Caterina sungguh terkejut dengan apa yang dikatakan sang suami. Namun ia mencoba untuk bersikap biasa saja. Sementara Markus menatap tidak senang pria bergelar ayah itu. Sudah ia duga, ayahnya ini memang benar-benar penuh kejutan. "Kau lihat sendiri, Mom. Lelaki ini sungguh egois," desis Markus. Caterina menghela napas. Mencoba mengusir perasaan yang tiba-tiba muncul. "Daddymu tidak salah, Markus. Keputusannya sudah tepat dan Mommy mendukung keputusan itu. Rumah ini, sejak awal milik Samantha. Maka harus kembali pada pemiliknya. Benar 'kan, Sayang." "Mommy mu benar. Terimakasih karena sudah mau berubah. Itu juga berlaku untukmu. Berhentilah memikirkan klan dan berubah jadi pria yang benar. Bekerjalah di perusahaan. Daddy akan Carikan posisi yang bagus untukmu." Markus mendengkus. "Aku tidak tertarik pada perusahaan. Aku akan membangun kembali klanku dan merebut kembali wanitaku." "Berhenti berpikiran bodoh, Markus. Perempuan mana yang kau maksud. Rosene? Melanie? Mereka pergi kar
"Tentu saja, Nona. Identitas Anda aman bersama kami," jawab pria berkacamata yang kini tersenyum ke arah wanita muda di depannya."Emm, bukan yang itu. Tapi soal ...." "Ah, yang itu. Kami sudah melakukan sesuai perintah Nona. Tapi Anda harus berjanji untuk menjaganya dengan baik, jangan bertindak ceroboh yang bisa membahayakan diri Anda dan ...." "Saya tahu Dokter," sahut Melanie dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Dokter itu tersenyum canggung. Ia sedikit heran karena Melanie terus memotong ucapannya. "Tapi, Nona. Kenapa Anda harus menyembunyikannya? Bukankah ini berita yang menggembirakan?" tanya Dokter. Lagi, Melanie mengulas senyum termanisnya. "Karena saya ingin memberinya kejutan." "Ah, begitu ya." Pemeriksaan berakhir, Dokter memanggil Aaron selaku wali dari Melanie untuk memberitahukan hasil pemeriksaan. "Secara keseluruhan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tindakan Anda membawa Nona Melanie kemari memang sangat tepat," terang sang dokter. "Lalu kapan kira-k
"Tawaran?" Sebelah alis Mathius terangkat. Tawaran tentang posisi di perusahaan. Ia hampir lupa kalau ia menjanjikan itu, sepertinya karena pengaruh usia. Padahal baru kemarin ia mengatakannya pada sang putera, dan Mathius tidak menyangka kalau Markus akan mempertanyakannya. "Memangnya kenapa kau menanyakan itu?" Mathius balas bertanya. "Aku berubah pikiran," kata Markus. Mathius terkesiap. "Aku menerima tawaran Daddy bekerja di perusahaan," lanjut Markus yang seketika membuat Mathius tersenyum bahagia. "Kau serius?" "Ya, Dad. Tapi dengan satu syarat." "Katakan.""Berikan aku fasilitas dan materi, serta kekuasaan di perusahaan Daddy." Mathius tertawa sumbang. "Tentu saja, Nak. Asal kau mau bekerja di perusahaan Daddy, Daddy akan mengabulkan apapun permintaanmu. Tapi Daddy juga punya syarat." Sebelah alis Markus terangkat. "Apa itu, Dad?" "Tinggalkan dunia bawah. Kau akan menjadi pewaris perusahaan," ucap Mathius penuh harap. Markus terdiam, meski kesal ia harus mengiyakan ucap
"Hentikan!" Suara berat dan dalam itu mengalihkan semua atensi semua orang yang ada di sana untuk menatap ke arahnya. Pria berbalut jas hitam itu melangkah mendekat diikuti oleh asistennya. Berikut dengan dua orang wanita di belakangnya. "Ada apa ini?" Aaron memandang Rosene dengan tatapan dingin yang dan dibalas dengan tatapan yang sama oleh wanita itu. Rosene tak terlihat gentar melihat keberadaan Aaron yang tiba-tiba. Meski tidak bisa dipungkiri kalau dia juga terkejut. "Tuan, tolong saya. Wanita liar ini melukai saya," rengek Silvia dengan air mata palsunya. Ini kesempatan untuk menarik simpati Aaron. Aaron memandang Silvia. Wajahnya memar, darah segar mengucur dari luka robek di sudut bibirnya. Lalu ia beralih pada Rosene yang masih dengan posisi yang sama dan tanpa bersalah. Meski ada Aaron, Rosene tak berniat melepaskan Silvia. Dan hal itu jelas membuat Aaron geram. "Lepaskan dia, Rosene," ucap Aaron dingin. Rosene terdiam. Ia memandang Silvia yang tengah menikmati kemenang
