Di kamarnya, Rosene terdiam. Ia berdiri di dekat kusen jendela menghadap ke taman. Tatapannya lurus ke arah mahkota bunga mawar yang bermekaran di luar sana. Tangkainya bergoyang-goyang karena terpaan angin siang. Hari pernikahan sebentar lagi. Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal di hati. Ini soal adiknya, Melanie. Apa yang akan ia lakukan jelas bertentangan dengan kata hati. Mana mungkin ia bisa berbahagia di atas penderitaan orang lain. Terlebih adiknya sendiri. Rosene tidak setega itu. Tetapi, pilihan sama sekali tidak diberikan. Ia tahu Aaron. Melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan adalah yang akan dia lakukan. Jelas saja ia akan menyingkirkan semua penghalang. Aaron tidak pernah main-main dengan ancamannya. Dan Rosene tidak ingin terjadi apa-apa pada Melanie. Percuma juga ia menyelamatkan Melanie dari Markus. Sama saja keluar kandang harimau masuk ke mulut buaya. "Ini tidak bisa dibiarkan." Rosene membalik diri. Ia berniat menemui sang adik, namun pi
Bab 104. Air mata Melanie mengalir deras. Tidak ia sangka kalau ia harus ketahuan secepat ini. Rosene memiliki insting yang sangat kuat. Melanie harusnya bisa menduga itu. Dan kini, ia tidak bisa menutupi lagi. "Tuan Markus, dia memaksaku." Rosene kaget luar biasa. Sudah ia duga sebelumnya. "Jadi bayi itu milik Tuan Markus?" Anggukan kepala Melanie menjadi jawaban atas pertanyaan sang kakak. Rosene terdiam. Kenyataan ini, membuatnya berpikir. Bagaimana mungkin sang adik melakukan ini. "Kau sudah melakukan kesalahan, Melanie. Aaron tidak akan terima dibohongi." Melanie meluncur turun dari sofa. Mendekati Rosene lalu berlutut di bawah kaki wanita itu. "Tolong aku, Rosene. Aku tidak ingin anak ini lahir tanpa ayah," ujar Melanie di sela Isak tangisnya. "Tidak sesederhana itu, Melanie. Kenapa harus Aaron. Kau tidak tahu siapa dia." "Lalu aku harus bagaimana, Rosene? Aku menyukai Tuan Aaron." "Kalau begitu kau harus memilih, mati di tangan Aaron bersama bayimu. Atau pergi bersamaku
Ruangan jadi hening tanpa suara. Suasana jadi tegang seketika. Markus mundur satu langkah dengan kedua tangan diangkat ke atas. Sementara Caterina terlihat pucat. Kedua manik indahnya itu membulat. Ben berhasil membuat seisi ruangan jadi menegang. "Turunkan senjatamu, Ben," kata Aaron. Bukan tanpa alasan. Di mana bahaya mengancam, di situlah Ben dituntut agar waspada. "Maaf, Tuan. Saya hanya ingin melindungi Anda." "Tidak masalah, Ben." Ben patuh. Senjata diturunkan lalu dikembalikan pada tempatnya. Mathius menghembuskan napas lega. Lalu mencoba menampakkan senyumnya. Meski tidak ia pungkiri kalau ia terkejut dengan apa yang terjadi barusan. "Kau memiliki anak buah yang sangat cekatan, Nak." Entah itu pujian atau sindiran, Aaron tetap menjawabnya. "Tentu saja." "Duduklah." Mathius memerintahkan itu lalu menoleh ke arah sang istri yang masih dalam keadaan membeku. "Tolong berikan kami teh." "Ba-baik." "Tidak perlu," sela Aaron cepat. Caterina yang sudah membalik diri, malah
"Mom, apa-apaan ini?" Markus protes pada sang ibu yang telah melakukan hal tersebut. Ini jelas tidakan tidak sopan sebab sang ibu melakukannya secara tiba-tiba. "Sayang. Kau baru saja pulang. Sebaiknya kau mandi, makan, lalu beristirahat," ucap Caterina sembari melotot kepada sang suami. "Setelah ini, aku akan melakukan apa yang Mommy perintahkan. Sekarang kemarikan itu." "Nanti, Sayang. Sepertinya kau sangat lelah. Lagipula bukanlah hal yang penting." Kening Markus mengkerut. Benarkah? Tapi dilihat dari ekspresi sang ayah, seperti kebalikannya. Lagipula, ayahnya tidak akan memberitahukan hal yang tidak penting 'kan? "Caterina, apa yang kau lakukan? Cepat berikan padanya. Dia harus tahu." Mendengar itu, Markus menyeret pandangan dari sang ibu beralih pada ayahnya lalu mengajukan sebuah pertanyaan. "Tahu apa?" "Tanyakan saja pada Mommymu." Markus kembali menatap sang ibu. "Mom, ayolah.""Tidak, Markus. Sebaiknya kau tidak perlu tahu. Biar Mommy dan Daddy saja yang datang. Kau
"Kau bicara apa?" Samantha jelas kaget. Ia sampai bangun dari duduknya karena ucapan Rosene itu. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengetat, ia geram lantaran mendengar ucapan wanita yang dicintai puteranya ini. "Bisa-bisanya kau bicara begitu soal adikmu!" Samantha menunjuk tepat wajah Rosene."Saya bicara kenyataan, Nyonya." Untuk pertama kalinya, Rosene menampakkan senyumnya di depan Samantha. Senyum yang begitu tulus dan tidak dibuat-buat."Itu sebabnya, saya akan membawa pergi adik saya. Karena saya tahu, Anda akan membencinya." Samantha terdiam. Meski apa yang dikatakan wanita ini soal bayi yang dikandung Melanie bukanlah anak Aaron belum tentu benar. Namun, yang dikatakan Rosene ada benarnya juga. Saat ini saja, dirinya tengah memendam amarah kepada Melanie. Akan tetapi, ia tidak boleh percaya begitu saja. Bisa saja semua itu hanya fitnah. Bisa saja semua itu hanya akal-akalan Rosene agar Aaron tidak mau mengakui bayinya. "Memang benar ya. Musuh wanita adalah wanita. Kau s
Aaron menyunggingkan senyumnya. Ini pertama kali ia mendengar dengan telinganya sendiri pernyataan cinta Rosene pada dirinya. Setelah sekian lama menjalani cinta bertepuk sebelah tangan, akhirnya kini cinta itu terbalaskan. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan lebih dari pada itu. Lebih bahagia dari ia mendapatkan keuntungan hasil transaksi sesama klan. Mengambil alih suatu klan ataupun rampasan harta benda, permata maupun berlian. Dan sebagai bentuk kebahagiaan itu. Aaron mengangkat tubuh sang wanita lalu membawanya menuju ranjang. Diletakkannya tubuh seksi sang wanita di atas kasur yang empuk dan berukuran king size itu lalu menindihnya. "Izinkan aku melakukannya sekali lagi," ucap Aaron penuh permintaan. Tatapannya begitu dalam. Rosene membelai rahang tegas itu lalu berkata, "lakukan apapun yang kau mau." Lagi, Aaron menyunggingkan senyumnya. "Dengan senang hati, Sayang." Untuk kesekian kalinya keduanya melakukan penyatuan. Hasrat demi hasrat yang bergulung dalam lembah keni
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman