"Eh?"
Dion meraba wajahnya sendiri, mencubit kedua pipi yang terasa sedikit kasar daripada selama semingguan ini dan memegang rambutnya sendiri. Matanya melihat ke arah jarum jam yang masih di angka enam tepat. Dia langsung berlari ke depan kaca yang tergantung di dinding dan hanya menampakkan setengah badannya saja.
Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, dia langsung berjalan ke meja belajarnya dan menggapai ponsel yang terbaring di alas permukaan datar tersebut dengan sumringah.
Ponselnya kembali.
Tanpa berpikir panjang, dia menekan deretan angka diluar ingatan. Tangannya mengikis jarak antara ponsel dengan telinga kiri seraya mengetuk jari kakinya yang telanjang ke permukaan tanah. Sambungan suara dering yang cukup panjang dan konstan sebelum menghilang dan terdengar suara lembut khas perempuan yang serak karena terpaksa bangun tidur.
“Hallo, Dion? Ada apa menelepon sepagi ini?”
Dion tersenyum tipis, sekali menafsir kalau jiwa gadis tersebut belum terkumpul utuh sehingga belum sadar dengan apa yang terjadi sekarang.
“Leyna,” katanya sembari menahan perasaan yang meluap-luap seakan akan segera meledak bagai kembang api.
“Heum? Jangan memanggilku Leyna, bagaimana kalau ketahuan, Nona Muda?”
Balasan yang diterimanya membuat Dion tersenyum lebih cerah. Dia mendudukan dirinya ke sisi samping ranjang dan mengintip dari celah tirai yang masih terpasang lebar melindunginya dari dingin luar rumah. “Apa kau terbangun karena panggilanku?” tanyanya retoris.
Namun, entah kenapa dia masih ingin mendengar suara yang menjadi jembatan komunikasi verbalnya dengan sesama selama seminggu ini.
“Sedikit. Aku tadi sudah bangun, hanya masih ingin memejam mata. Kemarin, aku membersihkan satu rumah sampai larut malam.” Gumam Leyna di seberang sana membuat Dion ingin terkekeh, membayangkan kalau gadis tersebut sedang merebahkan badannya di atas kasur dan berbicara dengan mata yang terpejam.
“Kau belum buka mata?”
“Eung … belum. Memangnya ada apa? Tidak mungkin kau tiba-tiba berada di depan … eh? Kenapa aku bisa di kamarku sendiri?”
Dion tersenyum maklum saat mendengar perkataan tersebut, terlebih dia bisa samar-samar mendengar ranjang yang berderit karena kepanikan gadis tersebut.
“Dion! Dion! Kau di mana? Kenapa aku bisa berada di sini? Granny sendirian?”
“Hey, princess. Listen to me,” ujar pria muda tersebut yang merasa kalau gadis yang berada di seberang tidak akan sadar kalau tidak dikatakan kebenarannya.
“Kita sudah kembali ke tubuh kita masing-masing, Leyna. Jadi, kau berada di ragamu sedangkan aku kembali ke asalku. Tidak percaya, maka berkacalah.”
Wanita tersebut tersentak dan tidak sadar berteriak kaget, Dion menggeleng kepalanya saat mendengar derap langkah yang begitu kuat untuk membangunkan seisi rumah. “Kenapa bisa? Apa karena aku membiarkanmu mendapatkan keadilan?” tanya Leyna yang Dion rasa telah sampai di depan cermin dari nadanya terlihat tidak percaya dengan kenyataan.
“Aku juga tidak tahu. Aku juga baru bangun dan masih terkejut dengan hal ini. Tapi, ini memang bukan mimpi, kan?” tanya Dion yang memelan suaranya di kalimat terakhir.
“Tentu tidak. Akan sangat lucu kalau kita mimpi di dalam mimpi. Aku sadar sepenuhnya dan … wait for minutes! Pintu kamarku diketuk.”
Sesuai dengan perkiraan Dion kalau pintu kamar pribadi putri pimpinan diketuk oleh salah satu asisten rumah untuk sekedar memastikan kalau keturunan Grissham sehat sentosa.
Sedikit berlebihan, tapi memang ada fakta yang terselip di sana.
"I'm fine. Really fine. Sure, I'll call you whenever I get a problem here."
"Thank you. But for now, nothing happens here."
Pria muda itu membingkai senyumnya saat mendengar suara lembut dan terselip sebuah nada desakan berbicara dengan salah satu asisten rumah tangga. Setelah itu, dia tidak tahu lagi apa yang terjadi saat pintu kembali ditutup rapat.
"Where are we just now?" tanya Leyna setelah memastikan semuanya aman.
"It would be funny if we're both dreaming in the dream." Jawab Dion yang langsung menjawab saat terlihat perkataan Leyna di benaknya.
"Yeah, right! The impossibility if we're both in the same dream in the dream and at the same time is just really high."
Pria muda itu ikut mengangguk menyetujui, dia mengalihkan topik sebelum kembali lupa dan akan mengacaukan hari, "Pertemuan dengan investor berjalan lancar kurasa. Aku mengatakan hal yang jujur dengan sedikit bumbu supaya meyakinkan dirinya. Dia itu investor dari Indonesia yang konon memiliki sebuah penglihatan proyek akan maju atau tidak."
"Ayahmu mengatakan hal tersebut saat di mobil dengan istrinya."
Leyna terkekeh pelan, "Tidakkah kau merasa kau menjadi patung hidup di antara mereka berdua? Mereka itu jika sudah berbicara pastilah terasa dunia hanya milik mereka."
"You've got the point, princess."
Suara ketawa terdengar setelah itu dari bibir keduanya.
"Dia membawakan makanan khas mereka, namanya Rendang kurasa. Masih dingin disimpan di kulkas. Mungkin nanti siang, sudah bisa dipanaskan mengingat sarapan kalian adalah sepotong roti isi." Balas Dion kembali, sebuah kebiasaan yang tidak cukup berbeda darinya.
"Pekerjaan rumah anak muridmu sudah aku koreksi beberapa, belum semua karena aku masih tidak bisa membagi waktu dengan baik tiga hari ini. Tetapi, jam makan Granny tidak pernah terlewatkan sama sekali." Leyna membagikan kegiatannya supaya Dion bisa menjalankan harinya tanpa merasa kewalahan.
"Kemarin malam, aku sempat mendinginkan overnight oats untukku sendiri. Tapi, karena sudah berganti raga menjadi semula. Kalau kau tidak suka, buang saja. Tidak apa-apa. Selera masing-masing orang berbeda. Untuk Granny, aku berencana membuatkan sarapan seperti biasa."
Dion merasa hatinya menghangat saat mendengar perkataan tersebut, wanita yang mendadak berada di sekitarnya langsung mudah beradaptasi dengan sekitar tanpa canggung dan bisa melewati tiga hari dengan sempurna. Ingatan Leyna tidak pernah salah, menyadari kalau Greisy hanyalah satu-satunya anggota keluarga yang bersama Dion membuat wanita itu semakin menjaga wanita uzur semaksimal mungkin.
"Aku rasa kau juga tidak perlu berdiri di atas pointe shoes selama mungkin sekarang, ya, kan, Dion?" tanya Leyna yang tertawa saat mengingat peristiwa yang diceritakan oleh pria tersebut saat dia masih mendekam di penjara bawah tanah.
"Tentu saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi sekarang."
"Ya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi."
Sejenak masing-masing dari mereka tidak rela untuk memutuskan komunikasi ini dan lebih memilih membisu sebagai atmosfer di antara mereka berdua. Dion tahu waktunya untuk menjalani hari seperti biasa yang telah dirindukan olehnya, begitu juga dengan Leyna yang harus bersiap diri untuk menjadi putri kedua Tuan Grissham.
"Aku menyelipkan sebuah surat di salah satu tasmu. Kalau kau ada waktu, dibaca saja. Kapan-kapan kau membacanya, tidak masalah." tutur sang pria setelah mendapatkan topik untuk dibahas walaupun tidak akan panjang.
"Oh, baiklah. Akan kubaca saat aku seorang diri."
Dion mengangguk perlahan dengan raut wajah yang tidak lagi terlihat senang, "Kalau begitu, aku duluan, ya. Maaf mengganggumu sepagi ini."
Karena, telah mencapai batas untuk perpisahan sementara.
"Tidak apa-apa. Bye, Dion. See you later."
Dion menjauhkan ponselnya, menatap layar alat tersebut yang telah berubah menjadi wallpaper Doe Lake yang diambilnya sebulan yang lalu dan tersenyum tipis.
"See you later, Leyna."
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
Dion merapikan dasinya hari ini. Raut wajahnya mungkin terlihat datar. Tetapi, bagi yang peka tentu lah bisa melihat setitik kebahagiaan di wajah pria muda tersebut saat Dion mematut diri di depan kaca. Tangannya menyambar tas punggung berwarna hitam dan segera menjalani hari. Dia bersyukur dipertemukan dengan lemari sederhana berisi pakaiannya kembali, hanya da kemeja, kaos, dan celana di sana. Bukan walk-in-closet yang berjajar pakaian terusan maupun dress dengan aksesoris yang cukup membuat kepada Dion pusing. Lebih parahnya, dia harus beradaptasi dengan pakaian yang memang bukan merupakan miliknya sejak lahir. Dia bersyukur bisa memasuki rumah sederhana ini dengan leluasa tanpa harus disegani oleh Greisy atau siapapun yang melihat. Dion langsung meletakkan tasnya di area sofa untuk segera menyiapkan sarapan untuk orang tua yang merawatnya sejak kejadian buruk dalam hidupnya tersebut. Tangannya mengeluarkan tiga butir telur dari kulkas unt
[Leyna POV] Aku segera mengikat tali untuk mengeratkan celemek yang mengalung di leherku pada bagian pinggang. Bagaimanapun, aku bisa melihat kalau sungguh banyak customer yang datang di siang hari ini untuk mengisi kekosongan perut mereka setelah setengah hari melakukan aktivitas. Tidak mungkin bagiku untuk melepaskan tanggung jawab di saat seperti ini. Setelah memastikan apron tersebut terikat sempurna dan tatanan rambutku tidak akan berantakan dan memalukan nama restoran. Aku segera berjalan ke arah kasir yang terlihat kesulitan di depan meja penuh akan uang di dalam mesin tersebut, “Bantu yang lain untuk mengantar pesanan. Aku akan mengurus ini.” “Baik, Nona,” kata salah satu pelayan yang seingatku bernama Zella mengundurkan diri dari meja kasir dan membantu rekannya yang lain di tengah kesibukan. Aku berbuat seperti itu karena dua pegawai kami tidak datang hari ini. Sehingga, aku harus turun tangan. Pengawas lapangan jug
"Good afternoon, Dorine. Here, matcha latte for you to relax yourself." "Oh My! You don't have to bring me a drink. But, thanks." Leyna tersenyum sumringah mendengar penuturan tersebut. Masih ada tiga yang tersisa di plastik bawaannya. Sengaja membelikan minuman karena perasaannya terlampau baik hari ini. "Kalau gitu, aku duluan ke atas, ya. Miss Jessica pasti sudah menunggu," kata gadis tersebut yang berlalu dari meja resepsionis dan menaiki tangga untuk sampai ke ruang latihannya. "Oh! Leyna! Come here." Gadis yang baru dipanggil itu mengerutkan dahinya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menghampiri Patricia yang sudah siap dengan kostumnya jelas mengumbar seluruh lekuk tubuh gadis yang akan segera memulai hidup baru dengan seseorang yang dikasihi. "Here is your Caramel Macchiato," ucap Leyna yang menyerahkan sebotol kepada temannya sembari mengambil posisi di sampingnya dan menyimpanny
05.00 p.m Classic Studio Leyna bercermin dan merapikan sanggulan rambutnya di kamar ganti studio. Entah kenapa dia merasa untuk membiarkan rambutnya digulung menjadi satu sore itu dan menampilkan garis lehernya yang jenjang. Tangannya membuka tas selempang yang menjadi tasnya seharian ini, berniat mencari lip sheer untuk dipoles ke bibirnya yang terlihat memulas. "Eh?" Gadis tersebut mengerut ketika merasakan sesuatu yang janggal dari dalam tasnya, menggapai benda tersebut dan mengeluarkannya dari sana. Matanya memicing melihat amplop tersebut. Yang mana, lebih cocok dipanggil lipatan kertas daripada surat. Bibirnya terbuka sedikit ketika ucapan Dion saat mereka kembali ke raga terngiang di otaknya. Mungkin ini yang dia bilang surat tersebut. Wanita muda itu pun langsung membuka dan membacanya. Ternyata bukan hanya satu lembaran, masih ada tiga lainnya yang mengikuti. Hey, Leyna. Ini Dion. Mungk
[Leyna POV] Aku segera melambaikan tanganku dari jendela mobil yang terbuka ke arah seorang gadis berpakaian kasual berdiri di depan gerbang sekolah. Outfit yang berbeda dengan saat pagi hari. Tidak lain dan tidak bukan adalah Quinza. Anak perempuan itu langsung mengambil posisi di sampingku. "Daddy dan Mommy ke mana?" tanyanya setelah meletakkan tas di bawah bersamaan dengan bawaannya yang lain. Aku memberikan botol air minum kepada adik satu-satunya, "Mereka sedang kencan kilat berkedok melihat museum kota sebelah." "Leyna tidak ikut?" Aku mengembangkan senyum, "Dan menjadi tanaman hias dianggurkan? Tidak terima kasih. Mau berhenti untuk membeli matcha?" Quinza langsung mengangguk singkat. Tentu saja, dia menerima tawaranku, secara tidak langsung, akulah yang akan membayar minuman tersebut. "Tolong berhenti di cafe biasa," ujarku ke arah sang supir. "Baik,
Leyna menyusuri koridor gedung dengan piyama berlengan panjang dari satin berwarna biru muda. Matanya berusaha mencari seseorang, "Melihat Tuan Besar?: "Tuan Besar sedang menikmati pemandangan malam di belakang gedung, Nona Muda Olivia." Jawab salah satu asisten rumah tangga yang lewat dengan membawa pot bunga baru. "Thank you." Wanita muda itu kembali berjalan menuruni tangga dan melangkah dengan langkah lebar untuk segera menemui ayahnya, meninggalkan Quinza sendirian di kamarnya. Anak itu sedang ingin tidur berdua dengannya dan Leyna tidak punya alasan untuk menolak. Seorang pria berdiri sendirian di balkon belakang gedung dengan pakaian yang sama dikenakannya seharian ini. Leyna mengambil kesimpulan, sang pemimpin Burk's Falls belumlah membersihkan dirinya. "Daddy, we need to talk," ucapnya dengan dada yang kembang kempis. Perlu usaha untuk menemui ayahnya di sini. "Daddy juga ada yang perlu dikatakan kep
[Dion POV] Leyna Olivia [Meet me in the garden now. I'm at school.] Satu pesan dari layar ponsel membuatku langsung membawa sepasang tungkai kakiku berjalan keluar dari ruang guru. Tidak peduli dengan tatapan kebingungan dari tiga rekanku yang lain melekat melihatku. Aku paham sekali kalau mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Koridor sekolah masih sepi, belum memasuki jam istirahat untuk anak-anak yang mengemban kewajibannya di dalam ruang petak bersama yang lainnya. Lapangan sekolah yang terasa panas karena Burk's Falls hari ini terasa begitu terik untuk dilewati. Namun, hanya itu jalur untuk sampai ke taman. Taman belakang sekolah. Dalam lintasan benakku saat itu terus-menerus memikirkan penyebab keturunan pemimpin itu ingin menemuiku di pagi hari ini. Masih terlalu pagi untuk saling menukar cerita keseharian seperti biasa yang kami lakukan. Jelasnya, bukanlah merupakan sesu
Suara ketukan pintu terdengar tiga kali sebelum kembali senyap dan digantikan oleh suara dari dalam kamar yang merupakan sang pemilik ruang, "Masuk." "Leyna, can I sleep here?" Seorang wanita yang sudah setengah berbaring di tempatnya tersenyum, memindahkan tubuhnya ke sisi kanan, "Of course. Have a bad sleep?" "Kinda," jawab seorang gadis yang baru remaja dengan sebelah tangan yang membawa plushie ubur-ubur dan botol minum di sebelah tangannya yang lain. Dia langsung mengambil tempat di atas kasur Leyna dan memposisikan posisi ternyaman. Kamar yang terang samar karena sudah memasuki jam tidur. Leyna ikut menyamankan posisinya dan menghadap sang pengganggu kesendiriannya. “Leyna,” bisik Quinza selaku orang yang telah berada di sampingnya dengan mata yang setengah terpejam memeluk plushie ubur-uburnya. Terdengar dehaman dari pemilik kamar untuk memintanya melanjutkan kalimat. “Apa kau belakangan ini mendapatka
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun
Dion melewati jalan setelah selesai dengan pertemuan penting di rumah Granny Greisy. Beberapa kali dia berhenti hanya untuk berbincang dengan beberapa tetangga yang dikenalnya ataupun berjongkok menyamai tinggi anak kecil yang mengenal Leyna bukan Dion yang bermain di luar rumah sembari menunggu jam mandi. “Selamat pagi, Nona Muda Olivia,” kata salah satu pengawal gedung yang langsung dibalas olehnya dengan tak kalah hangat. Dia memasuki interior gedung dengan penampilan sporty, pegawai yang berlalu lalang menyapanya formal dan dibalasnya juga dengan baik. “Nona Muda Olivia, Tuan Besar memanggil Anda untuk ke taman belakang sekarang,” kata kepala asisten rumah yang memanggilnya dari belakang. Dion langsung berbalik badan. “Baik, saya akan ke sana. Terima kasih untuk infonya.” Jiwa laki-laki itupun memutar badannya untuk sampai taman belakang gedung. Niatannya tadi itu, dia akan membersihkan dirinya dulu setelah berkeringat banyak karena dia sempat jogging dengan durasi yang lebih
“Jatuh cintalah. Maka kutukannya akan musnah.” Dion dan Leyna sontak terbelalak terkejut. “Maksudnya, Granny?” tanya Dion yang duluan sadar. “Granny pernah bilang kalau Virga Phantasia ini sama dengan cupid, kan?” tanya Granny Greisy lagi yang sontak diangguki oleh Leyna yang masih ingat dengan jelas pembicaraan mereka tempo lalu itu. "Maka dari itu, jatuh cintalah," sambung Granny Greisy lagi dengan tenang. Air matanya sudah berhenti mengalir. "satu-satunya jalan adalah jatuh cinta." "Jatuh cinta yang bagaimana, Granny?" Manik wanita tua itu memburam perlahan bersamaan dengan penuh dengan harapan saat menelisik kembali ke masa lalu. "Granny pernah menemui seseorang yang juga sebagai manusia terpilih untuk keajaiban satu ini. Dia seumuran dengan Granny, hidup di kota besar seperti Ottawa dan Toronto sekarang. Dia sudah menikah dan masih hamil tiga bulan," ucap wan
“Leyna? Kau sudah bangun?” Dion yang sedang mengikat tali sepatunya langsung mendongak mendengar suara serak terdengar tidak jauh darinya. Suara khas akan bangun tidur yang menyita perhatiannya sejenak. “Oh, kau sudah bangun? Aku hendak jogging sebentar,” jawabnya seadanya sebelum kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. “Belum. Aku hanya ingin ke toilet, masih ada dua jam sebelum mandi. Aku tidak akan membuang kesempatan itu,” jawab Quinza—sosok yang bangun di jam subuh—melangkah menjauh kearah dapur. Jelas sekali, anak sekolah itu akan mencari kamar kecil. Memang keseharian kedua gadis kesayangan Chayton itu sangat berbeda. Dari segi umur juga telah mengatakan segala. Quinza meskipun dia aktif untuk menari, dia terlalu malas untuk bangun pagi demi merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah bangun dan lebih rela berendam di bathup setelah seharian beraktivitas. Leyna—atau Dion sekarang—terbiasa untuk bangun pagi sejak zaman sekolah, membuatn