Share

30. Denial

[Leyna POV]

Aku segera mengikat tali untuk mengeratkan celemek yang mengalung di leherku pada bagian pinggang. Bagaimanapun, aku bisa melihat kalau sungguh banyak customer yang datang di siang hari ini untuk mengisi kekosongan perut mereka setelah setengah hari melakukan aktivitas. Tidak mungkin bagiku untuk melepaskan tanggung jawab di saat seperti ini.

Setelah memastikan apron tersebut terikat sempurna dan tatanan rambutku tidak akan berantakan dan memalukan nama restoran. Aku segera berjalan ke arah kasir yang terlihat kesulitan di depan meja penuh akan uang di dalam mesin tersebut, “Bantu yang lain untuk mengantar pesanan. Aku akan mengurus ini.”

“Baik, Nona,” kata salah satu pelayan yang seingatku bernama Zella mengundurkan diri dari meja kasir dan membantu rekannya yang lain di tengah kesibukan.

Aku berbuat seperti itu karena dua pegawai kami tidak datang hari ini. Sehingga, aku harus turun tangan. Pengawas lapangan juga ikut serta melayani para pelanggan yang mungkin beberapa di antara mereka ingin berdemo untuk menuntaskan hasrat makan mereka yang berada di puncak.

“May I help you, sir?” tanyaku sembari mata yang mengulang system mesin penghitung yang terhubung pada pencetak bill lalu melihat tepat ke dalam dua netra pelanggan berdiri di depanku.

“One iced americano with spaghetti carbonara, please.”

Aku langsung menekan layar, dengan senyuman yang masih mengembang ramah aku berkata, “Forty dollars, sir.”

“Here, use this.” Balasnya yang segera aku menerima kartu dari tangannya dan mengoperasikan penggunaan kartu kredit yang diserahkan oleh pria bersetelan kemeja. Tanpa membuatnya menunggu lama, aku kembali mengembalikan kartu tersebut beserta dengan sebuah benda berwarna bulat di tangannya.

“This is it. Thank you. Please wait for minutes we will serve you right. Have a nice day.”

Aku menyerahkan barang di tanganku kepada sang pelanggan tidak lupa mengucapkan sepatah kalimat untuk memastikan mereka nyaman dengan pelayanan restoran ini. Daddy sedang berada di kantornya mengadakan sebuah rapat kecil-kecilan dengan Mommy. Mungkin juga Paman Kakek juga ikut diajak rapat melalui telepon.

“Good afternoon, may I help you?”

Selesai dengan satu pelanggan maka akan muncul satu lagi di belakang. Ini tidak akan selesai dengan cepat karena sekilas mataku melihat enam calon customer berdiri mengantri dengan sabar. Beberapa di antara mereka berusaha melihat menu yang terpampang di dinding supaya mempercepat pemesanan. Kurasa siapapun juga akan melakukan seperti itu agar bisa mendiamkan parade di dalam perutnya.

_The Stranger’s Lust_

“Good afternoon, what can I help you, Miss?”

Asal kalian tahu saja, aku merasa pipiku keram karena terus mengembangkan senyum dari lebar ke tipis sambil menahan raut gurat lelah muncul dari wajahku. Sudah jam setengah dua, aku menghembuskan napasku setelah merasa lega jam terbang sibuk sudah berlalu. Aku bisa melihat beberapa pegawai bisa bekerja sedikit lebih santai dari biasanya.

“One Iced Lemon Tea please. Also, one iced coffee latte for take away.”

Aku mengangguk paham dan menekan layar, “Thirty dollars, Miss.”

Seorang wanita berpakaian rapi mengeluarkan ponselnya dan mendekatkan lensa kamera alat elektronik tersebut ke barcode yang tersedia di depan kasir, wajahnya terlihat puas walaupun didominasi dengan gurat lelah, “Here you are.”

Aku kembali memproses pemesanan dan memberikan struk pembelian ke tangan wanita tersebut, tidak lupa dengan nomor antrian berupa benda berwarna bulat hitam kepadanya, “This. Thank you. Please wait for minutes we will serve you right. Have a nice day.”

Pelanggan tersebut menunggu sembari mengambil tempat duduk di samping jendela. Aku piker bisa saja dia sedang ingin menikmati pemandangan jalan raya.

“Zella, tolong gantikan aku di kasir.” Aku menginterupsi sang kasir kembali, berasumsi kalau sedang tidak ada pelanggan yang datang untuk sejenak. Aku mendekat ke arahnya, mengambil alih nampan berisi peralatan bekas yang hendak dicuci di belakang dapur.

“Nona, biar saya saja yang ke belakang. Sudah hampir selesai,” katanya menolak halus.

Aku paham, siapa yang mau anak pewaris restoran melakukan pekerjaan berat dengan rok tennis di atas lutut berwarna biru yang terlihat sporty dengan baju berlengan pendek yang ditutup dengan vest warna cream.

Tetapi, aku juga bukan orang yang mudah menyerah. Aku tidak membiarkan Zella mengambil kembali nampan daripadaku, “Aku saja. Tidak apa-apa, aku juga akan langsung ke belakang. Kamu bisa gantikan aku di kasir.”

Suara dentingan lonceng terdengar saat itu dari pintu masuk membuat aku merasa bersyukur, “Customer sudah datang, Zella. Dia punyamu.”

Aku tersenyum puas ketika melihat pegawai yang seusia diriku menghembuskan napas pasrah. “Baiklah, Nona.” Jawabnya dan berdiri di depan kasir untuk segera melayani pemesanan sang calon pelanggan. Aku membawa nampan ke dapur untuk meminta pegawai di sana mencucinya selagi senggang dan kembali ke kantor Daddy.

“Daddy,” kataku dan mengambil posisi di sofa yang disediakan di sana. Biasanya kalau ada tamu kenalan dekat Daddy akan diarahkan ke sini daripada di ruang rapat kecil.

Daddy hanya berdehem sebagai jawaban sembari tangannya mengetik di atas ponsel tanpa melihatku. Tidak masalah, aku hanya ingin beristirahat sejenak di sini sebelum melanjutkan hari ke studio untuk melatih kelenturan demi pelaksanaan opera nanti.

“Leyna, kamu tadi turun tangan?” tanya Daddy yang segera aku menyetujui dengan singkat. Aku merebahkan kepada ke sandaran sofa untuk memejamkan mata sejenak. Jujur saja, itu sedikit melelahkan walaupun bukan pertama kalinya aku turun tangan di jam terbang tersebut.

“Kita kekurangan orang, Daddy. Jadi, bagian pelayan sedikit mengalami kekacauan. Aku hanya mengambil alih kasir sebentar.”

“Baguslah. Daddy kira kamu juga ikut memberikan makanan kepada pelanggan.”

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Kalaupun memang aku mengisi bagian tersebut, juga bukan masalah yang besar bagiku.

“Untuk Uncle Lancelotmu itu, Daddy tidak bisa menerimanya. Karena, memang Daddy tidak kekurangan orang untuk sekarang ini. Restoran juga berjalan dengan baik, bahkan Daddy sedang memikirkan untuk membuka cabang atau tidak menambah satu lantai.”

Aku membulatkan mataku saat mendengar perkataan tersebut. Dengan cepat, aku melihat Daddy yang berbicara dengan santai seolah bukanlah hal yang besar dan bisa dipercaya.

“Mungkin membuka cabang saja.” Sambung Daddy yang tidak melihat ke arahku sama sekali.

“Siapa yang mengatur restoran itu?” tanyaku yang menyuarakan hati. Kulihat Daddy tersenyum dan entah kenapa itu bukanlah pertanda yang bagus.

“Kamu, Leyna Olivia.”

Sesuai dugaanku yang berusaha kutepis. Sepertinya, ini akan menjadi topik pembicaraan yang panjang dan menarik.

_The Stranger’s Lust_

To Be Continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status