung, begitu luar biasa luas dan tenang, seakan tidak ada siapapun di sana, dan k
Berlari ke arah sepeda, matanya malah gatal untuk menengok ke belakang. Lalu-lalang manusia membuat matanya kesulitan mencari objek incaran. Ah, bahkan ia tidak ingat pakaian yang dikenakan orang tadi. Tapi dilihat dari warna dan bentuknya, kalau tidak salah, menggunakan mantel navy—biru ketuaan. “Dia benar-benar sudah pergi?” gumamnya, selingan senyum tipis pun muncul di bibir. Ah, dia terlalu terburu-buru untuk terpesona. Bisa saja memang laki-laki tadi selalu manis terhadap setiap gadis. “Siapa peduli.” Mencoba tak acuh agar konsentrasinya segera terkumpul, waktu telah terbuang lama, ia tak enak kepada Meea apalagi Madame. Kring ... kring ... sepasang muda-mudi sampai menoleh, Khanara pun menundukkan tubuh sebagai permintaan maaf. Sayang, Madame sangat pengiritan, ia tidak mau membayar orang untuk membenahi pintu belakang, jadilah engselnya yang rusak dibiarkan begitu saja. Suara ketukan palu melaung pagi buta, tiba-tiba saja pintunya sudah dit
“Anak itu menyebalkan!”Khanara terkekeh. Bagaimana tidak? Rico menyelonong kembali ke dalam dapur hanya untuk meminta sedikit adonan. Ditambah, kerisauannya karena tidak menemukan alat yang bisa membantunya membawa benda tersebut, anak itu juga menolak tas paper, bersikeras untuk dicarikan plastik. Oh ...! Meea menggeram berulang kali, jarinya sudah mengudara dengan gemas, bersiap mencubit.“Hati-hati di jalan! Lain kali aku akan mengenalkanmu dengan Neesa!” Lambaikan tangannya dibalas dengan anggukan semangat, selanjutnya, anak tersebut berlari menyusul rombongan yang sudah antre masuk ke dalam bus.“Apa dia sangat lucu bagimu? Anak paling pintar di dunia ini hanya Neesa!” celetuk Meea sengit.Jika dipikir, memang. Neesa bukan seperti anak kecil pada umumnya. Dia periang, selalu berpikir, tidak pernah mengacak-ngacak benda, tidak bersuara saat makan, tidak terlalu banyak tingkah.&nb
“Benar tidak masalah kutinggal sendiri?” Meneguk saliva sesaat, raut gugup berubah ketika bertatap muka dengan gadis yang sudah mengenakan mantel. “Iya, tidak apa-apa. Kalau kemalaman, aku akan tidur di sini.” Meea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Jika kau punya pilihan tempat lain, pergilah, Na. Tempat ini sudah mirip neraka,” desisnya, embun sudah memupuk di bawah netranya, menyirat betapa getir gadis itu. Meea bilang bahwa dirinya harus segera pulang—ibunya sakit. Tujuan dari seorang anak yang bekerja adalah membantu diri sendiri dan orang terdekat. Meea hanya punya ibu dan seorang nenek, merasa begitu diandalkan adalah sesuatu yang dipahami oleh Meea. Entahlah, kenapa dua gadis itu memiliki kesamaan—anggota keluarga yang kurang. “Aku tidak apa-apa, kok.” Khanara meyakinkan diri, meski batinnya mulai lelah. Matanya mengerjap saat pun
Neesa memeluk erat, ketiba-tibaan itu sontak membuat rasa khawatirnya mendadak hidup. Ia yang berstatus sebagai anak pertama sekaligus orang tua bagi gadis kecil itu, telah meninggalkan rumah selama dua hari.Berbekal izin untuk menitipkan kepada tetangga samping rumahnya untuk menjaga Neesa, namun tampaknya, tidak membuahkan hasil baik.Ketakutan yang sangat kentara justru menjadi bomerang sekarang.“Katakan ada apa? Jangan membuatku takut,” ucapnya lagi dengan tulus, berharap kali ini gadis itu mampu mengatakan sepatah kata, alih-alih hanya memeluk dan merengkuh dengan erat saja.“Aku ... aku takut, Kak.”“Takut kenapa, huh? Katakan pada Kakak.”“Aku ingin Kakak di rumah.”Sorot mata berkaca-kaca, namun tak mampu memantulkan apapun yang ada di depannya. Luluh, tanpa berpikir panjang,
