Durham, Northeastern England.
13 Januari 2890.
“Kudengar Baron Steravin anggota dewan bangsawan ditemukan mati karena kecelakaan kereta kuda!”
“Baron Steravin itu salah satu dari bangsawan jahat yang mati mengenaskan karena kelakuannya terhadap rakyat jelata seperti kita.”
“Yang kudengar, kematian Baron Steravin itu merupakan perbuatan dari seorang bangsawan lain!”
“Berarti, kasus serupa yang menimpa putra sulung Count Aronbell pelakunya sama dengan yang terjadi pada Baron Steravin. Begitu?”
Obrolan berupa gosip kematian seorang bangsawan menjadi sebuah sambutan bagi Lumiere yang baru saja menginjakkan kaki di Kota Durham. Di tangan sang gadis terdapat secarik kertas yang telah ternoda oleh goresan tinta yang membentuk sebuah pola peta. Peta yang menjadi penunjuk arah ke vila di mana ia dan kedua saudara laki-lakinya akan tinggal terlihat terlalu detail untuk bisa dibilang 'ditulis secara mendadak oleh seorang amatir'. Bahkan Lumiere langsung merasa pusing dan berakhir ia berputar-putar mengelilingi kota kecil ini. Sebut saja Lumiere tersesat.
"Haah... Kakak bikin petanya terlalu detail." Lumiere bergumam seraya kembali memandangi secarik kertas tersebut yang mulai lusuh karena selalu ia pegang dengan cukup kuat
Sang gadis kembali menggerutu ketika kakinya mulai melangkah mengikuti arahan yang ditulis di dalam peta ini. Atensinya teralih saat terdengar suara kereta kuda yang tengah melaju dari arah masuk ke kota ini, serta teriakan sang kusir yang meneriaki seorang wanita paruh baya yang jatuh terduduk karena terkejut dengan teriakan tersebut.
"Minggir, bodoh! Ini kereta kuda Baron Rogue! Cepat minggir!"
Kurang lebih seperti itu isi teriakan yang didengar oleh Lumier. Wajah cantik Lumiere mendatar saat kereta kuda yang 'katanya' sedang membawa seorang Baron melintas begitu saja melewati wanita paruh baya tersebut. Rasa kemanusiaan menghampiri Lumiere, memberi perintah kepada sang gadis untuk bergegas menolong wanita paruh baya tersebut.
"Apakah Anda baik-baik saja? Apa ada yang terluka..."
Lumiere menghentikan ucapannya lantaran terkejut begitu melihat ekspresi apa yang dikeluarkan oleh wanita paruh baya tersebut. Kilatan mata penuh amarah yang menyertai kepergian kereta kuda berwarna hitam tersebut. Siapa pun akan tahu, wanita paruh baya ini memendam kebencian terhadap seseorang yang berada di dalam kereta kuda tersebut. Dan tentunya, rasa benci kepada sang Baron tampaknya menular kepada Lumiere. Mata biru secerah langit di siang hari melirik tajam kepergian kereta kuda tersebut yang keberadaannya semakin jauh dan nyaris saja menghilang dari sudut pandang.
"Apa Anda terluka? Mari saya bantu!" tawar Lumiere seraya membantu wanita paruh baya tersebut berdiri dari duduknya.
***
"Aku pulang!"
Lumiere sedikit berteriak hingga suaranya menggema ke seluruh penjuru vila besar yang akan ia masuki tersebut. Tak lama kemudian, muncullah dua orang pria yang tinggi badannya lebih unggul dari pria bersurai hitam. Mereka tampaknya sedang membersihkan perabotan vila ini. Vila besar yang baru saja mereka beli dan memutuskan pindah dari London ke Durham karena kebetulan Lumiere akan mengajar di Universitas Durham sebagai dosen matematika.
"Maaf terlambat Kak Lucius, Lucian. Jarang-jarang aku tersesat. Bersih-bersihnya sudah selesai?" tanya Lumiere kepada dua pria tersebut yang menyambut kedatangannya.
"Selamat datang Lumie," sapa Lucius memanggil sang adik dengan nama panggilan semasa kecilnya dan tersenyum hangat kepadanya, "Hampir selesai kok! Semua berkat Lucian!"
