Hari Minggu
Burk’s Falls, Ontario
“Granny, please drink the water.” Leyna menyerahkan sebotol minuman dengan sedotan di dalam untuk memudahkan nenek yang dengannya bisa meminum dengan lancar. Lalu, menyimpannya kembali ke dalam tas punggung yang dibawanya hari ini.
“Sudah lama tidak ke sini. Kita ke sebelah sana.”
Leyna merangkul lengan Greisy hati-hati, memastikan wanita tua itu berjalan dengan baik di sampingnya dan tidak akan terluka saat menaiki anak tangga. Doe Lake diciptakan oleh alam dan pemerintah membuatnya semakin menawan dengan memutuskan membuat jalan yang bertanjak untuk pejalan kaki. Seperti sekarang, ada yang berolahraga maupun sekedar jalan menikmati segarnya alam layaknya mereka.
“Dulu sebelum Tuan Chayton memimpin, lautan ini tidak terawat. Begitu banyak sampah di sana dan sini. Saat itu Granny masih muda, suka datang ke sini dengan Kakekmu untuk jogging bersama. Kadang ayahmu juga ikut dengan kami,” ujar Greisy sembari mengenang serpihan masa lalunya.
"Tetapi, itu tidak sering. Karena saat itu, ayahmu lebih suka membuang waktu dengan ibumu."
"Papa itu seperti menganggap Mama adalah oksigen yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidupnya." Jawab Leyna asal sebagai balasan dan memikirkan banyak kemungkinan. Menurutnya, Dion berasal dari keluarga yang baik-baik sebelum dia seperti ini.
Greisy tertawa bahagia, sembari menaiki satu anak tangga, "Benar. Granny jadi ingat kejadian di mana Granny tidak mengizinkan Ayahmu bertemu dengan Ibumu karena kesehariannya menjadi berantakan. Ayahmu langsung seperti kehabisan oksigen dan hanya mendekam di kamarnya."
"Pada akhirnya, Granny mengizinkannya asalkan seluruh pekerjaannya dilakukan dengan baik sesuai dengan porsinya. Granny tidak melarang Ayahmu berpacaran tetapi, dia seperti orang yang terhipnotis dan memusatkan kehidupannya kepada Ibumu."
Leyna mengangguk setuju, dulunya Ayahnya juga seperti itu, Ibunya yang menceritakan masa menyenangkan pertama saat mengenal Chayton.
"Sangking jatuh cinta kepadanya, dia memilih untuk bersama dengan Ibumu sampai akhir hayatnya. Mereka ada pasangan cinta sejati menurut Granny." sambung wanita tua itu membuat Leyna tertegun, dengan langkah yang tetap berjalan dan sampai ke puncak anak tangga. Leyna membawa Greisy untuk duduk di tempat peristirahatan.
Tangannya mengambil sebungkus roti yang aman dikonsumsi oleh Greisy dengan pikiran yang melayang. Tidak menduga kalau Dion telah kehilangan kedua orang berharga yang seharusnya bersama Dion melewati masa-masa dalam hidupnya.
Tetapi, satu sisi, dia merasa bersyukur dengan apa yang ada dalam kehidupannya. Dia mendapatkan kedua orangtua yang lengkap sampai sekarang, ditambah dengan dua saudaranya. Meskipun, mereka bisa jadi tidak tahu kalau anak kedua mereka sedang mendekam di salah satu raga rakyatnya. Dia tetap merasa bersyukur.
Leyna juga berpikir kalau Dion mungkin merasa bahagia saat mendapatkan kedua orang tua yang seharusnya ada di sampingnya sekarang. Leyna berpikir kalau dia bisa menahan lebih lama tinggal di raga ini sampai Dion puas melewati hari dengan dua orang dewasa yang bisa dipanggil dengan panggilan Papa dan Mama.
_The Stranger's Lust_
Leyna mendekatkan ponselnya ke telinga dengan bahu yang terangkat untuk menggantikan tugas tangannya yang sedang mengambil cart yang disediakan. Suara tut terdengar panjang menyatakan kalau sambungannya terkoneksi dan terdengar suara di seberang.
"Hallo, Ley ... Dion, ada apa?"
Leyna terkekeh sejenak dan menarik cart beroda dua di area belakang troli untuk membawa ke area bumbu dapur. "Hati-hati, Leyna. Kau bisa ketahuan," katanya dengan bisik-bisik dan meletakkan kaleng kecil bubuk bawang putih di troli dan kembali berjalan ke arah sisi sebelah.
"Kita berdua, Dion." Ralat sang penerima telepon. Leyna tertawa diikuti dengan kekehan dari seberang. "Sedang apa?" tanya Dion yang mengalihkan topik pembicaraan.
"Belanja mingguan. Kita kehilangan banyak bahan makanan. Kemarin malam aku hanya bisa membuat waffle. Tenang, aku memastikan, dia lembut hingga Granny bisa memakannya." Jawabnya sembari meletakkan dua kotak telur ke dalam troli dan tepung terigu ke dalam.
"Buburnya sudah habis?" tanya Dion.
"Sisa sedikit. Untuk dua hari kedepan. Makanya, berhubung hari ini hari Minggu, aku meluangkan waktu untuk belanja sedikit di supermarket. Kemarin aku sempat ke minimarket." tutur Leyna dengan tenang. Dia mengambil bungkus instant oats dan rolled oats serta beberapa jajanan yang cukup sehat dikonsumsi.
"Granny di mana? Bukankah kau bilang akan membawanya ke Doe Lake?"
Leyna menarik ponselnya dan mengapitnya di sisi sebelah lainnya, dengan tangan yang membuka pintu freezer dan menarik beberapa botol kemasan minuman kopi siap saji. "Di taman bermain dekat supermarket. Aku sudah ingin mengajaknya ke sini. Tetapi, dia bilang melihat anak-anak bermain lebih menyenangkan daripada menemaniku belanja. Katanya, dia bisa mengingat masa lalu," ucapnya yang menutup pintu freezer dan berjalan ke area buah.
"Apel atau pisang?" tanyanya dengan nada pelan.
"Pisang. Dua minggu lalu, aku sempat membelikan apel untuknya. Tolong sekalian dengan pepaya." Jawab Dion yang membuat Leyna tertegun.
"Kau mendengarnya?"
"Tentu saja. Lanjutkan kegiatan belanjamu. Aku tidak akan mengusikmu lagi sampai nanti malam. Aku harus ikut jadwal temu dengan investor siang ini. Banyak yang harus dipelajari." keluh Dion yang mengalirkan suara tawa dari Leyna. Dia pernah berada di posisi Dion dan jelas tahu bagaimana penderitaan itu.
Leyna mengambil pepaya yang dirasa matang dan akan menimbulkan rasa manis saat memakannya, "Cukup pastikan, investor akan senang dengan penjelasanmu. Tidak perlu terus mengikuti kata proposal. I'll hang up. Bye."
"Bye."
Leyna menyaku kembali ponsel dan kembali mengitari area supermarket, dia harus memastikan semuanya dibeli agar tidak membuang waktunya lagi untuk membeli sesuatu yang penting. Kemudian, menjemput Greisy yang mungkin sudah lelah di taman bermain.
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
"Eh?" Dion meraba wajahnya sendiri, mencubit kedua pipi yang terasa sedikit kasar daripada selama semingguan ini dan memegang rambutnya sendiri. Matanya melihat ke arah jarum jam yang masih di angka enam tepat. Dia langsung berlari ke depan kaca yang tergantung di dinding dan hanya menampakkan setengah badannya saja. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, dia langsung berjalan ke meja belajarnya dan menggapai ponsel yang terbaring di alas permukaan datar tersebut dengan sumringah. Ponselnya kembali. Tanpa berpikir panjang, dia menekan deretan angka diluar ingatan. Tangannya mengikis jarak antara ponsel dengan telinga kiri seraya mengetuk jari kakinya yang telanjang ke permukaan tanah. Sambungan suara dering yang cukup panjang dan konstan sebelum menghilang dan terdengar suara lembut khas perempuan yang serak karena terpaksa bangun tidur. “Hallo, Dion? Ada apa menelepon sepagi ini?” Dion tersenyum tipis, sekali menafsir k
Dion merapikan dasinya hari ini. Raut wajahnya mungkin terlihat datar. Tetapi, bagi yang peka tentu lah bisa melihat setitik kebahagiaan di wajah pria muda tersebut saat Dion mematut diri di depan kaca. Tangannya menyambar tas punggung berwarna hitam dan segera menjalani hari. Dia bersyukur dipertemukan dengan lemari sederhana berisi pakaiannya kembali, hanya da kemeja, kaos, dan celana di sana. Bukan walk-in-closet yang berjajar pakaian terusan maupun dress dengan aksesoris yang cukup membuat kepada Dion pusing. Lebih parahnya, dia harus beradaptasi dengan pakaian yang memang bukan merupakan miliknya sejak lahir. Dia bersyukur bisa memasuki rumah sederhana ini dengan leluasa tanpa harus disegani oleh Greisy atau siapapun yang melihat. Dion langsung meletakkan tasnya di area sofa untuk segera menyiapkan sarapan untuk orang tua yang merawatnya sejak kejadian buruk dalam hidupnya tersebut. Tangannya mengeluarkan tiga butir telur dari kulkas unt
[Leyna POV] Aku segera mengikat tali untuk mengeratkan celemek yang mengalung di leherku pada bagian pinggang. Bagaimanapun, aku bisa melihat kalau sungguh banyak customer yang datang di siang hari ini untuk mengisi kekosongan perut mereka setelah setengah hari melakukan aktivitas. Tidak mungkin bagiku untuk melepaskan tanggung jawab di saat seperti ini. Setelah memastikan apron tersebut terikat sempurna dan tatanan rambutku tidak akan berantakan dan memalukan nama restoran. Aku segera berjalan ke arah kasir yang terlihat kesulitan di depan meja penuh akan uang di dalam mesin tersebut, “Bantu yang lain untuk mengantar pesanan. Aku akan mengurus ini.” “Baik, Nona,” kata salah satu pelayan yang seingatku bernama Zella mengundurkan diri dari meja kasir dan membantu rekannya yang lain di tengah kesibukan. Aku berbuat seperti itu karena dua pegawai kami tidak datang hari ini. Sehingga, aku harus turun tangan. Pengawas lapangan jug
"Good afternoon, Dorine. Here, matcha latte for you to relax yourself." "Oh My! You don't have to bring me a drink. But, thanks." Leyna tersenyum sumringah mendengar penuturan tersebut. Masih ada tiga yang tersisa di plastik bawaannya. Sengaja membelikan minuman karena perasaannya terlampau baik hari ini. "Kalau gitu, aku duluan ke atas, ya. Miss Jessica pasti sudah menunggu," kata gadis tersebut yang berlalu dari meja resepsionis dan menaiki tangga untuk sampai ke ruang latihannya. "Oh! Leyna! Come here." Gadis yang baru dipanggil itu mengerutkan dahinya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menghampiri Patricia yang sudah siap dengan kostumnya jelas mengumbar seluruh lekuk tubuh gadis yang akan segera memulai hidup baru dengan seseorang yang dikasihi. "Here is your Caramel Macchiato," ucap Leyna yang menyerahkan sebotol kepada temannya sembari mengambil posisi di sampingnya dan menyimpanny
