Sementara itu di dunia manusia, tepat setelah Abelard kembali dari Devil Reign, kabar buruk menyambutnya. Edith, ibunya, meninggal dunia. Terlebih Edith sudah dimakamkan dua hari lalu.
"Apa maksudnya ini?! Bukankah kita hanya pergi sehari? Kenapa justru satu minggu telah berlalu di sini?" tuntut Abelard pada Satan yang tengah berdiri di dekat jendela sembari menyilangkan lengan. Wajahnya memerah dengan nadi yang tercetak jelas di leher, pertanda bahwa kemarahannya sudah memuncak. Ia merasa ditipu.
"Ah, aku belum memberi tahumu bahwa satu hari di dunia iblis sama dengan satu minggu di dunia manusia?" Satan menjawab santai. Terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.
"Kau! Harusnya kau memberitahuku lebih awal hal penting seperti itu!" Abelard meninju kaca besar di kamar hingga retak sembari menatap tajam pada Satan. Darah mengalir dari buku jarinya yang terkena pecahan kaca. Ia butuh sesuatu untuk menjadi pelampiasan kemarahannya, dan kaca tersebut lah yang menja
Kemudian, pilihan gadis itu jatuh pada pintu ke dua dari sebelah kanan. Pintu milik Mammon, The Avatar of Greed.Ketika Felen memasuki pintu tersebut, kilauan warna emas sangat mendominasi mata. Terdapat banyak sekali barang-barang yang terbuat dari emas murni. Mulai dari barang antik, perhiasan, serta benda-benda lain seperti piala, gelas, guci, koin dan lain sebagainya. Bahkan lantai yang Felen injak saat ini juga terbuat dari emas murni sebelum di bagian depan dilapisi oleh karpet mewah berwarna merah.Ada juga batu Berlian, Safir, Ruby, dan Zamrud di antara tumpukan harta yang menggunung seperti bukit tersebut. Tempat itu layaknya ruang harta karun.Felen tidak bisa menahan kekagumannya. Ia mengerjap beberapa kali, lalu kembali mengagumi ruangan tersebut. Namun, raut wajahnya berubah aneh dengan kerutan di dahi ketika memikirkan lebih dalam tentang ruangan tersebut.Terlebih setelah melihat sebuah patung wajah berukuran sangat besar yang diletakkan di
Avatar Sloth Felen terbangun dengan napas terengah-engah. Matanya menatap liar ke sekeliling, lalu berhenti pada Leon yang sedang duduk santai di sofa di tengah ruangan. Perlahan nafasnya mulai stabil setelah melihat kehadiran pria itu di dekatnya. "Mimpi buruk?" tanya Leon, masih tidak menatap Felen. Dia tampak sibuk memandangi kalung di tangannya. "...Ya sedikit." Felen memijat pelipis dan pangkal hidungnya yang berdenyut-denyut kesakitan. "Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?" tanya gadis itu sembari mengerang pelan. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi dan membuat Felen tidak nyaman. Hal terakhir yang ia ingat addalah belati yang penuh darah, dan darah yang mengucur dari tubuh Mammon yang berwujud Barend. Felen berhasil membunuh Barend dalam ilusi yang diciptakan iblis itu. Ia menatap telapak tangannya yang sekarang bersih. "Tidak lama." Leon berjalan ke arah Felen, dan duduk di sisi ranjang gadis itu. "Mungkin sekitar sat
Felen saat ini berada di hadapan pintu-pintu hitam yang sama. Masih dengan wajah linglung setelah keluar dari ruangan Belphegor. Ia bahkan memilih duduk sejenak di kursi yang Leon sediakan sembari memeluk selimut pemberian Belphegor. Otaknya masih memproses kejadian yang baru saja terjadi."Aku tidak mengerti," gumam Felen pelan."Apa yang tidak kau mengerti, Milady?" Leon yang baru keluar dari pintu Belphegor menimpali. Ia ikut duduk di kursi yang berseberangan dengan Felen.Mereka tidak langsung masuk ke pintu yang tersisa, tetapi memilih bersantai lebih dahulu sembari menikmati Teh Darjeeling. Ruangan putih dengan deretan pintu berwarna hitam itu sangat hening hingga helaan napas Felen pun terdengar sangat jelas."Dia melepaskanku begitu saja," ucap Felen merujuk pada Belphegor."Dia melakukan itu agar kau cepat pergi dari ruangannya, dan dia bisa melanjutkan tidur tanpa diganggu." Leon menyerahkan kantung hitam yang sama tempat Felen menyimpan
"Tadi itu ... menakjubkan, Milady. Jujur saja, aku sangat bangga padamu." Leon yang sejak tadi memilih diam, membuka suara dan langsung memuji aksi Felen tadi. Ia mengikuti gadis itu dari belakang sehingga tidak melihat bahwa raut wajah Felen tampak sangat kusut.Meski begitu, Leon menyadari kalau Felen sedang tidak baik-baik saja. Terlebih setelah luka lama gadis itu kembali dibuka secara paksa. Mala dari itu, ketika Felen tidak membalas perkataannya dan masih terus menghadap ke depan dengan langkah semakin cepat, ia tidak lagi mengajak gadis itu berbicara.Mereka akhirnya keluar dari ruangan Leviathan dan kembali ke pintu awal Dimensi Ketiga. Namun, tidak seperti sebelumnya di mana Felen memilih duduk di kursi yang Leon sediakan, ia justru berdiri menghadap ke arah pintu-pintu yang hitam yang belum dimasuki dengan kedua tangan di pinggang. "Kita langsung masuk saja. Aku ingin segera menyelesaikan ini, lalu istirahat," putus Felen, tidak menerima penolakan.
