Samantha muncul dari dalam dan menjadi pusat perhatian siapapun yang ada di sana. Helaan napas panjang dihembuskan Aaron. Akan rumit urusannya bila berhadapan dengan sang ibu. "Mom. Kenapa Mommy membiarkan dia pergi tanpa izinku." Aaron jelas saja protes. Peraturan tetaplah peraturan. Sebab siapapun yang tinggal di Mansion ini. Siapapun yang keluar masuk, harus melalui izinnya terlebih dahulu."Dia tengah mengidam ingin makan pasta di restoran, Aaron. Jadi kupikir tidak ada salahnya memberinya izin. Lagipula dia tidak pergi sendiri. Harusnya ayah dari bayi itu yang pergi menemaninya, tapi justru sibuk dengan wanita lain," sindir Samantha sembari melempar lirikan tajam ke arah Rosene."Mom, kebetulan semuanya berkumpul di sini, aku punya pengumuman," kata Aaron. "Sebaiknya dibicarakan di dalam saja," sahut Rosene. "Ya, baiklah." Di ruang keluarga inilah sekarang Aaron, Rosene, Samantha dan juga Melanie berada. Sementara Ben, tidak ikut serta karena merupakan obrolan keluarga. Namun
Di kamarnya, Rosene terdiam. Ia berdiri di dekat kusen jendela menghadap ke taman. Tatapannya lurus ke arah mahkota bunga mawar yang bermekaran di luar sana. Tangkainya bergoyang-goyang karena terpaan angin siang. Hari pernikahan sebentar lagi. Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal di hati. Ini soal adiknya, Melanie. Apa yang akan ia lakukan jelas bertentangan dengan kata hati. Mana mungkin ia bisa berbahagia di atas penderitaan orang lain. Terlebih adiknya sendiri. Rosene tidak setega itu. Tetapi, pilihan sama sekali tidak diberikan. Ia tahu Aaron. Melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan adalah yang akan dia lakukan. Jelas saja ia akan menyingkirkan semua penghalang. Aaron tidak pernah main-main dengan ancamannya. Dan Rosene tidak ingin terjadi apa-apa pada Melanie. Percuma juga ia menyelamatkan Melanie dari Markus. Sama saja keluar kandang harimau masuk ke mulut buaya. "Ini tidak bisa dibiarkan." Rosene membalik diri. Ia berniat menemui sang adik, namun pi
Bab 104. Air mata Melanie mengalir deras. Tidak ia sangka kalau ia harus ketahuan secepat ini. Rosene memiliki insting yang sangat kuat. Melanie harusnya bisa menduga itu. Dan kini, ia tidak bisa menutupi lagi. "Tuan Markus, dia memaksaku." Rosene kaget luar biasa. Sudah ia duga sebelumnya. "Jadi bayi itu milik Tuan Markus?" Anggukan kepala Melanie menjadi jawaban atas pertanyaan sang kakak. Rosene terdiam. Kenyataan ini, membuatnya berpikir. Bagaimana mungkin sang adik melakukan ini. "Kau sudah melakukan kesalahan, Melanie. Aaron tidak akan terima dibohongi." Melanie meluncur turun dari sofa. Mendekati Rosene lalu berlutut di bawah kaki wanita itu. "Tolong aku, Rosene. Aku tidak ingin anak ini lahir tanpa ayah," ujar Melanie di sela Isak tangisnya. "Tidak sesederhana itu, Melanie. Kenapa harus Aaron. Kau tidak tahu siapa dia." "Lalu aku harus bagaimana, Rosene? Aku menyukai Tuan Aaron." "Kalau begitu kau harus memilih, mati di tangan Aaron bersama bayimu. Atau pergi bersamaku
Ruangan jadi hening tanpa suara. Suasana jadi tegang seketika. Markus mundur satu langkah dengan kedua tangan diangkat ke atas. Sementara Caterina terlihat pucat. Kedua manik indahnya itu membulat. Ben berhasil membuat seisi ruangan jadi menegang. "Turunkan senjatamu, Ben," kata Aaron. Bukan tanpa alasan. Di mana bahaya mengancam, di situlah Ben dituntut agar waspada. "Maaf, Tuan. Saya hanya ingin melindungi Anda." "Tidak masalah, Ben." Ben patuh. Senjata diturunkan lalu dikembalikan pada tempatnya. Mathius menghembuskan napas lega. Lalu mencoba menampakkan senyumnya. Meski tidak ia pungkiri kalau ia terkejut dengan apa yang terjadi barusan. "Kau memiliki anak buah yang sangat cekatan, Nak." Entah itu pujian atau sindiran, Aaron tetap menjawabnya. "Tentu saja." "Duduklah." Mathius memerintahkan itu lalu menoleh ke arah sang istri yang masih dalam keadaan membeku. "Tolong berikan kami teh." "Ba-baik." "Tidak perlu," sela Aaron cepat. Caterina yang sudah membalik diri, malah
"Mom, apa-apaan ini?" Markus protes pada sang ibu yang telah melakukan hal tersebut. Ini jelas tidakan tidak sopan sebab sang ibu melakukannya secara tiba-tiba. "Sayang. Kau baru saja pulang. Sebaiknya kau mandi, makan, lalu beristirahat," ucap Caterina sembari melotot kepada sang suami. "Setelah ini, aku akan melakukan apa yang Mommy perintahkan. Sekarang kemarikan itu." "Nanti, Sayang. Sepertinya kau sangat lelah. Lagipula bukanlah hal yang penting." Kening Markus mengkerut. Benarkah? Tapi dilihat dari ekspresi sang ayah, seperti kebalikannya. Lagipula, ayahnya tidak akan memberitahukan hal yang tidak penting 'kan? "Caterina, apa yang kau lakukan? Cepat berikan padanya. Dia harus tahu." Mendengar itu, Markus menyeret pandangan dari sang ibu beralih pada ayahnya lalu mengajukan sebuah pertanyaan. "Tahu apa?" "Tanyakan saja pada Mommymu." Markus kembali menatap sang ibu. "Mom, ayolah.""Tidak, Markus. Sebaiknya kau tidak perlu tahu. Biar Mommy dan Daddy saja yang datang. Kau
"Kau bicara apa?" Samantha jelas kaget. Ia sampai bangun dari duduknya karena ucapan Rosene itu. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengetat, ia geram lantaran mendengar ucapan wanita yang dicintai puteranya ini. "Bisa-bisanya kau bicara begitu soal adikmu!" Samantha menunjuk tepat wajah Rosene."Saya bicara kenyataan, Nyonya." Untuk pertama kalinya, Rosene menampakkan senyumnya di depan Samantha. Senyum yang begitu tulus dan tidak dibuat-buat."Itu sebabnya, saya akan membawa pergi adik saya. Karena saya tahu, Anda akan membencinya." Samantha terdiam. Meski apa yang dikatakan wanita ini soal bayi yang dikandung Melanie bukanlah anak Aaron belum tentu benar. Namun, yang dikatakan Rosene ada benarnya juga. Saat ini saja, dirinya tengah memendam amarah kepada Melanie. Akan tetapi, ia tidak boleh percaya begitu saja. Bisa saja semua itu hanya fitnah. Bisa saja semua itu hanya akal-akalan Rosene agar Aaron tidak mau mengakui bayinya. "Memang benar ya. Musuh wanita adalah wanita. Kau s
Aaron menyunggingkan senyumnya. Ini pertama kali ia mendengar dengan telinganya sendiri pernyataan cinta Rosene pada dirinya. Setelah sekian lama menjalani cinta bertepuk sebelah tangan, akhirnya kini cinta itu terbalaskan. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan lebih dari pada itu. Lebih bahagia dari ia mendapatkan keuntungan hasil transaksi sesama klan. Mengambil alih suatu klan ataupun rampasan harta benda, permata maupun berlian. Dan sebagai bentuk kebahagiaan itu. Aaron mengangkat tubuh sang wanita lalu membawanya menuju ranjang. Diletakkannya tubuh seksi sang wanita di atas kasur yang empuk dan berukuran king size itu lalu menindihnya. "Izinkan aku melakukannya sekali lagi," ucap Aaron penuh permintaan. Tatapannya begitu dalam. Rosene membelai rahang tegas itu lalu berkata, "lakukan apapun yang kau mau." Lagi, Aaron menyunggingkan senyumnya. "Dengan senang hati, Sayang." Untuk kesekian kalinya keduanya melakukan penyatuan. Hasrat demi hasrat yang bergulung dalam lembah keni
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman