Share

28. Miracle

"Eh?"

Dion meraba wajahnya sendiri, mencubit kedua pipi yang terasa sedikit kasar daripada selama semingguan ini dan memegang rambutnya sendiri. Matanya melihat ke arah jarum jam yang masih di angka enam tepat. Dia langsung berlari ke depan kaca yang tergantung di dinding dan hanya menampakkan setengah badannya saja.

Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, dia langsung berjalan ke meja belajarnya dan menggapai ponsel yang terbaring di alas permukaan datar tersebut dengan sumringah.

Ponselnya kembali.

Tanpa berpikir panjang, dia menekan deretan angka diluar ingatan. Tangannya mengikis jarak antara ponsel dengan telinga kiri seraya mengetuk jari kakinya yang telanjang ke permukaan tanah. Sambungan suara dering yang cukup panjang dan konstan sebelum menghilang dan terdengar suara lembut khas perempuan yang serak karena terpaksa bangun tidur.

“Hallo, Dion? Ada apa menelepon sepagi ini?”

Dion tersenyum tipis, sekali menafsir kalau jiwa gadis tersebut belum terkumpul utuh sehingga belum sadar dengan apa yang terjadi sekarang.

“Leyna,” katanya sembari menahan perasaan yang meluap-luap seakan akan segera meledak bagai kembang api.

“Heum? Jangan memanggilku Leyna, bagaimana kalau ketahuan, Nona Muda?”

Balasan yang diterimanya membuat Dion tersenyum lebih cerah. Dia mendudukan dirinya ke sisi samping ranjang dan mengintip dari celah tirai yang masih terpasang lebar melindunginya dari dingin luar rumah. “Apa kau terbangun karena panggilanku?” tanyanya retoris.

Namun, entah kenapa dia masih ingin mendengar suara yang menjadi jembatan komunikasi verbalnya dengan sesama selama seminggu ini.

“Sedikit. Aku tadi sudah bangun, hanya masih ingin memejam mata. Kemarin, aku membersihkan satu rumah sampai larut malam.” Gumam Leyna di seberang sana membuat Dion ingin terkekeh, membayangkan kalau gadis tersebut sedang merebahkan badannya di atas kasur dan berbicara dengan mata yang terpejam.

“Kau belum buka mata?”

“Eung … belum. Memangnya ada apa? Tidak mungkin kau tiba-tiba berada di depan … eh? Kenapa aku bisa di kamarku sendiri?”

Dion tersenyum maklum saat mendengar perkataan tersebut, terlebih dia bisa samar-samar mendengar ranjang yang berderit karena kepanikan gadis tersebut.

“Dion! Dion! Kau di mana? Kenapa aku bisa berada di sini? Granny sendirian?”

“Hey, princess. Listen to me,” ujar pria muda tersebut yang merasa kalau gadis yang berada di seberang tidak akan sadar kalau tidak dikatakan kebenarannya.

“Kita sudah kembali ke tubuh kita masing-masing, Leyna. Jadi, kau berada di ragamu sedangkan aku kembali ke asalku. Tidak percaya, maka berkacalah.”

Wanita tersebut tersentak dan tidak sadar berteriak kaget, Dion menggeleng kepalanya saat mendengar derap langkah yang begitu kuat untuk membangunkan seisi rumah. “Kenapa bisa? Apa karena aku membiarkanmu mendapatkan keadilan?” tanya Leyna yang Dion rasa telah sampai di depan cermin dari nadanya terlihat tidak percaya dengan kenyataan.

“Aku juga tidak tahu. Aku juga baru bangun dan masih terkejut dengan hal ini. Tapi, ini memang bukan mimpi, kan?” tanya Dion yang memelan suaranya di kalimat terakhir.

“Tentu tidak. Akan sangat lucu kalau kita mimpi di dalam mimpi. Aku sadar sepenuhnya dan … wait for minutes! Pintu kamarku diketuk.”

Sesuai dengan perkiraan Dion kalau pintu kamar pribadi putri pimpinan diketuk oleh salah satu asisten rumah untuk sekedar memastikan kalau keturunan Grissham sehat sentosa.

Sedikit berlebihan, tapi memang ada fakta yang terselip di sana.

"I'm fine. Really fine.  Sure, I'll call you whenever I get a problem here."

"Thank you. But for now, nothing happens here."

Pria muda itu membingkai senyumnya saat mendengar suara lembut dan terselip sebuah nada desakan berbicara dengan salah satu asisten rumah tangga. Setelah itu, dia tidak tahu lagi apa yang terjadi saat pintu kembali ditutup rapat. 

"Where are we just now?" tanya Leyna setelah memastikan semuanya aman.

"It would be funny if we're both dreaming in the dream." Jawab Dion yang langsung menjawab saat terlihat perkataan Leyna di benaknya.

"Yeah, right! The impossibility if we're both in the same dream in the dream and at the same time is just really high."

Pria muda itu ikut mengangguk menyetujui, dia mengalihkan topik sebelum kembali lupa dan akan mengacaukan hari, "Pertemuan dengan investor berjalan lancar kurasa. Aku mengatakan hal yang jujur dengan sedikit bumbu supaya meyakinkan dirinya. Dia itu investor dari Indonesia yang konon memiliki sebuah penglihatan proyek akan maju atau tidak."

"Ayahmu mengatakan hal tersebut saat di mobil dengan istrinya." 

Leyna terkekeh pelan, "Tidakkah kau merasa kau menjadi patung hidup di antara mereka berdua? Mereka itu jika sudah berbicara pastilah terasa dunia hanya milik mereka."

"You've got the point, princess."

Suara ketawa terdengar setelah itu dari bibir keduanya.

"Dia membawakan makanan khas mereka, namanya Rendang kurasa. Masih dingin disimpan di kulkas. Mungkin nanti siang, sudah bisa dipanaskan mengingat sarapan kalian adalah sepotong roti isi." Balas Dion kembali, sebuah kebiasaan yang tidak cukup berbeda darinya.

"Pekerjaan rumah anak muridmu sudah aku koreksi beberapa, belum semua karena aku masih tidak bisa membagi waktu dengan baik tiga hari ini. Tetapi, jam makan Granny tidak pernah terlewatkan sama sekali." Leyna membagikan kegiatannya supaya Dion bisa menjalankan harinya tanpa merasa kewalahan.

"Kemarin malam, aku sempat mendinginkan overnight oats untukku sendiri. Tapi, karena sudah berganti raga menjadi semula. Kalau kau tidak suka, buang saja. Tidak apa-apa. Selera masing-masing orang berbeda. Untuk Granny, aku berencana membuatkan sarapan seperti biasa."

Dion merasa hatinya menghangat saat mendengar perkataan tersebut, wanita yang mendadak berada di sekitarnya langsung mudah beradaptasi dengan sekitar tanpa canggung dan bisa melewati tiga hari dengan sempurna. Ingatan Leyna tidak pernah salah, menyadari kalau Greisy hanyalah satu-satunya anggota keluarga yang bersama Dion membuat wanita itu semakin menjaga wanita uzur semaksimal mungkin.

"Aku rasa kau juga tidak perlu berdiri di atas pointe shoes selama mungkin sekarang, ya, kan, Dion?" tanya Leyna yang tertawa saat mengingat peristiwa yang diceritakan oleh pria tersebut saat dia masih mendekam di penjara bawah tanah.

"Tentu saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi sekarang." 

"Ya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi."

Sejenak masing-masing dari mereka tidak rela untuk memutuskan komunikasi ini dan lebih memilih membisu sebagai atmosfer di antara mereka berdua. Dion tahu waktunya untuk menjalani hari seperti biasa yang telah dirindukan olehnya, begitu juga dengan Leyna yang harus bersiap diri untuk menjadi putri kedua Tuan Grissham.

"Aku menyelipkan sebuah surat di salah satu tasmu. Kalau kau ada waktu, dibaca saja. Kapan-kapan kau membacanya, tidak masalah." tutur sang pria setelah mendapatkan topik untuk dibahas walaupun tidak akan panjang.

"Oh, baiklah. Akan kubaca saat aku seorang diri."

Dion mengangguk perlahan dengan raut wajah yang tidak lagi terlihat senang, "Kalau begitu, aku duluan, ya. Maaf mengganggumu sepagi ini."

Karena, telah mencapai batas untuk perpisahan sementara.

"Tidak apa-apa. Bye, Dion. See you later."

Dion menjauhkan ponselnya, menatap layar alat tersebut yang telah berubah menjadi wallpaper Doe Lake yang diambilnya sebulan yang lalu dan tersenyum tipis.

"See you later, Leyna."

_The Stranger's Lust_

To Be Continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status