Beranda / Fantasi / The Vestige / Hilang ...?

Share

Hilang ...?

Penulis: Iselfia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Musim kali ini lebih menyebalkan, Na. Stok baju hangatku sudah habis.”

Tangannya menyelusup ke dalam baju, membenarkan posisi bra yang seperti ingin berlarian. “Apakah Madam tidak datang lagi malam ini?”

“Aku tidak tahu.” Pikirannya jatuh pada kejadian sore tadi, setumpuk kardus roti lolos dari tangannya. Tentu saja hiasan-hiasan akan koyak, menjadikan roti tersebut sepintas terlihat tidak layak makan. “Tolong di sini sebentar, aku ingin mengambil mantel.”

Masuk ke dalam ruangan sempit di bagian belakang toko tersebut, ia menghampiri kotak besar terbuat dari kayu, tempat meletakkan barang-barangnya. Atasan berbahan tebal dengan warna hitam keluar dari sana saat ditarik. Menepuk-nepuk agar benda itu bersih dari debu, lantas dikenakannya dengan mudah. 

“Sudah.” Saat gadis tersebut keluar dari bilik, tidak ada seseorang pun yang menggantikannya. 

“Aku baru mengambil minuman!” seru seseorang.

Gadis itu menghela nafas sedikit, kemudian mengangguk samar. “Kau membuat teh hangat?”

“Ya. Untukmu ada di sana. Sangat panas, tanganku sampai sakit.”

Ia paham, mengangguk lagi, “Aku akan mengambilnya sendiri.”

Waktu menunjukkan pukul delapan malam, tanda bahwa tidak akan ada pengunjung lagi, akan tetapi itu bukanlah sebuah kesimpulan paling benar. Terkadang, saat cuaca dingin begini, para pekerja yang bertandang pulang akan mampir sejenak. Melepas mantel, menyalakan lilin di atas meja, kemudian menyantap kue panas. Kenikmatan tersebut sangat didambakan. 

“Belum tutup?”

“Oh, eh. Belum. Masuklah.” Dia terlihat tidak siap dengan pengunjung yang baru saja berdiri tepat di sampingnya. Padahal, tentu saja lonceng dibunyikan saat ada seseorang masuk. Mereka biasa menyebut dengan pembeli atau pengunjung. Jika pengunjung, maka orang tersebut akan bertahan di sana selama beberapa saat. Jika pembeli, maka hanya membeli kue saja, lalu pergi.

“Minuman jeruk hangat, kepalaku sedikit sakit sejak tadi siang,” kata orang tadi. Rambutnya agak panjang bagian belakang, mullet istilahnya. Cukup cocok dengan warna kulitnya yang putih kemerahan dengan warna rambutnya yang cokelat kemerahan itu  

“Kau terlalu bekerja keras, Lim. Minumlah ... lalu lekaslah pulang.”

“Kenapa?”

“Neesa di rumah sendirian. Aku ....”

“Baiklah, aku akan segera pulang.”

“Terima kasih.” Bagai tidak ada kalimat lain yang dipikirkannya. Putaran jam dinding usang selalu menjadi atensinya sejak menyadari bahwa saat itu sudah terlewat pukul delapan. Pikirannya sedikit menjelajah, mengakibatkan ia melupakan kejadian kotak-kotak roti yang berjatuhan tadi.

“Pakai pakaian yang tebal, Na. Tulang kecil yang hanya terbungkus kulit tipis ini sangat kasihan,” katanya, sambil mengelus pelan ujung jempol milik gadis itu yang terjulur di atas meja. Pemiliknya mengangkat manik sehingga tatapan mereka lurus. Gadis itu hanya tersenyum kecil.

“Terima kasih.”

“Aku ... pulang. Jangan lupa untuk membawa senter saat melewati gang nanti.”

“Mm. Akan kuingat-ingat.” 

Laki-laki itu masih menyempatkan bibirnya meneguk sisa-sisa minuman jeruk langsung dari bibir gelas. Meninggalkan jejak di sana, sebab udara memang benar-benar gigil. Selesai dengan hal itu, laki-laki tersebut menerima saja saat dibantu memasang mantel ke tubuhnya. Berikut topi yang digeletakkan di atas meja. Sekali lagi, kalimat pamit diucapkannya secara lebih dalam. Menyisakan sesuatu yang aneh sampai lonceng kembali berdenting. 

Itu tandanya, toko kembali kosong. 

Sudah dikatakan bahwa pukul delapan malam sangat sukar untuk mendapat pelanggan. Apalagi, delapan malam adalah tadi sebelum laki-laki yang bekerja di salah satu perusahaan ekstraktif tidak jauh dari sana melintas dan mampir. Ini sudah berlalu banyak menit. Bahkan dua gadis yang masih berusaha memelototkan kelopak mata seperti enggan menengok jam. 

“Syukurlah aku tidak memiliki ponsel.” Ya  ponsel adalah alat elektronik yang mempunyai fitur penanda waktu, ada hari, bulan, dan tanggal di sana. Juga detik, menit, serta jam. “Apa ... kita langsung ke dalam saja?”

Ia menunduk sebelum menjawab, “Jangan, orang itu akan melapor—“

“Orang itu bahkan tidak ada, Na! Aku kedinginan setengah mati!” Wajah penyesalan ada di sana, sinar matanya meredup sedetik setelah emosinya meluap. Segera diturunkannya penutup kain pada jendela besar di dekatnya. Melirik sebentar ke arah orang itu sebelum pergi. 

Sedangkan dirinya yang ditinggal seorang diri, kembali menghembuskan nafas kedinginan. 

Mungkin tak apa untuk malam ini.

Para penjaga yang berkeliling di luaran sana memang tidak punya pilihan menolak jika telah diiming-imingi uang. Padahal, tidak merugikan bagi orang itu juga andaikan karyawan di toko roti tersebut memilih menutup toko lebih awal. Ini adalah kemanusiaan, karena dinginnya malam tidak lagi masuk akal. Demi menyelamatkan hidup, sudah sepatutnya mereka berada di kamar sekarang ini. Bukannya mematung di dekat jendela, membiarkan pipi dan lengan yang telanjang diselundup oleh angin.

***

“Kau tidak tidur semalaman?”

Hanya menjawab dengan seutas senyuman, “Aku harus pulang, semuanya sudah bersih.” Kala itu pun ia masih akan menutup pintu rak-rak yang dibuka sekaligus. 

Benar, perlu berkeliling dengan mata waras—yang sudah bebas dari gelayut kantuk. Kaca-kaca dinding mengilap, meski sudah tertutup lagi oleh embun. Lantai licin setelah disapu dan dipel, begitu pula dengan keadaan permukaan meja-meja. Barang-barang dekorasi juga tidak lagi menyembulkan debu. 

“Kau akan lama ....”

Kalimat tersebut menggantung karena lawan bicaranya sudah musnah ditelan pintu.

Di luar toko roti tersebut, ia memulakan langkah dengan saling menggosok-gosok telapak tangannya terlebih dahulu, hingga memerahlah kulit di sekitar sana. Kupluk menutup nyaris sebagian kepala atas, menyisakan sedikit poni yang dibentuk horizontal tepat di atas mata. Beberapa orang mungkin akan ikut merasakan sakit saat membayangkan maniknya itu tercolok, namun sepertinya tidak, gadis itu tidak pernah datang dengan mata merah. 

Setelah melewati gang dan jembatan kecil, bisa dilihatnya sebuah rumah bercat maroon dan putih. Pintu masih tertutup rapat, begitu pula dengan jendelanya. Diketuknya beberapa kali, tidak kunjung terdengar pergerakan dari dalam. Ia terus mencoba. Kali ini, sambil berteriak.

“Neesa!”

Sial, adiknya tidak ada!

Bab terkait

  • The Vestige   Pengunjung Gila

    “Neesa!”Dengan menempelkan mulutnya ke sebuah celah antara papan-papan di depannya, itu akan membuat suaranya lebih kuat dari luar. Tak cukup dengan itu, tangannya juga mulai menggedor. Diulanginya beberapa kali, sampai suara yang cukup kecil menyahut dari lain tempat.“Dia ada di sini ...!”Hanya sekali sahutan, ia segera mengarahkan senter ke sebelah kiri, sedikit berjalan hati-hati karena banyak sekali potongan-potongan ranting. Setelah sampai, didorongnya pelan pintu di depannya dan deritan pun terdengar. Kalimat yang sama lagi, “Dia ada di sini ...!”“Uh ... Nenek? Kau di mana? Gelap sekali ....” Tak lama setelah mengeluh, sakelar lampu dinyalakan. Kemudian tampaklah sosok tua yang berjalan dari arah sebuah kamar, sedangkan seseorang yang ia cari, lelap di bawah lembaran selimut tebal, tepat di depan Televisi.“Tadi malam mati lampu, awalnya dia menolak untuk kuajak ke sini.”

  • The Vestige   First Kiss

    “Jangan mengingat-ingat kejadian tadi.”“Tidak.” Apakah gadis itu kurang puas dengan jawaban dan lebih memilih penalarannya sendiri? Agaknya memang begitu. Soalnya, pertanyaan yang sama sudah dilayangkan beberapa kali.“Aku muak melihatnya tersenyum seperti itu.”Khanara mencari tahu siapa yang dimaksud, yang didapati adalah manusia-manusia berjas, Khanara mengerutkan alis. “Mereka fokus makan,” gumamnya.“Bukan, tapi si Nenek Sihir!”Seakan menepuk jidat dengan telapak tangan, ia membeliak. Harusnya cukup paham dengan siapa yang dimaksud. Lansia yang dipanggilnya sebagai Madame memang selalu terlihat lebih riang saat tokonya penuh.“Na ...”Khanara menoleh, lantas mengikuti lagi arah pandangan temannya itu. Kali ini sungguh memandangi manusia-manusia berjas. Kebanyakan dari mereka memesan roti keju panas dan coklat panas, meski banyak juga yang memesan teh panas.&n

  • The Vestige   Warung Internet

    Benar saja, sedotan dan rematan yang belum sempurna di atas dadanya berhenti. Laki-laki itu menjauh sambil terengah, sorot matanya masih turun dalam beberapa saat. “Maafkan aku, Na. Aku sangat ingin ...” katanya, kali ini telah mendongak. Khanara tidak bisa melihat sorot mata yang ditampilkan laki-laki itu, keadaannya memang gelap. “Kakimu terluka?” Pertanyaan mendadaknya dengan nada tinggi.“T-tidak apa-apa.” Menyeka sesuatu yang nyaris menetes dengan cepat, ia segera berlari, menyelesaikan langkah di dalam gang yang tersisa setengah jalan.Lampu pekarangan padam, perhatiannya langsung terbeliak karena hal itu. Sedikit berlari untuk menuntaskan jarak, kepalan tangannya mengetuk pintu.“Nee!”“Buka saja, Kak. Aku di dalam.”Pintu terbuka lebar, pintu yang hanya terdiri dari satu sisi saja itu menghasilkan bunyi ‘duk’ saat menubruk papan rumah. Terpampanglah suasana rumah yang

  • The Vestige   Minuman Beraroma Bunga

    “Kau kesiangan, dia habis mengamuk tadi,” bisik Meea. “Kau dari mana?”“Dari rumah. Apa dia juga mempermasalahkan adonan? Aku tidak cukup fokus tadi malam.”“Kakimu sakit, pasti kau kesulitan bekerja. Terima kasih untuk tadi malam, ya. Aku janji akan membawa senter, tidak akan merepotkanmu lagi,” bisik Meea dengan wajah sendu. “Kau sudah sarapan?”Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai respons. “Kau sendiri sudah sarapan?”“Seperti biasa, sembunyi-sembunyi.” Mencomot lagi bagian kue yang sudah tidak utuh, dimasukannya ke dalam mulut yang tertutup masker. Mengunyahnya harus pelan-pelan agar tidak ketahuan.“Sebentar lagi bel istirahat untuk pejuang kantor! Bersiaplah!”Sambil tersenyum kecil, ia mengangguk singkat. Toko roti ini bukanlah satu-satunya, namun karena letaknya cukup dekat dengan area penyeberangan dan market kecil, banyak karyawan yang lebih memil

  • The Vestige   Senyuman Manis

    “Kita saling mengenal sejak kecil. Kau ingat ... kau selalu minta digendong.” Sambil terkekeh, tangannya menghempaskan bebatuan kecil ke semak.“Jujur, aku lupa.” Ia berkata apa adanya, “Yang kuingat, kau selalu ada di dekatku dan Neesa, atau malah jauh sebelum Neesa lahir. Sebelum ...”“Sudahlah, jangan diteruskan.”Sebelum manusia pembawa rahim yang mengandungnya selama sembilan bulan kehilangan nyawa. Saat itu, pastilah gadis sekecil dirinya akan mengalami pergolakan batin luar biasa. Namun ketika Ayahnya bilang bahwa ia akan memiliki teman hidup yang dikirimkan oleh Ibunya—senyuman senang tidak bisa terhindar. Tubuh mungil itu bisa menari dengan asal di rumah sakit, membuat beberapa orang tersenyum. Tersenyum haru lebih tepatnya.“Kau masih memilikiku juga.”Melihat Lim ibarat melihat lautan dari atas palung, begitu luar biasa luas dan tenang, seakan tidak ada siapapun di sana, dan k

  • The Vestige   Anak Penyuka Adonan

    Berlari ke arah sepeda, matanya malah gatal untuk menengok ke belakang. Lalu-lalang manusia membuat matanya kesulitan mencari objek incaran. Ah, bahkan ia tidak ingat pakaian yang dikenakan orang tadi. Tapi dilihat dari warna dan bentuknya, kalau tidak salah, menggunakan mantel navy—biru ketuaan. “Dia benar-benar sudah pergi?” gumamnya, selingan senyum tipis pun muncul di bibir. Ah, dia terlalu terburu-buru untuk terpesona. Bisa saja memang laki-laki tadi selalu manis terhadap setiap gadis. “Siapa peduli.” Mencoba tak acuh agar konsentrasinya segera terkumpul, waktu telah terbuang lama, ia tak enak kepada Meea apalagi Madame. Kring ... kring ... sepasang muda-mudi sampai menoleh, Khanara pun menundukkan tubuh sebagai permintaan maaf. Sayang, Madame sangat pengiritan, ia tidak mau membayar orang untuk membenahi pintu belakang, jadilah engselnya yang rusak dibiarkan begitu saja. Suara ketukan palu melaung pagi buta, tiba-tiba saja pintunya sudah dit

  • The Vestige   Wangi Tubuh Khanara

    “Anak itu menyebalkan!”Khanara terkekeh. Bagaimana tidak? Rico menyelonong kembali ke dalam dapur hanya untuk meminta sedikit adonan. Ditambah, kerisauannya karena tidak menemukan alat yang bisa membantunya membawa benda tersebut, anak itu juga menolak tas paper, bersikeras untuk dicarikan plastik. Oh ...! Meea menggeram berulang kali, jarinya sudah mengudara dengan gemas, bersiap mencubit.“Hati-hati di jalan! Lain kali aku akan mengenalkanmu dengan Neesa!” Lambaikan tangannya dibalas dengan anggukan semangat, selanjutnya, anak tersebut berlari menyusul rombongan yang sudah antre masuk ke dalam bus.“Apa dia sangat lucu bagimu? Anak paling pintar di dunia ini hanya Neesa!” celetuk Meea sengit.Jika dipikir, memang. Neesa bukan seperti anak kecil pada umumnya. Dia periang, selalu berpikir, tidak pernah mengacak-ngacak benda, tidak bersuara saat makan, tidak terlalu banyak tingkah.&nb

  • The Vestige   Kejadian Malam

    “Benar tidak masalah kutinggal sendiri?” Meneguk saliva sesaat, raut gugup berubah ketika bertatap muka dengan gadis yang sudah mengenakan mantel. “Iya, tidak apa-apa. Kalau kemalaman, aku akan tidur di sini.” Meea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Jika kau punya pilihan tempat lain, pergilah, Na. Tempat ini sudah mirip neraka,” desisnya, embun sudah memupuk di bawah netranya, menyirat betapa getir gadis itu. Meea bilang bahwa dirinya harus segera pulang—ibunya sakit. Tujuan dari seorang anak yang bekerja adalah membantu diri sendiri dan orang terdekat. Meea hanya punya ibu dan seorang nenek, merasa begitu diandalkan adalah sesuatu yang dipahami oleh Meea. Entahlah, kenapa dua gadis itu memiliki kesamaan—anggota keluarga yang kurang. “Aku tidak apa-apa, kok.” Khanara meyakinkan diri, meski batinnya mulai lelah. Matanya mengerjap saat pun

Bab terbaru

  • The Vestige   Mengunci Waktu

    Ada beberapa hal yang membuat seseorang bertahan di sebuah tempat. Bisa karena keterpaksaan atau tidak ada pilihan lain. Sebuah kata terpaksa bisa dipergunakan sekalipun mempunyai peluang di lain tempat. Sedangkan tidak ada pilihan lain adalah bualan yang dilebih-lebihkan. Setiap makhluk hidup selalu dihadapkan oleh pilihan, itu pasti.‘Neesa hati-hati. Makanlah banyak dan jangan merepotkan gurumu. Saat pulang nanti, cepat mandi lalu istirahat, jangan lupa mengunci pintu.’Suara gemercik sudah berhenti dari bilik kamar mandi sekian menit lalu, kini, keluarlah seorang anak dengan handuk yang masih meliliti tubuhnya.“Kak, sedang apa?”“Membuat bekal, ada pesan untukmu di sini. Kakak hanya takut kau lupa.”“Jangan sedih begitu, aku perlu tak lama. Guru juga akan menjagaku.”Khanara menunduk agar tinggi tubuh mereka lebih sejajar. “Iya, kau han

  • The Vestige   One Night

    Apakah kalian percaya tentang sebuah ilmu yang bisa menghilangkan ingatan? Apakah kalian percaya tentang keberadaan semacam mantra-mantra? Baiklah, kehidupan memang telah maju sejak beberapa kurun waktu lalu. Namun, soal fantasi, belum ada bukti yang menyatakan ketiadaannya. Semuanya bisa terjadi, apalagi jika benar dunia tidak terdiri atas satu universe saja.Banyak ketidakmungkinan di luaran sana yang mungkin tengah terjadi atau memang biasa berlangsung seperti kegiatan pagi, siang, serta malam orang-orang di sekeliling kita. Mungkin kita sudah sepatutnya menggunakan kaki untuk berjalan dan terbiasa menempuh jarak untuk bisa sampai ke suatu tempat. Sekali lagi, mungkin saja di luaran sana tidak memerlukan step-step tersebut. Bisa jadi hanya dengan menjentikkan jari, banyak hal bisa dilakukan dalam sekali genggam.Yang dilakukan saat seseorang tengah tertegun atau tertohok adalah tidak mampu memprediksi apa yang tengah dihadapin

  • The Vestige   Langkah

    Neesa memeluk erat, ketiba-tibaan itu sontak membuat rasa khawatirnya mendadak hidup. Ia yang berstatus sebagai anak pertama sekaligus orang tua bagi gadis kecil itu, telah meninggalkan rumah selama dua hari.Berbekal izin untuk menitipkan kepada tetangga samping rumahnya untuk menjaga Neesa, namun tampaknya, tidak membuahkan hasil baik.Ketakutan yang sangat kentara justru menjadi bomerang sekarang.“Katakan ada apa? Jangan membuatku takut,” ucapnya lagi dengan tulus, berharap kali ini gadis itu mampu mengatakan sepatah kata, alih-alih hanya memeluk dan merengkuh dengan erat saja.“Aku ... aku takut, Kak.”“Takut kenapa, huh? Katakan pada Kakak.”“Aku ingin Kakak di rumah.”Sorot mata berkaca-kaca, namun tak mampu memantulkan apapun yang ada di depannya. Luluh, tanpa berpikir panjang,

  • The Vestige   Kejadian Malam

    “Benar tidak masalah kutinggal sendiri?” Meneguk saliva sesaat, raut gugup berubah ketika bertatap muka dengan gadis yang sudah mengenakan mantel. “Iya, tidak apa-apa. Kalau kemalaman, aku akan tidur di sini.” Meea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Jika kau punya pilihan tempat lain, pergilah, Na. Tempat ini sudah mirip neraka,” desisnya, embun sudah memupuk di bawah netranya, menyirat betapa getir gadis itu. Meea bilang bahwa dirinya harus segera pulang—ibunya sakit. Tujuan dari seorang anak yang bekerja adalah membantu diri sendiri dan orang terdekat. Meea hanya punya ibu dan seorang nenek, merasa begitu diandalkan adalah sesuatu yang dipahami oleh Meea. Entahlah, kenapa dua gadis itu memiliki kesamaan—anggota keluarga yang kurang. “Aku tidak apa-apa, kok.” Khanara meyakinkan diri, meski batinnya mulai lelah. Matanya mengerjap saat pun

  • The Vestige   Wangi Tubuh Khanara

    “Anak itu menyebalkan!”Khanara terkekeh. Bagaimana tidak? Rico menyelonong kembali ke dalam dapur hanya untuk meminta sedikit adonan. Ditambah, kerisauannya karena tidak menemukan alat yang bisa membantunya membawa benda tersebut, anak itu juga menolak tas paper, bersikeras untuk dicarikan plastik. Oh ...! Meea menggeram berulang kali, jarinya sudah mengudara dengan gemas, bersiap mencubit.“Hati-hati di jalan! Lain kali aku akan mengenalkanmu dengan Neesa!” Lambaikan tangannya dibalas dengan anggukan semangat, selanjutnya, anak tersebut berlari menyusul rombongan yang sudah antre masuk ke dalam bus.“Apa dia sangat lucu bagimu? Anak paling pintar di dunia ini hanya Neesa!” celetuk Meea sengit.Jika dipikir, memang. Neesa bukan seperti anak kecil pada umumnya. Dia periang, selalu berpikir, tidak pernah mengacak-ngacak benda, tidak bersuara saat makan, tidak terlalu banyak tingkah.&nb

  • The Vestige   Anak Penyuka Adonan

    Berlari ke arah sepeda, matanya malah gatal untuk menengok ke belakang. Lalu-lalang manusia membuat matanya kesulitan mencari objek incaran. Ah, bahkan ia tidak ingat pakaian yang dikenakan orang tadi. Tapi dilihat dari warna dan bentuknya, kalau tidak salah, menggunakan mantel navy—biru ketuaan. “Dia benar-benar sudah pergi?” gumamnya, selingan senyum tipis pun muncul di bibir. Ah, dia terlalu terburu-buru untuk terpesona. Bisa saja memang laki-laki tadi selalu manis terhadap setiap gadis. “Siapa peduli.” Mencoba tak acuh agar konsentrasinya segera terkumpul, waktu telah terbuang lama, ia tak enak kepada Meea apalagi Madame. Kring ... kring ... sepasang muda-mudi sampai menoleh, Khanara pun menundukkan tubuh sebagai permintaan maaf. Sayang, Madame sangat pengiritan, ia tidak mau membayar orang untuk membenahi pintu belakang, jadilah engselnya yang rusak dibiarkan begitu saja. Suara ketukan palu melaung pagi buta, tiba-tiba saja pintunya sudah dit

  • The Vestige   Senyuman Manis

    “Kita saling mengenal sejak kecil. Kau ingat ... kau selalu minta digendong.” Sambil terkekeh, tangannya menghempaskan bebatuan kecil ke semak.“Jujur, aku lupa.” Ia berkata apa adanya, “Yang kuingat, kau selalu ada di dekatku dan Neesa, atau malah jauh sebelum Neesa lahir. Sebelum ...”“Sudahlah, jangan diteruskan.”Sebelum manusia pembawa rahim yang mengandungnya selama sembilan bulan kehilangan nyawa. Saat itu, pastilah gadis sekecil dirinya akan mengalami pergolakan batin luar biasa. Namun ketika Ayahnya bilang bahwa ia akan memiliki teman hidup yang dikirimkan oleh Ibunya—senyuman senang tidak bisa terhindar. Tubuh mungil itu bisa menari dengan asal di rumah sakit, membuat beberapa orang tersenyum. Tersenyum haru lebih tepatnya.“Kau masih memilikiku juga.”Melihat Lim ibarat melihat lautan dari atas palung, begitu luar biasa luas dan tenang, seakan tidak ada siapapun di sana, dan k

  • The Vestige   Minuman Beraroma Bunga

    “Kau kesiangan, dia habis mengamuk tadi,” bisik Meea. “Kau dari mana?”“Dari rumah. Apa dia juga mempermasalahkan adonan? Aku tidak cukup fokus tadi malam.”“Kakimu sakit, pasti kau kesulitan bekerja. Terima kasih untuk tadi malam, ya. Aku janji akan membawa senter, tidak akan merepotkanmu lagi,” bisik Meea dengan wajah sendu. “Kau sudah sarapan?”Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai respons. “Kau sendiri sudah sarapan?”“Seperti biasa, sembunyi-sembunyi.” Mencomot lagi bagian kue yang sudah tidak utuh, dimasukannya ke dalam mulut yang tertutup masker. Mengunyahnya harus pelan-pelan agar tidak ketahuan.“Sebentar lagi bel istirahat untuk pejuang kantor! Bersiaplah!”Sambil tersenyum kecil, ia mengangguk singkat. Toko roti ini bukanlah satu-satunya, namun karena letaknya cukup dekat dengan area penyeberangan dan market kecil, banyak karyawan yang lebih memil

  • The Vestige   Warung Internet

    Benar saja, sedotan dan rematan yang belum sempurna di atas dadanya berhenti. Laki-laki itu menjauh sambil terengah, sorot matanya masih turun dalam beberapa saat. “Maafkan aku, Na. Aku sangat ingin ...” katanya, kali ini telah mendongak. Khanara tidak bisa melihat sorot mata yang ditampilkan laki-laki itu, keadaannya memang gelap. “Kakimu terluka?” Pertanyaan mendadaknya dengan nada tinggi.“T-tidak apa-apa.” Menyeka sesuatu yang nyaris menetes dengan cepat, ia segera berlari, menyelesaikan langkah di dalam gang yang tersisa setengah jalan.Lampu pekarangan padam, perhatiannya langsung terbeliak karena hal itu. Sedikit berlari untuk menuntaskan jarak, kepalan tangannya mengetuk pintu.“Nee!”“Buka saja, Kak. Aku di dalam.”Pintu terbuka lebar, pintu yang hanya terdiri dari satu sisi saja itu menghasilkan bunyi ‘duk’ saat menubruk papan rumah. Terpampanglah suasana rumah yang

DMCA.com Protection Status