"Eh?"
Dion meraba wajahnya sendiri, mencubit kedua pipi yang terasa sedikit kasar daripada selama semingguan ini dan memegang rambutnya sendiri. Matanya melihat ke arah jarum jam yang masih di angka enam tepat. Dia langsung berlari ke depan kaca yang tergantung di dinding dan hanya menampakkan setengah badannya saja.
Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, dia langsung berjalan ke meja belajarnya dan menggapai ponsel yang terbaring di alas permukaan datar tersebut dengan sumringah.
Ponselnya kembali.
Tanpa berpikir panjang, dia menekan deretan angka diluar ingatan. Tangannya mengikis jarak antara ponsel dengan telinga kiri seraya mengetuk jari kakinya yang telanjang ke permukaan tanah. Sambungan suara dering yang cukup panjang dan konstan sebelum menghilang dan terdengar suara lembut khas perempuan yang serak karena terpaksa bangun tidur.
“Hallo, Dion? Ada apa menelepon sepagi ini?”
Dion tersenyum tipis, sekali menafsir kalau jiwa gadis tersebut belum terkumpul utuh sehingga belum sadar dengan apa yang terjadi sekarang.
“Leyna,” katanya sembari menahan perasaan yang meluap-luap seakan akan segera meledak bagai kembang api.
“Heum? Jangan memanggilku Leyna, bagaimana kalau ketahuan, Nona Muda?”
Balasan yang diterimanya membuat Dion tersenyum lebih cerah. Dia mendudukan dirinya ke sisi samping ranjang dan mengintip dari celah tirai yang masih terpasang lebar melindunginya dari dingin luar rumah. “Apa kau terbangun karena panggilanku?” tanyanya retoris.
Namun, entah kenapa dia masih ingin mendengar suara yang menjadi jembatan komunikasi verbalnya dengan sesama selama seminggu ini.
“Sedikit. Aku tadi sudah bangun, hanya masih ingin memejam mata. Kemarin, aku membersihkan satu rumah sampai larut malam.” Gumam Leyna di seberang sana membuat Dion ingin terkekeh, membayangkan kalau gadis tersebut sedang merebahkan badannya di atas kasur dan berbicara dengan mata yang terpejam.
“Kau belum buka mata?”
“Eung … belum. Memangnya ada apa? Tidak mungkin kau tiba-tiba berada di depan … eh? Kenapa aku bisa di kamarku sendiri?”
Dion tersenyum maklum saat mendengar perkataan tersebut, terlebih dia bisa samar-samar mendengar ranjang yang berderit karena kepanikan gadis tersebut.
“Dion! Dion! Kau di mana? Kenapa aku bisa berada di sini? Granny sendirian?”
“Hey, princess. Listen to me,” ujar pria muda tersebut yang merasa kalau gadis yang berada di seberang tidak akan sadar kalau tidak dikatakan kebenarannya.
“Kita sudah kembali ke tubuh kita masing-masing, Leyna. Jadi, kau berada di ragamu sedangkan aku kembali ke asalku. Tidak percaya, maka berkacalah.”
Wanita tersebut tersentak dan tidak sadar berteriak kaget, Dion menggeleng kepalanya saat mendengar derap langkah yang begitu kuat untuk membangunkan seisi rumah. “Kenapa bisa? Apa karena aku membiarkanmu mendapatkan keadilan?” tanya Leyna yang Dion rasa telah sampai di depan cermin dari nadanya terlihat tidak percaya dengan kenyataan.
“Aku juga tidak tahu. Aku juga baru bangun dan masih terkejut dengan hal ini. Tapi, ini memang bukan mimpi, kan?” tanya Dion yang memelan suaranya di kalimat terakhir.
“Tentu tidak. Akan sangat lucu kalau kita mimpi di dalam mimpi. Aku sadar sepenuhnya dan … wait for minutes! Pintu kamarku diketuk.”
Sesuai dengan perkiraan Dion kalau pintu kamar pribadi putri pimpinan diketuk oleh salah satu asisten rumah untuk sekedar memastikan kalau keturunan Grissham sehat sentosa.
Sedikit berlebihan, tapi memang ada fakta yang terselip di sana.
"I'm fine. Really fine. Sure, I'll call you whenever I get a problem here."
"Thank you. But for now, nothing happens here."
Pria muda itu membingkai senyumnya saat mendengar suara lembut dan terselip sebuah nada desakan berbicara dengan salah satu asisten rumah tangga. Setelah itu, dia tidak tahu lagi apa yang terjadi saat pintu kembali ditutup rapat.
"Where are we just now?" tanya Leyna setelah memastikan semuanya aman.
"It would be funny if we're both dreaming in the dream." Jawab Dion yang langsung menjawab saat terlihat perkataan Leyna di benaknya.
"Yeah, right! The impossibility if we're both in the same dream in the dream and at the same time is just really high."
Pria muda itu ikut mengangguk menyetujui, dia mengalihkan topik sebelum kembali lupa dan akan mengacaukan hari, "Pertemuan dengan investor berjalan lancar kurasa. Aku mengatakan hal yang jujur dengan sedikit bumbu supaya meyakinkan dirinya. Dia itu investor dari Indonesia yang konon memiliki sebuah penglihatan proyek akan maju atau tidak."
"Ayahmu mengatakan hal tersebut saat di mobil dengan istrinya."
Leyna terkekeh pelan, "Tidakkah kau merasa kau menjadi patung hidup di antara mereka berdua? Mereka itu jika sudah berbicara pastilah terasa dunia hanya milik mereka."
"You've got the point, princess."
Suara ketawa terdengar setelah itu dari bibir keduanya.
"Dia membawakan makanan khas mereka, namanya Rendang kurasa. Masih dingin disimpan di kulkas. Mungkin nanti siang, sudah bisa dipanaskan mengingat sarapan kalian adalah sepotong roti isi." Balas Dion kembali, sebuah kebiasaan yang tidak cukup berbeda darinya.
"Pekerjaan rumah anak muridmu sudah aku koreksi beberapa, belum semua karena aku masih tidak bisa membagi waktu dengan baik tiga hari ini. Tetapi, jam makan Granny tidak pernah terlewatkan sama sekali." Leyna membagikan kegiatannya supaya Dion bisa menjalankan harinya tanpa merasa kewalahan.
"Kemarin malam, aku sempat mendinginkan overnight oats untukku sendiri. Tapi, karena sudah berganti raga menjadi semula. Kalau kau tidak suka, buang saja. Tidak apa-apa. Selera masing-masing orang berbeda. Untuk Granny, aku berencana membuatkan sarapan seperti biasa."
Dion merasa hatinya menghangat saat mendengar perkataan tersebut, wanita yang mendadak berada di sekitarnya langsung mudah beradaptasi dengan sekitar tanpa canggung dan bisa melewati tiga hari dengan sempurna. Ingatan Leyna tidak pernah salah, menyadari kalau Greisy hanyalah satu-satunya anggota keluarga yang bersama Dion membuat wanita itu semakin menjaga wanita uzur semaksimal mungkin.
"Aku rasa kau juga tidak perlu berdiri di atas pointe shoes selama mungkin sekarang, ya, kan, Dion?" tanya Leyna yang tertawa saat mengingat peristiwa yang diceritakan oleh pria tersebut saat dia masih mendekam di penjara bawah tanah.
"Tentu saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi sekarang."
"Ya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi."
Sejenak masing-masing dari mereka tidak rela untuk memutuskan komunikasi ini dan lebih memilih membisu sebagai atmosfer di antara mereka berdua. Dion tahu waktunya untuk menjalani hari seperti biasa yang telah dirindukan olehnya, begitu juga dengan Leyna yang harus bersiap diri untuk menjadi putri kedua Tuan Grissham.
"Aku menyelipkan sebuah surat di salah satu tasmu. Kalau kau ada waktu, dibaca saja. Kapan-kapan kau membacanya, tidak masalah." tutur sang pria setelah mendapatkan topik untuk dibahas walaupun tidak akan panjang.
"Oh, baiklah. Akan kubaca saat aku seorang diri."
Dion mengangguk perlahan dengan raut wajah yang tidak lagi terlihat senang, "Kalau begitu, aku duluan, ya. Maaf mengganggumu sepagi ini."
Karena, telah mencapai batas untuk perpisahan sementara.
"Tidak apa-apa. Bye, Dion. See you later."
Dion menjauhkan ponselnya, menatap layar alat tersebut yang telah berubah menjadi wallpaper Doe Lake yang diambilnya sebulan yang lalu dan tersenyum tipis.
