"Tawaran?" Sebelah alis Mathius terangkat. Tawaran tentang posisi di perusahaan. Ia hampir lupa kalau ia menjanjikan itu, sepertinya karena pengaruh usia. Padahal baru kemarin ia mengatakannya pada sang putera, dan Mathius tidak menyangka kalau Markus akan mempertanyakannya. "Memangnya kenapa kau menanyakan itu?" Mathius balas bertanya. "Aku berubah pikiran," kata Markus. Mathius terkesiap. "Aku menerima tawaran Daddy bekerja di perusahaan," lanjut Markus yang seketika membuat Mathius tersenyum bahagia. "Kau serius?" "Ya, Dad. Tapi dengan satu syarat." "Katakan.""Berikan aku fasilitas dan materi, serta kekuasaan di perusahaan Daddy." Mathius tertawa sumbang. "Tentu saja, Nak. Asal kau mau bekerja di perusahaan Daddy, Daddy akan mengabulkan apapun permintaanmu. Tapi Daddy juga punya syarat." Sebelah alis Markus terangkat. "Apa itu, Dad?" "Tinggalkan dunia bawah. Kau akan menjadi pewaris perusahaan," ucap Mathius penuh harap. Markus terdiam, meski kesal ia harus mengiyakan ucap
"Hentikan!" Suara berat dan dalam itu mengalihkan semua atensi semua orang yang ada di sana untuk menatap ke arahnya. Pria berbalut jas hitam itu melangkah mendekat diikuti oleh asistennya. Berikut dengan dua orang wanita di belakangnya. "Ada apa ini?" Aaron memandang Rosene dengan tatapan dingin yang dan dibalas dengan tatapan yang sama oleh wanita itu. Rosene tak terlihat gentar melihat keberadaan Aaron yang tiba-tiba. Meski tidak bisa dipungkiri kalau dia juga terkejut. "Tuan, tolong saya. Wanita liar ini melukai saya," rengek Silvia dengan air mata palsunya. Ini kesempatan untuk menarik simpati Aaron. Aaron memandang Silvia. Wajahnya memar, darah segar mengucur dari luka robek di sudut bibirnya. Lalu ia beralih pada Rosene yang masih dengan posisi yang sama dan tanpa bersalah. Meski ada Aaron, Rosene tak berniat melepaskan Silvia. Dan hal itu jelas membuat Aaron geram. "Lepaskan dia, Rosene," ucap Aaron dingin. Rosene terdiam. Ia memandang Silvia yang tengah menikmati kemenang
Langkah Rosene terhenti karena tangannya yang ditahan oleh Aaron. Refleks, ia menoleh ke belakang, dan mendapati pria itu menatapnya. "Ayo masuk, bersamaku." Aaron mempererat genggaman lalu menariknya sampai masuk ke ruangan. Jelas hal itu mengejutkan dua orang yang ada di dalam. "Rosene." Melihat wanita itu datang bersama Aaron, Melanie mencengkeram ujung selimut. Rosene hendak menghampiri wanita yang setengah duduk itu, tetapi Samantha malah melarangnya. "Jangan mendekat," ucap Samantha. "Mom," sahut Aaron. "Aaron kau tahu Melanie baru saja pulih, aku khawatir kalau dia akan terluka lagi. Tadi saja dia sangat shock melihat kelakuan kakaknya ...." "Mom, mereka adalah saudara tidak mungkin Rosene melukai adiknya sendiri." "Tidak ada yang tahu isi hati dan pikiran seseorang, Aaron," sahut Samantha. "Nyonya," panggil Rosene dengan suara dinginnya. Wanita itu menggeser pandangan ke arah wanita paruh baya di depannya. "Saya masih punya sopan santun untuk tidak mendebat orang yang l
Rosene memandang sang adik lekat-lekat, sampai ia tidak menyadari kalau sesuatu dalam dirinya bergerak tak sesuai biasanya. Dentuman yang begitu keras, seperti benda besar yang menghantam rongga dada. Sial! Kenapa ia harus merasa seperti ini. Ini tidak benar."Jika apa yang kau rasakan hanya perasaan sesaat, sebaiknya kau lupakan. Aaron bukanlah pria seperti yang kau pikirkan." Seperti yang ia tahu. Melanie tidak pernah serius menjalani hubungan dengan seorang pria. Hanya cinta sesaat. Seperti pria-pria yang sebelumnya. Yang hanya datang pergi sesuka hati. "Kau salah, Rosene. Kami bahkan melewati malam bersama saat di Swiss," kata Melanie yang membuat Rosene membulatkan mata. "Kau serius?" Rosene tahu, Aaron tidak akan menyentuh wanita yang tengah terluka. "Aku tidak berbohong. Kau tahu 'kan kalau Tuan Aaron adalah tipe pria penyuka wanita, dan saat di Swiss dia betul-betul menginginkan aku. Bisa dikatakan hubungan kami semakin dekat dan Nyonya Samantha juga mengetahuinya. Beliau
Silvia dan dua orang rekannya masuk ke Mansion melalui lorong khusus. Ini adalah waktu makan malam. Semua pelayan akan sibuk di dapur untuk menyiapkan beberapa hidangan. Sebelumnya, Silvia sudah mencari tahu, kalau makan malam akan diantar ke kamar masing-masing. Ada 3 orang yang harus dilayani di dalam Mansion. "Yang tidak ada kacang polongnya milik Nona Melanie," kata salah satu pelayan pada rekannya. Ada tiga orang pelayan yang mengurus soal perdapuran. Dua kamera pengawas yang terletak di dua sudut ruangan. Namun itu tidak menjadi masalah. Salah satu rekan Silvia sudah mengurusnya. Secara otomatis kamera tersebut sudah tidak berfungsi. Kemudian, satu orang yang bersama Silvia segera bergerak. "Tunggu, Dona."Wanita yang dipanggil Dona itu menoleh ke samping. "Tunggu apa lagi?" "Taruh obat itu di makanan yang tidak ada kacang polongnya," kata Silvia. "Apa? Bukannya milik wanita itu yang ada kacang polongnya?" "Turuti saja apa kataku." Dona memandang rekannya tidak mengerti.
Rosene menatap kesal pria yang kini berjongkok di dekatnya. Di saat seperti ini, dia malah menanyakan hal yang sama sekali tidak ia ketahui secara pasti. Namun, kejadian ini, membuatnya mengingat satu hal. Rencana Silvia yang sempat disebut tadi, rupanya ini. "Dokter El akan tiba sebentar lagi." Ben memberikan laporannya setelah melakukan panggilan terhadap Dokter khusus Dare Devil itu. "Terlalu lama kalau harus menunggu dia datang, Ben berikan obat penawar racun milikmu," kata Aaron. "Baik, Tuan." Ben membalik diri. Obat yang dimaksud Aaron ada di kamarnya, ruangan itu berada di bagian belakang bangunan ini. Dekat dengan kamar para penjaga lainnya. Dengan cepat, ia melesat menuju ke tempat itu. Ada yang berbentuk pil dan juga injeksi. Karena Melanie berada dalam kondisi tidak sadarkan diri. Ben memasukkan obat tersebut dengan cara menyuntikkannya. "Apa yang terjadi." Dokter El langsung masuk saja ketika sampai. Ia meminta pada Aaron untuk memberi perintah agar ruangan dikosongk
Silvia tidak menduga sama sekali kalau ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin? Padahal semua sudah ia susun dengan rapi dan juga matang. Rencana yang dianggapnya akan berjalan sempurna, tapi malah berjalan tidak sesuai harapan. Dalam hitungan menit saja ia sudah ketahuan. Itu membuktikan kalau Dare Devil sangat berbahaya. Bukankah Silvia sudah berusaha menghilangkan jejak. Membayar beberapa orang untuk mendukung rencananya. Silvia memandang pria berbalut jas berwarna navy itu berdiri dengan tatapan yang mengerikan. Ben bukanlah orang yang sembarangan, kenapa Silvia selalu berpikir bisa menang melawan pria itu. Dan jangan lupa siapa yang berada di belakangnya. Aaron sang pemimpin tertinggi Dare Devil jelas akan mendukungnya secara penuh. Apapun yang dilakukan oleh sang asisten. "Tuan, ini salah paham." Silvia mencoba melepaskan diri ketika dua orang menahan lengannya. "Sebaiknya jelaskan saja di hadapan Tuan." Ben tidak ingin mendengar apapun. Baginya, tugas yang utama adalah menangka
Rosene terdiam tanpa kata. Ia memandang pria yang berdiri di hadapannya dengan tatapan lekat. Mencoba memahami ucapan yang baru saja terlontar dari mulut sang kekasih. "Mengandung?" "Ya, anakku." Kali ini lebih mengejutkan lagi. Kedua mata Rosene sampai melebar dibuatnya. Detik berikutnya, hanya detak jantung yang terdengar lebih cepat dari detak jarum jam. "Kau ...." "Aku sendiri tidak yakin. Tapi inilah kenyataannya, Rosene. Maafkan aku." Aaron berkata dengan penuh penyesalan. Yang semakin ia sesalkan adalah kenapa juga saat itu dirinya sampai mabuk sehingga tidak ingat sama sekali kejadian malam itu. Ini sedikit aneh karena saat itu ia pergi dengan Ben, bukannya Melanie. Mengingat itu, ia menoleh ke arah sang asisten yang berdiri di dekat pintu. Ia harus menanyakan ini dengan Ben, karena dia adalah satu-satunya saksi kunci kejadian malam itu. Ya, ia harus memastikannya secara langsung pada Ben. "Sebaiknya kau masuk, ingat jangan menjawab apapun ucapan Mommy. Ada sesuatu yan