Rosene memandang sang adik lekat-lekat, sampai ia tidak menyadari kalau sesuatu dalam dirinya bergerak tak sesuai biasanya. Dentuman yang begitu keras, seperti benda besar yang menghantam rongga dada. Sial! Kenapa ia harus merasa seperti ini. Ini tidak benar."Jika apa yang kau rasakan hanya perasaan sesaat, sebaiknya kau lupakan. Aaron bukanlah pria seperti yang kau pikirkan." Seperti yang ia tahu. Melanie tidak pernah serius menjalani hubungan dengan seorang pria. Hanya cinta sesaat. Seperti pria-pria yang sebelumnya. Yang hanya datang pergi sesuka hati. "Kau salah, Rosene. Kami bahkan melewati malam bersama saat di Swiss," kata Melanie yang membuat Rosene membulatkan mata. "Kau serius?" Rosene tahu, Aaron tidak akan menyentuh wanita yang tengah terluka. "Aku tidak berbohong. Kau tahu 'kan kalau Tuan Aaron adalah tipe pria penyuka wanita, dan saat di Swiss dia betul-betul menginginkan aku. Bisa dikatakan hubungan kami semakin dekat dan Nyonya Samantha juga mengetahuinya. Beliau
Silvia dan dua orang rekannya masuk ke Mansion melalui lorong khusus. Ini adalah waktu makan malam. Semua pelayan akan sibuk di dapur untuk menyiapkan beberapa hidangan. Sebelumnya, Silvia sudah mencari tahu, kalau makan malam akan diantar ke kamar masing-masing. Ada 3 orang yang harus dilayani di dalam Mansion. "Yang tidak ada kacang polongnya milik Nona Melanie," kata salah satu pelayan pada rekannya. Ada tiga orang pelayan yang mengurus soal perdapuran. Dua kamera pengawas yang terletak di dua sudut ruangan. Namun itu tidak menjadi masalah. Salah satu rekan Silvia sudah mengurusnya. Secara otomatis kamera tersebut sudah tidak berfungsi. Kemudian, satu orang yang bersama Silvia segera bergerak. "Tunggu, Dona."Wanita yang dipanggil Dona itu menoleh ke samping. "Tunggu apa lagi?" "Taruh obat itu di makanan yang tidak ada kacang polongnya," kata Silvia. "Apa? Bukannya milik wanita itu yang ada kacang polongnya?" "Turuti saja apa kataku." Dona memandang rekannya tidak mengerti.
Rosene menatap kesal pria yang kini berjongkok di dekatnya. Di saat seperti ini, dia malah menanyakan hal yang sama sekali tidak ia ketahui secara pasti. Namun, kejadian ini, membuatnya mengingat satu hal. Rencana Silvia yang sempat disebut tadi, rupanya ini. "Dokter El akan tiba sebentar lagi." Ben memberikan laporannya setelah melakukan panggilan terhadap Dokter khusus Dare Devil itu. "Terlalu lama kalau harus menunggu dia datang, Ben berikan obat penawar racun milikmu," kata Aaron. "Baik, Tuan." Ben membalik diri. Obat yang dimaksud Aaron ada di kamarnya, ruangan itu berada di bagian belakang bangunan ini. Dekat dengan kamar para penjaga lainnya. Dengan cepat, ia melesat menuju ke tempat itu. Ada yang berbentuk pil dan juga injeksi. Karena Melanie berada dalam kondisi tidak sadarkan diri. Ben memasukkan obat tersebut dengan cara menyuntikkannya. "Apa yang terjadi." Dokter El langsung masuk saja ketika sampai. Ia meminta pada Aaron untuk memberi perintah agar ruangan dikosongk
Silvia tidak menduga sama sekali kalau ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin? Padahal semua sudah ia susun dengan rapi dan juga matang. Rencana yang dianggapnya akan berjalan sempurna, tapi malah berjalan tidak sesuai harapan. Dalam hitungan menit saja ia sudah ketahuan. Itu membuktikan kalau Dare Devil sangat berbahaya. Bukankah Silvia sudah berusaha menghilangkan jejak. Membayar beberapa orang untuk mendukung rencananya. Silvia memandang pria berbalut jas berwarna navy itu berdiri dengan tatapan yang mengerikan. Ben bukanlah orang yang sembarangan, kenapa Silvia selalu berpikir bisa menang melawan pria itu. Dan jangan lupa siapa yang berada di belakangnya. Aaron sang pemimpin tertinggi Dare Devil jelas akan mendukungnya secara penuh. Apapun yang dilakukan oleh sang asisten. "Tuan, ini salah paham." Silvia mencoba melepaskan diri ketika dua orang menahan lengannya. "Sebaiknya jelaskan saja di hadapan Tuan." Ben tidak ingin mendengar apapun. Baginya, tugas yang utama adalah menangka