"See you later, Leyna."
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
Dion merapikan dasinya hari ini. Raut wajahnya mungkin terlihat datar. Tetapi, bagi yang peka tentu lah bisa melihat setitik kebahagiaan di wajah pria muda tersebut saat Dion mematut diri di depan kaca. Tangannya menyambar tas punggung berwarna hitam dan segera menjalani hari. Dia bersyukur dipertemukan dengan lemari sederhana berisi pakaiannya kembali, hanya da kemeja, kaos, dan celana di sana. Bukan walk-in-closet yang berjajar pakaian terusan maupun dress dengan aksesoris yang cukup membuat kepada Dion pusing. Lebih parahnya, dia harus beradaptasi dengan pakaian yang memang bukan merupakan miliknya sejak lahir. Dia bersyukur bisa memasuki rumah sederhana ini dengan leluasa tanpa harus disegani oleh Greisy atau siapapun yang melihat. Dion langsung meletakkan tasnya di area sofa untuk segera menyiapkan sarapan untuk orang tua yang merawatnya sejak kejadian buruk dalam hidupnya tersebut. Tangannya mengeluarkan tiga butir telur dari kulkas unt
[Leyna POV] Aku segera mengikat tali untuk mengeratkan celemek yang mengalung di leherku pada bagian pinggang. Bagaimanapun, aku bisa melihat kalau sungguh banyak customer yang datang di siang hari ini untuk mengisi kekosongan perut mereka setelah setengah hari melakukan aktivitas. Tidak mungkin bagiku untuk melepaskan tanggung jawab di saat seperti ini. Setelah memastikan apron tersebut terikat sempurna dan tatanan rambutku tidak akan berantakan dan memalukan nama restoran. Aku segera berjalan ke arah kasir yang terlihat kesulitan di depan meja penuh akan uang di dalam mesin tersebut, “Bantu yang lain untuk mengantar pesanan. Aku akan mengurus ini.” “Baik, Nona,” kata salah satu pelayan yang seingatku bernama Zella mengundurkan diri dari meja kasir dan membantu rekannya yang lain di tengah kesibukan. Aku berbuat seperti itu karena dua pegawai kami tidak datang hari ini. Sehingga, aku harus turun tangan. Pengawas lapangan jug
"Good afternoon, Dorine. Here, matcha latte for you to relax yourself." "Oh My! You don't have to bring me a drink. But, thanks." Leyna tersenyum sumringah mendengar penuturan tersebut. Masih ada tiga yang tersisa di plastik bawaannya. Sengaja membelikan minuman karena perasaannya terlampau baik hari ini. "Kalau gitu, aku duluan ke atas, ya. Miss Jessica pasti sudah menunggu," kata gadis tersebut yang berlalu dari meja resepsionis dan menaiki tangga untuk sampai ke ruang latihannya. "Oh! Leyna! Come here." Gadis yang baru dipanggil itu mengerutkan dahinya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menghampiri Patricia yang sudah siap dengan kostumnya jelas mengumbar seluruh lekuk tubuh gadis yang akan segera memulai hidup baru dengan seseorang yang dikasihi. "Here is your Caramel Macchiato," ucap Leyna yang menyerahkan sebotol kepada temannya sembari mengambil posisi di sampingnya dan menyimpanny
05.00 p.m Classic Studio Leyna bercermin dan merapikan sanggulan rambutnya di kamar ganti studio. Entah kenapa dia merasa untuk membiarkan rambutnya digulung menjadi satu sore itu dan menampilkan garis lehernya yang jenjang. Tangannya membuka tas selempang yang menjadi tasnya seharian ini, berniat mencari lip sheer untuk dipoles ke bibirnya yang terlihat memulas. "Eh?" Gadis tersebut mengerut ketika merasakan sesuatu yang janggal dari dalam tasnya, menggapai benda tersebut dan mengeluarkannya dari sana. Matanya memicing melihat amplop tersebut. Yang mana, lebih cocok dipanggil lipatan kertas daripada surat. Bibirnya terbuka sedikit ketika ucapan Dion saat mereka kembali ke raga terngiang di otaknya. Mungkin ini yang dia bilang surat tersebut. Wanita muda itu pun langsung membuka dan membacanya. Ternyata bukan hanya satu lembaran, masih ada tiga lainnya yang mengikuti. Hey, Leyna. Ini Dion. Mungk
[Leyna POV] Aku segera melambaikan tanganku dari jendela mobil yang terbuka ke arah seorang gadis berpakaian kasual berdiri di depan gerbang sekolah. Outfit yang berbeda dengan saat pagi hari. Tidak lain dan tidak bukan adalah Quinza. Anak perempuan itu langsung mengambil posisi di sampingku. "Daddy dan Mommy ke mana?" tanyanya setelah meletakkan tas di bawah bersamaan dengan bawaannya yang lain. Aku memberikan botol air minum kepada adik satu-satunya, "Mereka sedang kencan kilat berkedok melihat museum kota sebelah." "Leyna tidak ikut?" Aku mengembangkan senyum, "Dan menjadi tanaman hias dianggurkan? Tidak terima kasih. Mau berhenti untuk membeli matcha?" Quinza langsung mengangguk singkat. Tentu saja, dia menerima tawaranku, secara tidak langsung, akulah yang akan membayar minuman tersebut. "Tolong berhenti di cafe biasa," ujarku ke arah sang supir. "Baik,
Leyna menyusuri koridor gedung dengan piyama berlengan panjang dari satin berwarna biru muda. Matanya berusaha mencari seseorang, "Melihat Tuan Besar?: "Tuan Besar sedang menikmati pemandangan malam di belakang gedung, Nona Muda Olivia." Jawab salah satu asisten rumah tangga yang lewat dengan membawa pot bunga baru. "Thank you." Wanita muda itu kembali berjalan menuruni tangga dan melangkah dengan langkah lebar untuk segera menemui ayahnya, meninggalkan Quinza sendirian di kamarnya. Anak itu sedang ingin tidur berdua dengannya dan Leyna tidak punya alasan untuk menolak. Seorang pria berdiri sendirian di balkon belakang gedung dengan pakaian yang sama dikenakannya seharian ini. Leyna mengambil kesimpulan, sang pemimpin Burk's Falls belumlah membersihkan dirinya. "Daddy, we need to talk," ucapnya dengan dada yang kembang kempis. Perlu usaha untuk menemui ayahnya di sini. "Daddy juga ada yang perlu dikatakan kep
[Dion POV] Leyna Olivia [Meet me in the garden now. I'm at school.] Satu pesan dari layar ponsel membuatku langsung membawa sepasang tungkai kakiku berjalan keluar dari ruang guru. Tidak peduli dengan tatapan kebingungan dari tiga rekanku yang lain melekat melihatku. Aku paham sekali kalau mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Koridor sekolah masih sepi, belum memasuki jam istirahat untuk anak-anak yang mengemban kewajibannya di dalam ruang petak bersama yang lainnya. Lapangan sekolah yang terasa panas karena Burk's Falls hari ini terasa begitu terik untuk dilewati. Namun, hanya itu jalur untuk sampai ke taman. Taman belakang sekolah. Dalam lintasan benakku saat itu terus-menerus memikirkan penyebab keturunan pemimpin itu ingin menemuiku di pagi hari ini. Masih terlalu pagi untuk saling menukar cerita keseharian seperti biasa yang kami lakukan. Jelasnya, bukanlah merupakan sesu
Suara ketukan pintu terdengar tiga kali sebelum kembali senyap dan digantikan oleh suara dari dalam kamar yang merupakan sang pemilik ruang, "Masuk." "Leyna, can I sleep here?" Seorang wanita yang sudah setengah berbaring di tempatnya tersenyum, memindahkan tubuhnya ke sisi kanan, "Of course. Have a bad sleep?" "Kinda," jawab seorang gadis yang baru remaja dengan sebelah tangan yang membawa plushie ubur-ubur dan botol minum di sebelah tangannya yang lain. Dia langsung mengambil tempat di atas kasur Leyna dan memposisikan posisi ternyaman. Kamar yang terang samar karena sudah memasuki jam tidur. Leyna ikut menyamankan posisinya dan menghadap sang pengganggu kesendiriannya. “Leyna,” bisik Quinza selaku orang yang telah berada di sampingnya dengan mata yang setengah terpejam memeluk plushie ubur-uburnya. Terdengar dehaman dari pemilik kamar untuk memintanya melanjutkan kalimat. “Apa kau belakangan ini mendapatka