Burung-burung saling berkicau satu sama lain begitu matahari semakin meenyingsing, keluar dari tempat peristirahatannya dan kembali bekerja menerangi kehidupan di bumi. Cuaca yang cerah dengan sinar matahari yang hangat kebetulan menyinari sebuah kediaman mewah namun memiliki bangunan yang sedikit lebih kecil daripada bangunan mewah bangsawan besar.
Rumah Bangsawan Keluarga Wysteria.
Salah satu bangsawan dengan status tinggi yang ditetapkan oleh Ratu Joan begitu era 'Kembali Ke Masa Victoria' di mulai. Latar tempat cerita ini bukanlah kehidupan di dunia lain. Melainkan pada dunia era modern yang kembali mengalami zaman kemunduran akibat perang nuklir yang terjadi pada tahun 2345.
Ngomong-ngomong.... sekarang adalah tahun 2890.
Ada baiknya kita kembali ke pembahasan cerita ini.
Seorang lelaki berpakaian rapih tampak memasuki sebuah ruangan sembari membawa nampan berisikan sepiring omelet. Tuxedo hitam membalut tubuh kurusnya yang sudah dikenakan kemeja putih. Dasi hitam melingkar sempurna di kerah kemeja putih tersebut. Serta celana bahan berwarna hitam membalut kaki jenjangnya. Sarung tangan berwarna putih menjadi pelengkap penampilan sempurna nan menawan lelaki tersebut.
"Kak Lumiere, apakah ada berita yang menggemparkan?" Tanya Lelaki tersebut seraya meletakkan piring omelet di meja yang berada di hadapan seorang wanita cantik yang sibuk membaca koran.
"Hm?" Sahut wanita yang dipanggil Lumiere itu tanpa menatap sang lawan bicara yang merupakan adik angkatnya, "Ya, ada. Korban kelima pembunuhan anak laki-laki."
Lelaki tersebut tampaknya sedikit terkejut namun segera menyembunyikannya dengan cara ia menyiapkan segelas teh yang memang sudah disiapkan di dalam ruangan tersebut.
"Apakah pelakunya masih buron?" Lelaki tersebut kembali bertanya saat melihat Lumiere mengubah posisi duduknya.
Lumiere menopang dagunya pada sebelah tangannya dengan mata yang masih fokus pada deretan kalimat di koran tersebut. Lelaki itu tahu pasti, kakaknya tersebut sedang mencari sesuatu hal yang menarik dari sana.
"Reputasi polisi akan semakin turun jika pelakunya masih belum ditemukan... ah tidak! Kenapa mereka tidak dapat menemukan pelakunya karena mereka tidak dapat memahami berbagai poin menarik di setiap terjadinya kasus tersebut," ujar Lumiere seraya menutup korannya dan kemudian menatap piring berisikan omelet yang membuatnya senang, "Lucian, kau menyiapkan omelet untukku lagi? Aku sangat menyukainya!"
Mendengar pujian dari kakaknya tersebut, lelaki yang dipanggil Lucian tersebut merona malu sebelum akhirnya ia meletakkan gelas teh di sebelah piring omelet milik kakaknya tersebut, "Sama-sama."
Setelahnya, tidak ada percakapan berarti terjalin kembali. Masing-masing dari kakak beradik ini sibuk dengan kegiatan mereka. Hingga pada akhirnya sang adik yang kembali membuka tali percakapan setelah ia mengingat kembali telah datang sebuah surat untuk kakak perempuannya tersebut.
"Ah iya kak," panggil Lucian seraya membawa sebuah baki perak berbentuk bundar yang berisikan sebuah amplop surat dengan cap warna merah, "Ada surat untuk kakak dari Nyonya Countess Aronbell."
"Huh?" sahut Lumiere seraya meletakkan garpu setelah melahap sepotong omelet. Menatap Lucian yang menyerahkan baki tersebut.
Tanpa banyak berkata Lumiere mengambil amplop surat tersebut. Membukanya dengan pisau kecil khusus yang baru saja diberikan oleh Lucian. Setelahnya ia membaca dengan sangat teliti deretan kata yang membuat sebuah kalimat singkat, padat dan jelas tentang ajakan untuk menghadiri pesta ulang tahun putra sulung keluarga Aronbell.
"Kak Lucius juga mendapatkan undangan?" Tanya Lumiere setelah meletakkan surat tersebut ke atas meja.
"Iya, kak. Kak Lucius sedang pergi membeli hadiah untuk dijadikan kado ulang tahun Tuan Muda Aronbell." Lucian menjawabnya setelah meletakkan baki perak tersebut ke tempatnya, "Apakah kakak akan pergi?"
"Tentu saja," jawab Lumiere tersenyum miring, "Ada sesuatu yang harus aku lakukan terhadap pelaku pembunuhan ini."
Lucian membalik tubuhnya karena terkejut dengan jawaban dari sang kakak. Apa maksudnya?
Lumiere menatap sang adik dengan senyuman miringnya yang tak bisa dibaca maksud dari senyuman tersebut, "Sebentar lagi Kak Lucius akan membawa seseorang kemari."
***
Kasus pembunuhan yang dibicarakan oleh Lumiere dan Lucian terakhir kali memakan korban seorang anak kecil dengan latar belakang orang tuanya sebagai pemilik toko baju. Anak kecil tersebut menjadi korban kelima dalam kasus pembunuhan yang pelakunya masih buron. Hal tersebut membuat seluruh masyarakat Kerajaan Inggris, baik itu bangsawan maupun rakyat biasa menjadi resah. Mereka takut anak-anak mereka yang masih berumur sekitar 9 sampai 12 tahun yang akan menjadi korban selanjutnya.
Keresahan masyarakat rupanya berimbas pada reputasi Scotland Yard, satuan kepolisian Kerajaan Inggris yang kembali didirikan setelah masa 'Kembalinya ke Era Victoria' berlangsung. Masyarakat mengaku kecewa dengan kinerja Scotland Yard yang sampai saat ini belum menemukan pelaku pembunuhan berantai anak kecil tersebut.
Para anggota Scotland Yard sendiri merasa kesal dengan opini masyarakat yang selalu seenaknya sendiri. Mereka tidak tahu betapa susahnya mencari petunjuk sang pelaku yang sama sekali tidak tercium jejaknya. Semua mayat yang ditemukan tidak meninggalkan jejak sang pembunuh. Benar-benar rapih seolah-olah ini adalah perbuatan pembunuh profesional.
Entahlah. Yang pasti, kasus ini benar-benar membuat pusing seluruh detektif yang ada di Kerajaan Inggris. Jika menilik kembali ke kasus serupa yang terjadi seribu tahun yang lalu, kasus ini mirip dengan kasus Jack The Reaper.
Jika tadi disebutkan kasus tersebut membuat pusing semua detektif di seluruh Kerajaan Inggris. Itu tidak sepenuhnya. Ada satu detektif yang cenderung sangat tertarik dengan kasus tersebut. Detektif yang belum memiliki citra di mata publik. Peter Compbell Spade.
***
"Apa yang sedang kau baca sampai-sampai berekspresi seperti itu?"
Peter menoleh saat suara teman 'patungan penginapan' nya terdengar. Sebastian —nama dari teman Peter— masuk ke dalam kamar Peter untuk mengantarkan sarapan yang sudah di siapkan oleh Lady Isabella yang merupakan pemilik bangunan ini.
Peter kembali membaca koran yang sedang ia pegang tersebut, "Sekarang ada korban kelima."
"Huh? Pembunuhan yang menimpa anak-anak?"
Peter mengangguk, "Ketidakpuasan terhadap polisi semakin meningkat karena pelakunya masih buron."
"Polisi tidak menemukan petunjuk apa pun selama penyelidikan berlangsung. Alhasil, mereka menutup penyelidikan di setiap kasus," ujar Sebastian seraya duduk di single sofa yang letaknya tidak jauh dari sofa panjang yang diduduki oleh Peter.
"Tapi, ada petunjuk. Petunjuk itu ada dalam artikel ini."
"Huh? Memangnya mereka memiliki waktu luang sebanyak itu untuk membaca seluruh isi koran di pagi hari? Apalagi, tidak semua elemen masyarakat bisa menikmati membaca koran!"
"Melihat korbannya adalah seorang anak-anak dan pekerjaan orang tua mereka..."
Sebastian mendengus kesal begitu Peter tidak membalas ucapannya, "Mulai lagi deh kebiasaannya tak mendengarkan perkataan orang lain saat membahas kasus seperti sekarang."
"Apa kamu memperhatikan sesuatu yang menonjol, Sebastian?"
Sebastian yang mendapat serangan pertanyaan mendadak tersentak terkejut dan kemudian memperhatikan seluruh penampilan Peter saat ini.
"Bukan penampilanku! Tapi artikel ini!" seru Peter yang langsung menutupi area pribadinya dengan bantal sofa.
Sebastian tertawa terpingkal-pingkal mendengar seruan Peter yang terdengar malu-malu, "Bilang dong! Salahkan saja kata-kata ambigumu itu! Hahaha."
"Ya sudah, maaf, maaf. Boleh kupinjam sebentar korannya? Artikel ini belum kubaca pagi hari ini," pinta Sebastian seraya meredakan tawanya setelah melihat ekspresi gelap pada wajah Peter.
Sebastian mulai membaca satu persatu kalimat dalam artikel tersebut. Mencerna setiap kata sembari otaknya menyiapkan sebuah kesimpulan yang akan ia lontarkan pada Peter.
"Tukang pandai besi jam... penjual topi, lalu pemilik toko perhiasan. Kemudian penjaga kuda, dan kasus terakhir menimpa anak dari seorang penjahit." Sebastian bergumam seraya menyebutkan poin-poin yang menurutnya bisa diterima oleh Peter untuk beradu argumen.
"Kekaguman seorang manusia itu tidak bisa diambil oleh apa yang tidak terlihat."
Sebastian mendongak, menatap bingung Peter yang sedang menatap langit-langit kamarnya. Apa maksudnya tadi? "Huh? Apa maksudmu?"
Peter lantas menggulirkan pandangannya untuk menatap Sebastian yang berekspresi konyol namun sarat akan kebingungan, serta tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia bicarakan, "Mereka menginginkan apa yang mereka lihat."
"Oi!... oi!... oi!... tolong pelan-pelan! Aku memang seorang penulis buku juga. Hanya saja, daya pikir dan gaya bahasa kita berbeda! Aku belum mengerti apa yang kau ucapkan barusan itu memiliki hubungan dengan artikel yang aku baca ini!" Protes Sebastian saat Peter kembali mengucapkan sebuah kalimatnya yang gagal ia pahami.
Peter mendengus, ia menyesali pemahamannya yang mengatakan bahwa Sebastian bisa mengikuti pola pikirnya dalam penyelidikan sebuah kasus, "Pekerjaan yang kau sebutkan sebelumnya semuanya saling berhubungan dengan anggota bangsawan atau kelas atas."
Seolah mendapatkan sebuah pencerahan, ekspresi pada wajah sebastian berubah menjadi cerah. Seakan-akan tiga lampu di kepalanya menyala terang karena berhasil memahami perkataan Peter. Namun, itu hanya sementara sebelum akhirnya Sebastian menyadari tuduhan Peter menuju ke arah mana.
"Apa? Kau tidak bermaksud menuduh bangsawan kelas atas sebagai pelakunya, bukan?"
Peter kembali mendengus. Kali ini karena ia kesal dengan kesalahpahaman temannya tersebut.
"Kau seorang bangsawan bukan? Walaupun hanya kelas menengah, tapi tetap saja seorang bangsawan! Aku pun juga seorang bangsawan!" Balas Peter sedikit menaik yang membuat Sebastian mengernyit bingung, "Kapan pun seorang bangsawan ingin membeli daging, dia tidak pernah memasuki toko daging tersebut. Namun berbeda lagi kalau..."
"...kalau mereka membeli perhiasan ataupun menyewa kereta kuda!" Potong Sebastian setelah menemukan titik terang yang menghilangkan kesalahpahamannya.
"Benar! Dan kemungkinan ada kesempatan untuk melihat anggota keluarganya di sana. Hal ini bisa terjadi pada putra pemilik toko yang menjadi korban karena pada pelaku mengunjungi tokonya, ia sedang membantu ayah mereka bekerja."
"Dengan kata lain, pelaku ini tidak perlu ke sana kemari untuk mencari mangsa pilihannya?!"
"Pintar!" Peter secara refleks memuji kesimpulan Sebastian untuk penjelasannya barusan.
"Karena seorang manusia menginginkan apa yang mereka lihat, mempunyai selera dengan melihat ke dalam lingkungan hidupnya sendiri... bukankah begitu? Lalu, kenapa pelaku ini menginginkan anak-anak dan kemudian mereka membunuhnya?"
"Sama halnya seperti seorang pemburu yang memburu seekor rusa. Pelaku ini menjadikan anak-anak tidak berdosa itu sebagai buruan mereka dan kemudian membunuhnya begitu tertangkap. Lebih jahatnya lagi, pelaku akan memakan daging korban jika memang dia seorang kanibal," ujar Peter yang membuat tubuh Sebastian merinding begitu membayangkan sesosok kanibal.
"Dan beruntungnya pelaku bukanlah seorang kanibal. Hanya saja sepertinya mentalnya mengalami gangguan yang cukup serius," balas Sebastian kemudian melemaskan tubuhnya dengan bersandar dengan nyaman ke sofa, menggulirkan pandangannya pada Peter yang mulai melahap sarapannya, "Lalu, kau akan melaporkannya pada Scotland Yard?"
"Tidak. Aku belum punya cukup bukti untuk menunjuk siapa pelakunya. Jika hanya bermodal 'pelakunya adalah seorang bangsawan kelas atas' apa kau pikir bangsawan kelas atas itu hanya ada 10 orang? Tidak bukan? Maka dari itu, aku harus melakukan penyelidikan terlebih dahulu untuk menemukan pelaku pastinya," jawab Peter yang dibalas anggukan mengerti dari Sebastian.
"Oh iya. Apa kau mendapatkan undangan dari Nyonya Countess Aronbell?" Tanya Sebastian menegakkan tubuhnya begitu ia teringat kembali tujuan utamanya menemui Peter pagi ini.
"Huh? Oh. Mungkin aku akan diajak oleh kakakku yang aktif di pergaulan kelas atas. Aku tidak mendapatkan undangannya tapi tidak ada kemungkinan kecil jika kakakku pergi seorang diri," jawab Peter dengan begitu tenang yang membuat Sebastian sadar dengan status kedudukan Peter saat ini. Walaupun Peter saat ini dikenal sebagai detektif pengangguran yang belum terikat dengan instansi mana pun. Latar belakang Peter haruslah tidak dilupakan.
Peter menyandang nama Keluarga Spade yang dikenal sebagai keluarga dengan sejarah panjang dan 'anjing penjaga' Yang Mulia Ratu Joan. Peter adalah anak bungsu keluarga tersebut. Dan kakaknya adalah kepala keluarga sekaligus kaki tangan Ratu Kerajaan Inggris masa kini. Jadi, seberapa tidak dikenalnya Peter. Jika nama lengkapnya disebutkan, semua orang pasti tahu Peter mana yang sedang dibicarakan.
Maka dari itu, Sebastian sebenarnya sedikit sungkan bersikap seenak lebih dari ini pada Peter. Tapi dengan kebetulan, Peter tidak merasa keberatan. Malah dia sendirilah yang meminta Sebastian untuk memperlakukannya setara dengannya. Seakan-akan menunjukkan Peter tidak haus akan penghormatan.
"Aku akan pergi." Sebastian terlonjak saat tiba-tiba Peter berdiri dari duduknya dan mempersiapkan kepergiannya.
"Eh? Kau akan pergi ke mana?" Tanya Sebastian juga berdiri dari duduknya, memperhatikan Peter yang memakai jas yang sedikit lebih panjang daripada jas pada umumnya.
"Huh? Tentu saja, aku ingin mencari petunjuk lain," jawab Peter tanpa menatap Sebastian.
"Bolehkah aku ikut?"
Peter menoleh saat pertanyaan tidak terduga itu terdengar dari mulut Sebastian yang ia kenal sebagai pribadi yang tidak begitu tertarik dengan masalah kriminal yang seorang Peter Compbell Spade pecahkan.
Tapi, mau bagaimana lagi. Ini permintaan langsung dari orang yang bersangkutan. Tidak ada pilihan lain selain, "Tentu saja! Tumben sekali kau ingin mengikuti dalam penyelidikan."
"Setidaknya aku ingin mempelajari proses penyelidikan secara langsung daripada membacanya dari buku," balas Sebastian dengan konyol mencibir Peter yang tertawa.
***
Undangan pesta ulang tahun dari Countess Aronbell yang diterima oleh Lumiere kini telah tiba waktu pelaksanaannya. Sejak matahari muncul dengan malu-malu dari gua peristirahatannya, di kediaman Wysteria, khususnya kamar anak tengah keluarga ini sudah diramaikan oleh beberapa pelayan yang sibuk menangani penampilan majikan mereka yang akan menghadiri sebuah pesta.
Sudah menjadi hal umum bagi mereka yang berstatus sebagai seorang bangsawan. Setiap kali mereka mendapatkan undangan pesta, entah itu pesta ulang tahun, pesta pernikahan, ataupun perayaan berdirinya kerajaan. Pada esok harinya, para pelayan akan sibuk mendandani putri keluarga bangsawan secantik mungkin.
Para pelayan yang rata-rata berusia belasan tahun pasti memiliki sebuah mimpi di mana mereka datang ke sebuah pesta dengan gaun dan riasan yang membuatnya semakin cantik. Namun karena mereka hanya seorang rakyat jelata, mimpi itu hanyalah sebatas mimpi di waktu luang. Bahkan tidak jarang jika seorang pelayan melayani seorang majikan yang tidak terlalu rewel untuk masalah penampilan, mereka akan melampiaskan mimpi tersebut kepada majikannya.
Berlaku juga untuk para pelayan yang bekerja di Kediaman Wysteria. Karena kebetulan Lumiere adalah tipe gadis yang tidak terlalu banyak bicara perihal penampilan, para pelayan akan melakukan apa pun pada tubuhnya sesuai dengan apa yang mereka impikan.
Agenda Lumiere sejak bangun pagi adalah. Mandi pagi sekaligus melakukan perawatan kulit yang membuat Lumiere tertidur kembali. Begitu terbangun, Lumiere langsung digiring ke depan meja rias untuk merias wajah cantiknya. Dilanjut dengan memakai gaun cantik dilengkapi dengan korset yang sejujurnya menyiksa dirinya.
Bayangkan saja. Tubuhnya diikat kuat dengan korset tersebut hingga membuat tubuhnya terlihat ramping seperti sebuah boneka. Menurut buku yang Lumiere baca, jauh sekitar dua ribu tahun lalu, pemakaian korset sudah ada pada masa itu dan lebih menyiksa lagi dibandingkan dengan masa sekarang. Hal tersebut membuat Lumiere hanya bisa menelan kembali keluhannya perihal korset jika mengingat apa yang ia baca. Dan agenda terakhir, para pelayan akan merapihkan surai coklat keemasannya yang panjang dan halus.
Selesai sudah agenda persiapan untuk pergi ke pesta ulang tahun hari ini. Dan yang membuat Lumiere kesal adalah ketika ia baru saja selesai berbenah pada pukul delapan pagi, kedua saudaranya baru saja terbangun dari tidur pagi mereka. Lumiere harus menunggu mereka bersiap-siap dengan perut keroncongan. Beruntungnya, persiapan yang dilakukan oleh dua saudaranya itu terbilang cepat. Jadi Lumiere tidak perlu menunggu lama sebelum akhirnya mereka pergi menuju Kediaman Aronbell.
Saat ini mereka bertiga menaiki kereta kuda yang berlambangkan keluarga mereka. Melaju cepat menuju Kediaman Aronbell yang sedikit jauh dari rumah mereka. Perjalanan yang sunyi namun terasa nyaman dengan semilir angin bertiup begitu Lumiere membuka sedikit kaca jendela kereta kuda yang mereka tumpaki
"Berbaurlah dengan yang lain, Lumiere, Lucian. Di umur kalian yang sekarang, sudah seharusnya kalian mencari pendamping untuk kehidupan kalian kelak." Baik Lucian ataupun Lumiere sama-sama menatap Lucius yang duduk tenang di hadapan mereka berdua.
Pria tampan dengan surai hitam yang sedikit panjang duduk dengan tenang seraya membaca beberapa lembar telegram yang isinya bisa Lumiere dan Lucian tebak. Baik Lumiere, Lucian, ataupun Lucius sudah memasuki usia dewasa. Di mana mereka akan menerima lamaran ataupun memikirkan calon pendamping yang cocok untuk kehidupan sehari-hari mereka.
Dan masalahnya, mereka bertiga sama-sama tidak memikirkan pernikahan. Pernikahan menjadi urutan terakhir dari daftar kegiatan yang mereka jalani setiap harinya. Maka tidak heran jika setiap hari, telegram berisikan lamaran pernikahan pasti selalu datang pada mereka bertiga. Namun, Lucius yang mendapatkannya secara intens bahkan sampai membuat Lumiere dan Lucian hafal ekspresi yang bagaimana jika kakak sulung mereka mendapatkan telegram lamaran.
"Jika Kak Lucius bosan dengan telegram lamaran yang selalu datang tanpa henti, kenapa kakak tidak asal memilih wanita yang cocok dengan penilaian kakak. Sebut saja itu sebagai pernikahan politik." Lucian akhirnya membuka obrolan setelah belasan menit mereka kembali terdiam sunyi. Itu pun Lucian harus mengumpulkan keberanian terlebih dahulu.
Lucius mengalihkan sebentar pandangannya dari telegram hanya sekadar membalas tatapan sang adik bungsu sebelum kemudian berujar, "Tidak bisa. Hampir semua wanita bangsawan yang memasuki usia dewasa hanya tertarik dengan kekayaan serta reputasiku. Kalau boleh, aku ingin menikahi Lumiere saja."
Lumiere sontak tertawa kecil begitu mendengarnya, "Ey... Kakak bisa saja!"
"Kalau memilih dari kalangan rakyat jelata, aku tidak yakin calon istriku nanti kuat menanggung beban di pergaulan kelas atas," tambah Lucius menatap hamparan langit cerah melalui jendela.
Lumiere dan Lucian sama-sama terdiam. Mereka setuju dengan ucapan kakak sulungnya barusan. Bukan hanya sang kakak, mereka berdua juga bisa dibilang tidak memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidup mereka. Ah. Keinginan Lumiere yang menduduki peringkat pertama dalam daftar miliknya, ia ingin menggapainya secepat mungkin.
***
"Oi! Peter!"
Merasa namanya dipanggil oleh seseorang. Peter menolehkan kepalanya ke sumber suara, mendapati teman satu penginapannya yang memanggil namanya.
"Kau datang sendiri?" Tanya Sebastian seraya menyerahkan segelas alkohol pada Peter yang berdiri di sudut ballroom ini seorang diri.
"Tidak juga. Aku bersama kakakku. Begitu masuk ke dalam sini, kami berpisah karena gelombang para penjilat itu mengerumuni kakakku." Peter menjawabnya seraya menerima uluran gelas dari Sebastian, "Hanya karena nama kakakku yang selalu mereka dengar, itu menguntungkanku karena aku bisa bergerak bebas sesuai dengan keinginanku selama itu tidak mencoreng nama baiknya."
"Yeah, aku mengerti. Semakin tinggi status sosial yang seseorang miliki, semakin tersita pula kebebasan mereka untuk bergerak." Sebastian berucap dengan tangan yang memainkan alkohol dalam gelas yang ia pegang dengan cara memutarnya secara perlahan, "Layaknya seorang pemain teater. Apa yang mereka lakukan di belakang panggung tidak bisa mereka lakukan di depan panggung."
"Kata-katamu itu seakan-akan kau bukan seorang bangsawan itu sendiri," ejek Peter dan pada saat itu pula Sebastian tertawa lepas.
"Pesta ini belum memasuki inti acara ya? Sudah berapa lama berlalu?" Tanya Sebastian saat baru menyadari keadaan di sekitarnya.
"Sudah lewat 30 menit setelah kedatanganku. Kebetulan, aku datang setelah tamu ketiga datang," jawab Peter dengan mata memperhatikan sekitarnya.
"Ada yang aneh."
Peter lantas langsung menatap Sebastian yang mengucapkan kalimat tersebut. Dengan tamu yang sudah memenuhi ballroom ini, seharusnya tuan rumah pesta ini menampakkan wujudnya dan kemudian memulai inti acara. Tapi, sampai sekarang mereka belum muncul.
Peter tidak menampik kalau ia juga merasa curiga. Namun kecurigaannya belum sebesar rasa penasarannya terhadap kasus pembunuhan anak-anak yang terjadi belakangan ini. Mungkin saja mereka mendapati masalah yang datang mendadak sehingga mereka terlambat memulai inti acara. Siapa yang tahu?
Baru saja dibicarakan oleh Sebastian dan Peter. Tuan Count Aronbell beserta istrinya muncul, memberikan beberapa patah kata sebelum akhirnya langsung mendeklarasikan inti acara dimulai pada detik berikutnya. Alunan musik waltz mulai terdengar ke seluruh penjuru ballroom. Para tamu undangan lantas bergegas berdansa dengan pasangan mereka. Sebagian dari mereka hanya terdiam di tempat, lebih memilih menikmati alunan musik. Termasuk Peter dan Sebastian.
"Kau tidak ingin berdansa dengan gadis-gadis itu?" Tanya Sebastian saat tanpa sengaja melihat gadis yang bergerombol dan sedang memperhatikan mereka.
"Tidak, kau saja! Mereka itu memperhatikanmu, bukan aku."
"Dingin sekali. Ya sudah, aku berdansa dengan mereka dulu ya!"
Peter hanya mengangguk dan memperhatikan kepergian Sebastian yang menghampiri seorang gadis yang berdiri seorang diri, bukan gerombolan gadis yang memperhatikan mereka. Tidak lama berselang. Suara teriakan nyaring seorang wanita terdengar dan saat itu juga para tamu undangan bergerak heboh menghindari sebuah tempat di salah satu sudut ballroom.
Tanpa pikir panjang, Peter bergegas berlari menuju ke sudut ballroom tersebut. Matanya membulat terkejut melihat seorang lelaki tergeletak bersimbah darah, sebuah pisau tertancap di dada lelaki tersebut. Pantas saja mereka berteriak heboh, mereka melihat langsung tergeletaknya mayat di tengah pesta. Tapi, siapa pelakunya? Dan juga... bukankah lelaki ini putra sulung Count Aronbell?
Tanpa menunggu diperintah, Peter langsung memeriksa keadaan putra sulung Count Aronbell. Mengecek pergelangan tangannya untuk memeriksa denyut nadinya yang mustahil bagi korban masih terasa jika dilihat dari posisi menancapnya pisau. Peter yakin. Korban tidak langsung mati pada saat itu. Apalagi letak ditemukannya mayat ini benar-benar janggal jika memang sang korban tertusuk pada saat pesta berlangsung. Dua asumsi terlintas di pikiran Peter. Mayat ini sengaja dijatuhkan dari lantai atas atau sengaja disembunyikan di balik meja ini.
"Pelakunya seorang amatir. Walaupun tusukannya memang terlihat di tempat jantung berada, namun nyata meleset sedikit hingga menembus tepat di tengah-tengah jantung." Peter bergumam sekecil mungkin agar para massa yang berkumpul di sekitarnya tidak mendengar apa yang ia gumamkan, "Belum lagi... waktu kematian mayat sekitar malam kemarin. Yang artinya..."
Gumaman Peter berhenti saat beberapa pelayan laki-laki terlihat hendak mengevakuasi mayat tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi Peter selain menepi, menghampiri Sebastian yang berekspresi datar.
"Kenapa dengan wajahmu itu?" Tanya Peter merasa heran dengan ekspresi yang dikeluarkan oleh temannya tersebut.
"Ini pembunuhan, Peter. Aku melihat seseorang berlari tergesa-gesa begitu kekacauan ini terjadi," jawab Sebastian yang membuat Peter tersentak terkejut, "Belum lagi, aku melihat ekspresi aneh yang dikeluarkan oleh seorang Lady di sudut sana."
Peter mengikuti telunjuk Sebastian yang menunjuk pada seorang gadis bersurai coklat keemasan yang berdiri seorang diri. Seketika Peter terdiam. Terpesona dengan kecantikan serta pembawaan tenang dari gadis tersebut yang terlihat seperti dari keluarga terpandang.
"Aku melihatnya tersenyum tipis. Tipis sekali sampai-sampai aku harus memfokuskan indra penglihatanku agar aku bisa memastikannya," imbuh Sebastian seolah-olah ia sedang mengadu pada ibunya, "Kurang tepat memasang sebuah senyuman walaupun tipis pada saat terdengar berita kematian seseorang. Apalagi kematian seorang bangsawan."
"Jadi, kau curiga dengannya?" Tanya Peter setelah tersadar dari lamunan terpesonanya kepada sang lawan jenis.
Sebastian mengangguk yakin, "Aku tidak berharap banyak padamu. Aku hanya menyampaikan apa yang aku lihat. Bisa jadi pada saat itu aku salah lihat."
"Kau tahu siapa dia?"
"Aku kurang begitu yakin namun partner dansaku mengatakan bahwa Putri Earl Wysteria hadir di pesta ini. Dari ciri-ciri warna rambutnya, sepertinya dialah si Putri Earl Wysteria itu."
Peter mengangguk paham. Earl Wysteria ya? Keluarga yang mengalami kebakaran hebat hingga menewaskan Tuan Earl dan Nyonya Countess Wysteria. Meninggalkan ketiga anaknya yang masih kecil pada saat itu.
Terlepas dari itu. Peter merasa heran dengan dirinya saat ini. Terlebih, setelah mendengar Sebastian mengadu padanya tentang gadis tersebut. Perasaan yang sedikit mirip saat ia menyelesaikan teka-teki sulit kembali dirasakan. Seolah-olah instingnya mengatakan untuk mendekati gadis tersebut dan keruk semua informasi yang berguna.
Dan karena perasaan itulah, kaki jenjang Peter melangkah tanpa sadar menghampiri sang hawa yang tampak sedikit terkejut dengan kedatangannya. Rasa canggung muncul begitu Peter berada di hadapan sang gadis. Ia bertanya-tanya dalam hatinya, ke mana keberanian dirinya beberapa saat yang lalu?
"Mungkin saat ini waktu yang kurang tepat untuk memberi salam pada Lady yang cantiknya menyaingi Aphrodite. Tapi, saya tidak sanggup lagi menolak keinginan untuk memberi salam," ujar Peter sopan. Di dalam hatinya, ia merutuk dirinya sendiri karena mengeluarkan kalimat basa-basi yang tidak berguna, "Salam kenal. Saya putra kedua Keluarga Spade. Peter Compbell Spade."
"Salam kenal. Putri kedua Earl Wysteria, Lumiere Crowe Wysteria."
Dugaan Sebastian benar. Dia putri Earl Wysteria yang sering dibicarakan akhir-akhir ini, "Sesuai dengan yang saya dengar dari penggosip di kota ini, Anda sangat cantik!" Ucapan Peter tidak sepenuhnya bohong. Bahkan ia sempat terpesona pada pandangan pertamanya.
Lumiere terlihat tersenyum malu-malu mendengar pujian dari Peter. Atmosfer kembali canggung karena di antara mereka tidak ada lagi tali percakapan yang tersambung. Apalagi tidak adanya 'orang ketiga' dalam perkenalan mereka.
"Tuan." Kali ini sang Putri Earl 'lah yang memulai jalinan percakapan, "Apa Anda setuju dengan sebuah pepatah lama 'Apa yang kau panen tergantung dari apa yang kau tanam?' Tuan?"
Peter tidak langsung menjawab. Pertanyaan yang tidak lazim diucapkan oleh seorang perempuan. Apakah karena dia seorang putri Earl?
"Maaf? Pepatah lama ya." Peter berpose seperti seorang pemikir ahli, "Secara pribadi saya setuju. Namun, jika dilihat dari lingkungan sosial kita. Para bangsawan sepertinya tidak mencerminkan pepatah lama tersebut."
Lumiere tersenyum manis namun entah kenapa bagi Peter senyuman tersebut sepertinya tengah menyembunyikan sesuatu, " ‘Tuhan akan menghukum mereka yang melanggar aturan dan berlaku sewenang-wenang di dunia ini’”
Peter mematung. Seolah-olah sebuah angin dingin menerpa wajahnya. Bahkan, Peter tidak menyadari kepergian Lumiere yang meninggalkannya seorang diri setelah melemparkan sebuah senyuman miring yang seakan-akan mengejek dirinya dan berkata...
“Cepat temukan dalang dibalik pembunuhan ini dan kau akan tahu maksud dari perkataanku barusan.”
Begitu tersadar, Peter membalik tubuhnya dan terlambat. Tubuh ramping Lumiere telah menjauh dan visinya semakin mengecil dan tenggelam di antara lautan manusia di lantai dansa. Meninggalkan Peter seorang diri dengan perasaannya yang berkecamuk.
***
Durham, Northeastern England. 13 Januari 2890.“Kudengar Baron Steravin anggota dewan bangsawan ditemukan mati karena kecelakaan kereta kuda!”“Baron Steravin itu salah satu dari bangsawan jahat yang mati mengenaskan karena kelakuannya terhadap rakyat jelata seperti kita.”“Yang kudengar, kematian Baron Steravin itu merupakan perbuatan dari seorang bangsawan lain!”“Berarti, kasus serupa yang menimpa putra sulung Count Aronbell pelakunya sama dengan yang terjadi pada Baron Steravin. Begitu?”Obrolan berupa gosip kematian seorang bangsawan menjadi sebuah sambutan bagi Lumiere yang baru saja menginjakkan kaki di Kota Durham. Di tangan sang gadis terdapat secarik kertas yang telah ternoda oleh goresan tinta yang membentuk sebuah pola peta. Peta yang menjadi penunjuk arah ke vila di mana ia dan kedua saudara laki-lakinya akan tinggal terlihat terlalu detail untuk bisa di
Teng! Tong! Teng! Tong!Suara bel berdenting keras masih bisa didengar oleh telinga Lumiere walaupun ia sudah meninggalkan area universitas sejauh 1km. Sang gadis berjalan dengan santai sembari sesekali melirik jam saku miliknya, menghitung berapa waktu yang harus ia tempuh dari universitas ke vila."30 menit jalan kaki dari kampus sampai rumah. Bukankah itu jarak yang pas untuk sekedar berjalan-jalan menikmati pemandangan kota kecil ini?"Mata Lumiere tidak sengaja menatap seorang pedagang buah yang lapak jualannya cukup ramai dikunjungi oleh pembeli. Mendadak Lumiere ingin memakan apel ketika melihat setumpuk apel merah yang terlihat segar dan menggugah selera makannya.Dengan langkah anggun khas seorang bangsawan, Lumiere berjalan menghampiri lapak pedagang buah tersebut. Menembus celah kerumunan pembeli untuk menanyakan buah yang akan ia beli."Ada apel?" tanya Lumiere seraya memamerkan senyuman ramahnya kepada penjual buah te
Sesuai dengan apa yang Lucius ucapkan kepada Lumiere, Keluarga Wysteria yang hanya terdiri dari Lucius, Lumiere, dan Lucian mengunjungi kediaman Baron Rogue. sang Baron yang merupakan penguasa tanah Durham ini mengundang mereka dalam rangka menyambut kepindahan mereka di kota ini, hal tersebut merupakan sudah menjadi tradisi tambahan bagi para bangsawan untuk menyambut sesamanya (dalam artian, sama-sama seorang bangsawan) saat mengunjungi wilayah kekuasaan mereka.Kediaman Baron Rogue terlihat sedikit lebih kecil daripada kediaman mereka di Kota Durham. Letaknya pun cukup jauh dari pusat kota dan menyendiri. Maksudnya, tidak ada satupun tetangga di sini. Seolah-olah Sang Baron menjauhkan dirinya dari pergaulan di pusat kota. Karena Baron Rogue memandang rakyat Durham sebagai orang rendahan yang setara dengan ternak."Mungkin ini tidak semewah makan malam di London. Tapi, silahkan dinikmati!"Suasana di meja makan p
Sesuai yang dikatakan Lumiere tempo hari. Pada hari minggu, para petani yang menyewa tanah di tanah milik Keluarga Wysteria melakukan pengukuran ulang. Lucius, Lumiere, dan Lucian datang dengan pakaian santai mereka. Saking santainya, mereka terlihat seperti bukanlah seorang bangsawan. Hal tersebut membuat para warga tercengang dan terlihat tidak mempercayai apa yang mereka lihat.Kegiatan pengukuran ulang tanah sewaan berjalan lancar tanpa ada kendala apa pun. Para petani juga mendapatkan beberapa penjelasan tambahan dari Lumiere perihal tanaman apa saja yang dapat mereka tanam di tanah ini. Setelah menyelesaikan pengukuran, Lucian selaku pengurus Administrasi dan Wilayah kekuasaan menetapkan harga sewa per meternya.Para petani yang menerima jumlah harga yang harus mereka bayarkan terkejut begitu mengetahui nominalnya. Harga sewa yang jauh lebih murah dari pada yang ditetapkan oleh Baron Rogue.Esoknya, berita tentang harga sewa tanah di wilayah Wysteria
Pada malam harinya, Baron Rogue menatap peta Kota Durham dan sesekali memijit pelipisnya yang berdenyut. Kepalanya pusing karena memikirkan satu persatu tanah di wilayah kekuasaannya ditinggalkan oleh penyewa.Baron Rogue mengerang, membanting kasar peta tersebut ke meja, “Ugh... kalau begini terus, pemasukanku ke depan ...”Tok! Tok! Tok!Pintu ruang kerja Baron Rogue diketuk tiga kali dan kemudian terbuka cukup lebar, menampilkan salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya. Pria berpakaian rapi tersebut tampaknya ingin menyampaikan sesuatu kepada majikannya tersebut.“Tuan, Keluarga Earl Wysteria dan Tuan Hendrik, sudah tiba.” Pelayan tersebut tanpa basa-basi lagi langsung menyampaikan kabar tersebut. Baron Rogue mengernyitkan dahinya saat mendengar nama yang cukup asing terdengar di telinganya.“Baiklah. Antarkan mereka ke ruang makan!”Si Pelayan itu mengangguk dan bergegas menjalan
“Bayaranku yang sebenarnya adalah hidupku ini akan kuserahkan pada Nona Wysteria.”Baron Rogue terkejut bukan main. Kalau begitu, bagaimana caranya ia membayar dua kali lipat dari yang Michelle bayarkan kepada Lumiere? Pria tua ini masih ingin hidup.“Nah ...” ujar Lumiere memberi jeda untuk ia menegakkan kembali tubuhnya dan kembali memberikan tatapan tajam pada sang Baron, “... ada soal matematika. 10 × 0 tetap 0! Apa Anda berani bayar 20 kali nyawa Anda?”Baron Rogue memandang Lumiere dengan ekspresi penuh penyesalana, “Ma–maaf. Maafkan aku atas apa yang sudah kulakukan.”Permintaan maaf yang tidak terduga itu tampaknya membuat Pak Hendrik dan Michelle terkejut. Sedangkan Lumiere hanya memasang wajah datar tanpa berniat menunjukkan reaksinya. Namun, itu tidak bertahan lama. Karena selanjutnya, Lumiere menoleh ke arah Pak Hendrik dan Michelle.“Bagaimana?