"Dari awal juga tidak terlalu kotor," timpal Lucian tenang. Kedua tangannya sedang membawa setumpuk buku yang sepertinya akan diletakkan di rak buku yang berada di ruang baca.
"Terima kasih, Lucian. Kak Lucius suka kebersihan," ledek Lumiere seraya tersenyum manis kepada sang adik yang merespon candaan sang gadis dengan hanya sebuah senyuman.
Bukannya tersinggung, Lucius malah terkesan tidak peduli dengan ledekan dari sang adik, "Beruntungnya aku membeli vila yang perabotannya lengkap dan juga bersih. Jadi kita tidak perlu bersusah payah membeli perabotan lain."
"Nah, ayo makan malam!" ajak Lucian seraya berjalan menuju ke dapur.
Bukannya mengekori kedua saudara laki-lakinya, atensi Lumiere malah tertuju pada seorang pria paruh baya yang kebetulan sedang melintas di depan vila bersama dengan gerobak yang diikatkan ke kuda.
"Selamat sore," sapa Lumiere kepada pria paruh baya tersebut seraya memberi senyuman ramahnya.
Sang pria paruh baya tersebut tampak menghentikan langkah kakinya lalu menoleh sedikit ke arah Lumiere yang masih berdiri di ambang pintu masuk vila, "Kami Keluarga Wysteria. Baru pindah ke sini hari ini."
"Oh salam kenal, Nona Bangsawan." Balas pria tersebut seraya kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke suatu tempat.
Lumiere sedikit terkejut melihat respon dingin yang dikeluarkan oleh pria paruh baya tersebut. Angin berhembus cukup kencang hingga menerbangkan surai coklat keemasannya dan mengiringi kepergian pria paruh baya tersebut. Seharusnya Lumiere tidak terkejut lagi dengan respon dingin rakyat jelata ketika disapa olehnya.
Lumiere hidup di era di mana Kerajaan Inggris di pimpin oleh Ratu Magdalena dan juga Pax Brittanica yang pernah terjadi di tahun 1815-an kembali diterapkan pada Era Joan di tahun 2390.
Pax Brittanica pada Era Joan sedikit berbeda dengan pada abad 18 dalam segi wilayah kekuasaan. Kerajaan Inggris secara ajaib memenangkan perang dunia ketiga, menyebabkannya hampir dari separuh dunia menjadi wilayah kekuasaannya. Selain itu, sistem kasta sosial kembali muncul ke permukaan bersamaan dengan munculnya Pax Brittanica.
Kasta sosial yang membuat manusia terbagi menjadi atas penguasa dan hamba. Yang unggul dan yang tak mampu. Si kuat dan si lemah. Si cerdas dan si bodoh. Yang berkelimpahan harta dan yang kekurangan harta. Bangsawan dan rakyat jelata. Tak ada sedikit pun simpati dari cara mereka yang menyandang status sebagai seorang bangsawan memandang satu sama lain.
Mereka seakan-akan merupakan manusia pilihan yang sempurna. Dipilih langsung oleh tuhan dan menjadikannya makhluk nomor 1 yang kehidupannya harus dilimpahi kemewahan dan juga harus berdampingan dengan sesama bangsawan. Kontradiksi dan konflik. Gesekan dan diskriminasi. Empat hal yang pernah terjadi 2000 tahun lalu, kembali terjadi pada era ini. Dan Lumiere sangat membenci sistem negara ini.
***
Suara kicau burung terdengar nyaring keesokan harinya. Sinar matahari mulai menyinari kota Durham yang mulai dipadati oleh aktivitas warganya. Begitu juga dengan Lumiere yang sedang berjalan menuju Universitas Durham untuk mengajar.
"Lihat. Nona bangsawan jalan kaki. Padahal ku kira kaki mereka cuma pajangan."
Atensi Lumiere teralih saat seorang pria paruh baya bersuara. Tampak terdengar seperti sedang meledeknya yang merupakan seorang gadis bangsawan.
"Kok Nona tak naik kereta kuda?"
"Mungkin dia bangsawan yang bangkrut. Makanya membeli rumah di kampung begini."
Raut wajah Lumiere terlihat menggelap saat para pria tua itu semakin banyak mengoceh, mencemooh dirinya yang seorang bangsawan.
"Katanya vila itu terjual murah karena lama tak terjual..."
BRAK!
"Selamat pagi! Namaku Lumiere Crowe Wysteria! Putri sulung sekaligus anak kedua Keluarga Earl Wysteria. Aku datang dari London karena sekolahku di sini! Salam kenal ya!"
Para pria tua tersebut nampaknya sedikit terkejut dengan tingkah ramah Lumiere yang tidak seperti bangsawan yang mereka tahu. Apalagi Lumiere adalah seorang anak perempuan. Yang dituntut harus bersikap anggun dan bermartabat.
“Earl? Dari London pula.”
“Kalau Earl, keluarga hebat dong? Yang berada di bawah Marquess dan setara dengan seorang Count!”
"Kami bukan keluarga bangkrut. Tapi zaman sekarang susah ditebak dan harus pandai-pandai memilah uang. Seperti kata kalian, kami membeli vila murah itu karena ingin berhemat."
Setelah mengucapkan itu, Lumiere mendekat ke salah satu dari pria tua yang ada di dekatnya itu untuk membisikkan sesuatu, "Ini rahasia keluarga kami ya. Kakakku bahkan menawar lebih murah lagi, lho! Padahal tanahnya seluas itu ditawar dengan harga semakin murah malah setuju. Sudah begitu, perabotannya juga sekalian!" Pria tua itu tampak berkeringat karena merasa canggung dengan sikap Lumiere yang di luar persepsi mereka tentang bangsawan.
"Eh? Wah... he—hebat ya..."
Salah satu pria tua yang memakai topi coklat usang bersuara, "Nona benar seorang bangsawan? Kok sepertinya sikap Anda berbeda dari yang kami tahu tentang bangsawan."
Lumiere tersenyum miring samar-samar. Saking samarnya, para pria tua itu sampai tidak menyadarinya.
“Pertanyaan yang bagus!”
"Apa iya? Yeah~ memang banyak bangsawan yang menganggap mereka adalah dewa. Tapi, kami dibesarkan tidak seperti itu," jawab Lumiere tanpa memudarkan senyuman hangatnya yang tampaknya membuat sekumpulan pria tua itu sedikit melunak kepadanya. Maksudnya, tidak bersikap dingin kepada Lumiere yang merupakan seorang bangsawan.
Lumiere diam-diam mengambil jam saku yang ia simpan dengan rapih dibalik jas khusus yang ia kenakan. Ngomong-ngomong, Lumiere saat ini mengenakan setelan kerja laki-laki namun dalam versi perempuannya. Ini sedikit membedakan antara Era Magdalena dengan Era Joan ataupun Era Victoria. Di mana, para perempuan bangsawan dibebaskan memilih pekerjaan mereka serta cara berpakaian.
Gaun-gaun mewah bagi para wanita yang memilih bekerja hanya mereka kenakan saat menghadiri sebuah pesta. Dan juga, tidak ada norma sosial yang membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan.
"Tidak terasa, sudah jam segini!" ujar Lumiere yang cukup terkejut dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam saku miliknya.
"Kalau sekolah di sini... berarti Universitas Durham?" tanya seorang pria tua yang bersurai coklat terang yang hampir mirip dengan rambut Lumiere.
Pria tua tersebut membalik tubuhnya menghadap seorang pria paruh baya yang sedang meminum bir kemudian berujar, "Bos, antarkan dia! Kalian satu arah bukan?"
***
Suara bel pertanda jam mata pelajaran akan segera dimulai mulai terdengar di sekitar bangunan tua yang diketahui sebagai Universitas Durham, universitas tertua ketiga di Inggris sekaligus termasuk dari 3 universitas terbaik di kerajaan ini.
Sebuah gerobak yang ditarik oleh seekor kuda tampak melaju dengan tempo sedang menghampiri bangunan tua tersebut. Gerobak tersebut dinaiki oleh seorang gadis cantik bersurai coklat keemasan. Gerobak tersebut berhenti tepat di depan gerbang bangunan tua yang ramai dipenuhi oleh para siswa.
"Pagi, Profesor! Anda tersesat lagi? Hari ini keretanya keren!"
Suara bariton seorang siswa menginterupsi kedatangan Lumiere. Sang Gadis tersenyum jenaka menanggapi sapaan yang diselipkan candaan yang dilontarkan oleh anak didiknya.
"Pagi juga, Vincent! Kamu baru datang juga, ya?" balas Lumiere seraya bersiap untuk turun dari gerobak tersebut.
Pria paruh baya yang mengendarai kuda penarik gerobak ini mengernyit heran begitu mendengar percakapan kedua bangsawan ini. Diam-diam ia mencuri pandang pada Lumiere yang sudah turun dari gerobak ini.
"Julukannya terdengar seperti dibuat-buat, ya."
Pria paru baya tersebut tersentak terkejut ketika ia asyik mencuri pandang Lumiere —bermaksud mengamati penampilan sang gadis yang dipanggil profesor tersebut— mendadak sang gadis bersuara.
"Tapi itu serius, kok." Lumiere menatap pria paruh baya tersebut dengan ekspresi wajah yang menghangat dan tidak lupa dibubuhi oleh sebuah senyuman yang sama hangatnya, "Aku profesor matematika di sini."
"Profesor Wysteria, para siswa sudah menunggu Anda!"
Teriakan dari seorang pria tua menginterupsi percakapan di antara mereka berdua. Dengan terburu-buru Lumiere memasuki universitas. Sedangkan pria paruh baya tersebut tampak tercengang dan sedikit tidak percaya dengan fakta yang baru saja ia terima.
"Permisi dulu ya. Terima kasih sudah mengantarku, Pak Hendrik!"
Pria paruh baya yang dipanggil Pak Hendrik barusan kembali tersentak karena terlalu asyik menyelami pikirannya. Ia kembali menatap kepergian Lumiere yang telah menghilang, berbaur dengan para siswa.
“Profesor Wysteria Anda baru pindah, bukan? Apakah saya boleh berkunjung?”
“Oh tentu, silahkan. Kebetulan kakak saya belum kembali ke London untuk kembali berdinas.”
Samar-samar Pak Hendrik mendengar percakapan yang sepertinya dibangun oleh Lumiere dan salah satu guru di universitas ini.
"Pikiranku seperti terbaca olehnya saja. Benar-benar orang yang aneh dan langka. Penampilannya seperti seorang murid, atau bahkan umurnya malah seusia dengan para muridnya?" gumam Pak Hendrik seraya melajukan kembali kuda yang menyeret gerobak miliknya.
Wajah Pak Hendrik tiba-tiba mengeras dan terlihat tercengang saat ia baru saja menyadari sesuatu. Bagaimana bisa Nona Bangsawan itu tahu namanya?
***
Teng! Tong! Teng! Tong!Suara bel berdenting keras masih bisa didengar oleh telinga Lumiere walaupun ia sudah meninggalkan area universitas sejauh 1km. Sang gadis berjalan dengan santai sembari sesekali melirik jam saku miliknya, menghitung berapa waktu yang harus ia tempuh dari universitas ke vila."30 menit jalan kaki dari kampus sampai rumah. Bukankah itu jarak yang pas untuk sekedar berjalan-jalan menikmati pemandangan kota kecil ini?"Mata Lumiere tidak sengaja menatap seorang pedagang buah yang lapak jualannya cukup ramai dikunjungi oleh pembeli. Mendadak Lumiere ingin memakan apel ketika melihat setumpuk apel merah yang terlihat segar dan menggugah selera makannya.Dengan langkah anggun khas seorang bangsawan, Lumiere berjalan menghampiri lapak pedagang buah tersebut. Menembus celah kerumunan pembeli untuk menanyakan buah yang akan ia beli."Ada apel?" tanya Lumiere seraya memamerkan senyuman ramahnya kepada penjual buah te
Sesuai dengan apa yang Lucius ucapkan kepada Lumiere, Keluarga Wysteria yang hanya terdiri dari Lucius, Lumiere, dan Lucian mengunjungi kediaman Baron Rogue. sang Baron yang merupakan penguasa tanah Durham ini mengundang mereka dalam rangka menyambut kepindahan mereka di kota ini, hal tersebut merupakan sudah menjadi tradisi tambahan bagi para bangsawan untuk menyambut sesamanya (dalam artian, sama-sama seorang bangsawan) saat mengunjungi wilayah kekuasaan mereka.Kediaman Baron Rogue terlihat sedikit lebih kecil daripada kediaman mereka di Kota Durham. Letaknya pun cukup jauh dari pusat kota dan menyendiri. Maksudnya, tidak ada satupun tetangga di sini. Seolah-olah Sang Baron menjauhkan dirinya dari pergaulan di pusat kota. Karena Baron Rogue memandang rakyat Durham sebagai orang rendahan yang setara dengan ternak."Mungkin ini tidak semewah makan malam di London. Tapi, silahkan dinikmati!"Suasana di meja makan p
Sesuai yang dikatakan Lumiere tempo hari. Pada hari minggu, para petani yang menyewa tanah di tanah milik Keluarga Wysteria melakukan pengukuran ulang. Lucius, Lumiere, dan Lucian datang dengan pakaian santai mereka. Saking santainya, mereka terlihat seperti bukanlah seorang bangsawan. Hal tersebut membuat para warga tercengang dan terlihat tidak mempercayai apa yang mereka lihat.Kegiatan pengukuran ulang tanah sewaan berjalan lancar tanpa ada kendala apa pun. Para petani juga mendapatkan beberapa penjelasan tambahan dari Lumiere perihal tanaman apa saja yang dapat mereka tanam di tanah ini. Setelah menyelesaikan pengukuran, Lucian selaku pengurus Administrasi dan Wilayah kekuasaan menetapkan harga sewa per meternya.Para petani yang menerima jumlah harga yang harus mereka bayarkan terkejut begitu mengetahui nominalnya. Harga sewa yang jauh lebih murah dari pada yang ditetapkan oleh Baron Rogue.Esoknya, berita tentang harga sewa tanah di wilayah Wysteria
Pada malam harinya, Baron Rogue menatap peta Kota Durham dan sesekali memijit pelipisnya yang berdenyut. Kepalanya pusing karena memikirkan satu persatu tanah di wilayah kekuasaannya ditinggalkan oleh penyewa.Baron Rogue mengerang, membanting kasar peta tersebut ke meja, “Ugh... kalau begini terus, pemasukanku ke depan ...”Tok! Tok! Tok!Pintu ruang kerja Baron Rogue diketuk tiga kali dan kemudian terbuka cukup lebar, menampilkan salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya. Pria berpakaian rapi tersebut tampaknya ingin menyampaikan sesuatu kepada majikannya tersebut.“Tuan, Keluarga Earl Wysteria dan Tuan Hendrik, sudah tiba.” Pelayan tersebut tanpa basa-basi lagi langsung menyampaikan kabar tersebut. Baron Rogue mengernyitkan dahinya saat mendengar nama yang cukup asing terdengar di telinganya.“Baiklah. Antarkan mereka ke ruang makan!”Si Pelayan itu mengangguk dan bergegas menjalan
“Bayaranku yang sebenarnya adalah hidupku ini akan kuserahkan pada Nona Wysteria.”Baron Rogue terkejut bukan main. Kalau begitu, bagaimana caranya ia membayar dua kali lipat dari yang Michelle bayarkan kepada Lumiere? Pria tua ini masih ingin hidup.“Nah ...” ujar Lumiere memberi jeda untuk ia menegakkan kembali tubuhnya dan kembali memberikan tatapan tajam pada sang Baron, “... ada soal matematika. 10 × 0 tetap 0! Apa Anda berani bayar 20 kali nyawa Anda?”Baron Rogue memandang Lumiere dengan ekspresi penuh penyesalana, “Ma–maaf. Maafkan aku atas apa yang sudah kulakukan.”Permintaan maaf yang tidak terduga itu tampaknya membuat Pak Hendrik dan Michelle terkejut. Sedangkan Lumiere hanya memasang wajah datar tanpa berniat menunjukkan reaksinya. Namun, itu tidak bertahan lama. Karena selanjutnya, Lumiere menoleh ke arah Pak Hendrik dan Michelle.“Bagaimana?
