“Neesa!”
Dengan menempelkan mulutnya ke sebuah celah antara papan-papan di depannya, itu akan membuat suaranya lebih kuat dari luar. Tak cukup dengan itu, tangannya juga mulai menggedor. Diulanginya beberapa kali, sampai suara yang cukup kecil menyahut dari lain tempat.“Dia ada di sini ...!” Hanya sekali sahutan, ia segera mengarahkan senter ke sebelah kiri, sedikit berjalan hati-hati karena banyak sekali potongan-potongan ranting. Setelah sampai, didorongnya pelan pintu di depannya dan deritan pun terdengar. Kalimat yang sama lagi, “Dia ada di sini ...!”“Uh ... Nenek? Kau di mana? Gelap sekali ....” Tak lama setelah mengeluh, sakelar lampu dinyalakan. Kemudian tampaklah sosok tua yang berjalan dari arah sebuah kamar, sedangkan seseorang yang ia cari, lelap di bawah lembaran selimut tebal, tepat di depan Televisi. “Tadi malam mati lampu, awalnya dia menolak untuk kuajak ke sini.”“Pemadaman lampu? Pukul berapa, Nek?”“Lebih dari pukul satu malam. Aku harus memastikan obor di depan sana menyala, jika saja dia sudah tidur, aku juga tidak akan membangunkannya.”“Di jam selarut itu dia belum tidur, tidak biasanya ....”“Dia membaca buku, itu alibinya,” tukas sang nenek, setelah terduduk di kursi anyaman rotan. “Bubur ini untukmu, makanlah. Untuk Nee biar kubuatkan lagi.”Ia menolak dengan gelengan kecil, “Aku sudah makan.”“Madame-mu menyiapkannya?” Dengan sedikit terheran, tangannya menutup kembali permukaan mangkuk dengan kertas. “Meea sering ke toko kelontong, jadi, aku menitip mi rebus.” Itu memang benar, bisa dikatakan bahwa Meea adalah penyuka makanan instan. Kantong kereseknya selalu menampung beberapa mi instan dan sosis dengan harga murah meriah. Hanya dibutuhkan waktu sebentar untuk mematangkannya. Penggunaan kompor gas memang memerlukan biaya dan itu dipotong dari gaji mereka sendiri. “Apa kau akan segera kembali?” “Em. Tiga puluh menit cukup untuk mandi dan berkemas,” sahutnya. “Ah ini ....” Mengeluarkan sesuatu yang mengembung di balik saku mantel, “Berikan ini padanya saat bangun nanti.”Tidak ada rumah berpagar besi di area itu, jalan setapaknya juga sangat kecil, tidak ada roda dua boleh melintas. Jika memaksa, maka harus sangat pelan. Tidak diperbolehkan karena sangat membahayakan. Masih ditoleransi jika itu adalah sepeda kayuh.Suasana cukup sepi karena sekarang masih pagi hari, orang-orang akan sibuk bekerja atau melakukan pekerjaan rumahnya. Wilayah sekitar sana memang tidak akan ramai oleh para penjual koran keliling ataupun pedagang asongan, tidak akan ada yang membeli. Justru, para penjual tersebut akan bilang, ‘Lebih baik simpan uangmu, sewaktu-waktu harga beras bisa naik’. Jika pedagang asongan atau penjual koran keliling tampak berangkat dari wilayah sini, maka itu masuk akal. Di sinilah kasta orang bawah berada, mereka didominasi oleh pekerja toko, penjaja keliling, buruh, dan sekelompok pengangguran.Ruangan hanya seluas dua puluh lima meter persegi itu cukup rapi, menyimpan sofa usang tepat di depan pintu. Kemudian tak jauh di depannya adalah tirai yang memisahkan ruang utama tempat menerima tamu—meski sangat jarang—dengan kamar tempatnya berbagi satu kasur dengan Neesa. Ada almari, rak buku, meja tanpa kursi, karena mejanya kecil sehingga menggunakannya