Ketika terbangun, Rosene sudah kembali berada di dalam kamar. Plafon putih dengan lampu gantung di atasnya. Tidak salah lagi. Ini adalah kamarnya. Mencoba untuk duduk, namun urung akibat rasa nyeri kembali menghampiri membuatnya urung untuk berdiri. "Sial!" Rosene mengumpat. Tangan memegang perut. Rasa nyeri masih terasa tetapi ia mencoba untuk menahannya. Susah payah ia mendekati pintu, tapi sungguh sial malah dikunci. Berteriak, akan terasa percuma. Ia merasa kembali pada masa di mana ia pertama kali datang. Tubuh Rosene merosot ke bawah, meringkuk memeluk lutut. Ia benci dirinya sendiri. Ia benci dirinya yang mulai lemah seperti ini. Rosene terdiam, ia memang tidak menangis. Tidak, ia tidak terbiasa menangis. Tapi sungguh, kali ini ia benar-benar ingin menangis. Dan untuk pertama kalinya ia merindukan sosok yang sangat ia kasihi. "Ayah!" Sayup-sayup terdengar suara deru mesin kendaraan memasuki halaman. Saat kembali terbangun, Rosene sudah berada di atas ranjang. Mencoba men
Satu tamparan diberikan Aaron sehingga membuat kepala wanita itu tertoleh ke samping. Darah seketika mengucur dari sudut bibirnya yang robek akibat tenaga yang dikeluarkan Aaron memang sangat besar. Namun, hal itu tak cukup menghentikan wanita itu untuk terus menggumam. "Ampuni saya, Tuan. Tolong berikan saya kesempatan sekali lagi?" "Kesempatan? Untuk apa, Lucia?" "Untuk menebus kesalahan saya, Tuan." Untuk pertama kalinya, Lucia merasakan ketakutan dalam dirinya. Sebelumnya, ia tak pernah merasakan takut sedikitpun. Sekalipun ia dibuang oleh Aaron. Masih banyak tempat yang bisa ia singgahi, yang dapat menyenangkan hati dan juga tubuhnya. Tetapi, kalau seperti ini. Jangankan berpikir untuk bersenang-senang. Dilepaskan saja, Lucia akan merasa bersyukur. Meski itu hal yang mustahil. "Kesalahanmu terlalu besar, Lucia. Kau sudah menghancurkan kepercayaanku." "Maafkan saya, Tuan." Lucia memelas. Wajahnya bersimbah air mata. Wanita itu tak lagi mempedulikan penampilannya yang sangat
Caterina sungguh terkejut dengan apa yang dikatakan sang suami. Namun ia mencoba untuk bersikap biasa saja. Sementara Markus menatap tidak senang pria bergelar ayah itu. Sudah ia duga, ayahnya ini memang benar-benar penuh kejutan. "Kau lihat sendiri, Mom. Lelaki ini sungguh egois," desis Markus. Caterina menghela napas. Mencoba mengusir perasaan yang tiba-tiba muncul. "Daddymu tidak salah, Markus. Keputusannya sudah tepat dan Mommy mendukung keputusan itu. Rumah ini, sejak awal milik Samantha. Maka harus kembali pada pemiliknya. Benar 'kan, Sayang." "Mommy mu benar. Terimakasih karena sudah mau berubah. Itu juga berlaku untukmu. Berhentilah memikirkan klan dan berubah jadi pria yang benar. Bekerjalah di perusahaan. Daddy akan Carikan posisi yang bagus untukmu." Markus mendengkus. "Aku tidak tertarik pada perusahaan. Aku akan membangun kembali klanku dan merebut kembali wanitaku." "Berhenti berpikiran bodoh, Markus. Perempuan mana yang kau maksud. Rosene? Melanie? Mereka pergi kar
"Tentu saja, Nona. Identitas Anda aman bersama kami," jawab pria berkacamata yang kini tersenyum ke arah wanita muda di depannya."Emm, bukan yang itu. Tapi soal ...." "Ah, yang itu. Kami sudah melakukan sesuai perintah Nona. Tapi Anda harus berjanji untuk menjaganya dengan baik, jangan bertindak ceroboh yang bisa membahayakan diri Anda dan ...." "Saya tahu Dokter," sahut Melanie dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Dokter itu tersenyum canggung. Ia sedikit heran karena Melanie terus memotong ucapannya. "Tapi, Nona. Kenapa Anda harus menyembunyikannya? Bukankah ini berita yang menggembirakan?" tanya Dokter. Lagi, Melanie mengulas senyum termanisnya. "Karena saya ingin memberinya kejutan." "Ah, begitu ya." Pemeriksaan berakhir, Dokter memanggil Aaron selaku wali dari Melanie untuk memberitahukan hasil pemeriksaan. "Secara keseluruhan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tindakan Anda membawa Nona Melanie kemari memang sangat tepat," terang sang dokter. "Lalu kapan kira-k
"Tawaran?" Sebelah alis Mathius terangkat. Tawaran tentang posisi di perusahaan. Ia hampir lupa kalau ia menjanjikan itu, sepertinya karena pengaruh usia. Padahal baru kemarin ia mengatakannya pada sang putera, dan Mathius tidak menyangka kalau Markus akan mempertanyakannya. "Memangnya kenapa kau menanyakan itu?" Mathius balas bertanya. "Aku berubah pikiran," kata Markus. Mathius terkesiap. "Aku menerima tawaran Daddy bekerja di perusahaan," lanjut Markus yang seketika membuat Mathius tersenyum bahagia. "Kau serius?" "Ya, Dad. Tapi dengan satu syarat." "Katakan.""Berikan aku fasilitas dan materi, serta kekuasaan di perusahaan Daddy." Mathius tertawa sumbang. "Tentu saja, Nak. Asal kau mau bekerja di perusahaan Daddy, Daddy akan mengabulkan apapun permintaanmu. Tapi Daddy juga punya syarat." Sebelah alis Markus terangkat. "Apa itu, Dad?" "Tinggalkan dunia bawah. Kau akan menjadi pewaris perusahaan," ucap Mathius penuh harap. Markus terdiam, meski kesal ia harus mengiyakan ucap
"Hentikan!" Suara berat dan dalam itu mengalihkan semua atensi semua orang yang ada di sana untuk menatap ke arahnya. Pria berbalut jas hitam itu melangkah mendekat diikuti oleh asistennya. Berikut dengan dua orang wanita di belakangnya. "Ada apa ini?" Aaron memandang Rosene dengan tatapan dingin yang dan dibalas dengan tatapan yang sama oleh wanita itu. Rosene tak terlihat gentar melihat keberadaan Aaron yang tiba-tiba. Meski tidak bisa dipungkiri kalau dia juga terkejut. "Tuan, tolong saya. Wanita liar ini melukai saya," rengek Silvia dengan air mata palsunya. Ini kesempatan untuk menarik simpati Aaron. Aaron memandang Silvia. Wajahnya memar, darah segar mengucur dari luka robek di sudut bibirnya. Lalu ia beralih pada Rosene yang masih dengan posisi yang sama dan tanpa bersalah. Meski ada Aaron, Rosene tak berniat melepaskan Silvia. Dan hal itu jelas membuat Aaron geram. "Lepaskan dia, Rosene," ucap Aaron dingin. Rosene terdiam. Ia memandang Silvia yang tengah menikmati kemenang
Langkah Rosene terhenti karena tangannya yang ditahan oleh Aaron. Refleks, ia menoleh ke belakang, dan mendapati pria itu menatapnya. "Ayo masuk, bersamaku." Aaron mempererat genggaman lalu menariknya sampai masuk ke ruangan. Jelas hal itu mengejutkan dua orang yang ada di dalam. "Rosene." Melihat wanita itu datang bersama Aaron, Melanie mencengkeram ujung selimut. Rosene hendak menghampiri wanita yang setengah duduk itu, tetapi Samantha malah melarangnya. "Jangan mendekat," ucap Samantha. "Mom," sahut Aaron. "Aaron kau tahu Melanie baru saja pulih, aku khawatir kalau dia akan terluka lagi. Tadi saja dia sangat shock melihat kelakuan kakaknya ...." "Mom, mereka adalah saudara tidak mungkin Rosene melukai adiknya sendiri." "Tidak ada yang tahu isi hati dan pikiran seseorang, Aaron," sahut Samantha. "Nyonya," panggil Rosene dengan suara dinginnya. Wanita itu menggeser pandangan ke arah wanita paruh baya di depannya. "Saya masih punya sopan santun untuk tidak mendebat orang yang l
Rosene memandang sang adik lekat-lekat, sampai ia tidak menyadari kalau sesuatu dalam dirinya bergerak tak sesuai biasanya. Dentuman yang begitu keras, seperti benda besar yang menghantam rongga dada. Sial! Kenapa ia harus merasa seperti ini. Ini tidak benar."Jika apa yang kau rasakan hanya perasaan sesaat, sebaiknya kau lupakan. Aaron bukanlah pria seperti yang kau pikirkan." Seperti yang ia tahu. Melanie tidak pernah serius menjalani hubungan dengan seorang pria. Hanya cinta sesaat. Seperti pria-pria yang sebelumnya. Yang hanya datang pergi sesuka hati. "Kau salah, Rosene. Kami bahkan melewati malam bersama saat di Swiss," kata Melanie yang membuat Rosene membulatkan mata. "Kau serius?" Rosene tahu, Aaron tidak akan menyentuh wanita yang tengah terluka. "Aku tidak berbohong. Kau tahu 'kan kalau Tuan Aaron adalah tipe pria penyuka wanita, dan saat di Swiss dia betul-betul menginginkan aku. Bisa dikatakan hubungan kami semakin dekat dan Nyonya Samantha juga mengetahuinya. Beliau
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman