[Leyna POV]
Aku segera mengikat tali untuk mengeratkan celemek yang mengalung di leherku pada bagian pinggang. Bagaimanapun, aku bisa melihat kalau sungguh banyak customer yang datang di siang hari ini untuk mengisi kekosongan perut mereka setelah setengah hari melakukan aktivitas. Tidak mungkin bagiku untuk melepaskan tanggung jawab di saat seperti ini.
Setelah memastikan apron tersebut terikat sempurna dan tatanan rambutku tidak akan berantakan dan memalukan nama restoran. Aku segera berjalan ke arah kasir yang terlihat kesulitan di depan meja penuh akan uang di dalam mesin tersebut, “Bantu yang lain untuk mengantar pesanan. Aku akan mengurus ini.”
“Baik, Nona,” kata salah satu pelayan yang seingatku bernama Zella mengundurkan diri dari meja kasir dan membantu rekannya yang lain di tengah kesibukan.
Aku berbuat seperti itu karena dua pegawai kami tidak datang hari ini. Sehingga, aku harus turun tangan. Pengawas lapangan juga ikut serta melayani para pelanggan yang mungkin beberapa di antara mereka ingin berdemo untuk menuntaskan hasrat makan mereka yang berada di puncak.
“May I help you, sir?” tanyaku sembari mata yang mengulang system mesin penghitung yang terhubung pada pencetak bill lalu melihat tepat ke dalam dua netra pelanggan berdiri di depanku.
“One iced americano with spaghetti carbonara, please.”
Aku langsung menekan layar, dengan senyuman yang masih mengembang ramah aku berkata, “Forty dollars, sir.”
“Here, use this.” Balasnya yang segera aku menerima kartu dari tangannya dan mengoperasikan penggunaan kartu kredit yang diserahkan oleh pria bersetelan kemeja. Tanpa membuatnya menunggu lama, aku kembali mengembalikan kartu tersebut beserta dengan sebuah benda berwarna bulat di tangannya.
“This is it. Thank you. Please wait for minutes we will serve you right. Have a nice day.”
Aku menyerahkan barang di tanganku kepada sang pelanggan tidak lupa mengucapkan sepatah kalimat untuk memastikan mereka nyaman dengan pelayanan restoran ini. Daddy sedang berada di kantornya mengadakan sebuah rapat kecil-kecilan dengan Mommy. Mungkin juga Paman Kakek juga ikut diajak rapat melalui telepon.
“Good afternoon, may I help you?”
Selesai dengan satu pelanggan maka akan muncul satu lagi di belakang. Ini tidak akan selesai dengan cepat karena sekilas mataku melihat enam calon customer berdiri mengantri dengan sabar. Beberapa di antara mereka berusaha melihat menu yang terpampang di dinding supaya mempercepat pemesanan. Kurasa siapapun juga akan melakukan seperti itu agar bisa mendiamkan parade di dalam perutnya.
_The Stranger’s Lust_
“Good afternoon, what can I help you, Miss?”
Asal kalian tahu saja, aku merasa pipiku keram karena terus mengembangkan senyum dari lebar ke tipis sambil menahan raut gurat lelah muncul dari wajahku. Sudah jam setengah dua, aku menghembuskan napasku setelah merasa lega jam terbang sibuk sudah berlalu. Aku bisa melihat beberapa pegawai bisa bekerja sedikit lebih santai dari biasanya.
“One Iced Lemon Tea please. Also, one iced coffee latte for take away.”
Aku mengangguk paham dan menekan layar, “Thirty dollars, Miss.”
Seorang wanita berpakaian rapi mengeluarkan ponselnya dan mendekatkan lensa kamera alat elektronik tersebut ke barcode yang tersedia di depan kasir, wajahnya terlihat puas walaupun didominasi dengan gurat lelah, “Here you are.”
Aku kembali memproses pemesanan dan memberikan struk pembelian ke tangan wanita tersebut, tidak lupa dengan nomor antrian berupa benda berwarna bulat hitam kepadanya, “This. Thank you. Please wait for minutes we will serve you right. Have a nice day.”