cukup dengan duduk di lantai. Neesa-lah pengguna langganan meja itu, dipergunakannya masa libur sekolah untuk banyak-banyak membaca buku. Buku bukanlah barang mahal, meski menyandang titel best seller sekalipun. Beberapa orang tak cukup mampu akan menukarkan sebuah buku dengan buku lagi. Itulah yang mereka lalukan agar bisa menjadi lebih pintar. Ia tak menuntun langkah hingga masuk ke kamar, kakinya justru mengarahkan untuk duduk di sofa, terdapat selimut yang belum dilipat. Ia hanya berdiam diri seraya mengedarkan pandangan. Menghela nafas beberapa kali saat tubuhnya menyender. Kondisi rumah masih cukup rapi sejak ditinggal kemarin. Besok adalah hari libur, sehingga nanti malam ia bisa kembali dan menemani adik semata wayangnya.***“Pengguna sosial media lagi-lagi menampik soal video amatir yang diberikan seorang anak kelas sepuluh. Dalam video itu, ia hanya berniat untuk merekam langit dari Hutan Eranest, guru memintanya membacakan puisi disertai visualisasi langsung tentang tema yang diangkat, yaitu, alam. Dikarenakan gerimis turun, ia lekas pergi agar kameranya tidak basah. Alih-alih mematikan dan meletakkan kamera ke dalam tas, ia malah menentengnya begitu saja dalam kondisi masih merekam. Bayangan sesosok bertubuh hitam pun tertangkap kamera tersebut, berjarak sekitar sepuluh meter dari bocah itu berlari." Suara dari radio menggelam pelan namun semua di ruangan tersebut bisa mendengarnya, berhenti makan dan berhenti berbincang adalah salah satu caranya.“Bocah itu memang masih sekadar bocah, dia langsung mengunggah videonya di ruang percakapan kelas. Anak-anak lain mungkin lebih memperhatikan ...”“Aku juga akan sama seperti anak itu jika melihat kejadian aneh. Ini masalah keselamatan umum juga, sangat wajib untuk disebarkan—““Dan membuat publik gempar?! Padahal ini bisa saja editan!”Setelah meneguk minuman dan tandas di mulutnya, gelas tersebut terduduk di atas meja dengan sedikit keras. “Juga anak yang hilang saat camping itu editan? Apa otak warasmu sudah hilang?”“Aku tidak bilang anak yang hilang itu editan!” elaknya, agaknya peri kemanusiaan wanita itu akan sangat terluka jika menyetujui kalimat yang dilontarkan untuknya, sehingga ikut berteriak.“Dia hidup di hutan dan anak itu juga hilang di hutan! Jangan sampai saudaramu hilang baru kau akan menyesal!” Setelah membuang sisa isi di gelasnya ke lantai, juga menggebrak meja, dan meletakkan gelas dengan kasar, pria tersebut keluar. Sekonyong-konyong seorang paruh baya keluar dari ruang tengah, “Heh, Berandal! Kenapa kau pergi begitu saja?! Kau belum membayar! Kembali! Kembali!” Tubuh gempal yang berkacak pinggang, terus mengacungkan tongkat, “Hei kau!”Wanita di depannya berjingkat karena punggungnya dipukul keras.“Kau yang harus membayarkan makanan temanmu itu! Aku bisa rugi!”“Aku tidak memakannya, kenapa aku harus membayar?!” teriaknya seperti hilang kendali. “Aku tidak peduli! Dia datang bersamamu maka kau harus membayar!”“Tidak!”“Bayar!”“Aku bilang tidak!”“Nona ... tolong bayar saja ...”“Toko ini diisi manusia-manusia tuli ternyata. Menjengkelkan!” Mungkin benar jika persahabatan terjalin karena saling memiliki kesamaan. Sifat keduanya sangat mirip. Jika si lelaki memilih membuang sisa minumannya ke lantai dan nyaris memecahkan gelas, si wanita justru lebih terampil dengan menunjukkan lebih banyak kekuatannya; mendorong sang waiters hingga tersungkur ke tanah. Sekali lagi, mereka punya kesamaan, yaitu meninggalkan toko secara tidak sopan. “U-uh, kau tidak apa-apa?” Seseorang berkaos putih lengkap dengan celemek menggantung di pinggang, “Dasar manusia gila!” dumalnya menghadap pintu, kemudian, kembali membantu untuk berdiri. “Pasti bagian sini sakit ....”Ia mengangguk, “Sepertinya terkilir.”“Ke belakang sebentar, akan kubantu mengoleskan krim.”“Kalian mau ke mana?!”Matamu tidak melihat jika kakinya sakit?, sepertinya itulah yang akan dikatakan Meea. Matanya melotot, bibirnya berkedut. “Sudahnya, Mee, jam istirahat sebentar lagi.” Menilik jam yang tidak akan lama lagi baru mereka bisa meregangkan otot, tentunya cukup jauh dari jam istirahat para pekerja lain. Di saat para karyawan perusahaan besar atau pabrik-pabrik biasa istirahat, maka mereka justru harus siaga. “Nenekku lebih berwibawa dari pada dia. Nenekku tidak pernah merengek minta dipanggil Madame!”Khanara terkekeh mendengar itu.“Jangan mengingat-ingat kejadian tadi.”“Tidak.” Apakah gadis itu kurang puas dengan jawaban dan lebih memilih penalarannya sendiri? Agaknya memang begitu. Soalnya, pertanyaan yang sama sudah dilayangkan beberapa kali.“Aku muak melihatnya tersenyum seperti itu.”Khanara mencari tahu siapa yang dimaksud, yang didapati adalah manusia-manusia berjas, Khanara mengerutkan alis. “Mereka fokus makan,” gumamnya.“Bukan, tapi si Nenek Sihir!”Seakan menepuk jidat dengan telapak tangan, ia membeliak. Harusnya cukup paham dengan siapa yang dimaksud. Lansia yang dipanggilnya sebagai Madame memang selalu terlihat lebih riang saat tokonya penuh.“Na ...”Khanara menoleh, lantas mengikuti lagi arah pandangan temannya itu. Kali ini sungguh memandangi manusia-manusia berjas. Kebanyakan dari mereka memesan roti keju panas dan coklat panas, meski banyak juga yang memesan teh panas.&n
Benar saja, sedotan dan rematan yang belum sempurna di atas dadanya berhenti. Laki-laki itu menjauh sambil terengah, sorot matanya masih turun dalam beberapa saat. “Maafkan aku, Na. Aku sangat ingin ...” katanya, kali ini telah mendongak. Khanara tidak bisa melihat sorot mata yang ditampilkan laki-laki itu, keadaannya memang gelap. “Kakimu terluka?” Pertanyaan mendadaknya dengan nada tinggi.“T-tidak apa-apa.” Menyeka sesuatu yang nyaris menetes dengan cepat, ia segera berlari, menyelesaikan langkah di dalam gang yang tersisa setengah jalan.Lampu pekarangan padam, perhatiannya langsung terbeliak karena hal itu. Sedikit berlari untuk menuntaskan jarak, kepalan tangannya mengetuk pintu.“Nee!”“Buka saja, Kak. Aku di dalam.”Pintu terbuka lebar, pintu yang hanya terdiri dari satu sisi saja itu menghasilkan bunyi ‘duk’ saat menubruk papan rumah. Terpampanglah suasana rumah yang
