Hari ini adalah hari terakhir festival, tetapi Felen memilih berdiam diri di dalam kamarnya yang berada di kastil Leon sembari menatap berbagai barang yang berada di nakas samping ranjang. Terdapat kaca silinder berisi bunga mawar, cincin milik Aghnya, emblem keluarga Leister berupa gelang, dan sapu tangan hijau lumut. Siapa yang menyangka kalau ia justru mendapat lebih dari satu harta karun?
"Aku ingin segera membalaskan dendammu, Mom, tapi saat ini aku masih lemah ... " Netra hijau Felen terpaku pada cincin milik Aghnya.
Meski kamarnya sangat gelap tanpa ada penerangan dari lilin, hanya bermodalkan sedikit cahaya rembulan yang masuk malu-malu lewat celah gorden, Felen masih bisa melihat dengan jelas. Mata beradaptasi dengan baik.
Namun, kegiatan tersebut harus terganggu tatkala seseorang membuka pintu kamar. Secercah cahaya dari lilin masuk tanpa diundang. "Kenapa gelap sekali di sini?" tanya orang itu sedikit menggerutu. Dengan satu kali jentikan tangan, seti
Kastil yang biasa sepi, dan seperti tak berpenghuni itu kini sedikit ramai oleh para pelayan serta Bunny yang berlalu lalang menyiapkan keperluan untuk pernikahan tuan mereka. Ruang utama telah disulap sedemikian rupa agar tampak meriah dan tidak terkesan suram.Sedangkan di bagian altar, tempat Felen melakukan ritual pertama tetap dibiarkan sebagaimana mestinya agar kesakralan ritual pengantin tidak berkurang. Hanya sedikit diberikan sentuhan lilin merah dengan aroma manis yang akan menghipnotis sang calon pengantin.Semua itu adalah hasil kerja sama semua makhluk yang bekerja di bawah kekuasaan Leon, termasuk Adrien yang menjadi pemimpin para makhluk dengan kasta lebih rendah tersebut. Pelayan tua itu terlihat sangat antusias ketika memberi pengarahan. Meski wajahnya tampak menampilkan raut datar, binar dalam matanya tak bisa disembunyikan.Sementara sang empunya acara, Leon, memilih mengurung diri bersama Felen yang tengah tertidur lelap oleh kekuatannya. Men
Pusara hitam itu menyedot tubuh Felen tanpa ampun. Napas gadis itu pun mulai memberat karena panik. Ketika Felen berniat membuka matanya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, suara Leon serta remasan di tangan menghentikan gadis itu."Jangan membuka matamu sebelum ku minta." Leon kembali menegaskan.Felen merasa yang ia alami terasa sangat lama juga sebentar. Terlalu aneh untuk Felen gambarkan, tetapi bila dirasakan langsung, mereka yang mengalami akan mengerti maksud dari perkataannya.Setelah beberapa saat, kaki Felen terasa memijak sesuatu yang kukuh. Ia pun memanggil Leon untuk memastikan. "Leon ... "Belum sempat Felen menyelesaikan kalimatnya, Leon lebih dahulu menyela. "Kau bisa membuka matamu, Milady."Perlahan Felen membuka kelopak matanya dengan takut-takut, mengintip sedikit, tetapi yang didapat justru hanya warna putih bersih."Bukalah matamu, Milady. Tidak ada hal mengerikan di sini ... ku rasa." Suara Leo
Pesta tersebut baru saja dimulai.Semua makhluk yang berada di kastil milik Leon bersorak-sorai penuh kegembiraan tatkala mengetahui kalau ritual pengantin yang tuan mereka lakukan telah selesai, dan seorang permaisuri telah terpilih. Sehingga waktu untuk mereka berpesta pun dimulai.Mereka diberi kesempatan untuk melahap semua makanan serta minuman yang telah disajikan dengan suka cita. Termasuk Adrien, si pelayan tua dan Alair, pemimpin Interessengruppen, yang turut berpartisipasi dalam pesta tersebut, meski hanya berdiri diam di pojok ruangan. Mengamati dengan wajah datar mereka yang khas. Tidak ikut dalam kegilaan iblis lain.Para makhluk itu berpesta bukan karena benar-benar merasa senang atas pencapaian yang dilakukan Leon, tetapi karena mereka hanya ingin berpesta dan melepas lelah dan penat dengan minuman beralkohol yang sulit didapatkan oleh kasta rendah seperti mereka. Hanya sebagian dari mereka yang benar-benar memedulikan tentang ritual pengantin dan
Sementara itu di dunia manusia, tepat setelah Abelard kembali dari Devil Reign, kabar buruk menyambutnya. Edith, ibunya, meninggal dunia. Terlebih Edith sudah dimakamkan dua hari lalu."Apa maksudnya ini?! Bukankah kita hanya pergi sehari? Kenapa justru satu minggu telah berlalu di sini?" tuntut Abelard pada Satan yang tengah berdiri di dekat jendela sembari menyilangkan lengan. Wajahnya memerah dengan nadi yang tercetak jelas di leher, pertanda bahwa kemarahannya sudah memuncak. Ia merasa ditipu."Ah, aku belum memberi tahumu bahwa satu hari di dunia iblis sama dengan satu minggu di dunia manusia?" Satan menjawab santai. Terlihat tidak merasa bersalah sama sekali."Kau! Harusnya kau memberitahuku lebih awal hal penting seperti itu!" Abelard meninju kaca besar di kamar hingga retak sembari menatap tajam pada Satan. Darah mengalir dari buku jarinya yang terkena pecahan kaca. Ia butuh sesuatu untuk menjadi pelampiasan kemarahannya, dan kaca tersebut lah yang menja
Kemudian, pilihan gadis itu jatuh pada pintu ke dua dari sebelah kanan. Pintu milik Mammon, The Avatar of Greed.Ketika Felen memasuki pintu tersebut, kilauan warna emas sangat mendominasi mata. Terdapat banyak sekali barang-barang yang terbuat dari emas murni. Mulai dari barang antik, perhiasan, serta benda-benda lain seperti piala, gelas, guci, koin dan lain sebagainya. Bahkan lantai yang Felen injak saat ini juga terbuat dari emas murni sebelum di bagian depan dilapisi oleh karpet mewah berwarna merah.Ada juga batu Berlian, Safir, Ruby, dan Zamrud di antara tumpukan harta yang menggunung seperti bukit tersebut. Tempat itu layaknya ruang harta karun.Felen tidak bisa menahan kekagumannya. Ia mengerjap beberapa kali, lalu kembali mengagumi ruangan tersebut. Namun, raut wajahnya berubah aneh dengan kerutan di dahi ketika memikirkan lebih dalam tentang ruangan tersebut.Terlebih setelah melihat sebuah patung wajah berukuran sangat besar yang diletakkan di
Avatar Sloth Felen terbangun dengan napas terengah-engah. Matanya menatap liar ke sekeliling, lalu berhenti pada Leon yang sedang duduk santai di sofa di tengah ruangan. Perlahan nafasnya mulai stabil setelah melihat kehadiran pria itu di dekatnya. "Mimpi buruk?" tanya Leon, masih tidak menatap Felen. Dia tampak sibuk memandangi kalung di tangannya. "...Ya sedikit." Felen memijat pelipis dan pangkal hidungnya yang berdenyut-denyut kesakitan. "Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?" tanya gadis itu sembari mengerang pelan. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi dan membuat Felen tidak nyaman. Hal terakhir yang ia ingat addalah belati yang penuh darah, dan darah yang mengucur dari tubuh Mammon yang berwujud Barend. Felen berhasil membunuh Barend dalam ilusi yang diciptakan iblis itu. Ia menatap telapak tangannya yang sekarang bersih. "Tidak lama." Leon berjalan ke arah Felen, dan duduk di sisi ranjang gadis itu. "Mungkin sekitar sat
Felen saat ini berada di hadapan pintu-pintu hitam yang sama. Masih dengan wajah linglung setelah keluar dari ruangan Belphegor. Ia bahkan memilih duduk sejenak di kursi yang Leon sediakan sembari memeluk selimut pemberian Belphegor. Otaknya masih memproses kejadian yang baru saja terjadi."Aku tidak mengerti," gumam Felen pelan."Apa yang tidak kau mengerti, Milady?" Leon yang baru keluar dari pintu Belphegor menimpali. Ia ikut duduk di kursi yang berseberangan dengan Felen.Mereka tidak langsung masuk ke pintu yang tersisa, tetapi memilih bersantai lebih dahulu sembari menikmati Teh Darjeeling. Ruangan putih dengan deretan pintu berwarna hitam itu sangat hening hingga helaan napas Felen pun terdengar sangat jelas."Dia melepaskanku begitu saja," ucap Felen merujuk pada Belphegor."Dia melakukan itu agar kau cepat pergi dari ruangannya, dan dia bisa melanjutkan tidur tanpa diganggu." Leon menyerahkan kantung hitam yang sama tempat Felen menyimpan
"Tadi itu ... menakjubkan, Milady. Jujur saja, aku sangat bangga padamu." Leon yang sejak tadi memilih diam, membuka suara dan langsung memuji aksi Felen tadi. Ia mengikuti gadis itu dari belakang sehingga tidak melihat bahwa raut wajah Felen tampak sangat kusut.Meski begitu, Leon menyadari kalau Felen sedang tidak baik-baik saja. Terlebih setelah luka lama gadis itu kembali dibuka secara paksa. Mala dari itu, ketika Felen tidak membalas perkataannya dan masih terus menghadap ke depan dengan langkah semakin cepat, ia tidak lagi mengajak gadis itu berbicara.Mereka akhirnya keluar dari ruangan Leviathan dan kembali ke pintu awal Dimensi Ketiga. Namun, tidak seperti sebelumnya di mana Felen memilih duduk di kursi yang Leon sediakan, ia justru berdiri menghadap ke arah pintu-pintu yang hitam yang belum dimasuki dengan kedua tangan di pinggang. "Kita langsung masuk saja. Aku ingin segera menyelesaikan ini, lalu istirahat," putus Felen, tidak menerima penolakan.