Rosene terdiam tanpa kata. Ia memandang pria yang berdiri di hadapannya dengan tatapan lekat. Mencoba memahami ucapan yang baru saja terlontar dari mulut sang kekasih. "Mengandung?" "Ya, anakku." Kali ini lebih mengejutkan lagi. Kedua mata Rosene sampai melebar dibuatnya. Detik berikutnya, hanya detak jantung yang terdengar lebih cepat dari detak jarum jam. "Kau ...." "Aku sendiri tidak yakin. Tapi inilah kenyataannya, Rosene. Maafkan aku." Aaron berkata dengan penuh penyesalan. Yang semakin ia sesalkan adalah kenapa juga saat itu dirinya sampai mabuk sehingga tidak ingat sama sekali kejadian malam itu. Ini sedikit aneh karena saat itu ia pergi dengan Ben, bukannya Melanie. Mengingat itu, ia menoleh ke arah sang asisten yang berdiri di dekat pintu. Ia harus menanyakan ini dengan Ben, karena dia adalah satu-satunya saksi kunci kejadian malam itu. Ya, ia harus memastikannya secara langsung pada Ben. "Sebaiknya kau masuk, ingat jangan menjawab apapun ucapan Mommy. Ada sesuatu yan
"Bagaimana caranya?" Ben menepuk kening. Berbicara dengan Aaron sudah seperti mengajari anak taman kanak-kanak. Ben tahu, Aaron tidak bodoh. Bahkan terlalu pintar melebihi dirinya. Namun, kenapa di kesempatan kali ini pria itu terlihat seperti pria yang tidak tahu apa-apa. Apa mungkin dia sedang bingung dengan perasaannya sendiri. Sehingga tidak dapat berpikir dengan jernih. "Tuan," panggil Ben. "Ya." "Sebenarnya ada yang lebih penting dari ini. Nona Silvia dan kedua rekannya adalah orang dibalik semua kekacauan ini. Sebaiknya kita mengurus mereka terlebih dahulu sembari menunggu Nona Melanie siuman.""Ah, kau benar." Aaron memijat pelan pelipisnya, ia heran kenapa dirinya bisa memelihara banyak ular di Mansion ini. Mungkin keputusannya untuk memutasi mereka sudah benar. "Bawa mereka ke Markas." "Baik, Tuan." Sekitar 45 menit yang lalu, Rosene duduk di dekat kasur di mana tubuh sang adik tergeletak dalam kondisi tak sadarkan diri. Selama itu pula adiknya belum menunjukkan tanda
"Kau bilang apa tadi?" "Jangan berlagak tuli, Aaron." "Katakan sekali lagi." Aaron berharap yang tadi ia dengar itu salah. "Kita akhiri saja hubungan ini." Aaron terdiam mendengarnya. Ia menatap kedua manik sang kekasih. Bola mata itu nampak berwarna hitam pekat. Sepertinya dia sengaja menutupinya. Ya, kadang Aaron sendiri merasa takut dengan warna asli bola mata sang kekasih. Tatapannya yang tajam seolah memenjarakan Aaron dalam pesonanya."Tidak ada perpisahan," ujar Aaron lalu menyandarkan punggung. "Adikku mengandung anakmu, kau harus menikahinya." "Aku tidak yakin itu anakku, aku akan melakukan tes DNA. Jika terbukti dia anakku. Anak itu akan menjadi milikku, dan kau yang akan mengasuh anak itu sebagai ibunya." Manik Rosene melebar. "Apa maksudmu?" "Aku akan tetap menikahi wanita yang kucintai, yaitu kau, Rosene." "Lalu bagaimana dengan adikku? Dia mengandung anakmu." "Keadaan tidak akan mengubah apapun. Dalam waktu dekat aku akan merencanakan pernikahan. Jadi bersiapla
Hari itu berlalu begitu saja. Mayat ketiga wanita telah dibereskan oleh para anggota Dare Devil dengan cara biasanya. Mengeluarkan peluru dari tubuh mereka merupakan cara yang tepat untuk menghilangkan jejak juga hal yang biasa dilakukan untuk menghindari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di kemudian harinya. Semua dikerjakan oleh dua anggota inti Dare Devil yaitu Diego dan Jekco. Ketiga mayat itu dibawa dengan speadboat menuju pulau Kronos dan ditenggelamkan di sana setelah sebelumnya diberi pemberat pada masing kantong yang berisi tubuh manusia. Hanya tempat itu yang tak bisa dijamah oleh manusia lainnya karena pulau tersebut merupakan pulau pribadi milik Dare Devil. "Sebaiknya kita pergi," ajak Diego setelah memastikan tugasnya selesai. "Ya, ayo." Satu Minggu telah berlalu, dan Melanie juga sudah bangun dari tidur panjangnya. Ia sangat bahagia, karena orang pertama yang ia lihat saat bangun adalah Aaron. Dia langsung memeluk pria itu. Aaron jelas kaget. Meski begitu, i