“Kau kesiangan, dia habis mengamuk tadi,” bisik Meea. “Kau dari mana?”“Dari rumah. Apa dia juga mempermasalahkan adonan? Aku tidak cukup fokus tadi malam.”“Kakimu sakit, pasti kau kesulitan bekerja. Terima kasih untuk tadi malam, ya. Aku janji akan membawa senter, tidak akan merepotkanmu lagi,” bisik Meea dengan wajah sendu. “Kau sudah sarapan?”Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai respons. “Kau sendiri sudah sarapan?”“Seperti biasa, sembunyi-sembunyi.” Mencomot lagi bagian kue yang sudah tidak utuh, dimasukannya ke dalam mulut yang tertutup masker. Mengunyahnya harus pelan-pelan agar tidak ketahuan.“Sebentar lagi bel istirahat untuk pejuang kantor! Bersiaplah!”Sambil tersenyum kecil, ia mengangguk singkat. Toko roti ini bukanlah satu-satunya, namun karena letaknya cukup dekat dengan area penyeberangan dan market kecil, banyak karyawan yang lebih memil
“Kita saling mengenal sejak kecil. Kau ingat ... kau selalu minta digendong.” Sambil terkekeh, tangannya menghempaskan bebatuan kecil ke semak.“Jujur, aku lupa.” Ia berkata apa adanya, “Yang kuingat, kau selalu ada di dekatku dan Neesa, atau malah jauh sebelum Neesa lahir. Sebelum ...”“Sudahlah, jangan diteruskan.”Sebelum manusia pembawa rahim yang mengandungnya selama sembilan bulan kehilangan nyawa. Saat itu, pastilah gadis sekecil dirinya akan mengalami pergolakan batin luar biasa. Namun ketika Ayahnya bilang bahwa ia akan memiliki teman hidup yang dikirimkan oleh Ibunya—senyuman senang tidak bisa terhindar. Tubuh mungil itu bisa menari dengan asal di rumah sakit, membuat beberapa orang tersenyum. Tersenyum haru lebih tepatnya.“Kau masih memilikiku juga.”Melihat Lim ibarat melihat lautan dari atas palung, begitu luar biasa luas dan tenang, seakan tidak ada siapapun di sana, dan k
Berlari ke arah sepeda, matanya malah gatal untuk menengok ke belakang. Lalu-lalang manusia membuat matanya kesulitan mencari objek incaran. Ah, bahkan ia tidak ingat pakaian yang dikenakan orang tadi. Tapi dilihat dari warna dan bentuknya, kalau tidak salah, menggunakan mantel navy—biru ketuaan. “Dia benar-benar sudah pergi?” gumamnya, selingan senyum tipis pun muncul di bibir. Ah, dia terlalu terburu-buru untuk terpesona. Bisa saja memang laki-laki tadi selalu manis terhadap setiap gadis. “Siapa peduli.” Mencoba tak acuh agar konsentrasinya segera terkumpul, waktu telah terbuang lama, ia tak enak kepada Meea apalagi Madame. Kring ... kring ... sepasang muda-mudi sampai menoleh, Khanara pun menundukkan tubuh sebagai permintaan maaf. Sayang, Madame sangat pengiritan, ia tidak mau membayar orang untuk membenahi pintu belakang, jadilah engselnya yang rusak dibiarkan begitu saja. Suara ketukan palu melaung pagi buta, tiba-tiba saja pintunya sudah dit
“Anak itu menyebalkan!”Khanara terkekeh. Bagaimana tidak? Rico menyelonong kembali ke dalam dapur hanya untuk meminta sedikit adonan. Ditambah, kerisauannya karena tidak menemukan alat yang bisa membantunya membawa benda tersebut, anak itu juga menolak tas paper, bersikeras untuk dicarikan plastik. Oh ...! Meea menggeram berulang kali, jarinya sudah mengudara dengan gemas, bersiap mencubit.“Hati-hati di jalan! Lain kali aku akan mengenalkanmu dengan Neesa!” Lambaikan tangannya dibalas dengan anggukan semangat, selanjutnya, anak tersebut berlari menyusul rombongan yang sudah antre masuk ke dalam bus.“Apa dia sangat lucu bagimu? Anak paling pintar di dunia ini hanya Neesa!” celetuk Meea sengit.Jika dipikir, memang. Neesa bukan seperti anak kecil pada umumnya. Dia periang, selalu berpikir, tidak pernah mengacak-ngacak benda, tidak bersuara saat makan, tidak terlalu banyak tingkah.&nb
“Benar tidak masalah kutinggal sendiri?” Meneguk saliva sesaat, raut gugup berubah ketika bertatap muka dengan gadis yang sudah mengenakan mantel. “Iya, tidak apa-apa. Kalau kemalaman, aku akan tidur di sini.” Meea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Jika kau punya pilihan tempat lain, pergilah, Na. Tempat ini sudah mirip neraka,” desisnya, embun sudah memupuk di bawah netranya, menyirat betapa getir gadis itu. Meea bilang bahwa dirinya harus segera pulang—ibunya sakit. Tujuan dari seorang anak yang bekerja adalah membantu diri sendiri dan orang terdekat. Meea hanya punya ibu dan seorang nenek, merasa begitu diandalkan adalah sesuatu yang dipahami oleh Meea. Entahlah, kenapa dua gadis itu memiliki kesamaan—anggota keluarga yang kurang. “Aku tidak apa-apa, kok.” Khanara meyakinkan diri, meski batinnya mulai lelah. Matanya mengerjap saat pun
Neesa memeluk erat, ketiba-tibaan itu sontak membuat rasa khawatirnya mendadak hidup. Ia yang berstatus sebagai anak pertama sekaligus orang tua bagi gadis kecil itu, telah meninggalkan rumah selama dua hari.Berbekal izin untuk menitipkan kepada tetangga samping rumahnya untuk menjaga Neesa, namun tampaknya, tidak membuahkan hasil baik.Ketakutan yang sangat kentara justru menjadi bomerang sekarang.“Katakan ada apa? Jangan membuatku takut,” ucapnya lagi dengan tulus, berharap kali ini gadis itu mampu mengatakan sepatah kata, alih-alih hanya memeluk dan merengkuh dengan erat saja.“Aku ... aku takut, Kak.”“Takut kenapa, huh? Katakan pada Kakak.”“Aku ingin Kakak di rumah.”Sorot mata berkaca-kaca, namun tak mampu memantulkan apapun yang ada di depannya. Luluh, tanpa berpikir panjang,
Ada beberapa hal yang membuat seseorang bertahan di sebuah tempat. Bisa karena keterpaksaan atau tidak ada pilihan lain. Sebuah kata terpaksa bisa dipergunakan sekalipun mempunyai peluang di lain tempat. Sedangkan tidak ada pilihan lain adalah bualan yang dilebih-lebihkan. Setiap makhluk hidup selalu dihadapkan oleh pilihan, itu pasti.‘Neesa hati-hati. Makanlah banyak dan jangan merepotkan gurumu. Saat pulang nanti, cepat mandi lalu istirahat, jangan lupa mengunci pintu.’Suara gemercik sudah berhenti dari bilik kamar mandi sekian menit lalu, kini, keluarlah seorang anak dengan handuk yang masih meliliti tubuhnya.“Kak, sedang apa?”“Membuat bekal, ada pesan untukmu di sini. Kakak hanya takut kau lupa.”“Jangan sedih begitu, aku perlu tak lama. Guru juga akan menjagaku.”Khanara menunduk agar tinggi tubuh mereka lebih sejajar. “Iya, kau han
Apakah kalian percaya tentang sebuah ilmu yang bisa menghilangkan ingatan? Apakah kalian percaya tentang keberadaan semacam mantra-mantra? Baiklah, kehidupan memang telah maju sejak beberapa kurun waktu lalu. Namun, soal fantasi, belum ada bukti yang menyatakan ketiadaannya. Semuanya bisa terjadi, apalagi jika benar dunia tidak terdiri atas satu universe saja.Banyak ketidakmungkinan di luaran sana yang mungkin tengah terjadi atau memang biasa berlangsung seperti kegiatan pagi, siang, serta malam orang-orang di sekeliling kita. Mungkin kita sudah sepatutnya menggunakan kaki untuk berjalan dan terbiasa menempuh jarak untuk bisa sampai ke suatu tempat. Sekali lagi, mungkin saja di luaran sana tidak memerlukan step-step tersebut. Bisa jadi hanya dengan menjentikkan jari, banyak hal bisa dilakukan dalam sekali genggam.Yang dilakukan saat seseorang tengah tertegun atau tertohok adalah tidak mampu memprediksi apa yang tengah dihadapin