Apakah kalian percaya tentang sebuah ilmu yang bisa menghilangkan ingatan? Apakah kalian percaya tentang keberadaan semacam mantra-mantra? Baiklah, kehidupan memang telah maju sejak beberapa kurun waktu lalu. Namun, soal fantasi, belum ada bukti yang menyatakan ketiadaannya. Semuanya bisa terjadi, apalagi jika benar dunia tidak terdiri atas satu universe saja.Banyak ketidakmungkinan di luaran sana yang mungkin tengah terjadi atau memang biasa berlangsung seperti kegiatan pagi, siang, serta malam orang-orang di sekeliling kita. Mungkin kita sudah sepatutnya menggunakan kaki untuk berjalan dan terbiasa menempuh jarak untuk bisa sampai ke suatu tempat. Sekali lagi, mungkin saja di luaran sana tidak memerlukan step-step tersebut. Bisa jadi hanya dengan menjentikkan jari, banyak hal bisa dilakukan dalam sekali genggam.Yang dilakukan saat seseorang tengah tertegun atau tertohok adalah tidak mampu memprediksi apa yang tengah dihadapin
Ada beberapa hal yang membuat seseorang bertahan di sebuah tempat. Bisa karena keterpaksaan atau tidak ada pilihan lain. Sebuah kata terpaksa bisa dipergunakan sekalipun mempunyai peluang di lain tempat. Sedangkan tidak ada pilihan lain adalah bualan yang dilebih-lebihkan. Setiap makhluk hidup selalu dihadapkan oleh pilihan, itu pasti.‘Neesa hati-hati. Makanlah banyak dan jangan merepotkan gurumu. Saat pulang nanti, cepat mandi lalu istirahat, jangan lupa mengunci pintu.’Suara gemercik sudah berhenti dari bilik kamar mandi sekian menit lalu, kini, keluarlah seorang anak dengan handuk yang masih meliliti tubuhnya.“Kak, sedang apa?”“Membuat bekal, ada pesan untukmu di sini. Kakak hanya takut kau lupa.”“Jangan sedih begitu, aku perlu tak lama. Guru juga akan menjagaku.”Khanara menunduk agar tinggi tubuh mereka lebih sejajar. “Iya, kau han
“Kau ini apa?”“A-apa—““Kau bisa melihatku!”Jemarinya mencengkeram busa sofa, menambah kekoyakan benda tersebut. Ia telah membiasakan mengunci pintu saat malam hari, juga jendela, tempat pertukaran angin itu tak pernah dibukanya barang sedetik. Detik sebelumnya, matanya mencoba menolak cahaya lampu, berusaha untuk terlelap tepat waktu. Pikiran dan suasana senyap membawanya pada nuansa historial, di mana bibirnya lagi-lagi merasa basah.Di kesempatan yang entah ke berapa kali, tubuhnya hanya diam, menerima dengan sangat luluh sentuhan tersebut.“Kau benar-benar sangat enak ....”Matanya terbuka, tubuhnya yang tenteram mendadak kaku. Seseorang di atasnya tak jauh berbeda, kilat netranya yang keruh mendadak menjadi datar, pagutannya juga tak lagi bergerak.“What the fuck are you doing?”Tubuhnya bergetar, “K-kau yang menciumku ....”&ldquo
Ada beberapa hal yang membuat seseorang bertahan di sebuah tempat. Bisa karena keterpaksaan atau tidak ada pilihan lain. Sebuah kata terpaksa bisa dipergunakan sekalipun mempunyai peluang di lain tempat. Sedangkan tidak ada pilihan lain adalah bualan yang dilebih-lebihkan. Setiap makhluk hidup selalu dihadapkan oleh pilihan, itu pasti.‘Neesa hati-hati. Makanlah banyak dan jangan merepotkan gurumu. Saat pulang nanti, cepat mandi lalu istirahat, jangan lupa mengunci pintu.’Suara gemercik sudah berhenti dari bilik kamar mandi sekian menit lalu, kini, keluarlah seorang anak dengan handuk yang masih meliliti tubuhnya.“Kak, sedang apa?”“Membuat bekal, ada pesan untukmu di sini. Kakak hanya takut kau lupa.”“Jangan sedih begitu, aku perlu tak lama. Guru juga akan menjagaku.”Khanara menunduk agar tinggi tubuh mereka lebih sejajar. “Iya, kau han
Apakah kalian percaya tentang sebuah ilmu yang bisa menghilangkan ingatan? Apakah kalian percaya tentang keberadaan semacam mantra-mantra? Baiklah, kehidupan memang telah maju sejak beberapa kurun waktu lalu. Namun, soal fantasi, belum ada bukti yang menyatakan ketiadaannya. Semuanya bisa terjadi, apalagi jika benar dunia tidak terdiri atas satu universe saja.Banyak ketidakmungkinan di luaran sana yang mungkin tengah terjadi atau memang biasa berlangsung seperti kegiatan pagi, siang, serta malam orang-orang di sekeliling kita. Mungkin kita sudah sepatutnya menggunakan kaki untuk berjalan dan terbiasa menempuh jarak untuk bisa sampai ke suatu tempat. Sekali lagi, mungkin saja di luaran sana tidak memerlukan step-step tersebut. Bisa jadi hanya dengan menjentikkan jari, banyak hal bisa dilakukan dalam sekali genggam.Yang dilakukan saat seseorang tengah tertegun atau tertohok adalah tidak mampu memprediksi apa yang tengah dihadapin
Neesa memeluk erat, ketiba-tibaan itu sontak membuat rasa khawatirnya mendadak hidup. Ia yang berstatus sebagai anak pertama sekaligus orang tua bagi gadis kecil itu, telah meninggalkan rumah selama dua hari.Berbekal izin untuk menitipkan kepada tetangga samping rumahnya untuk menjaga Neesa, namun tampaknya, tidak membuahkan hasil baik.Ketakutan yang sangat kentara justru menjadi bomerang sekarang.“Katakan ada apa? Jangan membuatku takut,” ucapnya lagi dengan tulus, berharap kali ini gadis itu mampu mengatakan sepatah kata, alih-alih hanya memeluk dan merengkuh dengan erat saja.“Aku ... aku takut, Kak.”“Takut kenapa, huh? Katakan pada Kakak.”“Aku ingin Kakak di rumah.”Sorot mata berkaca-kaca, namun tak mampu memantulkan apapun yang ada di depannya. Luluh, tanpa berpikir panjang,
“Benar tidak masalah kutinggal sendiri?” Meneguk saliva sesaat, raut gugup berubah ketika bertatap muka dengan gadis yang sudah mengenakan mantel. “Iya, tidak apa-apa. Kalau kemalaman, aku akan tidur di sini.” Meea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Jika kau punya pilihan tempat lain, pergilah, Na. Tempat ini sudah mirip neraka,” desisnya, embun sudah memupuk di bawah netranya, menyirat betapa getir gadis itu. Meea bilang bahwa dirinya harus segera pulang—ibunya sakit. Tujuan dari seorang anak yang bekerja adalah membantu diri sendiri dan orang terdekat. Meea hanya punya ibu dan seorang nenek, merasa begitu diandalkan adalah sesuatu yang dipahami oleh Meea. Entahlah, kenapa dua gadis itu memiliki kesamaan—anggota keluarga yang kurang. “Aku tidak apa-apa, kok.” Khanara meyakinkan diri, meski batinnya mulai lelah. Matanya mengerjap saat pun
“Anak itu menyebalkan!”Khanara terkekeh. Bagaimana tidak? Rico menyelonong kembali ke dalam dapur hanya untuk meminta sedikit adonan. Ditambah, kerisauannya karena tidak menemukan alat yang bisa membantunya membawa benda tersebut, anak itu juga menolak tas paper, bersikeras untuk dicarikan plastik. Oh ...! Meea menggeram berulang kali, jarinya sudah mengudara dengan gemas, bersiap mencubit.“Hati-hati di jalan! Lain kali aku akan mengenalkanmu dengan Neesa!” Lambaikan tangannya dibalas dengan anggukan semangat, selanjutnya, anak tersebut berlari menyusul rombongan yang sudah antre masuk ke dalam bus.“Apa dia sangat lucu bagimu? Anak paling pintar di dunia ini hanya Neesa!” celetuk Meea sengit.Jika dipikir, memang. Neesa bukan seperti anak kecil pada umumnya. Dia periang, selalu berpikir, tidak pernah mengacak-ngacak benda, tidak bersuara saat makan, tidak terlalu banyak tingkah.&nb
Berlari ke arah sepeda, matanya malah gatal untuk menengok ke belakang. Lalu-lalang manusia membuat matanya kesulitan mencari objek incaran. Ah, bahkan ia tidak ingat pakaian yang dikenakan orang tadi. Tapi dilihat dari warna dan bentuknya, kalau tidak salah, menggunakan mantel navy—biru ketuaan. “Dia benar-benar sudah pergi?” gumamnya, selingan senyum tipis pun muncul di bibir. Ah, dia terlalu terburu-buru untuk terpesona. Bisa saja memang laki-laki tadi selalu manis terhadap setiap gadis. “Siapa peduli.” Mencoba tak acuh agar konsentrasinya segera terkumpul, waktu telah terbuang lama, ia tak enak kepada Meea apalagi Madame. Kring ... kring ... sepasang muda-mudi sampai menoleh, Khanara pun menundukkan tubuh sebagai permintaan maaf. Sayang, Madame sangat pengiritan, ia tidak mau membayar orang untuk membenahi pintu belakang, jadilah engselnya yang rusak dibiarkan begitu saja. Suara ketukan palu melaung pagi buta, tiba-tiba saja pintunya sudah dit
“Kita saling mengenal sejak kecil. Kau ingat ... kau selalu minta digendong.” Sambil terkekeh, tangannya menghempaskan bebatuan kecil ke semak.“Jujur, aku lupa.” Ia berkata apa adanya, “Yang kuingat, kau selalu ada di dekatku dan Neesa, atau malah jauh sebelum Neesa lahir. Sebelum ...”“Sudahlah, jangan diteruskan.”Sebelum manusia pembawa rahim yang mengandungnya selama sembilan bulan kehilangan nyawa. Saat itu, pastilah gadis sekecil dirinya akan mengalami pergolakan batin luar biasa. Namun ketika Ayahnya bilang bahwa ia akan memiliki teman hidup yang dikirimkan oleh Ibunya—senyuman senang tidak bisa terhindar. Tubuh mungil itu bisa menari dengan asal di rumah sakit, membuat beberapa orang tersenyum. Tersenyum haru lebih tepatnya.“Kau masih memilikiku juga.”Melihat Lim ibarat melihat lautan dari atas palung, begitu luar biasa luas dan tenang, seakan tidak ada siapapun di sana, dan k
“Kau kesiangan, dia habis mengamuk tadi,” bisik Meea. “Kau dari mana?”“Dari rumah. Apa dia juga mempermasalahkan adonan? Aku tidak cukup fokus tadi malam.”“Kakimu sakit, pasti kau kesulitan bekerja. Terima kasih untuk tadi malam, ya. Aku janji akan membawa senter, tidak akan merepotkanmu lagi,” bisik Meea dengan wajah sendu. “Kau sudah sarapan?”Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai respons. “Kau sendiri sudah sarapan?”“Seperti biasa, sembunyi-sembunyi.” Mencomot lagi bagian kue yang sudah tidak utuh, dimasukannya ke dalam mulut yang tertutup masker. Mengunyahnya harus pelan-pelan agar tidak ketahuan.“Sebentar lagi bel istirahat untuk pejuang kantor! Bersiaplah!”Sambil tersenyum kecil, ia mengangguk singkat. Toko roti ini bukanlah satu-satunya, namun karena letaknya cukup dekat dengan area penyeberangan dan market kecil, banyak karyawan yang lebih memil
Benar saja, sedotan dan rematan yang belum sempurna di atas dadanya berhenti. Laki-laki itu menjauh sambil terengah, sorot matanya masih turun dalam beberapa saat. “Maafkan aku, Na. Aku sangat ingin ...” katanya, kali ini telah mendongak. Khanara tidak bisa melihat sorot mata yang ditampilkan laki-laki itu, keadaannya memang gelap. “Kakimu terluka?” Pertanyaan mendadaknya dengan nada tinggi.“T-tidak apa-apa.” Menyeka sesuatu yang nyaris menetes dengan cepat, ia segera berlari, menyelesaikan langkah di dalam gang yang tersisa setengah jalan.Lampu pekarangan padam, perhatiannya langsung terbeliak karena hal itu. Sedikit berlari untuk menuntaskan jarak, kepalan tangannya mengetuk pintu.“Nee!”“Buka saja, Kak. Aku di dalam.”Pintu terbuka lebar, pintu yang hanya terdiri dari satu sisi saja itu menghasilkan bunyi ‘duk’ saat menubruk papan rumah. Terpampanglah suasana rumah yang