Pelanggan tersebut menunggu sembari mengambil tempat duduk di samping jendela. Aku piker bisa saja dia sedang ingin menikmati pemandangan jalan raya.
“Zella, tolong gantikan aku di kasir.” Aku menginterupsi sang kasir kembali, berasumsi kalau sedang tidak ada pelanggan yang datang untuk sejenak. Aku mendekat ke arahnya, mengambil alih nampan berisi peralatan bekas yang hendak dicuci di belakang dapur.
“Nona, biar saya saja yang ke belakang. Sudah hampir selesai,” katanya menolak halus.
Aku paham, siapa yang mau anak pewaris restoran melakukan pekerjaan berat dengan rok tennis di atas lutut berwarna biru yang terlihat sporty dengan baju berlengan pendek yang ditutup dengan vest warna cream.
Tetapi, aku juga bukan orang yang mudah menyerah. Aku tidak membiarkan Zella mengambil kembali nampan daripadaku, “Aku saja. Tidak apa-apa, aku juga akan langsung ke belakang. Kamu bisa gantikan aku di kasir.”
Suara dentingan lonceng terdengar saat itu dari pintu masuk membuat aku merasa bersyukur, “Customer sudah datang, Zella. Dia punyamu.”
Aku tersenyum puas ketika melihat pegawai yang seusia diriku menghembuskan napas pasrah. “Baiklah, Nona.” Jawabnya dan berdiri di depan kasir untuk segera melayani pemesanan sang calon pelanggan. Aku membawa nampan ke dapur untuk meminta pegawai di sana mencucinya selagi senggang dan kembali ke kantor Daddy.
“Daddy,” kataku dan mengambil posisi di sofa yang disediakan di sana. Biasanya kalau ada tamu kenalan dekat Daddy akan diarahkan ke sini daripada di ruang rapat kecil.
Daddy hanya berdehem sebagai jawaban sembari tangannya mengetik di atas ponsel tanpa melihatku. Tidak masalah, aku hanya ingin beristirahat sejenak di sini sebelum melanjutkan hari ke studio untuk melatih kelenturan demi pelaksanaan opera nanti.
“Leyna, kamu tadi turun tangan?” tanya Daddy yang segera aku menyetujui dengan singkat. Aku merebahkan kepada ke sandaran sofa untuk memejamkan mata sejenak. Jujur saja, itu sedikit melelahkan walaupun bukan pertama kalinya aku turun tangan di jam terbang tersebut.
“Kita kekurangan orang, Daddy. Jadi, bagian pelayan sedikit mengalami kekacauan. Aku hanya mengambil alih kasir sebentar.”
“Baguslah. Daddy kira kamu juga ikut memberikan makanan kepada pelanggan.”
Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Kalaupun memang aku mengisi bagian tersebut, juga bukan masalah yang besar bagiku.
“Untuk Uncle Lancelotmu itu, Daddy tidak bisa menerimanya. Karena, memang Daddy tidak kekurangan orang untuk sekarang ini. Restoran juga berjalan dengan baik, bahkan Daddy sedang memikirkan untuk membuka cabang atau tidak menambah satu lantai.”
Aku membulatkan mataku saat mendengar perkataan tersebut. Dengan cepat, aku melihat Daddy yang berbicara dengan santai seolah bukanlah hal yang besar dan bisa dipercaya.
“Mungkin membuka cabang saja.” Sambung Daddy yang tidak melihat ke arahku sama sekali.
“Siapa yang mengatur restoran itu?” tanyaku yang menyuarakan hati. Kulihat Daddy tersenyum dan entah kenapa itu bukanlah pertanda yang bagus.
“Kamu, Leyna Olivia.”
Sesuai dugaanku yang berusaha kutepis. Sepertinya, ini akan menjadi topik pembicaraan yang panjang dan menarik.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
"Good afternoon, Dorine. Here, matcha latte for you to relax yourself." "Oh My! You don't have to bring me a drink. But, thanks." Leyna tersenyum sumringah mendengar penuturan tersebut. Masih ada tiga yang tersisa di plastik bawaannya. Sengaja membelikan minuman karena perasaannya terlampau baik hari ini. "Kalau gitu, aku duluan ke atas, ya. Miss Jessica pasti sudah menunggu," kata gadis tersebut yang berlalu dari meja resepsionis dan menaiki tangga untuk sampai ke ruang latihannya. "Oh! Leyna! Come here." Gadis yang baru dipanggil itu mengerutkan dahinya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menghampiri Patricia yang sudah siap dengan kostumnya jelas mengumbar seluruh lekuk tubuh gadis yang akan segera memulai hidup baru dengan seseorang yang dikasihi. "Here is your Caramel Macchiato," ucap Leyna yang menyerahkan sebotol kepada temannya sembari mengambil posisi di sampingnya dan menyimpanny
05.00 p.m Classic Studio Leyna bercermin dan merapikan sanggulan rambutnya di kamar ganti studio. Entah kenapa dia merasa untuk membiarkan rambutnya digulung menjadi satu sore itu dan menampilkan garis lehernya yang jenjang. Tangannya membuka tas selempang yang menjadi tasnya seharian ini, berniat mencari lip sheer untuk dipoles ke bibirnya yang terlihat memulas. "Eh?" Gadis tersebut mengerut ketika merasakan sesuatu yang janggal dari dalam tasnya, menggapai benda tersebut dan mengeluarkannya dari sana. Matanya memicing melihat amplop tersebut. Yang mana, lebih cocok dipanggil lipatan kertas daripada surat. Bibirnya terbuka sedikit ketika ucapan Dion saat mereka kembali ke raga terngiang di otaknya. Mungkin ini yang dia bilang surat tersebut. Wanita muda itu pun langsung membuka dan membacanya. Ternyata bukan hanya satu lembaran, masih ada tiga lainnya yang mengikuti. Hey, Leyna. Ini Dion. Mungk
[Leyna POV] Aku segera melambaikan tanganku dari jendela mobil yang terbuka ke arah seorang gadis berpakaian kasual berdiri di depan gerbang sekolah. Outfit yang berbeda dengan saat pagi hari. Tidak lain dan tidak bukan adalah Quinza. Anak perempuan itu langsung mengambil posisi di sampingku. "Daddy dan Mommy ke mana?" tanyanya setelah meletakkan tas di bawah bersamaan dengan bawaannya yang lain. Aku memberikan botol air minum kepada adik satu-satunya, "Mereka sedang kencan kilat berkedok melihat museum kota sebelah." "Leyna tidak ikut?" Aku mengembangkan senyum, "Dan menjadi tanaman hias dianggurkan? Tidak terima kasih. Mau berhenti untuk membeli matcha?" Quinza langsung mengangguk singkat. Tentu saja, dia menerima tawaranku, secara tidak langsung, akulah yang akan membayar minuman tersebut. "Tolong berhenti di cafe biasa," ujarku ke arah sang supir. "Baik,
Leyna menyusuri koridor gedung dengan piyama berlengan panjang dari satin berwarna biru muda. Matanya berusaha mencari seseorang, "Melihat Tuan Besar?: "Tuan Besar sedang menikmati pemandangan malam di belakang gedung, Nona Muda Olivia." Jawab salah satu asisten rumah tangga yang lewat dengan membawa pot bunga baru. "Thank you." Wanita muda itu kembali berjalan menuruni tangga dan melangkah dengan langkah lebar untuk segera menemui ayahnya, meninggalkan Quinza sendirian di kamarnya. Anak itu sedang ingin tidur berdua dengannya dan Leyna tidak punya alasan untuk menolak. Seorang pria berdiri sendirian di balkon belakang gedung dengan pakaian yang sama dikenakannya seharian ini. Leyna mengambil kesimpulan, sang pemimpin Burk's Falls belumlah membersihkan dirinya. "Daddy, we need to talk," ucapnya dengan dada yang kembang kempis. Perlu usaha untuk menemui ayahnya di sini. "Daddy juga ada yang perlu dikatakan kep
[Dion POV] Leyna Olivia [Meet me in the garden now. I'm at school.] Satu pesan dari layar ponsel membuatku langsung membawa sepasang tungkai kakiku berjalan keluar dari ruang guru. Tidak peduli dengan tatapan kebingungan dari tiga rekanku yang lain melekat melihatku. Aku paham sekali kalau mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Koridor sekolah masih sepi, belum memasuki jam istirahat untuk anak-anak yang mengemban kewajibannya di dalam ruang petak bersama yang lainnya. Lapangan sekolah yang terasa panas karena Burk's Falls hari ini terasa begitu terik untuk dilewati. Namun, hanya itu jalur untuk sampai ke taman. Taman belakang sekolah. Dalam lintasan benakku saat itu terus-menerus memikirkan penyebab keturunan pemimpin itu ingin menemuiku di pagi hari ini. Masih terlalu pagi untuk saling menukar cerita keseharian seperti biasa yang kami lakukan. Jelasnya, bukanlah merupakan sesu
Suara ketukan pintu terdengar tiga kali sebelum kembali senyap dan digantikan oleh suara dari dalam kamar yang merupakan sang pemilik ruang, "Masuk." "Leyna, can I sleep here?" Seorang wanita yang sudah setengah berbaring di tempatnya tersenyum, memindahkan tubuhnya ke sisi kanan, "Of course. Have a bad sleep?" "Kinda," jawab seorang gadis yang baru remaja dengan sebelah tangan yang membawa plushie ubur-ubur dan botol minum di sebelah tangannya yang lain. Dia langsung mengambil tempat di atas kasur Leyna dan memposisikan posisi ternyaman. Kamar yang terang samar karena sudah memasuki jam tidur. Leyna ikut menyamankan posisinya dan menghadap sang pengganggu kesendiriannya. “Leyna,” bisik Quinza selaku orang yang telah berada di sampingnya dengan mata yang setengah terpejam memeluk plushie ubur-uburnya. Terdengar dehaman dari pemilik kamar untuk memintanya melanjutkan kalimat. “Apa kau belakangan ini mendapatka
[Leyna POV] "All is eighty dollars, sir." Tidak perlu susah menebak, jelas aku sedang berada di kasir. Jam istirahat telah dimulai dua menit yang lalu memberikan aku dan para pekerja lainnya untuk bersiap-siap mengumpulkan tenaga ekstra untuk melewati jam sibuk. Hari ini bisa aku simpulkan kalau lebih ramai dari biasanya. Semua anggota masuk kerja namun masih tidak cukup untuk melayani seluruh pelanggan yang datang. Bahkan, saat aku sempat melirik antrian, masih ada sebelas orang yang berbaris menunggu untuk dilayani. Tidak bisa berpikir apa-apa lagi selain memfokuskan diri untuk segera menyelesaikan pekerjaan di sini. Daddy sudah ke sekolah Quinza satu jam yang lalu setelah mengurus rapat penting dengan investor restoran tadi pagi. Mommy tentu saja ke butiknya. Katanya mereka kedatangan tamu VIP untuk mengurus busana pernikahan. Aku tidak tahu spesifiknya bagaimana. Karena, aku lebih sering
[Dion POV] Aku merenggangkan leherku ke kiri dan kanan, lalu memutar pergelangan kakiku bergantian setelah memastikan tali sepatu telah diikat apik aku keluar dari rumah. Lalu, menguncinya kembali dari luar, menyisakan Granny seorang diri dalam. Saatnya memulai olahraga pagi. Burk's Falls masih sepi saat ini, hanya sebuah lampu jalan yang menyala sebagai temanku. Aku hanya berencana memutari Burk's Falls sampai ke minimarket yang kemarin menjadi tempat persinggahan Leyna untuk membeli beberapa sayuran. Mataku mendelik saat melihat sebuah bayangan dari ujung jalan yang lain terlihat tidak asing. Aku mempercepat kecepatan jogging-ku dan mengulas senyum ketika semakin lama bayangan tersebut semakin jelas. Bonusnya, aku mengenali bayangan tersebut. “Leyna!” Teriakku dan menyengir ketika melihat dengan jelas bagaimana sepasang bahu tersebut terjengit karena suaraku. Aku langsung berjalan sampai di depann
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun
Dion melewati jalan setelah selesai dengan pertemuan penting di rumah Granny Greisy. Beberapa kali dia berhenti hanya untuk berbincang dengan beberapa tetangga yang dikenalnya ataupun berjongkok menyamai tinggi anak kecil yang mengenal Leyna bukan Dion yang bermain di luar rumah sembari menunggu jam mandi. “Selamat pagi, Nona Muda Olivia,” kata salah satu pengawal gedung yang langsung dibalas olehnya dengan tak kalah hangat. Dia memasuki interior gedung dengan penampilan sporty, pegawai yang berlalu lalang menyapanya formal dan dibalasnya juga dengan baik. “Nona Muda Olivia, Tuan Besar memanggil Anda untuk ke taman belakang sekarang,” kata kepala asisten rumah yang memanggilnya dari belakang. Dion langsung berbalik badan. “Baik, saya akan ke sana. Terima kasih untuk infonya.” Jiwa laki-laki itupun memutar badannya untuk sampai taman belakang gedung. Niatannya tadi itu, dia akan membersihkan dirinya dulu setelah berkeringat banyak karena dia sempat jogging dengan durasi yang lebih
“Jatuh cintalah. Maka kutukannya akan musnah.” Dion dan Leyna sontak terbelalak terkejut. “Maksudnya, Granny?” tanya Dion yang duluan sadar. “Granny pernah bilang kalau Virga Phantasia ini sama dengan cupid, kan?” tanya Granny Greisy lagi yang sontak diangguki oleh Leyna yang masih ingat dengan jelas pembicaraan mereka tempo lalu itu. "Maka dari itu, jatuh cintalah," sambung Granny Greisy lagi dengan tenang. Air matanya sudah berhenti mengalir. "satu-satunya jalan adalah jatuh cinta." "Jatuh cinta yang bagaimana, Granny?" Manik wanita tua itu memburam perlahan bersamaan dengan penuh dengan harapan saat menelisik kembali ke masa lalu. "Granny pernah menemui seseorang yang juga sebagai manusia terpilih untuk keajaiban satu ini. Dia seumuran dengan Granny, hidup di kota besar seperti Ottawa dan Toronto sekarang. Dia sudah menikah dan masih hamil tiga bulan," ucap wan
“Leyna? Kau sudah bangun?” Dion yang sedang mengikat tali sepatunya langsung mendongak mendengar suara serak terdengar tidak jauh darinya. Suara khas akan bangun tidur yang menyita perhatiannya sejenak. “Oh, kau sudah bangun? Aku hendak jogging sebentar,” jawabnya seadanya sebelum kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. “Belum. Aku hanya ingin ke toilet, masih ada dua jam sebelum mandi. Aku tidak akan membuang kesempatan itu,” jawab Quinza—sosok yang bangun di jam subuh—melangkah menjauh kearah dapur. Jelas sekali, anak sekolah itu akan mencari kamar kecil. Memang keseharian kedua gadis kesayangan Chayton itu sangat berbeda. Dari segi umur juga telah mengatakan segala. Quinza meskipun dia aktif untuk menari, dia terlalu malas untuk bangun pagi demi merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah bangun dan lebih rela berendam di bathup setelah seharian beraktivitas. Leyna—atau Dion sekarang—terbiasa untuk bangun pagi sejak zaman sekolah, membuatn