"Apa maksudnya semua ini? Apa alasanmu menjadikan ibuku sebagai tumbal?" Abelard tengah menghadap Barend di ruang kerjanya setelah menunggu pria itu pulang dari kota sebelah selama satu minggu lebih. Ia berusaha menjaga nada suaranya agar tidak naik beberapa oktaf, meski geram kesal lolos dari bibirnya beberapa kali."Itu salahmu, Abelard. Aku sudah memintamu untuk mencari wanita yang akan menjadi tumbal, tetapi kau justru menghilang entah ke mana," balas Barend menumpahkan kesalahan pada Abelard. Ia masih duduk tenang sembari menghisap cerutu. Tidak terlihat raut bersalah di wajah pria itu setelah membunuh dua istrinya."Sayang sekali ritualnya tetap gagal." Barend mendesah dengan wajah muram.Di tempatnya Abelard tengah menahan murka. Kedua tangannya mengepal erat dengan rahang mengetat. Meski pria itu berusaha menyembunyikan kebenciannya, cara Abelard dalam memandang Barend memperlihatkan seberapa besar kebencian yang ia miliki pada pria itu.Abelard i
Leon dan Felen telah kembali ke kastil. Mereka memilih berendam bersama dengan air hangat untuk melepaskan penat dan lelah setelah seharian lebih berkutat dengan para pangeran iblis yang kelakuannya jauh dari kata beradab."Kau sedang memikirkan apa?" tanya Leon seraya menjalarkan jemarinya ke leher Felen. Mengusap nadi di sana dengan gerakan lambat. Bibirnya dengan nakal mengecup tengkuk gadis itu.Sentuhan Leon membuat Felen tersentak, lalu mengerang pelan. "Leon ... kita sudah melakukannya tadi. Aku masih lelah," tolak Felen halus ketika sentuhan Leon mulai merambat ke bagian sensitifnya.Posisi mereka saat ini sangat intim, saling menempel erat tanpa ada jarak sedikit pun. Kulit bertemu kulit. Terlebih Felen tengah menyandar pada dada bidang Leon dengan posisi memunggungi, membuat gadis itu bisa merasakan hawa panas yang menguar dari tubuh Leon. Termasuk dari tubuh bagian bawahnya yang dengan tidak tahu malu menyentuh Felen dengan penuh tuntutan."Leo
Meski Leon sudah memerintah Felen untuk tidur dan beristirahat, gadis itu tidak sedikit pun bisa terlelap dengan tenang. Bahkan kedua matanya yang segar tetap terbuka semalaman tanpa sedetik pun terpejam. Akibatnya, terbentuk bayangan hitam keabuan-abuan di sekitar bawah mata. Wajah Felen terlihat sayu dengan gurat lelah dan tidak bercahaya.Felen menghela napas lelah. Ini ketiga kalinya pagi ini ia melakukan hal tersebut. Sebuah pepatah bilang bahwa kebahagiaan akan menghilang kalau ia terus menghela napas. Namun, bagi Felen kebahagiaan telah lama pergi dari kehidupannya sehingga berapa kali pun ia mendesah hal tersebut bukan masalah besar."Nona, Anda mau teh lagi?" tanya salah satu Bunny melihat cangkir milik Felen tinggal terisi sedikit."Ya, tolong." Felen membalas singkat dengan senyum tipis. Ia tengah menunggu kedatangan Leon untuk membicarakan perihal Barend seperti yang pria itu katakan tadi malam. Entah ke mana iblis itu pergi pagi-pagi sekali. Leon te
Di salah satu sudut di Devil Reign, terdapat sebuah area khusus yang diperuntukkan untuk utusan malaikat yang bersekolah di Academy of אשמדאי (Ashmedai) tinggal. Salah satu penghuni tersebut adalah Louisa yang saat ini tengah berkomunikasi dengan Archangel Michael. Memberikan laporan rinci tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar Felen."Jadi maksudmu, dia menolak tawaran untuk lepas dari Lucifer, dan lebih memilih mengambil jalan penuh duri?" Suara itu terdengar sangat lembut dan menenangkan."Ya, aku rasa percuma membujuknya lagi. Lebih baik dia dilenyapkan agar tidak semakin jatuh dalam kegelapan." Raut wajah Louisa berubah muram dan sedih. Semua itu bukan sebuah kepura-puraan. Ia benar-benar sangat sedih karena gagal membujuk Felen untuk lepas dari Leon.Sosok di hadapan Louisa terlihat sama sedihnya seperti gadis itu. "Kalau begitu aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin kau tahu mana yang terbaik untuk teman pertamamu itu, bukan?" jawabnya penuh