PoV. Author
Diruang vvip songdo hospital ketiga lelaki itu menunduk melihat ipad mereka fokus terhadap pekerjaan masing-masing. Sampai suara ketukan pintu terdengar, membuat mereka mengalihkan pandangan mereka ke sumber suara.
"Masuk." Ujar Ganesa.
Perlahan pintu terbuka memperlihatkan seorang perawat yang terlihat cukup sexy dengan seragam yang terlihat terlalu kecil.
Dengan senyum yang dibuat semanis mungkin ia melangkah mendekati ketiga pria yang masih menatap nya datar.
"Maaf tuan, aku di tugaskan untuk menjadi perawat di ruangan ini" ujarnya malu-malu.
Al menaikan sebelah alisnya. Lalu kembali menatap iPad nya penuh minat.
"Keluarlah" seru Leo sedikit malas.
Mendengar bahwa dirinya di usir oleh ketiga pria tampan itu membuatnya menunduk diam.
"Maaf tuan, aku hanya di perintahkan dokter yang menangani pasien" balasnya pelan.
Ganesa yang semula fokus pada file kerjanya menatap kearah perawat itu dengan datar dan berdiri menghampirinya.
"Bawa dokter nya, suruh dia yang merawat pasien ini" bisiknya tepat di telinga perawat cantik itu.
Dengan cepat perawat itu mengangguk sambil tersenyum kearah Ganesa dan berjalan keluar ruangan.
Sepeninggalan perawat itu Ganesa mendengus saat melihat Fano belum juga sadar.
"Kurasa dia mati" ujarnya saat menghampiri Fano.
"Kau salah, dia lelah" ledek Leo cukup kencang.
Fano yang mulai terganggu perlahan membuka matanya. Saat melihat ruangan yang asing ia sudah sadar jika dirinya berada di rumah sakit. Ia melihat ketiga sahabatnya yang sedang tersenyum kearahnya. seperti tidak ada hari esok untuk mengintrogasi nya.
"Apa yang kalian lakukan disini?" Ujarnya dengan malas.
Ia memejamkan matanya berniat menghindar.
"Jangan bodoh dengan berpura-pura tidur" ujar Al yang sudah duduk di sebelah brangkar.
Fano menghembuskan nafas tajam, menatap kearah Al dengan malas.
"Aku kelelahan" itu saja penjelasan yang diberikan oleh Fano.
Al yang kurang puas dengan jawaban yang diterimanya berniat untuk melontarkan sebuah pertanyaan lain. Namun ucapannya tertelan lagi saat pintu ruangan itu terbuka, menampilkan seorang dokter muda lengkap dengan jas putih dan alat medisnya.
"Selamat siang, maaf tuan-tuan. waktunya makan siang dan minum obat" ujarnya dengan senyum ramah.
Semua orang menatap kearahnya, begitu pula Fano yang menatap dokter itu dengan tajam, namun tak berselang beberapa menit iya tersenyum ramah.
"Kau bisa menyuapiku? Aku masih sangat lemas akibat ke-le-la-han" ujar Fano sedikit menekankan pada kata kelelahan.
"Maaf tuan Fano, bukan saya menolak tapi saya ini seorang dokter masih banyak pasien yang harus saya tangani, perawat pasti bisa menyuapi anda jika anda mau bisa saya panggilkan" tolak Kissela dengan alasan yang ia buat sebaik mungkin.
Fano menghembuskan napasnya kasar, wajahnya ia buat sekecewa mungkin.
"Aku tidak menyangka, pelayanan di rumah sakit ayahku seburuk ini, harus ku pecat direkturnya" sindir Fano yang membuat Kissela terpojok.
"Tapi pasien saya pasti bisa menunggu, ayo buka mulut anda biar saya suapi" seru Kissela dengan cepat.
Dengan jantung yang berdebar Kissela melangkah mendekati Fano yang masih terus mengamati nya.
Sedangkan Ganesa sudah kembali duduk dan bergelut dengan iPad milik nya sementara Al dan Leo bermain games untuk menghilangkan jenuh akibat menunggu terlalu lama.
"Kenapa pergi disaat aku masih tertidur?" Tanya Fano sambil mengamati dokter cantik yang sedang menyendokan bubur untuknya.
Kissela yang merasa diperhatikan menjadi sangat gugup. Ia berusaha untuk terlihat biasa saja lalu berbalik menatap pria yang masih terus mengamati nya.
"Maksud anda, tuan?" Balas Kissela berpura-pura tidak mengerti.
Fano terkekeh kecil mendengar wanita cantik dihadapan nya ini yang memilih berpura-pura tidak mengerti.
Ia mengangguk ringan dan membuka mulutnya saat Kissela memberikan satu sendok penuh bubur kearah mulutnya.
"Rasanya Manis dan sedikit asin, nikmat sama seperti yang kurasakan semalam" Tanya Fano lagi dengan wajah jenaka.
"Pasti makanannya sangat enak" Ujar kissela dengan gugup, bahkan sendok yang dipegangnya sedikit bergetar.
Fano menarik lengan kissela kearah nya.
"Sangat nikmat, sampai aku menginginkannya lagi! Apa mungkin bisa?" Seru Fano yang terlihat senang dengan respon gadis di hadapannya.
Ketiga pria yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing kini menatap kedua nya dengan penasaran.
"Mu_mungkin saja bisa, oleh karena itu anda harus pulih terlebih dahulu" jawab Kissela napas tertahan, jelas ia paham apa yang sedang dibicarakan laki-laki di hadapannya ini.
"Oh ya? Baik kalau begitu aku akan segera pulih dan mencobanya lagi" Seru Fano dengan tatapan lurus menatap Kissela.
"Aku tidak keberatan jika harus berbagi denganmu, kau tidak akan menolak bukan?" lanjutnya.
Ketiga sahabatnya yang mendengar itu serempak bergumam dan berpura-pura tidak mendengar.
"Jika kita bertemu lagi mungkin aku tidak ada menolak, tapi kuharap anda tidak akan bertemu dengan dokter seperti ku lagi, karena itu tandanya anda pasti sedang sakit" ujar Kissela dengan senyum sopan.
"Tapi jika kita bertemu di tempat lain?, Seperti di tepi tebing dipinggir kota misalnya" balas Fano dengan tenang memakan bubur yang di suapi oleh Kissela yang terlihat makin tersudut.
"Diminum dulu obatnya, lalu tuan bisa istirahat" ujar Kissela mengalihkan pembicaraan.
Dengan tidak peduli Fano terus bertanya seperti orang bodoh.
"Jadi bagaimana? Kau mau berbagi sesuatu yang kemarin kucoba?" Ujar Fano masih dengan senyumnya.
"Kita lihat saja nanti ya tuan, sekarang anda istirahat dulu saja" jawab Kissela lalu berbalik untuk pergi.
Kissela berjengit saat sebuah lengan menarik lengannya hingga ia harus bertatapan sangat dekat dengan Di Fano. Ia menunduk menghindari tatapan tajam Fano yang lurus terhadap nya.
"Kau memilih aku mengingatkan nya?" Ujarnya dengan hidung yang menghirup aroma tubuh kissela dari ceruk leher dokter cantik itu.
Nafas kissela memburu saat merasakan hembusan nafas Fano di belakang telinganya. Entah sejak kapan tubuhnya begitu mendamba belaian dari pria ini.
"Maaf, ini sudah selesai, saya harus segera kembali" ujar kissela dengan membungkuk lalu pergi berlalu begitu saja.
Suara tawa Leo menjadi pembuka kesunyian sesaat setelah kissela pergi.
"Rasanya Manis dan sedikit asin, nikmat sama seperti yang kurasakan semalam" Ujar Leo pada Ganesa yang memutar matanya jengah.
"Sudahlah Leo, kau tidak akan tau rasanya jika ditinggalkan setelah bermain semalaman, dan ternyata dilupakan" balas Al dengan menahan tawa di bibirnya.
"Apa kau sampai tertidur? Apa begitu nikmat? Aku jadi penasaran" ujar Ganesa datar namun ucapan itu sangat menggangu Fano.
"Woo lihat wajahnya terlihat sangat tidak senang saat kau mengucapkan itu, apa seorang Gibadesta sedang jatuh cinta?" Seru Leo dengan tersenyum jenaka.
"Apa kalian tidak punya pekerjaan lain? Kalian terlihat seperti seorang pengangguran" ujar Fano, "sebaiknya kalian kembali ke kantor kalian masing-masing" lanjutnya dengan memejamkan mata menghindari tatapan penuh selidik para sahabatnya.
"Baik lah aku akan pergi, jika kau tidak ingin bercerita seberapa sempitnya celah itu" ujar Leo sambil berlalu menuju pintu.
Namun dengan tiba-tiba sebuah bantal melayang kearah kepalanya. Dengan cepat ia menghindar dan berlari keluar ruangan.
"Sial! Kalian juga keluarlah, aku ingin istirahat" usirnya pada Ganesa dan Al.
