Rosene terdiam tanpa kata. Ia memandang pria yang berdiri di hadapannya dengan tatapan lekat. Mencoba memahami ucapan yang baru saja terlontar dari mulut sang kekasih. "Mengandung?" "Ya, anakku." Kali ini lebih mengejutkan lagi. Kedua mata Rosene sampai melebar dibuatnya. Detik berikutnya, hanya detak jantung yang terdengar lebih cepat dari detak jarum jam. "Kau ...." "Aku sendiri tidak yakin. Tapi inilah kenyataannya, Rosene. Maafkan aku." Aaron berkata dengan penuh penyesalan. Yang semakin ia sesalkan adalah kenapa juga saat itu dirinya sampai mabuk sehingga tidak ingat sama sekali kejadian malam itu. Ini sedikit aneh karena saat itu ia pergi dengan Ben, bukannya Melanie. Mengingat itu, ia menoleh ke arah sang asisten yang berdiri di dekat pintu. Ia harus menanyakan ini dengan Ben, karena dia adalah satu-satunya saksi kunci kejadian malam itu. Ya, ia harus memastikannya secara langsung pada Ben. "Sebaiknya kau masuk, ingat jangan menjawab apapun ucapan Mommy. Ada sesuatu yan
"Bagaimana caranya?" Ben menepuk kening. Berbicara dengan Aaron sudah seperti mengajari anak taman kanak-kanak. Ben tahu, Aaron tidak bodoh. Bahkan terlalu pintar melebihi dirinya. Namun, kenapa di kesempatan kali ini pria itu terlihat seperti pria yang tidak tahu apa-apa. Apa mungkin dia sedang bingung dengan perasaannya sendiri. Sehingga tidak dapat berpikir dengan jernih. "Tuan," panggil Ben. "Ya." "Sebenarnya ada yang lebih penting dari ini. Nona Silvia dan kedua rekannya adalah orang dibalik semua kekacauan ini. Sebaiknya kita mengurus mereka terlebih dahulu sembari menunggu Nona Melanie siuman.""Ah, kau benar." Aaron memijat pelan pelipisnya, ia heran kenapa dirinya bisa memelihara banyak ular di Mansion ini. Mungkin keputusannya untuk memutasi mereka sudah benar. "Bawa mereka ke Markas." "Baik, Tuan." Sekitar 45 menit yang lalu, Rosene duduk di dekat kasur di mana tubuh sang adik tergeletak dalam kondisi tak sadarkan diri. Selama itu pula adiknya belum menunjukkan tanda
"Kau bilang apa tadi?" "Jangan berlagak tuli, Aaron." "Katakan sekali lagi." Aaron berharap yang tadi ia dengar itu salah. "Kita akhiri saja hubungan ini." Aaron terdiam mendengarnya. Ia menatap kedua manik sang kekasih. Bola mata itu nampak berwarna hitam pekat. Sepertinya dia sengaja menutupinya. Ya, kadang Aaron sendiri merasa takut dengan warna asli bola mata sang kekasih. Tatapannya yang tajam seolah memenjarakan Aaron dalam pesonanya."Tidak ada perpisahan," ujar Aaron lalu menyandarkan punggung. "Adikku mengandung anakmu, kau harus menikahinya." "Aku tidak yakin itu anakku, aku akan melakukan tes DNA. Jika terbukti dia anakku. Anak itu akan menjadi milikku, dan kau yang akan mengasuh anak itu sebagai ibunya." Manik Rosene melebar. "Apa maksudmu?" "Aku akan tetap menikahi wanita yang kucintai, yaitu kau, Rosene." "Lalu bagaimana dengan adikku? Dia mengandung anakmu." "Keadaan tidak akan mengubah apapun. Dalam waktu dekat aku akan merencanakan pernikahan. Jadi bersiapla
Hari itu berlalu begitu saja. Mayat ketiga wanita telah dibereskan oleh para anggota Dare Devil dengan cara biasanya. Mengeluarkan peluru dari tubuh mereka merupakan cara yang tepat untuk menghilangkan jejak juga hal yang biasa dilakukan untuk menghindari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di kemudian harinya. Semua dikerjakan oleh dua anggota inti Dare Devil yaitu Diego dan Jekco. Ketiga mayat itu dibawa dengan speadboat menuju pulau Kronos dan ditenggelamkan di sana setelah sebelumnya diberi pemberat pada masing kantong yang berisi tubuh manusia. Hanya tempat itu yang tak bisa dijamah oleh manusia lainnya karena pulau tersebut merupakan pulau pribadi milik Dare Devil. "Sebaiknya kita pergi," ajak Diego setelah memastikan tugasnya selesai. "Ya, ayo." Satu Minggu telah berlalu, dan Melanie juga sudah bangun dari tidur panjangnya. Ia sangat bahagia, karena orang pertama yang ia lihat saat bangun adalah Aaron. Dia langsung memeluk pria itu. Aaron jelas kaget. Meski begitu, i
Jujur saja, Aaron kaget setengah mati melihat perubahan wanitanya yang begitu signifikan. Rosene terlihat anggun dengan balutan gaun pengantin berwarna putih, dengan potongan dada rendah, lalu mahkota yang dipenuhi berlian di kepala serta rambut yang dikepang miring, mengarah ke depan. Bukan hanya Aaron, Ben yang berada di belakang atasannya pun sampai membeku dibuatnya. Di mana Rosene yang dingin itu? di mana Rosene yang angkuh dan kejam itu? Aura kegelapan seketika sirna digantikan dengan aura kecantikan yang paripurna. Rosene sungguh cantik tidak ada duanya. Dan kalau Aaron tidak berdehem, Ben akan terus saja menatapi calon istri dari atasannya itu. "Turunkan pandanganmu, Ben." "Maaf, Tuan." Aaron kesal dibuatnya, bisa-bisanya Ben sampai terkejut seperti itu. Aaron tahu, pria itu pasti kagum. Terlebih Rosene memang berubah 180 derajat dari biasanya. Siapapun yang akan terpana melihat penampilannya yang sekarang. "Kau sudah datang?" "Rosene .... Kau." Aaron mengusap wajah. Kal
Samantha muncul dari dalam dan menjadi pusat perhatian siapapun yang ada di sana. Helaan napas panjang dihembuskan Aaron. Akan rumit urusannya bila berhadapan dengan sang ibu. "Mom. Kenapa Mommy membiarkan dia pergi tanpa izinku." Aaron jelas saja protes. Peraturan tetaplah peraturan. Sebab siapapun yang tinggal di Mansion ini. Siapapun yang keluar masuk, harus melalui izinnya terlebih dahulu."Dia tengah mengidam ingin makan pasta di restoran, Aaron. Jadi kupikir tidak ada salahnya memberinya izin. Lagipula dia tidak pergi sendiri. Harusnya ayah dari bayi itu yang pergi menemaninya, tapi justru sibuk dengan wanita lain," sindir Samantha sembari melempar lirikan tajam ke arah Rosene."Mom, kebetulan semuanya berkumpul di sini, aku punya pengumuman," kata Aaron. "Sebaiknya dibicarakan di dalam saja," sahut Rosene. "Ya, baiklah." Di ruang keluarga inilah sekarang Aaron, Rosene, Samantha dan juga Melanie berada. Sementara Ben, tidak ikut serta karena merupakan obrolan keluarga. Namun
Di kamarnya, Rosene terdiam. Ia berdiri di dekat kusen jendela menghadap ke taman. Tatapannya lurus ke arah mahkota bunga mawar yang bermekaran di luar sana. Tangkainya bergoyang-goyang karena terpaan angin siang. Hari pernikahan sebentar lagi. Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal di hati. Ini soal adiknya, Melanie. Apa yang akan ia lakukan jelas bertentangan dengan kata hati. Mana mungkin ia bisa berbahagia di atas penderitaan orang lain. Terlebih adiknya sendiri. Rosene tidak setega itu. Tetapi, pilihan sama sekali tidak diberikan. Ia tahu Aaron. Melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan adalah yang akan dia lakukan. Jelas saja ia akan menyingkirkan semua penghalang. Aaron tidak pernah main-main dengan ancamannya. Dan Rosene tidak ingin terjadi apa-apa pada Melanie. Percuma juga ia menyelamatkan Melanie dari Markus. Sama saja keluar kandang harimau masuk ke mulut buaya. "Ini tidak bisa dibiarkan." Rosene membalik diri. Ia berniat menemui sang adik, namun pi
Bab 104. Air mata Melanie mengalir deras. Tidak ia sangka kalau ia harus ketahuan secepat ini. Rosene memiliki insting yang sangat kuat. Melanie harusnya bisa menduga itu. Dan kini, ia tidak bisa menutupi lagi. "Tuan Markus, dia memaksaku." Rosene kaget luar biasa. Sudah ia duga sebelumnya. "Jadi bayi itu milik Tuan Markus?" Anggukan kepala Melanie menjadi jawaban atas pertanyaan sang kakak. Rosene terdiam. Kenyataan ini, membuatnya berpikir. Bagaimana mungkin sang adik melakukan ini. "Kau sudah melakukan kesalahan, Melanie. Aaron tidak akan terima dibohongi." Melanie meluncur turun dari sofa. Mendekati Rosene lalu berlutut di bawah kaki wanita itu. "Tolong aku, Rosene. Aku tidak ingin anak ini lahir tanpa ayah," ujar Melanie di sela Isak tangisnya. "Tidak sesederhana itu, Melanie. Kenapa harus Aaron. Kau tidak tahu siapa dia." "Lalu aku harus bagaimana, Rosene? Aku menyukai Tuan Aaron." "Kalau begitu kau harus memilih, mati di tangan Aaron bersama bayimu. Atau pergi bersamaku