Neesa memeluk erat, ketiba-tibaan itu sontak membuat rasa khawatirnya mendadak hidup. Ia yang berstatus sebagai anak pertama sekaligus orang tua bagi gadis kecil itu, telah meninggalkan rumah selama dua hari.Berbekal izin untuk menitipkan kepada tetangga samping rumahnya untuk menjaga Neesa, namun tampaknya, tidak membuahkan hasil baik.Ketakutan yang sangat kentara justru menjadi bomerang sekarang.“Katakan ada apa? Jangan membuatku takut,” ucapnya lagi dengan tulus, berharap kali ini gadis itu mampu mengatakan sepatah kata, alih-alih hanya memeluk dan merengkuh dengan erat saja.“Aku ... aku takut, Kak.”“Takut kenapa, huh? Katakan pada Kakak.”“Aku ingin Kakak di rumah.”Sorot mata berkaca-kaca, namun tak mampu memantulkan apapun yang ada di depannya. Luluh, tanpa berpikir panjang,
“Benar tidak masalah kutinggal sendiri?” Meneguk saliva sesaat, raut gugup berubah ketika bertatap muka dengan gadis yang sudah mengenakan mantel. “Iya, tidak apa-apa. Kalau kemalaman, aku akan tidur di sini.” Meea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Jika kau punya pilihan tempat lain, pergilah, Na. Tempat ini sudah mirip neraka,” desisnya, embun sudah memupuk di bawah netranya, menyirat betapa getir gadis itu. Meea bilang bahwa dirinya harus segera pulang—ibunya sakit. Tujuan dari seorang anak yang bekerja adalah membantu diri sendiri dan orang terdekat. Meea hanya punya ibu dan seorang nenek, merasa begitu diandalkan adalah sesuatu yang dipahami oleh Meea. Entahlah, kenapa dua gadis itu memiliki kesamaan—anggota keluarga yang kurang. “Aku tidak apa-apa, kok.” Khanara meyakinkan diri, meski batinnya mulai lelah. Matanya mengerjap saat pun
“Anak itu menyebalkan!”Khanara terkekeh. Bagaimana tidak? Rico menyelonong kembali ke dalam dapur hanya untuk meminta sedikit adonan. Ditambah, kerisauannya karena tidak menemukan alat yang bisa membantunya membawa benda tersebut, anak itu juga menolak tas paper, bersikeras untuk dicarikan plastik. Oh ...! Meea menggeram berulang kali, jarinya sudah mengudara dengan gemas, bersiap mencubit.“Hati-hati di jalan! Lain kali aku akan mengenalkanmu dengan Neesa!” Lambaikan tangannya dibalas dengan anggukan semangat, selanjutnya, anak tersebut berlari menyusul rombongan yang sudah antre masuk ke dalam bus.“Apa dia sangat lucu bagimu? Anak paling pintar di dunia ini hanya Neesa!” celetuk Meea sengit.Jika dipikir, memang. Neesa bukan seperti anak kecil pada umumnya. Dia periang, selalu berpikir, tidak pernah mengacak-ngacak benda, tidak bersuara saat makan, tidak terlalu banyak tingkah.&nb
Berlari ke arah sepeda, matanya malah gatal untuk menengok ke belakang. Lalu-lalang manusia membuat matanya kesulitan mencari objek incaran. Ah, bahkan ia tidak ingat pakaian yang dikenakan orang tadi. Tapi dilihat dari warna dan bentuknya, kalau tidak salah, menggunakan mantel navy—biru ketuaan. “Dia benar-benar sudah pergi?” gumamnya, selingan senyum tipis pun muncul di bibir. Ah, dia terlalu terburu-buru untuk terpesona. Bisa saja memang laki-laki tadi selalu manis terhadap setiap gadis. “Siapa peduli.” Mencoba tak acuh agar konsentrasinya segera terkumpul, waktu telah terbuang lama, ia tak enak kepada Meea apalagi Madame. Kring ... kring ... sepasang muda-mudi sampai menoleh, Khanara pun menundukkan tubuh sebagai permintaan maaf. Sayang, Madame sangat pengiritan, ia tidak mau membayar orang untuk membenahi pintu belakang, jadilah engselnya yang rusak dibiarkan begitu saja. Suara ketukan palu melaung pagi buta, tiba-tiba saja pintunya sudah dit
“Kita saling mengenal sejak kecil. Kau ingat ... kau selalu minta digendong.” Sambil terkekeh, tangannya menghempaskan bebatuan kecil ke semak.“Jujur, aku lupa.” Ia berkata apa adanya, “Yang kuingat, kau selalu ada di dekatku dan Neesa, atau malah jauh sebelum Neesa lahir. Sebelum ...”“Sudahlah, jangan diteruskan.”Sebelum manusia pembawa rahim yang mengandungnya selama sembilan bulan kehilangan nyawa. Saat itu, pastilah gadis sekecil dirinya akan mengalami pergolakan batin luar biasa. Namun ketika Ayahnya bilang bahwa ia akan memiliki teman hidup yang dikirimkan oleh Ibunya—senyuman senang tidak bisa terhindar. Tubuh mungil itu bisa menari dengan asal di rumah sakit, membuat beberapa orang tersenyum. Tersenyum haru lebih tepatnya.“Kau masih memilikiku juga.”Melihat Lim ibarat melihat lautan dari atas palung, begitu luar biasa luas dan tenang, seakan tidak ada siapapun di sana, dan k
“Kau kesiangan, dia habis mengamuk tadi,” bisik Meea. “Kau dari mana?”“Dari rumah. Apa dia juga mempermasalahkan adonan? Aku tidak cukup fokus tadi malam.”“Kakimu sakit, pasti kau kesulitan bekerja. Terima kasih untuk tadi malam, ya. Aku janji akan membawa senter, tidak akan merepotkanmu lagi,” bisik Meea dengan wajah sendu. “Kau sudah sarapan?”Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai respons. “Kau sendiri sudah sarapan?”“Seperti biasa, sembunyi-sembunyi.” Mencomot lagi bagian kue yang sudah tidak utuh, dimasukannya ke dalam mulut yang tertutup masker. Mengunyahnya harus pelan-pelan agar tidak ketahuan.“Sebentar lagi bel istirahat untuk pejuang kantor! Bersiaplah!”Sambil tersenyum kecil, ia mengangguk singkat. Toko roti ini bukanlah satu-satunya, namun karena letaknya cukup dekat dengan area penyeberangan dan market kecil, banyak karyawan yang lebih memil
Benar saja, sedotan dan rematan yang belum sempurna di atas dadanya berhenti. Laki-laki itu menjauh sambil terengah, sorot matanya masih turun dalam beberapa saat. “Maafkan aku, Na. Aku sangat ingin ...” katanya, kali ini telah mendongak. Khanara tidak bisa melihat sorot mata yang ditampilkan laki-laki itu, keadaannya memang gelap. “Kakimu terluka?” Pertanyaan mendadaknya dengan nada tinggi.“T-tidak apa-apa.” Menyeka sesuatu yang nyaris menetes dengan cepat, ia segera berlari, menyelesaikan langkah di dalam gang yang tersisa setengah jalan.Lampu pekarangan padam, perhatiannya langsung terbeliak karena hal itu. Sedikit berlari untuk menuntaskan jarak, kepalan tangannya mengetuk pintu.“Nee!”“Buka saja, Kak. Aku di dalam.”Pintu terbuka lebar, pintu yang hanya terdiri dari satu sisi saja itu menghasilkan bunyi ‘duk’ saat menubruk papan rumah. Terpampanglah suasana rumah yang