Pada malam harinya, Baron Rogue menatap peta Kota Durham dan sesekali memijit pelipisnya yang berdenyut. Kepalanya pusing karena memikirkan satu persatu tanah di wilayah kekuasaannya ditinggalkan oleh penyewa.
Baron Rogue mengerang, membanting kasar peta tersebut ke meja, “Ugh... kalau begini terus, pemasukanku ke depan ...”
Tok! Tok! Tok!
Pintu ruang kerja Baron Rogue diketuk tiga kali dan kemudian terbuka cukup lebar, menampilkan salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya. Pria berpakaian rapi tersebut tampaknya ingin menyampaikan sesuatu kepada majikannya tersebut.
“Tuan, Keluarga Earl Wysteria dan Tuan Hendrik, sudah tiba.” Pelayan tersebut tanpa basa-basi lagi langsung menyampaikan kabar tersebut. Baron Rogue mengernyitkan dahinya saat mendengar nama yang cukup asing terdengar di telinganya.
“Baiklah. Antarkan mereka ke ruang makan!”
Si Pelayan itu mengangguk dan bergegas menjalani perintah majikannya. Sementara itu, Baron Rogue membereskan kekacauan di meja kerjanya sebelum menemui para tamu.
***
“Siapa kamu?” tanya Baron Rogue sesaat setelah memasuki ruang makan dan melihat seorang pria asing duduk di sebelah Lucius.
“Saya Hendrik, perwakilan buruh tani,” jawab Pak Hendrik seraya menyerahkan bingkisan pada pelayan pria tersebut, “Oleh-oleh dariku.”
“Terima kasih,” ujar sang Pelayan membungkuk sopan dan kemudian memeriksa isi dari bingkisan itu, “Akan Saya buat kue pai dengan buah ini!”
Baron Rogue mendekat pada pelayannya tersebut dan kemudian berbisik, “Periksa dulu apakah ada racunnya atau tidak.”
Namun seribu sayang, bisikan itu terdengar jelas di telinga Pak Hendrik yang membuatnya langsung tersinggung, “Bagaimana caranya memberi racun pada buah itu!?”
“ah iya, Baron,” panggil Lumiere saat ia melihat seorang pelayan wanita tengah menggiring seorang wanita cantik untuk memasuki ruang makan ini, “Ada satu orang tamu lagi.”
Mendengar tentang adanya seorang tamu lagi, Pak Hendrik menoleh karena penasaran. Rasa penasarannya digantikan oleh keterkejutan saat melihat siapa gerangan tamu tambahan tersebut.
“Michelle!? Kenapa ...?” Pak Hendrik membatin dengan mata yang menatap terkejut kepada sang Istri yang dengan anggun menduduki salah satu kursi kosong yang tersedia.
“Huh? Silakan! Makan malam kali ini gaya buffet saja. Dan semua pelayan silakan keluar,” perintah Baron Rogue dan dituruti oleh para pelayannya, termasuk dokter pribadinya.
“Tuan, jangan minum anggur, ya ...”
Baron Rogue memotong ucapan sang Dokter, “... iya, aku mengerti!”
Dengan wajah angkuhnya, Baron Rogue bergegas duduk berhadapan dengan Michelle setelah memastikan semua pelayannya keluar dari ruangan ini.
“Kalian membawa dua orang sebagai bantuan. Jangan kira kalian akan menang!” hardik Baron Rogue dengan senyuman meremehkannya.
Lucian menatap tidak suka kepada sang Baron yang sedang memperhatikan menu makan malam hari ini. Menurutnya, makanan yang tersaji di hadapannya memang terlihat sederhana namun harga pembelian di setiap bahan yang dimasak bernilai cukup fantastis. Itu bagi rakyat jelata.
“Kami bukan ingin berkelahi, Baron. Bagaimana kalau kita makan dulu? ...” tanya Lucius seraya melirik kepada Lumiere yang kembali merajuk karena tidak bergegas memulai acara makan malamnya, “... berhubung sudah dihidangkan.”
Acara makan malam langsung dimulai begitu Baron Rogue menganggukkan kepalanya. Suasana cukup hening. Hanya terdengar suara yang dihasilkan oleh garpu dan pisau yang bersenggolan dengan piring. Serta suara kecapan dan kunyahan para manusia yang sedang menikmati makan malamnya.
