Berlari ke arah sepeda, matanya malah gatal untuk menengok ke belakang. Lalu-lalang manusia membuat matanya kesulitan mencari objek incaran. Ah, bahkan ia tidak ingat pakaian yang dikenakan orang tadi. Tapi dilihat dari warna dan bentuknya, kalau tidak salah, menggunakan mantel navy—biru ketuaan.
“Dia benar-benar sudah pergi?” gumamnya, selingan senyum tipis pun muncul di bibir. Ah, dia terlalu terburu-buru untuk terpesona. Bisa saja memang laki-laki tadi selalu manis terhadap setiap gadis. “Siapa peduli.” Mencoba tak acuh agar konsentrasinya segera terkumpul, waktu telah terbuang lama, ia tak enak kepada Meea apalagi Madame. Kring ... kring ... sepasang muda-mudi sampai menoleh, Khanara pun menundukkan tubuh sebagai permintaan maaf. Sayang, Madame sangat pengiritan, ia tidak mau membayar orang untuk membenahi pintu belakang, jadilah engselnya yang rusak dibiarkan begitu saja. Suara ketukan palu melaung pagi buta, tiba-tiba saja pintunya sudah ditKenapa Khanara harus berbau seperti bunga, sih? Sama lagi dengan Ibunya si Rico. Kebetulan atau memang terjadi oleh sebuah alasan?
“Anak itu menyebalkan!”Khanara terkekeh. Bagaimana tidak? Rico menyelonong kembali ke dalam dapur hanya untuk meminta sedikit adonan. Ditambah, kerisauannya karena tidak menemukan alat yang bisa membantunya membawa benda tersebut, anak itu juga menolak tas paper, bersikeras untuk dicarikan plastik. Oh ...! Meea menggeram berulang kali, jarinya sudah mengudara dengan gemas, bersiap mencubit.“Hati-hati di jalan! Lain kali aku akan mengenalkanmu dengan Neesa!” Lambaikan tangannya dibalas dengan anggukan semangat, selanjutnya, anak tersebut berlari menyusul rombongan yang sudah antre masuk ke dalam bus.“Apa dia sangat lucu bagimu? Anak paling pintar di dunia ini hanya Neesa!” celetuk Meea sengit.Jika dipikir, memang. Neesa bukan seperti anak kecil pada umumnya. Dia periang, selalu berpikir, tidak pernah mengacak-ngacak benda, tidak bersuara saat makan, tidak terlalu banyak tingkah.&nb
“Benar tidak masalah kutinggal sendiri?” Meneguk saliva sesaat, raut gugup berubah ketika bertatap muka dengan gadis yang sudah mengenakan mantel. “Iya, tidak apa-apa. Kalau kemalaman, aku akan tidur di sini.” Meea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Jika kau punya pilihan tempat lain, pergilah, Na. Tempat ini sudah mirip neraka,” desisnya, embun sudah memupuk di bawah netranya, menyirat betapa getir gadis itu. Meea bilang bahwa dirinya harus segera pulang—ibunya sakit. Tujuan dari seorang anak yang bekerja adalah membantu diri sendiri dan orang terdekat. Meea hanya punya ibu dan seorang nenek, merasa begitu diandalkan adalah sesuatu yang dipahami oleh Meea. Entahlah, kenapa dua gadis itu memiliki kesamaan—anggota keluarga yang kurang. “Aku tidak apa-apa, kok.” Khanara meyakinkan diri, meski batinnya mulai lelah. Matanya mengerjap saat pun
Neesa memeluk erat, ketiba-tibaan itu sontak membuat rasa khawatirnya mendadak hidup. Ia yang berstatus sebagai anak pertama sekaligus orang tua bagi gadis kecil itu, telah meninggalkan rumah selama dua hari.Berbekal izin untuk menitipkan kepada tetangga samping rumahnya untuk menjaga Neesa, namun tampaknya, tidak membuahkan hasil baik.Ketakutan yang sangat kentara justru menjadi bomerang sekarang.“Katakan ada apa? Jangan membuatku takut,” ucapnya lagi dengan tulus, berharap kali ini gadis itu mampu mengatakan sepatah kata, alih-alih hanya memeluk dan merengkuh dengan erat saja.“Aku ... aku takut, Kak.”“Takut kenapa, huh? Katakan pada Kakak.”“Aku ingin Kakak di rumah.”Sorot mata berkaca-kaca, namun tak mampu memantulkan apapun yang ada di depannya. Luluh, tanpa berpikir panjang,
Apakah kalian percaya tentang sebuah ilmu yang bisa menghilangkan ingatan? Apakah kalian percaya tentang keberadaan semacam mantra-mantra? Baiklah, kehidupan memang telah maju sejak beberapa kurun waktu lalu. Namun, soal fantasi, belum ada bukti yang menyatakan ketiadaannya. Semuanya bisa terjadi, apalagi jika benar dunia tidak terdiri atas satu universe saja.Banyak ketidakmungkinan di luaran sana yang mungkin tengah terjadi atau memang biasa berlangsung seperti kegiatan pagi, siang, serta malam orang-orang di sekeliling kita. Mungkin kita sudah sepatutnya menggunakan kaki untuk berjalan dan terbiasa menempuh jarak untuk bisa sampai ke suatu tempat. Sekali lagi, mungkin saja di luaran sana tidak memerlukan step-step tersebut. Bisa jadi hanya dengan menjentikkan jari, banyak hal bisa dilakukan dalam sekali genggam.Yang dilakukan saat seseorang tengah tertegun atau tertohok adalah tidak mampu memprediksi apa yang tengah dihadapin
Ada beberapa hal yang membuat seseorang bertahan di sebuah tempat. Bisa karena keterpaksaan atau tidak ada pilihan lain. Sebuah kata terpaksa bisa dipergunakan sekalipun mempunyai peluang di lain tempat. Sedangkan tidak ada pilihan lain adalah bualan yang dilebih-lebihkan. Setiap makhluk hidup selalu dihadapkan oleh pilihan, itu pasti.‘Neesa hati-hati. Makanlah banyak dan jangan merepotkan gurumu. Saat pulang nanti, cepat mandi lalu istirahat, jangan lupa mengunci pintu.’Suara gemercik sudah berhenti dari bilik kamar mandi sekian menit lalu, kini, keluarlah seorang anak dengan handuk yang masih meliliti tubuhnya.“Kak, sedang apa?”“Membuat bekal, ada pesan untukmu di sini. Kakak hanya takut kau lupa.”“Jangan sedih begitu, aku perlu tak lama. Guru juga akan menjagaku.”Khanara menunduk agar tinggi tubuh mereka lebih sejajar. “Iya, kau han
“Kau ini apa?”“A-apa—““Kau bisa melihatku!”Jemarinya mencengkeram busa sofa, menambah kekoyakan benda tersebut. Ia telah membiasakan mengunci pintu saat malam hari, juga jendela, tempat pertukaran angin itu tak pernah dibukanya barang sedetik. Detik sebelumnya, matanya mencoba menolak cahaya lampu, berusaha untuk terlelap tepat waktu. Pikiran dan suasana senyap membawanya pada nuansa historial, di mana bibirnya lagi-lagi merasa basah.Di kesempatan yang entah ke berapa kali, tubuhnya hanya diam, menerima dengan sangat luluh sentuhan tersebut.“Kau benar-benar sangat enak ....”Matanya terbuka, tubuhnya yang tenteram mendadak kaku. Seseorang di atasnya tak jauh berbeda, kilat netranya yang keruh mendadak menjadi datar, pagutannya juga tak lagi bergerak.“What the fuck are you doing?”Tubuhnya bergetar, “K-kau yang menciumku ....”&ldquo
Bulu kuduknya berdiri, refleks ekor matanya melirik ke kiri, ia yakin bahwa seseorang itu tak akan muncul dari sebelah kanannya, karena di sana menjulang sebuah tembok. Purnama, entah kenapa wujud bulan tersebut selalu dikaitkan dengan hal yang tidak-tidak, dengan seuatu yang tak masuk akal, dengan sesuatu yang mendobrak kewarasan.Saat ekor matanya berhasil menangkap semburat hitam, gegas ia berdiri. Memandangi sosok di depannya sesaat, menyalurkan nyala lewat mata. Tidak bisa ... ia terlalu rapuh, ia juga terkalahkan oleh rasa takut.“Kau membunuh mereka.” Ucapannya cukup jelas meski bergetar. “Kenapa kau lakukan ...” Satu bulir air mata lolos dari pucuk mata, mengalir landai, membasahi permukaan lantai.Sesaat, perhatiannya tertuju pada gerakan tetesan tersebut, dalam pandangannya, itu seperti bergerak dengan sangat pesan, sebelum runtuh dan saling terpisah. Baru setelahnya, tatapannya kembali naik dengan sangat perlahan. Membalas bidikan da
“Musim kali ini lebih menyebalkan, Na. Stok baju hangatku sudah habis.”Tangannya menyelusup ke dalam baju, membenarkan posisi bra yang seperti ingin berlarian. “Apakah Madam tidak datang lagi malam ini?”“Aku tidak tahu.” Pikirannya jatuh pada kejadian sore tadi, setumpuk kardus roti lolos dari tangannya. Tentu saja hiasan-hiasan akan koyak, menjadikan roti tersebut sepintas terlihat tidak layak makan. “Tolong di sini sebentar, aku ingin mengambil mantel.”Masuk ke dalam ruangan sempit di bagian belakang toko tersebut, ia menghampiri kotak besar terbuat dari kayu, tempat meletakkan barang-barangnya. Atasan berbahan tebal dengan warna hitam keluar dari sana saat ditarik. Menepuk-nepuk agar benda itu bersih dari debu, lantas dikenakannya dengan mudah.“Sudah.” Saat gadis tersebut keluar dari bilik, tidak ada seseorang pun yang menggantikannya.“Aku baru mengambil minuman!&