Langkah Rosene terhenti karena tangannya yang ditahan oleh Aaron. Refleks, ia menoleh ke belakang, dan mendapati pria itu menatapnya. "Ayo masuk, bersamaku." Aaron mempererat genggaman lalu menariknya sampai masuk ke ruangan. Jelas hal itu mengejutkan dua orang yang ada di dalam. "Rosene." Melihat wanita itu datang bersama Aaron, Melanie mencengkeram ujung selimut. Rosene hendak menghampiri wanita yang setengah duduk itu, tetapi Samantha malah melarangnya. "Jangan mendekat," ucap Samantha. "Mom," sahut Aaron. "Aaron kau tahu Melanie baru saja pulih, aku khawatir kalau dia akan terluka lagi. Tadi saja dia sangat shock melihat kelakuan kakaknya ...." "Mom, mereka adalah saudara tidak mungkin Rosene melukai adiknya sendiri." "Tidak ada yang tahu isi hati dan pikiran seseorang, Aaron," sahut Samantha. "Nyonya," panggil Rosene dengan suara dinginnya. Wanita itu menggeser pandangan ke arah wanita paruh baya di depannya. "Saya masih punya sopan santun untuk tidak mendebat orang yang l
Rosene memandang sang adik lekat-lekat, sampai ia tidak menyadari kalau sesuatu dalam dirinya bergerak tak sesuai biasanya. Dentuman yang begitu keras, seperti benda besar yang menghantam rongga dada. Sial! Kenapa ia harus merasa seperti ini. Ini tidak benar."Jika apa yang kau rasakan hanya perasaan sesaat, sebaiknya kau lupakan. Aaron bukanlah pria seperti yang kau pikirkan." Seperti yang ia tahu. Melanie tidak pernah serius menjalani hubungan dengan seorang pria. Hanya cinta sesaat. Seperti pria-pria yang sebelumnya. Yang hanya datang pergi sesuka hati. "Kau salah, Rosene. Kami bahkan melewati malam bersama saat di Swiss," kata Melanie yang membuat Rosene membulatkan mata. "Kau serius?" Rosene tahu, Aaron tidak akan menyentuh wanita yang tengah terluka. "Aku tidak berbohong. Kau tahu 'kan kalau Tuan Aaron adalah tipe pria penyuka wanita, dan saat di Swiss dia betul-betul menginginkan aku. Bisa dikatakan hubungan kami semakin dekat dan Nyonya Samantha juga mengetahuinya. Beliau
Silvia dan dua orang rekannya masuk ke Mansion melalui lorong khusus. Ini adalah waktu makan malam. Semua pelayan akan sibuk di dapur untuk menyiapkan beberapa hidangan. Sebelumnya, Silvia sudah mencari tahu, kalau makan malam akan diantar ke kamar masing-masing. Ada 3 orang yang harus dilayani di dalam Mansion. "Yang tidak ada kacang polongnya milik Nona Melanie," kata salah satu pelayan pada rekannya. Ada tiga orang pelayan yang mengurus soal perdapuran. Dua kamera pengawas yang terletak di dua sudut ruangan. Namun itu tidak menjadi masalah. Salah satu rekan Silvia sudah mengurusnya. Secara otomatis kamera tersebut sudah tidak berfungsi. Kemudian, satu orang yang bersama Silvia segera bergerak. "Tunggu, Dona."Wanita yang dipanggil Dona itu menoleh ke samping. "Tunggu apa lagi?" "Taruh obat itu di makanan yang tidak ada kacang polongnya," kata Silvia. "Apa? Bukannya milik wanita itu yang ada kacang polongnya?" "Turuti saja apa kataku." Dona memandang rekannya tidak mengerti.
Rosene menatap kesal pria yang kini berjongkok di dekatnya. Di saat seperti ini, dia malah menanyakan hal yang sama sekali tidak ia ketahui secara pasti. Namun, kejadian ini, membuatnya mengingat satu hal. Rencana Silvia yang sempat disebut tadi, rupanya ini. "Dokter El akan tiba sebentar lagi." Ben memberikan laporannya setelah melakukan panggilan terhadap Dokter khusus Dare Devil itu. "Terlalu lama kalau harus menunggu dia datang, Ben berikan obat penawar racun milikmu," kata Aaron. "Baik, Tuan." Ben membalik diri. Obat yang dimaksud Aaron ada di kamarnya, ruangan itu berada di bagian belakang bangunan ini. Dekat dengan kamar para penjaga lainnya. Dengan cepat, ia melesat menuju ke tempat itu. Ada yang berbentuk pil dan juga injeksi. Karena Melanie berada dalam kondisi tidak sadarkan diri. Ben memasukkan obat tersebut dengan cara menyuntikkannya. "Apa yang terjadi." Dokter El langsung masuk saja ketika sampai. Ia meminta pada Aaron untuk memberi perintah agar ruangan dikosongk