05.00 p.m Classic Studio Leyna bercermin dan merapikan sanggulan rambutnya di kamar ganti studio. Entah kenapa dia merasa untuk membiarkan rambutnya digulung menjadi satu sore itu dan menampilkan garis lehernya yang jenjang. Tangannya membuka tas selempang yang menjadi tasnya seharian ini, berniat mencari lip sheer untuk dipoles ke bibirnya yang terlihat memulas. "Eh?" Gadis tersebut mengerut ketika merasakan sesuatu yang janggal dari dalam tasnya, menggapai benda tersebut dan mengeluarkannya dari sana. Matanya memicing melihat amplop tersebut. Yang mana, lebih cocok dipanggil lipatan kertas daripada surat. Bibirnya terbuka sedikit ketika ucapan Dion saat mereka kembali ke raga terngiang di otaknya. Mungkin ini yang dia bilang surat tersebut. Wanita muda itu pun langsung membuka dan membacanya. Ternyata bukan hanya satu lembaran, masih ada tiga lainnya yang mengikuti. Hey, Leyna. Ini Dion. Mungk
[Leyna POV] Aku segera melambaikan tanganku dari jendela mobil yang terbuka ke arah seorang gadis berpakaian kasual berdiri di depan gerbang sekolah. Outfit yang berbeda dengan saat pagi hari. Tidak lain dan tidak bukan adalah Quinza. Anak perempuan itu langsung mengambil posisi di sampingku. "Daddy dan Mommy ke mana?" tanyanya setelah meletakkan tas di bawah bersamaan dengan bawaannya yang lain. Aku memberikan botol air minum kepada adik satu-satunya, "Mereka sedang kencan kilat berkedok melihat museum kota sebelah." "Leyna tidak ikut?" Aku mengembangkan senyum, "Dan menjadi tanaman hias dianggurkan? Tidak terima kasih. Mau berhenti untuk membeli matcha?" Quinza langsung mengangguk singkat. Tentu saja, dia menerima tawaranku, secara tidak langsung, akulah yang akan membayar minuman tersebut. "Tolong berhenti di cafe biasa," ujarku ke arah sang supir. "Baik,
Leyna menyusuri koridor gedung dengan piyama berlengan panjang dari satin berwarna biru muda. Matanya berusaha mencari seseorang, "Melihat Tuan Besar?: "Tuan Besar sedang menikmati pemandangan malam di belakang gedung, Nona Muda Olivia." Jawab salah satu asisten rumah tangga yang lewat dengan membawa pot bunga baru. "Thank you." Wanita muda itu kembali berjalan menuruni tangga dan melangkah dengan langkah lebar untuk segera menemui ayahnya, meninggalkan Quinza sendirian di kamarnya. Anak itu sedang ingin tidur berdua dengannya dan Leyna tidak punya alasan untuk menolak. Seorang pria berdiri sendirian di balkon belakang gedung dengan pakaian yang sama dikenakannya seharian ini. Leyna mengambil kesimpulan, sang pemimpin Burk's Falls belumlah membersihkan dirinya. "Daddy, we need to talk," ucapnya dengan dada yang kembang kempis. Perlu usaha untuk menemui ayahnya di sini. "Daddy juga ada yang perlu dikatakan kep
[Dion POV] Leyna Olivia [Meet me in the garden now. I'm at school.] Satu pesan dari layar ponsel membuatku langsung membawa sepasang tungkai kakiku berjalan keluar dari ruang guru. Tidak peduli dengan tatapan kebingungan dari tiga rekanku yang lain melekat melihatku. Aku paham sekali kalau mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Koridor sekolah masih sepi, belum memasuki jam istirahat untuk anak-anak yang mengemban kewajibannya di dalam ruang petak bersama yang lainnya. Lapangan sekolah yang terasa panas karena Burk's Falls hari ini terasa begitu terik untuk dilewati. Namun, hanya itu jalur untuk sampai ke taman. Taman belakang sekolah. Dalam lintasan benakku saat itu terus-menerus memikirkan penyebab keturunan pemimpin itu ingin menemuiku di pagi hari ini. Masih terlalu pagi untuk saling menukar cerita keseharian seperti biasa yang kami lakukan. Jelasnya, bukanlah merupakan sesu