Langkah Rosene terhenti karena tangannya yang ditahan oleh Aaron. Refleks, ia menoleh ke belakang, dan mendapati pria itu menatapnya. "Ayo masuk, bersamaku." Aaron mempererat genggaman lalu menariknya sampai masuk ke ruangan. Jelas hal itu mengejutkan dua orang yang ada di dalam. "Rosene." Melihat wanita itu datang bersama Aaron, Melanie mencengkeram ujung selimut. Rosene hendak menghampiri wanita yang setengah duduk itu, tetapi Samantha malah melarangnya. "Jangan mendekat," ucap Samantha. "Mom," sahut Aaron. "Aaron kau tahu Melanie baru saja pulih, aku khawatir kalau dia akan terluka lagi. Tadi saja dia sangat shock melihat kelakuan kakaknya ...." "Mom, mereka adalah saudara tidak mungkin Rosene melukai adiknya sendiri." "Tidak ada yang tahu isi hati dan pikiran seseorang, Aaron," sahut Samantha. "Nyonya," panggil Rosene dengan suara dinginnya. Wanita itu menggeser pandangan ke arah wanita paruh baya di depannya. "Saya masih punya sopan santun untuk tidak mendebat orang yang l
Rosene memandang sang adik lekat-lekat, sampai ia tidak menyadari kalau sesuatu dalam dirinya bergerak tak sesuai biasanya. Dentuman yang begitu keras, seperti benda besar yang menghantam rongga dada. Sial! Kenapa ia harus merasa seperti ini. Ini tidak benar."Jika apa yang kau rasakan hanya perasaan sesaat, sebaiknya kau lupakan. Aaron bukanlah pria seperti yang kau pikirkan." Seperti yang ia tahu. Melanie tidak pernah serius menjalani hubungan dengan seorang pria. Hanya cinta sesaat. Seperti pria-pria yang sebelumnya. Yang hanya datang pergi sesuka hati. "Kau salah, Rosene. Kami bahkan melewati malam bersama saat di Swiss," kata Melanie yang membuat Rosene membulatkan mata. "Kau serius?" Rosene tahu, Aaron tidak akan menyentuh wanita yang tengah terluka. "Aku tidak berbohong. Kau tahu 'kan kalau Tuan Aaron adalah tipe pria penyuka wanita, dan saat di Swiss dia betul-betul menginginkan aku. Bisa dikatakan hubungan kami semakin dekat dan Nyonya Samantha juga mengetahuinya. Beliau
Silvia dan dua orang rekannya masuk ke Mansion melalui lorong khusus. Ini adalah waktu makan malam. Semua pelayan akan sibuk di dapur untuk menyiapkan beberapa hidangan. Sebelumnya, Silvia sudah mencari tahu, kalau makan malam akan diantar ke kamar masing-masing. Ada 3 orang yang harus dilayani di dalam Mansion. "Yang tidak ada kacang polongnya milik Nona Melanie," kata salah satu pelayan pada rekannya. Ada tiga orang pelayan yang mengurus soal perdapuran. Dua kamera pengawas yang terletak di dua sudut ruangan. Namun itu tidak menjadi masalah. Salah satu rekan Silvia sudah mengurusnya. Secara otomatis kamera tersebut sudah tidak berfungsi. Kemudian, satu orang yang bersama Silvia segera bergerak. "Tunggu, Dona."Wanita yang dipanggil Dona itu menoleh ke samping. "Tunggu apa lagi?" "Taruh obat itu di makanan yang tidak ada kacang polongnya," kata Silvia. "Apa? Bukannya milik wanita itu yang ada kacang polongnya?" "Turuti saja apa kataku." Dona memandang rekannya tidak mengerti.
