"Tuan!" "Awas!" Melanie langsung berpindah di depan Aaron ketika melihat salah satu dari pengrajin berlian itu mengayunkan senjata tajam dan ...."Aaarrrgghh!" Pisau belati itu berhasil melukai Melanie dan menancap tepat di bagian punggung sebelah kanan. Gadis itu meringis. Namun, bibirnya malah menggumamkan sesuatu. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" "Melanie!" Aaron segera menangkap tubuh Melanie yang mulai limbung. "Kalian, cepat tangkap dia!" Pria itu sempat berniat kabur, tetapi tidak semudah itu. Pengamanan di rumah Aaron sangat ketat sehingga dengan mudah, kedua pria itu berhasil ditangkap. Samantha menutup mulut dengan kedua tangan melihat pemandangan yang sama sekali tidak ia duga, lalu berlutut di dekat Melanie yang berada dalam pelukan sang putera. "Melanie!" Wanita itu bercucuran air mata. "Cepat bawa dia ke rumah sakit, Aaron." Suasana menjadi keruh ketika kedua pria itu mencoba untuk memberontak. Namun, karena sudah diambil alih oleh Ben, keduanya pun jadi tidak berkut
Ketika terbangun, Rosene sudah kembali berada di dalam kamar. Plafon putih dengan lampu gantung di atasnya. Tidak salah lagi. Ini adalah kamarnya. Mencoba untuk duduk, namun urung akibat rasa nyeri kembali menghampiri membuatnya urung untuk berdiri. "Sial!" Rosene mengumpat. Tangan memegang perut. Rasa nyeri masih terasa tetapi ia mencoba untuk menahannya. Susah payah ia mendekati pintu, tapi sungguh sial malah dikunci. Berteriak, akan terasa percuma. Ia merasa kembali pada masa di mana ia pertama kali datang. Tubuh Rosene merosot ke bawah, meringkuk memeluk lutut. Ia benci dirinya sendiri. Ia benci dirinya yang mulai lemah seperti ini. Rosene terdiam, ia memang tidak menangis. Tidak, ia tidak terbiasa menangis. Tapi sungguh, kali ini ia benar-benar ingin menangis. Dan untuk pertama kalinya ia merindukan sosok yang sangat ia kasihi. "Ayah!" Sayup-sayup terdengar suara deru mesin kendaraan memasuki halaman. Saat kembali terbangun, Rosene sudah berada di atas ranjang. Mencoba men
Satu tamparan diberikan Aaron sehingga membuat kepala wanita itu tertoleh ke samping. Darah seketika mengucur dari sudut bibirnya yang robek akibat tenaga yang dikeluarkan Aaron memang sangat besar. Namun, hal itu tak cukup menghentikan wanita itu untuk terus menggumam. "Ampuni saya, Tuan. Tolong berikan saya kesempatan sekali lagi?" "Kesempatan? Untuk apa, Lucia?" "Untuk menebus kesalahan saya, Tuan." Untuk pertama kalinya, Lucia merasakan ketakutan dalam dirinya. Sebelumnya, ia tak pernah merasakan takut sedikitpun. Sekalipun ia dibuang oleh Aaron. Masih banyak tempat yang bisa ia singgahi, yang dapat menyenangkan hati dan juga tubuhnya. Tetapi, kalau seperti ini. Jangankan berpikir untuk bersenang-senang. Dilepaskan saja, Lucia akan merasa bersyukur. Meski itu hal yang mustahil. "Kesalahanmu terlalu besar, Lucia. Kau sudah menghancurkan kepercayaanku." "Maafkan saya, Tuan." Lucia memelas. Wajahnya bersimbah air mata. Wanita itu tak lagi mempedulikan penampilannya yang sangat
Caterina sungguh terkejut dengan apa yang dikatakan sang suami. Namun ia mencoba untuk bersikap biasa saja. Sementara Markus menatap tidak senang pria bergelar ayah itu. Sudah ia duga, ayahnya ini memang benar-benar penuh kejutan. "Kau lihat sendiri, Mom. Lelaki ini sungguh egois," desis Markus. Caterina menghela napas. Mencoba mengusir perasaan yang tiba-tiba muncul. "Daddymu tidak salah, Markus. Keputusannya sudah tepat dan Mommy mendukung keputusan itu. Rumah ini, sejak awal milik Samantha. Maka harus kembali pada pemiliknya. Benar 'kan, Sayang." "Mommy mu benar. Terimakasih karena sudah mau berubah. Itu juga berlaku untukmu. Berhentilah memikirkan klan dan berubah jadi pria yang benar. Bekerjalah di perusahaan. Daddy akan Carikan posisi yang bagus untukmu." Markus mendengkus. "Aku tidak tertarik pada perusahaan. Aku akan membangun kembali klanku dan merebut kembali wanitaku." "Berhenti berpikiran bodoh, Markus. Perempuan mana yang kau maksud. Rosene? Melanie? Mereka pergi kar
"Tentu saja, Nona. Identitas Anda aman bersama kami," jawab pria berkacamata yang kini tersenyum ke arah wanita muda di depannya."Emm, bukan yang itu. Tapi soal ...." "Ah, yang itu. Kami sudah melakukan sesuai perintah Nona. Tapi Anda harus berjanji untuk menjaganya dengan baik, jangan bertindak ceroboh yang bisa membahayakan diri Anda dan ...." "Saya tahu Dokter," sahut Melanie dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Dokter itu tersenyum canggung. Ia sedikit heran karena Melanie terus memotong ucapannya. "Tapi, Nona. Kenapa Anda harus menyembunyikannya? Bukankah ini berita yang menggembirakan?" tanya Dokter. Lagi, Melanie mengulas senyum termanisnya. "Karena saya ingin memberinya kejutan." "Ah, begitu ya." Pemeriksaan berakhir, Dokter memanggil Aaron selaku wali dari Melanie untuk memberitahukan hasil pemeriksaan. "Secara keseluruhan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tindakan Anda membawa Nona Melanie kemari memang sangat tepat," terang sang dokter. "Lalu kapan kira-k
"Tawaran?" Sebelah alis Mathius terangkat. Tawaran tentang posisi di perusahaan. Ia hampir lupa kalau ia menjanjikan itu, sepertinya karena pengaruh usia. Padahal baru kemarin ia mengatakannya pada sang putera, dan Mathius tidak menyangka kalau Markus akan mempertanyakannya. "Memangnya kenapa kau menanyakan itu?" Mathius balas bertanya. "Aku berubah pikiran," kata Markus. Mathius terkesiap. "Aku menerima tawaran Daddy bekerja di perusahaan," lanjut Markus yang seketika membuat Mathius tersenyum bahagia. "Kau serius?" "Ya, Dad. Tapi dengan satu syarat." "Katakan.""Berikan aku fasilitas dan materi, serta kekuasaan di perusahaan Daddy." Mathius tertawa sumbang. "Tentu saja, Nak. Asal kau mau bekerja di perusahaan Daddy, Daddy akan mengabulkan apapun permintaanmu. Tapi Daddy juga punya syarat." Sebelah alis Markus terangkat. "Apa itu, Dad?" "Tinggalkan dunia bawah. Kau akan menjadi pewaris perusahaan," ucap Mathius penuh harap. Markus terdiam, meski kesal ia harus mengiyakan ucap
"Hentikan!" Suara berat dan dalam itu mengalihkan semua atensi semua orang yang ada di sana untuk menatap ke arahnya. Pria berbalut jas hitam itu melangkah mendekat diikuti oleh asistennya. Berikut dengan dua orang wanita di belakangnya. "Ada apa ini?" Aaron memandang Rosene dengan tatapan dingin yang dan dibalas dengan tatapan yang sama oleh wanita itu. Rosene tak terlihat gentar melihat keberadaan Aaron yang tiba-tiba. Meski tidak bisa dipungkiri kalau dia juga terkejut. "Tuan, tolong saya. Wanita liar ini melukai saya," rengek Silvia dengan air mata palsunya. Ini kesempatan untuk menarik simpati Aaron. Aaron memandang Silvia. Wajahnya memar, darah segar mengucur dari luka robek di sudut bibirnya. Lalu ia beralih pada Rosene yang masih dengan posisi yang sama dan tanpa bersalah. Meski ada Aaron, Rosene tak berniat melepaskan Silvia. Dan hal itu jelas membuat Aaron geram. "Lepaskan dia, Rosene," ucap Aaron dingin. Rosene terdiam. Ia memandang Silvia yang tengah menikmati kemenang
Langkah Rosene terhenti karena tangannya yang ditahan oleh Aaron. Refleks, ia menoleh ke belakang, dan mendapati pria itu menatapnya. "Ayo masuk, bersamaku." Aaron mempererat genggaman lalu menariknya sampai masuk ke ruangan. Jelas hal itu mengejutkan dua orang yang ada di dalam. "Rosene." Melihat wanita itu datang bersama Aaron, Melanie mencengkeram ujung selimut. Rosene hendak menghampiri wanita yang setengah duduk itu, tetapi Samantha malah melarangnya. "Jangan mendekat," ucap Samantha. "Mom," sahut Aaron. "Aaron kau tahu Melanie baru saja pulih, aku khawatir kalau dia akan terluka lagi. Tadi saja dia sangat shock melihat kelakuan kakaknya ...." "Mom, mereka adalah saudara tidak mungkin Rosene melukai adiknya sendiri." "Tidak ada yang tahu isi hati dan pikiran seseorang, Aaron," sahut Samantha. "Nyonya," panggil Rosene dengan suara dinginnya. Wanita itu menggeser pandangan ke arah wanita paruh baya di depannya. "Saya masih punya sopan santun untuk tidak mendebat orang yang l