Mata sang Baron berkeliling mengawasi orang-orang di hadapannya, “Makan tanpa bicara, ya? Katanya mau bicara soal pengurusan tanah! Dan juga, bisa-bisanya mereka mengajak orang kelas bawah yang kotor! Merusak derajat masyarakat kelas atas saja!”
Menu makan malam utama telah digantikan oleh hidangan penutup, berupa kue pai yang terbuat dari olahan buah Grapefruit yang diberikan oleh Pak Hendrik. Lagi-lagi mereka makan tanpa suara yang membangun sebuah obrolan. Hal tersebut tampaknya membuat Baron Rogue merasa jengkel.
“Ternyata mereka hanya seorang anak kecil yang dapat warisan! Cepat habiskan kue ini lalu gempur mereka!” batin Baron Rogue dengan tangan yang sibuk memasukkan sepotong demi sepotong kue pai tersebut ke dalam mulutnya.
Sementara itu, Bu Michelle yang duduk di seberang Baron Rogue mulai menatap pria berbadan gemuk tersebut dengan wajah gilanya. Bagi siapa pun yang melihat ekspresi Bu Michelle saat ini, mereka pasti akan ketakutan dan keluar dari ruangan ini. Dan tentunya, Baron Rogue menyadari tatapan tersebut. Langsung saja tubuh gemuknya gemetar karena merinding.
“A–apa? Perempuan yang menjijikkan! Kalau mau makan, silakan saja! T–tidak usah menatapku seperti itu” tegur Baron Rogue dengan wajah tidak nyamannya yang terlihat seperti sedang ketakutan.
Yang tersinggung karena ucapan tersebut bukanlah Bu Michelle, melainkan Lumiere. Seorang perempuan disebut ‘menjijikkan’ oleh seseorang tanpa ada kejadian apa pun menurutnya sedikit keterlaluan.
Walaupun begitu, Lumiere dengan cepat menutupi ketidaknyamanannya. Gadis cantik ini kemudian melontarkan pertanyaan kepada Baron Rogue, “Bagaimana rasanya, Baron Rogue? Itu Grapefruit hasil keringat Pak Hendrik, lho!”
“... be–begitu?” Bukannya menjawab, Baron Rogue malah melontarkan pertanyaan karena sesungguhnya ia tidak terlalu mengerti alur pembicaraan yang dibangun oleh Lumiere.
“Ternyata Anda memang tak hafal wajah buruh tani Anda, ya? Kalau begitu ...” ujar Lumiere memberikan jeda selama beberapa detik, melirik tajam pada Baron Rogue yang tampak kebingungan. Lirikkannya tersebut terjadi bersamaan dengan Michelle melepaskan ikat rambutnya, “... pasti Anda juga sudah lupa pada anak yang Anda biarkan mati pada malam itu.”
Baron Rogue mengernyitkan dahinya, “Anak? Kapan aku ...” Ucapan pria tua tersebut terhenti ketika sekelebat ingatan melintasi pikirannya. Refleksi seorang wanita muda yang sedang menggendong anak dan berdiri bersama sang Suami. Baron Rogue membulatkan matanya karena terkejut ketika ia berhasil mengingat wajah dari ibu si Anak pada malam itu. Dengan satu kali gerakan, pria bertubuh gemuk itu berdiri dan kemudian berteriak, “K–KAMU! KENAPA KAMU ADA DI SINI!!”
“Baron, kita Cuma berbincang soal wilayah. Kalau ribut, Anda hanya akan mempermalukan diri sendiri!” ujar Lucius menginterupsi keributan yang diperbuat oleh sang Tuan Rumah.
“KALIAN BERSEKONGKOL YA!? APA MAU KALIAN?!” Bukannya menuruti apa yang diucapkan oleh Lucius, Baron Rogue justru semakin mengeraskan teriakkannya.
Lucius melirik tajam dengan ekspresi datar pada sang Baron, “Aku sudah bilang, bukan? Adikku Lumiere punya pekerjaan lain!”
Wajah Michelle menggelap, “Anda jarang bertemu dengan orang lain selain sesama bangsawan. Anda juga tidak pernah keluar rumah seorang diri ...” Tanpa disadari oleh para pria di ruangan ini, Michelle mengeluarkan sebuah pisau tajam dari balik gaun yang sedang ia kenakan, “... saya ingin Anda muncul di hadapanku! Makanya saya berkonsultasi!”
Pak Hendrik tampaknya sangat terkejut dengan penuturan Michelle yang terkesan berani. Begitu juga dengan Baron Rogue yang mendadak panik begitu mendapatkan ancaman pembunuhan. Bukankah saat ini beliau mendapatkan ancaman pembunuhan?
“Jadi atas permintaan klienku ...” ujar Lumiere seraya berdiri dari duduknya dengan gerakan anggun, mengalihkan atensi sang Baron yang kini tertuju padanya, “... Aku, Crime Consultant Lumiere Crowe Wysteria, datang untuk memberi hukuman pada Anda!”
Terkejut. Baron Rogue menunjukkan reaksi terkejut atas ucapan Lumiere barusan. Namun, reaksi itu tidak berlangsung lama karena selanjutnya, sang Baron tertawa terbahak-bahak. Mencemooh penuturan dari sang Gadis yang membuat Lucian dan Lucius tersinggung.
“Hukuman? Jangan bercanda kalian! Memangnya aku melakukan kejahatan apa sampai harus mendapatkan hukuman dari orang yang bukan berasal dari instansi pemerintahan!?” seru Baron Rogue setelah menghentikan tawanya dan kemudian menatap tajam pada Lumiere dan juga Pak Hendrik yang merasa terkejut, “Membiarkan anak dua orang rendahan ini mati? Anak lemah begitu jika dibiarkan tetap hidup pun tak akan bisa bekerja dengan benar! Harusnya kalian senang karena sudah kehilangan satu mulut yang harus diberi makan!”
Kalimat-kalimat kejam yang terlontar dari mulut Baron Rogue tampaknya membuat Michelle dan Pak Hendrik merasa tersinggung. Begitu juga dengan Lumiere yang saat ini mengeraskan rahangnya. Jadi, menurut pria tua bertubuh gemuk ini ia sudah menyelamatkan kondisi finansial Keluarga Pak Hendrik dengan cara membiarkan anaknya mati!?
“MULAI SEKARANG, SEWA TANAH KALIAN JADI DUA KALI LIPAT!! MENDING KALIAN CEPAT BIKIN ANAK BARU UNTUK BANTU BEKERJA!!” Teriakan menggelegar Baron Rogue tampaknya membuat Michelle naik pitam.
Pisau yang semula masih wanita cantik itu sembunyikan ia keluarkan. Dengan linangan air mata, Michelle menodongkan pisau tersebut pada Baron Rogue. Begitu Michelle hendak melangkah maju, Pak Hendrik dengan cepat menahan istrinya tersebut dan berusaha menenangkannya.
“Michelle, jangan! Sekarang ...”
“Benar, Michelle.” Suara Lumiere memotong ucapan Pak Hendrik yang sedang berusaha menenangkan istrinya tersebut. Wajah Lumiere mendatar tanpa memperlihatkan perasaan apa yang sedang ia rasakan sekarang, “Aku akan menyelesaikan permintaan klien dengan sempurna. Untuk itu, kejahatan ini tentu saja harus sempurna tanpa lecet sedikit pun agar tidak akan ada yang merasa bahwa ini adalah sebuah tindak kejahatan.”
Baron Rogue yang hendak berteriak kembali mendadak mengernyitkan dahinya ketika rasa sakit mendera dada sebelah kirinya. Suara detak jantungnya pun terasa semakin cepat begitu terdengar di telinga pria tua tersebut.
“Ugh... hah! Lagi-lagi berbicara ngawur,” balas Baron Rogue tanpa memedulikan rasa sakit yang mendera tubuhnya, “KONYOL SEKALI! AKU AKAN LAPORKAN WANITA ITU ATAS PERCOBAAN PEMBUNUHAN!!”
Lumiere sontak tersenyum, tertawa kecil untuk beberapa detik sebelum kemudian menimpali perkataan sang Baron, “Fufufu— memangnya di kota ini ada yang memihak Anda?”
Baron Rogue mematung. Ia cukup terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Lumiere. Rasa terkejut itu semakin menjadi ketika Pak Hendrik angkat bicara.
“Aku— bukan— semua warga di sini memihak Wysteria!”
“Durham sudah bukan milik Anda lagi, Baron.” Lumiere berujar sembari berjalan menghampiri pria tua itu dengan langkah pelan namun terlihat anggun, “Anda paham, kan? Sepertinya Anda baru saja berpikir ‘jadi dia menurunkan sewa tanah untuk menarik hati warga?’ bukan? Wah... sepertinya Anda tidak terlalu bodoh untuk memahami situasi.”
“Bagaimana ...”
“Semua ini adalah rencana saya, Baron Rogue.”
Tubuh Baron Rogue ambruk begitu Lumiere menyelesaikan ucapannya. Tangan keriput milik Pak Tua ini meremas dada sebelah kirinya yang terasa seperti diremas.
“Haagh– agh– sial... jantungku ...”
Tidak ada yang beranjak dari posisi mereka hanya untuk sekadar menolong Baron Rogue yang seperti sedang sekarat. Mereka terlihat enggan dan membiarkan begitu saja sang Baron mengerang kesakitan.
“Tolong— di laci atas meja itu— obat dan— air ...”
Lumiere berjongkok, menatap rendah sang Baron dan juga memberikan sebuah senyuman miringnya yang terlihat cantik namun terasa kejam, “Anda berani membayar berapa untuk air itu?”
“Se–sepuluh kali lipat! AKU AKAN MEMBAYAR SEPULUH KALI LIPAT DARI YANG DIA BAYARKAN PADAMU, BAGAIMANA!?” Baron Rogue berteriak karena panik. Rasa sakit di jantungnya semakin menjadi-jadi.
“Nol.” Suara dingin Michelle kembali terdengar yang membuat Baron Rogue menatapnya bingung, “Yang kubayar pada Nona Wysteria adalah nol pound, nol shilling, nol pence.”
***
***
“Bayaranku yang sebenarnya adalah hidupku ini akan kuserahkan pada Nona Wysteria.”Baron Rogue terkejut bukan main. Kalau begitu, bagaimana caranya ia membayar dua kali lipat dari yang Michelle bayarkan kepada Lumiere? Pria tua ini masih ingin hidup.“Nah ...” ujar Lumiere memberi jeda untuk ia menegakkan kembali tubuhnya dan kembali memberikan tatapan tajam pada sang Baron, “... ada soal matematika. 10 × 0 tetap 0! Apa Anda berani bayar 20 kali nyawa Anda?”Baron Rogue memandang Lumiere dengan ekspresi penuh penyesalana, “Ma–maaf. Maafkan aku atas apa yang sudah kulakukan.”Permintaan maaf yang tidak terduga itu tampaknya membuat Pak Hendrik dan Michelle terkejut. Sedangkan Lumiere hanya memasang wajah datar tanpa berniat menunjukkan reaksinya. Namun, itu tidak bertahan lama. Karena selanjutnya, Lumiere menoleh ke arah Pak Hendrik dan Michelle.“Bagaimana?
Suara ketukan yang dihasilkan dari kapur tulis yang bertemu dengan papan tulis hijau terdengar memenuhi salah satu ruang belajar di Universitas Durham. Kelas matematika yang dibimbing oleh Profesor Lumiere Crowe Wysteria sedang berlangsung.Para siswa yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki ini tampak fokus memperhatikan apa yang Lumiere jelaskan. Sang gadis begitu cakap dalam menjelaskan rumus-rumus persamaan yang bagi para murid cukup sulit untuk dikerjakan."Baiklah. Sampai di sini, ada yang dipertanyakan?" Tanya Lumiere setelah menyelesaikan menulis materi yang sedang ia ajarkan kepada anak didiknya."Profesor!" Suara ini berasal dari bangku paling atas ruang belajar ini. Seorang pria berparas tampan tampak mengangkat sebelah tangannya guna menarik atensi sang profesor muda tersebut, "Bisakah Anda menceritakan masa kecil Anda?"Lumiere cukup terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga tersebut. Dengan kata lain, mereka ingin menanyakan sesuat
Tok! Tok! Tok!Si Gadis kecil bermata biru langit dengan perlahan membuka pintu berdaun dua tersebut setelah mendengar sahutan dari dalam. Ruang baca dengan dekorasi mewah dan seorang wanita cantik menjadi pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatan si Gadis.“Saya sudah kembali,” ujar si Gadis seraya melangkah menghampiri sang Wanita yang merupakan Countess Wysteria.“Suratku sudah kau kirimkan?” Tanya Countess Wysteria tanpa menatap si Gadis dan lebih memilih melanjutkan kegiatan membaca bukunya.Si Gadis tersenyum manis dengan kedua matanya yang terpejam. Terlihat sangat jelas bahwa senyumannya tidak begitu tulus ia keluarkan, “Ya, Ibu.”Mendengar kata ‘ibu’ yang terucap dari mulut si Gadis. Countess Wysteria mendelik tajam kepadanya, berdiri secepat mungkin dan kemudian berteriak, “JANGAN SALAH PAHAM, YA! MERAWAT ANAK YATIM PIATU ITU CUMA KEWAJIBAN SEORANG BANGSAWAN! INI TINDAKAN AMAL! MANA SUDI MENG
Setelah menganiaya Lucy, waktu terus bergulir. Matahari yang selama setengah hari duduk manis pada singgasana, menyinari Tanah Inggris dengan kehangatan sinarnya yang terkadang terasa menyengat ketika di musim panas, telah tergantikan dengan bulan yang bersinar lembut. Walaupun hari telah menjadi gelap, aktivitas masyarakat di Kota London tidaklah berhenti begitu saja.Sebagian besar masyarakat yang merupakan bagian dari ‘Kelas Pekerja’ masih beraktivitas, dan sebagian lagi yang merupakan kaum bangsawan lebih memilih beristirahat di kediaman mereka yang super mewah. Beristirahat sembari menikmati makan malam yang mewah, kemudian dilanjut tidur di kasur yang empuk dan hangat.Termasuk Keluarga Wysteria yang saat ini sedang menikmati makan malam mereka. Berbagai menu makanan mewah tersedia di hadapan mereka yang berjumlah empat anggota keluarga. Dimulai dari daging steak yang berkualitas tinggi, olahan Jamur Truffle Putih yang pada saat ini harganya men
“Bisa-bisanya ketiduran tanpa mengerjakan tugas! Kalian mengira kasta kalian sedikit lebih tinggi dari kami karena menjadi anak angkat keluarga ini!?” seru seorang wanita tua berpakaian pelayan tajam. Menatap Lucy dan Lucian yang sedang menaiki tangga untuk membersihkan tempat lilin di sepanjang koridor rumah.“Hei, Underclass! Pokoknya, pagi ini 550 tempat lilin harus sudah digosok!” Satu orang pelayan lain menambahkan dengan nada mencemoohnya yang terdengar menjengkelkan bagi Lucian.“kami mau tidur dulu!” ujar si Wanita tua tersenyum meremehkan pada Lucy yang memasang wajah memelas. Dua pelayan ini kemudian pergi meninggalkan mereka berdua yang sedang berkutat dengan tempat lilin.“Kalian tidur saja yang nyenyak, sana!” Suara seorang anak laki-laki terdengar dari gelapnya kegelapan lorong karena hampir semua lilin yang terpasang di setiap sisi tembok telah dimatikan apinya.Pelayan wanita tua yang terkejut lantas mengarahkan
Lumiere menatap bingung salah satu bangku yang biasanya diduduki oleh salah satu mahasiswa terpintar kini telah kosong. Padahal, mahasiswa tersebut tak pernah absen untuk mengikuti jadwal kelas profesor muda ini. Tentu saja hal ini mengundang pertanyaan di benak Lumiere.“Tumben sekali Darius tidak hadir,” ujar Lumiere menyebutkan nama mahasiswa tersebut, “Apakah dia sakit?”“Profesor,” panggil Vincent yang kembali mengikuti kelas Lumiere, “Aku mendapatkan kabar kalau semalam Darius kembali ke rumahnya sebentar karena ayahnya meninggal dunia.”“Maksudmu Baron Ellard?” Mahasiswa yang duduk bersebelahan dengan Vincent melontarkan pertanyaan, “Bukankah beliau sedang berada di Swiss untuk urusan bisnis?”Alis Lumiere terangkat sebelah, namun tidak sedikit pun ia bersuara untuk bergabung ke dalam obrolan tersebut.“Eh? Jadi maksudmu, Darius berbohong?” tanya Vincent.“Lalu, apa tujuan Darius terhadap kepergiannya semalam? Bukankah kelas
Kaki ramping Lumiere yang terbalut celana bahan berwarna hitam melangkah dengan anggun menyusuri deretan rak buku perpustakaan Universitas Durham. Mata biru langitnya menerawang setiap deretan judul buku. Lumiere membutuh waktu yang cukup lama untuk menemukan buku yang ia cari. Bukan tanpa alasan Lumiere mencarinya sendiri karena petugas perpustakaan sedang tidak ada di tempat. Alhasil, mau tidak mau Lumiere harus mencarinya sendiri. Buku tebal bersampul coklat. Terlihat usang di mata Lumiere namun, isinya sangat membantu proses investigasinya.Dari penjelasan Vincent saat istirahat tadi, ada lima dosen yang menjadi penyokong Anne Rovein untuk menjaga tempatnya agar tidak dilengserkan oleh siapa pun. Namun, hanya satu dosen saja yang berani melakukan pembunuhan ini. Bisa dapat Lumiere simpulkan bahwa, keempat dosen lainnya hanya melakukan manipulasi nilai terhadap Anne Rovein.Buku usang itu kemudian dibuka. Sang Profesor muda ini mulai membaca satu persatu kalimat dal
Semilir angin menghantarkan beberapa helai daun yang telah menguning, musim gugur telah tiba di London. Langit London pun yang semula gelap dengan perlahan memunculkan warnanya ketika sang Fajar dengan malu-malu keluar dari persembunyiannya. Pukul setengah lima pagi, angin pagi hari yang berembus dingin, menusuk sampai ke tulang bagi siapa pun yang beraktivitas di luar pada jam ini. Namun, seorang pemuda bertubuh mungil tampaknya tidak merasa kedinginan oleh sang Angin. Pemuda itu duduk di atas balkon lantai tiga yang membuatnya bisa melihat Kota London dengan leluasa. Di tangannya terdapat sebuah secarik kertas, bertuliskan bahwa sudah waktunya dia kembali beraksi. Wajahnya tanpa ekspresi pada saat membaca isi dari telegram tersebut. Walaupun begitu, matanya memancarkan binar kegembiraan yang tidak bisa ia pendam. “Tuan Archenar juga pasti mendapatkan ini, bukan?” Di sisi lain Kota London. Di sebuah penginapan yang seluruh sudut ruangannya masih gela
Kedua alis Lumiere saling bertaut. Gadis bersurai cokelat madu tersebut tampaknya sangat tidak menyukai apa yang baru saja ia dengar.Inggrid Rovein, pria yang menjadi target misi mereka kali ini tersebut, sedari tadi melontarkan bualan tentang kesehatan dan sumber ketakutan manusia. Pria beralis tebal tersebut pria tersebut mengatakan, kematian merupakan sumber ketakutan palin dasar yang diderita oleh manusia. Meskipun seorang manusia telah menjaga kesehatannya, dan bahkan memiliki kekayaan yang banyak, mereka tidak dapat menghindari kematian yang kedatangannya tidak bisa diprediksi tersebut.Dan hal yang semakin membuat Lumiere merasa muak adalah, pria itu dengan santainya mengatakan bahwa, ia telah menemukan cara untuk hidup kembali setelah mengalami kematian. Perhatian Lumiere pun kini tertuju pada sebuah peti mati yang telah terbuka, menampilkan sesosok mayat seorang perempuan, usianya diperkirakan baru menginjak delapan belas tahun. Kulitnya terl
Miya, bahkan sampai Lucian pun memandang takjub kapal pesiar mewah dan berukuran besar di hadapan mereka.“Jadi ... ini adalah kapal RMS Titanic yang pernah karam ribuan tahun yang lalu?” tanya Miya seraya memalingkan pandangannya ke arah Reynox. “Kau beruntung sekali bisa ikut naik ke kapal besar itu.”Reynox berdecak, memilih untuk mengabaikan Miya. Kedua netra emasnya yang tajam itu mengamati seluruh bagian dari tubuh kapal berukuran super besar tersebut. Reynox tahu soal tenggelamnya sebuah kapal, yang kisahnya menjadi legendaris hingga ribuan tahun tersebut. Dan Reynox sendiri menjadi ragu, apakah kapal kedua dari RMS Titanic ini akan memiliki nasib yang sama seperti kakaknya, atau tidak.“Tolong antarkan barang bawaan kami di kamar nomor A12 kelas satu,” ujar Peter pada seorang petugas kapal yang menghampirinya. Setelah memastikan petugas kapal tersebut mengangkut barang bawaannya dan Lumiere, Peter meng
Lumiere membenarkan kembali letak topeng pesta yang sedang dipakai olehnya. Gadis bersurai cokelat madu tersebut kemudian memantapkan kembali hatinya, memantapkan niatnya untuk mengunjungi pasar gelap yang dikelola oleh pemerintah Inggris.“Tidak perlu takut,” bisik Peter yang memaksa untuk ikut. Pria itu membantu istrinya tersebut untuk merapikan penampilannya tersebut. “Kita hanya perlu melakukan penyelidikan, tanpa membuat keributan apa pun selain mau membeli manusia yang akan dijajakan oleh mereka.”Lumiere mengangguk, mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah tampan Peter yang bersembunyi dibalik tudung jubah yang pria itu kenakan tersebut. “Sepertinya, setelah ini kamu harus memotong rambutmu.”“Benarkah? Sayang sekali kalau dipotong,” ujar Peter seraya menaik turunkan alisnya, bermaksud menggoda Lumiere. “Padahal kamu sangat menyukai rambut panjangku ini.”“Atau uba
“Ini informasi terkait Inggrid Rovein yang kamu minta.”Lumiere menerima satu bundel dokumen yang diserahkan oleh Ashen tersebut. Gadis bersurai cokelat madu itu langsung membacanya. Tenggelam dalam ribuan kosa kata yang tertulis di sana, menyampaikan informasi tentang sesosok Inggrid Rovein yang terasa misterius sekaligus terasa tidak asing tersebut.“Dia ... satu jenis dengan Charles Evanescene,” ujar Ashen yang membuat Lumiere dan Peter menatapnya terkejut. “Ada sedikit perbedaan di antara mereka. Charles melakukan pemerasan untuk melihat kesengsaraan orang lain. Sedangkan Inggrid ... dia murni melakukannya untuk mendapatkan seseorang.”“Hah?” Kedua alis Peter terangkat, merasa bingung dengan maksud dari perkataan Ashen tersebut. “Apa maksudnya?”“Perdagangan manusia,” jawab Ashen dengan wajah yang menggelap karena menahan amarahnya. “Inggrid melakukan hal te
Darius menggigiti kuku-kuku jari tangannya. Pria paruh baya tersebut terlihat cemas lantarana putra dan calon menantunya tersebut menghilang sejak kemarin.“Sayang, sudahlah,” ujar Viona terlihat santai memandangi jari-jari tangannya yang terlihat indah tersebut. “Mereka pasti sedang pergi ke suatu tempat untuk menikmati waktu bersama. Sebentar lagi juga mereka akan pulang.”“Ini sudah hampir siang hari, Viona!” bentak Darius yang membuat Viona tersentak terkejut. “Mana mungkin mereka pergi selama ini.”“Ya terus kita harus bagaimana? Mencari mereka? Kita saja tidak tahu mereka pergi ke mana!” Viona balik membentak, karena merasa kesal setelah dibentak oleh Darius tersebut. “Kita tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Lebih baik kamu duduk tenang dan menunggu kedatangan mereka. Mereka pasti pulang.”Perdebatan mereka kemudian terhenti saat mendengar suara ketukan p
Kediaman Keluarga Wysteria, sekaligus markas MI6, digegerkan oleh kedatangan Arnold Rudeus yang membuat keributan di pagi hari. Bahkan pria bertempramen buruk itu sampai merangsek maju dan menerobos masuk. Sampai-sampai membuat Reynox harus turun tangan karena sama-sama bertubuh besar.Tujuan Arnold melakukan hal tersebut adalah, untuk merebut kembali Alyn yang diculik oleh Lucius kemarin pagi. Namun pada kenyataannya, Lucius hanya menyelamatkan Alyn dan kekejaman Arnold. Yang tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita.“Tenangkan dirimu, Bung!” bentak Reynox seraya menahan tubuh besar Arnold yang hendak menerobos masuk semakin dalam. Bahkan, Reynox harus mengeluarkan seluruh kekuatan tubuhnya agar bisa menghentikan pergerakan Arnold.“Minggir! Aku harus membawa pulang Alyn!” rutuk Arnold berusaha terus melangkah maju.“Jangan membuat kekacauan di kantorku, Tuan Muda Rudeus!”Ba
Alyn mengernyit ketakutan ketika apa yang terjadi pada hari itu, hari di mana ia disiksa oleh Arnold, kembali terlihat di matanya. Bukan hanya melihat adegan tersebut, Alyn juga mampu merasakan perasaan takut yang ia rasakan pada saat itu.Dan ketika adegan itu beralih, di mana Arnold menindih tubuhnya tersebut, Alyn tersentak dan terbangun dari tidurnya. Bahkan terduduk dalam satu kali gerakan hingga membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dan pada saat itu pula Alyn mulai menyadari, ini bukanlah kamarnya.Alyn menolehkan kepalanya saat merasakan pergerakan pada kasur di sisi kanan. Membulatkan matanya saat melihat Lucius yang sedang menggeliat tidak nyaman, terlihat sekali bahwa tidur pria berwajah tampan tersebut terusik karena dirinya.“Sudah bangun?” tanya Lucius seraya membuka matanya, dan mendapati wajah ketakutan Alyn. “Kamu bermimpi buruk?”GREP!Lucius tersenyum lembut saat Aly
“Dari mana saja kamu? Seharian tidak pulang ke rumah dan tanpa kabar pergi ke mananya.”Tubuh Alyn membeku saat terdengar pertanyaan bernada rendah dan penuh amarah, ketika ia baru saja memasuki kediaman Baron Rudeus tersebut. Alyn mendadak kikuk, tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh tunangannya tersebut.“Aku diajak pergi oleh Suster Diana untuk mengunjungi pusat kota. Karena terlalu malam ketika sampai di panti, aku menginap di sana,” jawab Alyn setelah terdiam selama beberapa saat hanya untuk mengumpulkan keberaniannya tersebut. “Maafkan aku jika telah membuatmu khawatir, Arnold.”“Kau kira aku mudah dibohongi hah!” pekik Arnold merasa geram dengan kebohongan Alyn yang mudah terendus olehnya tersebut. “Kau pikir aku bodoh? Aku mendatangi panti asuhan tempat di mana kamu berasal itu semalam! Mereka mengatakan jika kamu tidak mengunjungi mereka. Dan justru per
Tubuh Alyn kembali membeku, dengan senyuman manisnya yang melebar ketika ia kembali mendapati Lucius tengah menunggunya di depan gerbang panti asuhan. Gadis bersurai hitam legam tersebut tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, karena kembali bertemu dengan Lucius. Bahkan, Alyn terlihat menari-nari kecil sembari mendekati Lucius. Membuat pria yang berada di hadapannya kini itu, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.“Sesenang itukah kamu bertemu denganku?” tanya Lucius begitu Alyn berdiri di hadapannya.Alyn mengangguk antusias, “Kita bertemu lagi, Lucius.”“Senang bertemu denganmu, Alyn.”Keduanya kemudian berjalan-jalan memutari taman, sembari menikmati jajanan pinggir jalanan untuk mengganjal perut mereka. Saling bertukar cerita, walaupun percakapan itu didominasi oleh Alyn. Namun, mereka terlihat begitu serasi dan dekat, terlihat seakan-akan mereka adalah sepasang suami istri yang masih merasakan p