Rosene menatap kesal pria yang kini berjongkok di dekatnya. Di saat seperti ini, dia malah menanyakan hal yang sama sekali tidak ia ketahui secara pasti. Namun, kejadian ini, membuatnya mengingat satu hal. Rencana Silvia yang sempat disebut tadi, rupanya ini. "Dokter El akan tiba sebentar lagi." Ben memberikan laporannya setelah melakukan panggilan terhadap Dokter khusus Dare Devil itu. "Terlalu lama kalau harus menunggu dia datang, Ben berikan obat penawar racun milikmu," kata Aaron. "Baik, Tuan." Ben membalik diri. Obat yang dimaksud Aaron ada di kamarnya, ruangan itu berada di bagian belakang bangunan ini. Dekat dengan kamar para penjaga lainnya. Dengan cepat, ia melesat menuju ke tempat itu. Ada yang berbentuk pil dan juga injeksi. Karena Melanie berada dalam kondisi tidak sadarkan diri. Ben memasukkan obat tersebut dengan cara menyuntikkannya. "Apa yang terjadi." Dokter El langsung masuk saja ketika sampai. Ia meminta pada Aaron untuk memberi perintah agar ruangan dikosongk
Silvia tidak menduga sama sekali kalau ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin? Padahal semua sudah ia susun dengan rapi dan juga matang. Rencana yang dianggapnya akan berjalan sempurna, tapi malah berjalan tidak sesuai harapan. Dalam hitungan menit saja ia sudah ketahuan. Itu membuktikan kalau Dare Devil sangat berbahaya. Bukankah Silvia sudah berusaha menghilangkan jejak. Membayar beberapa orang untuk mendukung rencananya. Silvia memandang pria berbalut jas berwarna navy itu berdiri dengan tatapan yang mengerikan. Ben bukanlah orang yang sembarangan, kenapa Silvia selalu berpikir bisa menang melawan pria itu. Dan jangan lupa siapa yang berada di belakangnya. Aaron sang pemimpin tertinggi Dare Devil jelas akan mendukungnya secara penuh. Apapun yang dilakukan oleh sang asisten. "Tuan, ini salah paham." Silvia mencoba melepaskan diri ketika dua orang menahan lengannya. "Sebaiknya jelaskan saja di hadapan Tuan." Ben tidak ingin mendengar apapun. Baginya, tugas yang utama adalah menangka
Rosene terdiam tanpa kata. Ia memandang pria yang berdiri di hadapannya dengan tatapan lekat. Mencoba memahami ucapan yang baru saja terlontar dari mulut sang kekasih. "Mengandung?" "Ya, anakku." Kali ini lebih mengejutkan lagi. Kedua mata Rosene sampai melebar dibuatnya. Detik berikutnya, hanya detak jantung yang terdengar lebih cepat dari detak jarum jam. "Kau ...." "Aku sendiri tidak yakin. Tapi inilah kenyataannya, Rosene. Maafkan aku." Aaron berkata dengan penuh penyesalan. Yang semakin ia sesalkan adalah kenapa juga saat itu dirinya sampai mabuk sehingga tidak ingat sama sekali kejadian malam itu. Ini sedikit aneh karena saat itu ia pergi dengan Ben, bukannya Melanie. Mengingat itu, ia menoleh ke arah sang asisten yang berdiri di dekat pintu. Ia harus menanyakan ini dengan Ben, karena dia adalah satu-satunya saksi kunci kejadian malam itu. Ya, ia harus memastikannya secara langsung pada Ben. "Sebaiknya kau masuk, ingat jangan menjawab apapun ucapan Mommy. Ada sesuatu yan
"Bagaimana caranya?" Ben menepuk kening. Berbicara dengan Aaron sudah seperti mengajari anak taman kanak-kanak. Ben tahu, Aaron tidak bodoh. Bahkan terlalu pintar melebihi dirinya. Namun, kenapa di kesempatan kali ini pria itu terlihat seperti pria yang tidak tahu apa-apa. Apa mungkin dia sedang bingung dengan perasaannya sendiri. Sehingga tidak dapat berpikir dengan jernih. "Tuan," panggil Ben. "Ya." "Sebenarnya ada yang lebih penting dari ini. Nona Silvia dan kedua rekannya adalah orang dibalik semua kekacauan ini. Sebaiknya kita mengurus mereka terlebih dahulu sembari menunggu Nona Melanie siuman.""Ah, kau benar." Aaron memijat pelan pelipisnya, ia heran kenapa dirinya bisa memelihara banyak ular di Mansion ini. Mungkin keputusannya untuk memutasi mereka sudah benar. "Bawa mereka ke Markas." "Baik, Tuan." Sekitar 45 menit yang lalu, Rosene duduk di dekat kasur di mana tubuh sang adik tergeletak dalam kondisi tak sadarkan diri. Selama itu pula adiknya belum menunjukkan tanda
"Kau bilang apa tadi?" "Jangan berlagak tuli, Aaron." "Katakan sekali lagi." Aaron berharap yang tadi ia dengar itu salah. "Kita akhiri saja hubungan ini." Aaron terdiam mendengarnya. Ia menatap kedua manik sang kekasih. Bola mata itu nampak berwarna hitam pekat. Sepertinya dia sengaja menutupinya. Ya, kadang Aaron sendiri merasa takut dengan warna asli bola mata sang kekasih. Tatapannya yang tajam seolah memenjarakan Aaron dalam pesonanya."Tidak ada perpisahan," ujar Aaron lalu menyandarkan punggung. "Adikku mengandung anakmu, kau harus menikahinya." "Aku tidak yakin itu anakku, aku akan melakukan tes DNA. Jika terbukti dia anakku. Anak itu akan menjadi milikku, dan kau yang akan mengasuh anak itu sebagai ibunya." Manik Rosene melebar. "Apa maksudmu?" "Aku akan tetap menikahi wanita yang kucintai, yaitu kau, Rosene." "Lalu bagaimana dengan adikku? Dia mengandung anakmu." "Keadaan tidak akan mengubah apapun. Dalam waktu dekat aku akan merencanakan pernikahan. Jadi bersiapla
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman