Setiap manusia memiliki sisi gelap masing-masing yang mereka sembunyikan dengan rapi. Kalau kau, sisi gelap seperti apa yang kau sembunyikan di balik topeng itu?
***
"Jangan keluar dari kamar ini, kecuali kau ingin bernasib sama dengan temanmu yang lain." Abelard berucap dingin sembari mengancingkan kemeja hitam yang membalut pas tubuhnya. Ia lalu meninggalkan Eleanor yang masih terbaring lemas setelah saling mereguk kenikmatan untuk ketiga kalinya. Jumlah yang sama dengan wanita yang Eleanor ‘undang’ ke tempat ini sesuai perintah Abelard. Eleanor hanya bisa terisak keras tatkala Abelard tidak lagi berada di kamar itu.
Malam ini Barend datang, dan akan kembali melakukan ritual pemanggilan iblis.
Abelard mendesah berat. "Merepotkan," ucap pria itu seraya menyugar kasar rambutnya ke belakang.
Tepat ketika Abelard telah berdiri tegap di depan pintu utama, kereta kuda Barend sampai. Seorang pelayan berpakaian hitam segera membukakan pintu,
Ruangan itu penuh oleh asap merah muda lembut yang membangkitkan hasrat terdalam seseorang, terutama para manusia yang saat ini tengah terhipnotis karena menghisap asap merah muda tersebut. Para budak yang menjadi tawanan iblis. Di bagian tengah para manusia itu, Asmodeus yang menjadi bintang utama, menikmati sentuhan-sentuhan mengundang dari mereka."Tumben sekali kau menemuiku, Lilith." Kalimat itu tertuju pada iblis wanita yang sejak kedatangannya hanya berdiri tanpa mengatakan apa pun. Memerhatikan dengan lekat tempat yang menjadi harem pribadi Asmodeus itu."Aku ingin meminta izin untuk sedikit bermain di wilayah kekuasaanmu, Asmodeus." Seulas senyum licik terbit di wajahnya."Felenia, bukan?" tebak Asmodeus tepat sasaran."He~ kau yakin? Lucifer tidak akan melepaskanmu kalau kau tertangkap basah mengganggu calon pengantinnya.""Beliau tidak akan ikut dalam perburuan harta karun.""Bukan berarti dia tidak mengetahui tindak tandukmu, Lil
"Felenia!" Louisa melambaikan tangan dengan semangat pada Felen. Wajah malaikat itu tampak bersinar dengan tatapan berbinar cerah. Sementara Igle hanya mengangguk singkat dengan gaya kalem khas dirinya.Hubungan pertemanan ketiga makhluk berbeda ras tersebut masih abu-abu, bila enggan dikatakan tidak jelas. Felen belum bisa menebak pasti tujuan Igle dan Louisa. Meski begitu, ia tidak keberatan berbaur dengan mereka karena di antara siswa dan siswi Academy of אשמדאי (Ashmedai) yang lain, Igle dan Louisa lebih ‘ramah’ dalam menerima Felen. Tidak seperti para bangsawan iblis itu yang memandang tinggi diri mereka, dan memperlakukan Felen dengan sangat rendah. Padahal saat ini statusnya adalah calon pengantin Lucifer, Raja dari seluruh raja iblis. Namun, status tersebut tidak menolong Felen dalam bersosialisasi di antara mereka."Hai ... " Felen menyapa dengan canggung. Teringat kembali pada insiden kemarin, tetapi Louisa tampak bersikap biasa saja seolah k
Naga yang berada di hadapan Felen sangat berbeda jauh dengan Gruga, bayi naga yang saat ini berdiam di atas kepalanya dengan mode tak terlihat. Keberadaan naga itu yang hanya duduk santai sembari menghunuskan tatapan tajam saja sudah membuat Felen ingin melarikan karena aura mengintimidasi yang menyergap kuat."Selamat datang di sarang ku, manusia setengah iblis dan manusia yang menjadi pengantin iblis." Naga itu kembali menyambut dengan nada sinis.Felen melirik pada Igle yang terpaku dengan tubuh tegang, lalu tatapannya kembali pada naga itu. Daripada ketakutan, perasaan segan lebih mendominasi gadis manusia itu. Naga di hadapannya memang tampak mengerikan, tetapi tidak mengeluarkan aura berbahaya seperti para makhluk lain yang pernah Felen temui di Devil Reign."Perkenalkan, aku Sherthec. Penjaga Draven Vales. Kalian ... apa yang kalian lakukan di sini?"Pertanyaan itu membuat Felen mengerjap beberapa kali, keningnya mengernyit lalu menatap aneh pada n
Tudung yang menutupi kepala Leon tersingkap oleh semilir angin yang tiba-tiba berembus kencang, kini wajah pria itu terlihat. Rautnya tampak dingin dengan senyum yang tak sampai ke mata."Sayang sekali kali ini aku tidak bisa membiarkanmu melukai calon pengantinku, Lilith." Leon perlahan memelintir lengan Lilith yang berada dalam cengkeramannya. Suara gesekan tulang yang saling beradu, lalu patah dengan menyakitkan terdengar cukup keras. Felen yang menyaksikan hal itu meringis ngeri."Tidak lama lagi kami akan melangsungkan pernikahan. Aku tidak ingin mengundur lebih lama lagi." Seiring dengan ucapan Leon, Lilith terlempar ke belakang oleh kekuatan pria itu.Lilith mengerang keras ketika rasa sakit mendera sekujur tubuh. Akan tetapi, sakit di tubuhnya masih belum seberapa dibanding ketika ia melihat Felen yang berada dalam rangkulan Leon. Lilith mendelik pada Felen, perasaan iri menguasainya."Kenapa ... padahal aku yang lebih dulu bersamamu, My Lor
"Felenia." Louisa menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Felen, tetapi gadis manusia itu tidak bereaksi apa pun dan masih tampak tenggelam dalam pikiran kalutnya.Tidak kehabisan akal, kali ini Louisa mengguncang bahu Felen dengan sedikit kasar hingga akhirnya gadis itu tersentak sadar dari lamunannya. "Ah, Louisa ... ?" Felen mengerjap beberapa kali. Ia menatap Louisa dengan pandangan linglung, masih dalam orientasi yang kacau akan keadaan sekitar."Kau melamunkan apa sampai tidak sadar ku panggil berkali-kali?"Felen terdiam sesaat lalu membalas dengan desah lelah. " ... Banyak hal." Ia memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. "Gara-gara seseorang aku harus berpikir sekeras ini," keluhnya kembali mendesah pelan. Ucapan pria berambut perak itu membuat Felen sakit kepala. Meski perkataan pria itu tampak bukan sesuatu yang penting karena diucapkan sambil lalu dengan nada biasa, nyatanya setelah ditelisik lebih jauh kalimat tersebut memiliki makna yang san
"Sepertinya kita kedatangan tamu lagi." Leon menggoyang pelan gelas emasnya yang berisi wine. Ia lalu menyesapnya secara perlahan, mencecap sedikit demi sedikit manis dan pahit yang saling melengkapi satu sama lain. Leon mendesah pelan merasakan nikmat dari cairan merah tersebut.Pria itu tampak tak terganggu pada kehadiran dua makhluk lain di ruangan itu, meski kondisi yang satunya tampak sangat kacau dengan banyak lebam dan darah, baik itu di tubuhnya mau pun yang menggenang di sekitar tempatnya tergeletak tak berdaya dengan napas terengah putus asa.Leon melirik sinis pada makhluk itu, Asmodeus, dan membiarkan makhluk yang satunya lagi menunggu sampai ia selesai memberi Asmodeus pelajaran karena telah membelot dari perintah. "Kira-kira siapa yang datang kali ini?" Meski terkesan bertanya pada Asmodeus, Leon tidak benar-benar membutuhkan balasan dari iblis. Ia kembali menyesap wine-nya, tetapi secara tiba-tiba melemparkan gelasnya pada kening Asmodeus dengan sa
"Apa maksudnya ini, Satan?" Leon bertanya datar pada iblis yang duduk santai di sebuah kursi. Raut wajah iblis itu menampakkan kesenangan karena berhasil mengurung Leon di dimensi buatan miliknya. Ia terkekeh pelan ketika melihat ekspresi keruh di wajah adiknya tersebut."Temani aku minum untuk beberapa menit ke depan, Wahai Adikku," balas Satan seraya mengangkat tinggi gelas miliknya.Leon menghela napas pelan, lalu duduk di kursi seberang Satan. "Aku sudah menduga kau akan menjadi duri paling menyebalkan dalam permainanku, tapi ini tetap saja menyebalkan." Ia menuangkan sendiri Red Wine yang berada di botol ke dalam gelas kosong yang tersedia di atas meja.Tawa senang Satan menggema keras. Ia tampak benar-benar terhibur sekaligus senang karena berhasil mengacaukan rencana Leon. "Hal tak terduga akan semakin membuat permainanmu menarik." Satan mengangkat gelasnya ke arah Leon, meminta pria itu untuk bersulang dengannya."Ya, kau tidak salah," komentar Le
Hari ini adalah hari terakhir festival, tetapi Felen memilih berdiam diri di dalam kamarnya yang berada di kastil Leon sembari menatap berbagai barang yang berada di nakas samping ranjang. Terdapat kaca silinder berisi bunga mawar, cincin milik Aghnya, emblem keluarga Leister berupa gelang, dan sapu tangan hijau lumut. Siapa yang menyangka kalau ia justru mendapat lebih dari satu harta karun?"Aku ingin segera membalaskan dendammu, Mom, tapi saat ini aku masih lemah ... " Netra hijau Felen terpaku pada cincin milik Aghnya.Meski kamarnya sangat gelap tanpa ada penerangan dari lilin, hanya bermodalkan sedikit cahaya rembulan yang masuk malu-malu lewat celah gorden, Felen masih bisa melihat dengan jelas. Mata beradaptasi dengan baik.Namun, kegiatan tersebut harus terganggu tatkala seseorang membuka pintu kamar. Secercah cahaya dari lilin masuk tanpa diundang. "Kenapa gelap sekali di sini?" tanya orang itu sedikit menggerutu. Dengan satu kali jentikan tangan, seti