Suara ketukan yang dihasilkan dari kapur tulis yang bertemu dengan papan tulis hijau terdengar memenuhi salah satu ruang belajar di Universitas Durham. Kelas matematika yang dibimbing oleh Profesor Lumiere Crowe Wysteria sedang berlangsung.Para siswa yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki ini tampak fokus memperhatikan apa yang Lumiere jelaskan. Sang gadis begitu cakap dalam menjelaskan rumus-rumus persamaan yang bagi para murid cukup sulit untuk dikerjakan."Baiklah. Sampai di sini, ada yang dipertanyakan?" Tanya Lumiere setelah menyelesaikan menulis materi yang sedang ia ajarkan kepada anak didiknya."Profesor!" Suara ini berasal dari bangku paling atas ruang belajar ini. Seorang pria berparas tampan tampak mengangkat sebelah tangannya guna menarik atensi sang profesor muda tersebut, "Bisakah Anda menceritakan masa kecil Anda?"Lumiere cukup terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga tersebut. Dengan kata lain, mereka ingin menanyakan sesuat
Tok! Tok! Tok!Si Gadis kecil bermata biru langit dengan perlahan membuka pintu berdaun dua tersebut setelah mendengar sahutan dari dalam. Ruang baca dengan dekorasi mewah dan seorang wanita cantik menjadi pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatan si Gadis.“Saya sudah kembali,” ujar si Gadis seraya melangkah menghampiri sang Wanita yang merupakan Countess Wysteria.“Suratku sudah kau kirimkan?” Tanya Countess Wysteria tanpa menatap si Gadis dan lebih memilih melanjutkan kegiatan membaca bukunya.Si Gadis tersenyum manis dengan kedua matanya yang terpejam. Terlihat sangat jelas bahwa senyumannya tidak begitu tulus ia keluarkan, “Ya, Ibu.”Mendengar kata ‘ibu’ yang terucap dari mulut si Gadis. Countess Wysteria mendelik tajam kepadanya, berdiri secepat mungkin dan kemudian berteriak, “JANGAN SALAH PAHAM, YA! MERAWAT ANAK YATIM PIATU ITU CUMA KEWAJIBAN SEORANG BANGSAWAN! INI TINDAKAN AMAL! MANA SUDI MENG
Kedua alis Lumiere saling bertaut. Gadis bersurai cokelat madu tersebut tampaknya sangat tidak menyukai apa yang baru saja ia dengar.Inggrid Rovein, pria yang menjadi target misi mereka kali ini tersebut, sedari tadi melontarkan bualan tentang kesehatan dan sumber ketakutan manusia. Pria beralis tebal tersebut pria tersebut mengatakan, kematian merupakan sumber ketakutan palin dasar yang diderita oleh manusia. Meskipun seorang manusia telah menjaga kesehatannya, dan bahkan memiliki kekayaan yang banyak, mereka tidak dapat menghindari kematian yang kedatangannya tidak bisa diprediksi tersebut.Dan hal yang semakin membuat Lumiere merasa muak adalah, pria itu dengan santainya mengatakan bahwa, ia telah menemukan cara untuk hidup kembali setelah mengalami kematian. Perhatian Lumiere pun kini tertuju pada sebuah peti mati yang telah terbuka, menampilkan sesosok mayat seorang perempuan, usianya diperkirakan baru menginjak delapan belas tahun. Kulitnya terl
Miya, bahkan sampai Lucian pun memandang takjub kapal pesiar mewah dan berukuran besar di hadapan mereka.“Jadi ... ini adalah kapal RMS Titanic yang pernah karam ribuan tahun yang lalu?” tanya Miya seraya memalingkan pandangannya ke arah Reynox. “Kau beruntung sekali bisa ikut naik ke kapal besar itu.”Reynox berdecak, memilih untuk mengabaikan Miya. Kedua netra emasnya yang tajam itu mengamati seluruh bagian dari tubuh kapal berukuran super besar tersebut. Reynox tahu soal tenggelamnya sebuah kapal, yang kisahnya menjadi legendaris hingga ribuan tahun tersebut. Dan Reynox sendiri menjadi ragu, apakah kapal kedua dari RMS Titanic ini akan memiliki nasib yang sama seperti kakaknya, atau tidak.“Tolong antarkan barang bawaan kami di kamar nomor A12 kelas satu,” ujar Peter pada seorang petugas kapal yang menghampirinya. Setelah memastikan petugas kapal tersebut mengangkut barang bawaannya dan Lumiere, Peter meng
Lumiere membenarkan kembali letak topeng pesta yang sedang dipakai olehnya. Gadis bersurai cokelat madu tersebut kemudian memantapkan kembali hatinya, memantapkan niatnya untuk mengunjungi pasar gelap yang dikelola oleh pemerintah Inggris.“Tidak perlu takut,” bisik Peter yang memaksa untuk ikut. Pria itu membantu istrinya tersebut untuk merapikan penampilannya tersebut. “Kita hanya perlu melakukan penyelidikan, tanpa membuat keributan apa pun selain mau membeli manusia yang akan dijajakan oleh mereka.”Lumiere mengangguk, mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah tampan Peter yang bersembunyi dibalik tudung jubah yang pria itu kenakan tersebut. “Sepertinya, setelah ini kamu harus memotong rambutmu.”“Benarkah? Sayang sekali kalau dipotong,” ujar Peter seraya menaik turunkan alisnya, bermaksud menggoda Lumiere. “Padahal kamu sangat menyukai rambut panjangku ini.”“Atau uba
“Ini informasi terkait Inggrid Rovein yang kamu minta.”Lumiere menerima satu bundel dokumen yang diserahkan oleh Ashen tersebut. Gadis bersurai cokelat madu itu langsung membacanya. Tenggelam dalam ribuan kosa kata yang tertulis di sana, menyampaikan informasi tentang sesosok Inggrid Rovein yang terasa misterius sekaligus terasa tidak asing tersebut.“Dia ... satu jenis dengan Charles Evanescene,” ujar Ashen yang membuat Lumiere dan Peter menatapnya terkejut. “Ada sedikit perbedaan di antara mereka. Charles melakukan pemerasan untuk melihat kesengsaraan orang lain. Sedangkan Inggrid ... dia murni melakukannya untuk mendapatkan seseorang.”“Hah?” Kedua alis Peter terangkat, merasa bingung dengan maksud dari perkataan Ashen tersebut. “Apa maksudnya?”“Perdagangan manusia,” jawab Ashen dengan wajah yang menggelap karena menahan amarahnya. “Inggrid melakukan hal te
Darius menggigiti kuku-kuku jari tangannya. Pria paruh baya tersebut terlihat cemas lantarana putra dan calon menantunya tersebut menghilang sejak kemarin.“Sayang, sudahlah,” ujar Viona terlihat santai memandangi jari-jari tangannya yang terlihat indah tersebut. “Mereka pasti sedang pergi ke suatu tempat untuk menikmati waktu bersama. Sebentar lagi juga mereka akan pulang.”“Ini sudah hampir siang hari, Viona!” bentak Darius yang membuat Viona tersentak terkejut. “Mana mungkin mereka pergi selama ini.”“Ya terus kita harus bagaimana? Mencari mereka? Kita saja tidak tahu mereka pergi ke mana!” Viona balik membentak, karena merasa kesal setelah dibentak oleh Darius tersebut. “Kita tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Lebih baik kamu duduk tenang dan menunggu kedatangan mereka. Mereka pasti pulang.”Perdebatan mereka kemudian terhenti saat mendengar suara ketukan p
Kediaman Keluarga Wysteria, sekaligus markas MI6, digegerkan oleh kedatangan Arnold Rudeus yang membuat keributan di pagi hari. Bahkan pria bertempramen buruk itu sampai merangsek maju dan menerobos masuk. Sampai-sampai membuat Reynox harus turun tangan karena sama-sama bertubuh besar.Tujuan Arnold melakukan hal tersebut adalah, untuk merebut kembali Alyn yang diculik oleh Lucius kemarin pagi. Namun pada kenyataannya, Lucius hanya menyelamatkan Alyn dan kekejaman Arnold. Yang tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita.“Tenangkan dirimu, Bung!” bentak Reynox seraya menahan tubuh besar Arnold yang hendak menerobos masuk semakin dalam. Bahkan, Reynox harus mengeluarkan seluruh kekuatan tubuhnya agar bisa menghentikan pergerakan Arnold.“Minggir! Aku harus membawa pulang Alyn!” rutuk Arnold berusaha terus melangkah maju.“Jangan membuat kekacauan di kantorku, Tuan Muda Rudeus!”Ba
Alyn mengernyit ketakutan ketika apa yang terjadi pada hari itu, hari di mana ia disiksa oleh Arnold, kembali terlihat di matanya. Bukan hanya melihat adegan tersebut, Alyn juga mampu merasakan perasaan takut yang ia rasakan pada saat itu.Dan ketika adegan itu beralih, di mana Arnold menindih tubuhnya tersebut, Alyn tersentak dan terbangun dari tidurnya. Bahkan terduduk dalam satu kali gerakan hingga membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dan pada saat itu pula Alyn mulai menyadari, ini bukanlah kamarnya.Alyn menolehkan kepalanya saat merasakan pergerakan pada kasur di sisi kanan. Membulatkan matanya saat melihat Lucius yang sedang menggeliat tidak nyaman, terlihat sekali bahwa tidur pria berwajah tampan tersebut terusik karena dirinya.“Sudah bangun?” tanya Lucius seraya membuka matanya, dan mendapati wajah ketakutan Alyn. “Kamu bermimpi buruk?”GREP!Lucius tersenyum lembut saat Aly
“Dari mana saja kamu? Seharian tidak pulang ke rumah dan tanpa kabar pergi ke mananya.”Tubuh Alyn membeku saat terdengar pertanyaan bernada rendah dan penuh amarah, ketika ia baru saja memasuki kediaman Baron Rudeus tersebut. Alyn mendadak kikuk, tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh tunangannya tersebut.“Aku diajak pergi oleh Suster Diana untuk mengunjungi pusat kota. Karena terlalu malam ketika sampai di panti, aku menginap di sana,” jawab Alyn setelah terdiam selama beberapa saat hanya untuk mengumpulkan keberaniannya tersebut. “Maafkan aku jika telah membuatmu khawatir, Arnold.”“Kau kira aku mudah dibohongi hah!” pekik Arnold merasa geram dengan kebohongan Alyn yang mudah terendus olehnya tersebut. “Kau pikir aku bodoh? Aku mendatangi panti asuhan tempat di mana kamu berasal itu semalam! Mereka mengatakan jika kamu tidak mengunjungi mereka. Dan justru per
Tubuh Alyn kembali membeku, dengan senyuman manisnya yang melebar ketika ia kembali mendapati Lucius tengah menunggunya di depan gerbang panti asuhan. Gadis bersurai hitam legam tersebut tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, karena kembali bertemu dengan Lucius. Bahkan, Alyn terlihat menari-nari kecil sembari mendekati Lucius. Membuat pria yang berada di hadapannya kini itu, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.“Sesenang itukah kamu bertemu denganku?” tanya Lucius begitu Alyn berdiri di hadapannya.Alyn mengangguk antusias, “Kita bertemu lagi, Lucius.”“Senang bertemu denganmu, Alyn.”Keduanya kemudian berjalan-jalan memutari taman, sembari menikmati jajanan pinggir jalanan untuk mengganjal perut mereka. Saling bertukar cerita, walaupun percakapan itu didominasi oleh Alyn. Namun, mereka terlihat begitu serasi dan dekat, terlihat seakan-akan mereka adalah sepasang suami istri yang masih merasakan p