Keduanya dengan santai pergi keluar dari ruangan, "apa sangat sempit?" Celetuk Al, lalu berlari menyusul Ganesa didepannya.
Fano hanya bisa mengacak rambutnya frustasi, merasa sangat direndahkan oleh seorang wanita.
"Lihat saja kita pasti akan bertemu dan kau pasti akan kubuat bertekuk lutut memohon padaku" ujar Fano dengan semirk khas miliknya.
PoV. AuthorKissela berjalan dengan terburu-buru di lorong rumah sakit, ia merasa sangat bodoh dengan berpura-pura tidak tahu apapun seperti itu. Jelas ia tahu apa yang menjadi kelemahan nya adalah berbohong. Sedikit memukul kepalanya pelan."Ahhh bodohnya aku" ujarnya."Dokter Kissela, tunggu sebentar" seorang dokter muda memanggil nya.
PoV. AuthorMalam itu Fano merasa sangat tidak nyaman dengan hatinya, ia seperti telah membuat masalah yang sangat besar. Rasa mengganjal di hati membuatnya sulit untuk tertidur, kilasan saat ia melihat Kissela bersama dengan dokter muda itu terulang terus menerus di kepalanya."Brengsek! Kenapa ini semua menyerangku balik," hembusan nafas panjang terdengar sarat akan kefrustasian.Dengan
PoV. Author"apa!? Dokter Danu di pecat?" Seru Kissela kencang.Napas gadis itu tercekat, ia sangat terkejut dengan berita ini. Bagai mana bisa dokter sekompeten dokter Danu bisa di pecat.
PoV. AuthorFano merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur nya. Dengan perlahan ia membuka satu persatu kancing kemeja nya melempar nya sembarang dan perlahan menghembuskan nafas kasar."Segeralah menemui ku Kissela, aku semakin menggila karena perasaan ini," Fano bergumam.K
PoV. AuthorKissela menaiki sebuah bus menuju sebuah panti asuhan di pinggir kota. Panti asuhan tempat ia dibesarkan, tempat dimana ia mendapat perhatian dari seorang pengasuh hingga ia bisa seperti saat ini.Dengan senyum lebar Kissela turun disebuah halte dan menyebrangi jalan untuk sampai di halaman sebuah rumah sederhana yang terdapat banyak mainan anak di depannya. Kehadirannya disambut banyak anak kecil yang memanggil nya dengan sebutan kakak.
PoV. AuthorKeesokan harinya di rumah sakit terjadi sedikit kekacauan. Beberapa orang datang dengan bersamaan menerobos masuk, berteriak sangat keras. Meminta sebuah tanggung jawab atas kematian seorang korban kecelakaan yang sempat masuk rumah sakit ini."Keluar kalian, kalian tidak pantas menjadi seorang dokter!!" Seru seorang ibu dengan menggebu-gebu.
PoV. AuthorDi sebuah cafe yang dimiliki Al terlihat empat orang pria tampan sedang berbincang.
PoV. AuthorHari ini di mansion Raiden terjadi kegemparan bahkan Fano, Leo, Al sudah berada di sana.
Suasana di mansion sudah berubah menjadi lebih mewah dan gemerlap lampu memenuhi seisi mansion. Beberapa tamu penting sudah datang dengan menggunakan topeng, ya hari ini tema pesta nya adalah topeng. Leo mengambil topeng hitam miliknya dan mengenakannya sebelum keluar dari kamar."Apa acara sudah di mulai?" Tanya Leo pada Sebastian."Sebentar lagi tuan, apa yang harus saya lakukan?" Ujar Sebastian dengan tenang."Kau harus menjauh dari ku, agar semua orang tak mengenaliku sampai saat perkenalan" balas Leo yang di benarkan Sebastian hanya saja Sebastian merasa ada niat lain di balik acara ini.Leo keluar lebih dulu, dari dalam kamar. Ia melangkah menuju tempat acara tanpa di sadari semua orang. Matanya menelisik seluruh tempat acara, mencari satu orang tanpa di minta.Di tempat pembagian topeng sudah berdiri Lisa dengan gaun berwarna hitam yang sangat simpel, dengan topeng putih yang menutupi wajahnya yang masih bisa Leo kenali."Shit dia terli
"kau tidak akan di pindah, jadi jangan menangis" ujar Leo yang mengejutka Lisa.Dengan terburu-buru Lisa berdiri dari duduknya dan beranjak mendekati Leo, ia menunduk di depan pria itu."Tuan maaf malam itu, aku yang salah aku juga sudah mulai melupakan nya" ucap Lisa dengan pasti.Leo yang mendengar itu merasa terenyuh, ia merasa jika ia tak rela Lisa melupakan semua kejadian itu. Namun disisi lain ia juga malu jika harus mengakui bahwa dialah yang memulai semuanya.***Semua berjalan lancar sejak perbincangan di perpustakaa, Leo mulai sibuk dengan pekerjaannya dan Lisa juga sibuk dengan pekerjaan dan kuliahnya. Beberapa kali Leo menunggu kedatangan Lisa di meja makan namun selalu bukan gadis itu yang datang.Beberapa kali juga ia melihat Lisa dari kejauhan saat gadis itu membersihkan taman. Namun untuk berinteraksi Leo tak bisa memulai nya lebih dulu."Aku butuh seseorang untuk memata-matai orang, di dalam rumahku" ujar Leo
Lisa masuk jedalam kamar Leo dengan ragu. Ia melihat keadaan kamar yang berantakan dan Leo yang hanya megenakan sebuah handuk."Ada apa kau datang ke sini?" Tanya Leo tanpa melihat kearah Lisa."Begini tuan ada yang ingin aku tanyakan, tapi sepertinya sangat tidak mungkin saat ini karena ini""Samantha keluarlah dulu, lima belas menit lagi kembalilah" ujar Leo membuat Samantha terdiam.Hatinya lenuh tanda tanya apa yang akan dibicarakan mereka berdua, ia melirik Lisa sinis ia berjanji akan membuat pelajaran pada Lisa setelah ini.Lisa yang paham dengan arti tatapan Samantha hanya bisa menghembuskan napasnya dalam. Ia harus bersiap dengan kejadian buruk yang akan menimpanya setelah ini.Setelah Samantha pergi tinggalah mereka berdua. Lisa semangin ragu untuk menanyakan masalahnya. Namun Leo terlihat sangat penasaran dengan apa yang akan ia ucapkan."Katakan" perintah Leo terdengar mutlak.Pria berbadan atletis itu masih mena
Leo menatap Lisa dengan ragu, ia melihat Lisa yang mulai bernafas dengan lebih baik. Jarak mereka yang dekat memudahakan Leo melihat perubahan ekspresi dari wajah Lisa."Bagaimana tuan apa sudah aman untuk saya keluar?" Tanya Lisa saat sadar jika Leo masih belum juga menjauh darinya.Leo yang mendengar ucapan Lisa dengan perasaan sungkan menjauh sambil mengusap lengannya dan menjauh."Aku akan melihat situasi terlebih dahulu baru kau boleh keluar." Balas Leo lalu keluar dari kamar mandi.Leo berjalan kearah pintu lalu melihat situasi di luar, dan seluruh pelayan sedang sibuk di taman dan dapur. Leo melihat Lisa yang sudah bersiap."Keluar sekarang" ucapnya."Baik tuan, maaf_""Cepat pergi" potong Leo acuh.Lisa yang melihat sikap acuh Leo hanya mampu menahan dengusan kesal. Ia keluar dengan mengendap-endap lalu berlari menuju kamarnya. Ia bergegas mengganti bathrobe yang ia pakai menjadi pakaian pelayan, tak lupa menye
Langit telah berubah menjadi gelap dengan derai hujan yang menyertai. Malam ini Leo menghabiskan malam nya dengan setumpuk berkas laporan milik perusahaannya. Matanya mengarah ke meja kecil di tepi tempat tidurnya, memastikan jika ada segelas air disana."Bagai mana airnya bisa belum di isi" ujarnya sebelum ia meletakan Ipad lalu melangkah mengambil gelas kosong miliknya.Dengan santai ia keluar dari dalam kamarnya berniat memanggil seorang pelayan, namun pandanganya terpaut dengat seorang gadis yang melintas tepat di depan pintu kamarnya dengan pakaian yang basah."Kau pulang kuliah selarut ini?" Sindir Leo pada Lisa.Lisa dengan enggan menghentikan langkahnya lalu berbalik dan membungkuk di hadapan Leo."Maaf tuan, aku sudah pulang sejak sore hanya saja""Kau pergi bermain? Menemui seorang pria?" Sela Leo sarkas.Hal itu membuat Lisa sedikit terkejut, ada rasa nyilu di dadanya. Ia merasa Leo sangat merendahkannya sebagai seorang perem
Leo melangkahkan kakinya menuju pintu keluar utama Bandara Altenrhein. Penampilannya yang terlihat maskulin dengan kemeja putih yang ia gulung sampai sebatas lengan dan celana berwarna coklat membuat prnampilanya terlihat santai namun tetap mempesona. Dengan menarik kepernya ia melihat kesekelilingnya mencari seseorang yang ia tugaskan untuk memjemputnya.Dari kejauhan terlihat pria paruh bayar denganstelam jas formal yang memegang papan bertuliskan nama Leo denga tulisan tangan. Dengan perlahan Leo mendekati pria itu, saat sadar jika tuannya sudah datang pria itu bergegas mengambil koper milik Leo."Apa kabarmu Robert?" Tanya Leo yang tetlihat sangat sanatai."Saya baik tuan, silahkan mobil anda sudah siap" balas Robert dengan formal membuat tertawa kecil melihat pria paruh baya yang sudah ia anggap ayah nya sendiri namun tidak sebaliknya.Leo berusaha mensejajarkan langkah mereka namun Robert terus saja satu langkah di belakangnya. Leo yang sudah lelah
Camelia berdiri dari tempat duduknya. Ia menoleh sekilas ke arah pintu. Kemudian kembali memandang tali yang ada di langit-langit kamarnya. Ia sudah bersusah payah mengikat tali itu di sana. Bahkan kakinya sampai terluka karena terantuk lemari yang menjadi pijakannya."Al," panggil Camelia."Ada apa? Apa kamu mau keluar?" tanya Al dengan antusias."Tidak, Al. Kita bicara seperti ini saja."Al mendengus pelan. Sebenarnya ia tidak ingin seperti ini. Namun jika itu pilihan Camelia, tidak ada jalan lain selain menurutinya. Lagi pula mustahil untuk memaksa wanita keras kepala itu. Al duduk di depan pintu dengan wajah lesuh."Sebenarnya kamu sedang apa, Camelia?" tanya Al.Camelia di dalam kamarnya tersenyum. Ia menatap pintu kamarnya sambil tersenyum kecil. "Menyiapkan kejutan untukmu. Ini 'kan hari ulang tahunmu."Al tersenyum. "Apa yang kamu siapkan? Aku jadi penasaran."Camelia terkekeh mendengar ucapan pria tersebut. Ia berjalan
Jane memberontak, ia berusaha keras untuk melepas tali yang mengikat kedua tangannya. Entah bagaimana caranya, namun Sean yang merupakan sopir pribadinya itu membelot pada Reidan. Ia melaporkan semua kejahatan yang dilakukan wanita itu terhadap Camelia.Sopir sialan! batin Jane.Reidan mendekati Jane, lalu mencengkram dagu wanita itu dengan kasar. Ia mengamati setiap inci wajah wanita tersebut. Lalu melayangkan tamparan kecil di pipinya."Bukankah saya sudah bilang untuk tidak mengganggu Alaric?" kata Reidan.Sean yang berdiri di samping Reidan tersenyum puas. "Apa yang harus saya lakukan pada wanita ini?""Buang saja ke laut."Jane mendelikkan kedua matanya. Tentu saja ia tidak menyangka dibalik sifat ramah seorang Reidan, menyimpan sisi gelap yang begitu menyeramkan. Awalnya ia mengira itu candaan karena sama sekali tidak ada pergerakan. Namun begitu pintu terbuka, kini ia yakin kalau kedua pria itu berniat membuangnya."Masukkan ke
"Bagaimana ini, Pak? Jumlah wartawan di depan gedung terus bertambah."Al menatap ke luar gedung dengan perasaan yang tidak karuan. Banyak sekali wartawan yang berkumpul di sana hanya untuk menunggunya datang. Padahal satpam sudah berulang kali mengusir mereka.Al melempar tatapan pada sekretarisnya. "Sudah hubungi petugas keamanan?"Sekretarisnya mengangguk. "Saya sudah hubungi polisi untuk membubarkan kerumunan tersebut.""Tapi mengapa belum datang?""Polisi datang dalam waktu 5 menit."Al mendengus, ia sudah sangat ingin pulang ke rumah. Padahal jam kantornya sudah berakhir sejak 3 jam yang lalu. Tapi karena di luar gedung terlalu banyak wartawan, ia pun diminta untuk tetap berada di kantor sampai suasana membaik.Tujuannya kembali pada kursi yang sudah menjadi singgasananya selama ini. Ia memijat pangkal hidungnya. Ingatan buruk tentang perlakuannya pada Camelia terus terngiang-ngiang. Ia sedikit menyesal walau pikirannya seakan m