Suara ketukan yang dihasilkan dari kapur tulis yang bertemu dengan papan tulis hijau terdengar memenuhi salah satu ruang belajar di Universitas Durham. Kelas matematika yang dibimbing oleh Profesor Lumiere Crowe Wysteria sedang berlangsung.Para siswa yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki ini tampak fokus memperhatikan apa yang Lumiere jelaskan. Sang gadis begitu cakap dalam menjelaskan rumus-rumus persamaan yang bagi para murid cukup sulit untuk dikerjakan."Baiklah. Sampai di sini, ada yang dipertanyakan?" Tanya Lumiere setelah menyelesaikan menulis materi yang sedang ia ajarkan kepada anak didiknya."Profesor!" Suara ini berasal dari bangku paling atas ruang belajar ini. Seorang pria berparas tampan tampak mengangkat sebelah tangannya guna menarik atensi sang profesor muda tersebut, "Bisakah Anda menceritakan masa kecil Anda?"Lumiere cukup terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga tersebut. Dengan kata lain, mereka ingin menanyakan sesuat
Tok! Tok! Tok!Si Gadis kecil bermata biru langit dengan perlahan membuka pintu berdaun dua tersebut setelah mendengar sahutan dari dalam. Ruang baca dengan dekorasi mewah dan seorang wanita cantik menjadi pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatan si Gadis.“Saya sudah kembali,” ujar si Gadis seraya melangkah menghampiri sang Wanita yang merupakan Countess Wysteria.“Suratku sudah kau kirimkan?” Tanya Countess Wysteria tanpa menatap si Gadis dan lebih memilih melanjutkan kegiatan membaca bukunya.Si Gadis tersenyum manis dengan kedua matanya yang terpejam. Terlihat sangat jelas bahwa senyumannya tidak begitu tulus ia keluarkan, “Ya, Ibu.”Mendengar kata ‘ibu’ yang terucap dari mulut si Gadis. Countess Wysteria mendelik tajam kepadanya, berdiri secepat mungkin dan kemudian berteriak, “JANGAN SALAH PAHAM, YA! MERAWAT ANAK YATIM PIATU ITU CUMA KEWAJIBAN SEORANG BANGSAWAN! INI TINDAKAN AMAL! MANA SUDI MENG
Setelah menganiaya Lucy, waktu terus bergulir. Matahari yang selama setengah hari duduk manis pada singgasana, menyinari Tanah Inggris dengan kehangatan sinarnya yang terkadang terasa menyengat ketika di musim panas, telah tergantikan dengan bulan yang bersinar lembut. Walaupun hari telah menjadi gelap, aktivitas masyarakat di Kota London tidaklah berhenti begitu saja.Sebagian besar masyarakat yang merupakan bagian dari ‘Kelas Pekerja’ masih beraktivitas, dan sebagian lagi yang merupakan kaum bangsawan lebih memilih beristirahat di kediaman mereka yang super mewah. Beristirahat sembari menikmati makan malam yang mewah, kemudian dilanjut tidur di kasur yang empuk dan hangat.Termasuk Keluarga Wysteria yang saat ini sedang menikmati makan malam mereka. Berbagai menu makanan mewah tersedia di hadapan mereka yang berjumlah empat anggota keluarga. Dimulai dari daging steak yang berkualitas tinggi, olahan Jamur Truffle Putih yang pada saat ini harganya men
Kedua alis Lumiere saling bertaut. Gadis bersurai cokelat madu tersebut tampaknya sangat tidak menyukai apa yang baru saja ia dengar.Inggrid Rovein, pria yang menjadi target misi mereka kali ini tersebut, sedari tadi melontarkan bualan tentang kesehatan dan sumber ketakutan manusia. Pria beralis tebal tersebut pria tersebut mengatakan, kematian merupakan sumber ketakutan palin dasar yang diderita oleh manusia. Meskipun seorang manusia telah menjaga kesehatannya, dan bahkan memiliki kekayaan yang banyak, mereka tidak dapat menghindari kematian yang kedatangannya tidak bisa diprediksi tersebut.Dan hal yang semakin membuat Lumiere merasa muak adalah, pria itu dengan santainya mengatakan bahwa, ia telah menemukan cara untuk hidup kembali setelah mengalami kematian. Perhatian Lumiere pun kini tertuju pada sebuah peti mati yang telah terbuka, menampilkan sesosok mayat seorang perempuan, usianya diperkirakan baru menginjak delapan belas tahun. Kulitnya terl
Miya, bahkan sampai Lucian pun memandang takjub kapal pesiar mewah dan berukuran besar di hadapan mereka.“Jadi ... ini adalah kapal RMS Titanic yang pernah karam ribuan tahun yang lalu?” tanya Miya seraya memalingkan pandangannya ke arah Reynox. “Kau beruntung sekali bisa ikut naik ke kapal besar itu.”Reynox berdecak, memilih untuk mengabaikan Miya. Kedua netra emasnya yang tajam itu mengamati seluruh bagian dari tubuh kapal berukuran super besar tersebut. Reynox tahu soal tenggelamnya sebuah kapal, yang kisahnya menjadi legendaris hingga ribuan tahun tersebut. Dan Reynox sendiri menjadi ragu, apakah kapal kedua dari RMS Titanic ini akan memiliki nasib yang sama seperti kakaknya, atau tidak.“Tolong antarkan barang bawaan kami di kamar nomor A12 kelas satu,” ujar Peter pada seorang petugas kapal yang menghampirinya. Setelah memastikan petugas kapal tersebut mengangkut barang bawaannya dan Lumiere, Peter meng
Lumiere membenarkan kembali letak topeng pesta yang sedang dipakai olehnya. Gadis bersurai cokelat madu tersebut kemudian memantapkan kembali hatinya, memantapkan niatnya untuk mengunjungi pasar gelap yang dikelola oleh pemerintah Inggris.“Tidak perlu takut,” bisik Peter yang memaksa untuk ikut. Pria itu membantu istrinya tersebut untuk merapikan penampilannya tersebut. “Kita hanya perlu melakukan penyelidikan, tanpa membuat keributan apa pun selain mau membeli manusia yang akan dijajakan oleh mereka.”Lumiere mengangguk, mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah tampan Peter yang bersembunyi dibalik tudung jubah yang pria itu kenakan tersebut. “Sepertinya, setelah ini kamu harus memotong rambutmu.”“Benarkah? Sayang sekali kalau dipotong,” ujar Peter seraya menaik turunkan alisnya, bermaksud menggoda Lumiere. “Padahal kamu sangat menyukai rambut panjangku ini.”“Atau uba
“Ini informasi terkait Inggrid Rovein yang kamu minta.”Lumiere menerima satu bundel dokumen yang diserahkan oleh Ashen tersebut. Gadis bersurai cokelat madu itu langsung membacanya. Tenggelam dalam ribuan kosa kata yang tertulis di sana, menyampaikan informasi tentang sesosok Inggrid Rovein yang terasa misterius sekaligus terasa tidak asing tersebut.“Dia ... satu jenis dengan Charles Evanescene,” ujar Ashen yang membuat Lumiere dan Peter menatapnya terkejut. “Ada sedikit perbedaan di antara mereka. Charles melakukan pemerasan untuk melihat kesengsaraan orang lain. Sedangkan Inggrid ... dia murni melakukannya untuk mendapatkan seseorang.”“Hah?” Kedua alis Peter terangkat, merasa bingung dengan maksud dari perkataan Ashen tersebut. “Apa maksudnya?”“Perdagangan manusia,” jawab Ashen dengan wajah yang menggelap karena menahan amarahnya. “Inggrid melakukan hal te
Darius menggigiti kuku-kuku jari tangannya. Pria paruh baya tersebut terlihat cemas lantarana putra dan calon menantunya tersebut menghilang sejak kemarin.“Sayang, sudahlah,” ujar Viona terlihat santai memandangi jari-jari tangannya yang terlihat indah tersebut. “Mereka pasti sedang pergi ke suatu tempat untuk menikmati waktu bersama. Sebentar lagi juga mereka akan pulang.”“Ini sudah hampir siang hari, Viona!” bentak Darius yang membuat Viona tersentak terkejut. “Mana mungkin mereka pergi selama ini.”“Ya terus kita harus bagaimana? Mencari mereka? Kita saja tidak tahu mereka pergi ke mana!” Viona balik membentak, karena merasa kesal setelah dibentak oleh Darius tersebut. “Kita tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Lebih baik kamu duduk tenang dan menunggu kedatangan mereka. Mereka pasti pulang.”Perdebatan mereka kemudian terhenti saat mendengar suara ketukan p
Kediaman Keluarga Wysteria, sekaligus markas MI6, digegerkan oleh kedatangan Arnold Rudeus yang membuat keributan di pagi hari. Bahkan pria bertempramen buruk itu sampai merangsek maju dan menerobos masuk. Sampai-sampai membuat Reynox harus turun tangan karena sama-sama bertubuh besar.Tujuan Arnold melakukan hal tersebut adalah, untuk merebut kembali Alyn yang diculik oleh Lucius kemarin pagi. Namun pada kenyataannya, Lucius hanya menyelamatkan Alyn dan kekejaman Arnold. Yang tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita.“Tenangkan dirimu, Bung!” bentak Reynox seraya menahan tubuh besar Arnold yang hendak menerobos masuk semakin dalam. Bahkan, Reynox harus mengeluarkan seluruh kekuatan tubuhnya agar bisa menghentikan pergerakan Arnold.“Minggir! Aku harus membawa pulang Alyn!” rutuk Arnold berusaha terus melangkah maju.“Jangan membuat kekacauan di kantorku, Tuan Muda Rudeus!”Ba
Alyn mengernyit ketakutan ketika apa yang terjadi pada hari itu, hari di mana ia disiksa oleh Arnold, kembali terlihat di matanya. Bukan hanya melihat adegan tersebut, Alyn juga mampu merasakan perasaan takut yang ia rasakan pada saat itu.Dan ketika adegan itu beralih, di mana Arnold menindih tubuhnya tersebut, Alyn tersentak dan terbangun dari tidurnya. Bahkan terduduk dalam satu kali gerakan hingga membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dan pada saat itu pula Alyn mulai menyadari, ini bukanlah kamarnya.Alyn menolehkan kepalanya saat merasakan pergerakan pada kasur di sisi kanan. Membulatkan matanya saat melihat Lucius yang sedang menggeliat tidak nyaman, terlihat sekali bahwa tidur pria berwajah tampan tersebut terusik karena dirinya.“Sudah bangun?” tanya Lucius seraya membuka matanya, dan mendapati wajah ketakutan Alyn. “Kamu bermimpi buruk?”GREP!Lucius tersenyum lembut saat Aly
“Dari mana saja kamu? Seharian tidak pulang ke rumah dan tanpa kabar pergi ke mananya.”Tubuh Alyn membeku saat terdengar pertanyaan bernada rendah dan penuh amarah, ketika ia baru saja memasuki kediaman Baron Rudeus tersebut. Alyn mendadak kikuk, tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh tunangannya tersebut.“Aku diajak pergi oleh Suster Diana untuk mengunjungi pusat kota. Karena terlalu malam ketika sampai di panti, aku menginap di sana,” jawab Alyn setelah terdiam selama beberapa saat hanya untuk mengumpulkan keberaniannya tersebut. “Maafkan aku jika telah membuatmu khawatir, Arnold.”“Kau kira aku mudah dibohongi hah!” pekik Arnold merasa geram dengan kebohongan Alyn yang mudah terendus olehnya tersebut. “Kau pikir aku bodoh? Aku mendatangi panti asuhan tempat di mana kamu berasal itu semalam! Mereka mengatakan jika kamu tidak mengunjungi mereka. Dan justru per
Tubuh Alyn kembali membeku, dengan senyuman manisnya yang melebar ketika ia kembali mendapati Lucius tengah menunggunya di depan gerbang panti asuhan. Gadis bersurai hitam legam tersebut tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, karena kembali bertemu dengan Lucius. Bahkan, Alyn terlihat menari-nari kecil sembari mendekati Lucius. Membuat pria yang berada di hadapannya kini itu, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.“Sesenang itukah kamu bertemu denganku?” tanya Lucius begitu Alyn berdiri di hadapannya.Alyn mengangguk antusias, “Kita bertemu lagi, Lucius.”“Senang bertemu denganmu, Alyn.”Keduanya kemudian berjalan-jalan memutari taman, sembari menikmati jajanan pinggir jalanan untuk mengganjal perut mereka. Saling bertukar cerita, walaupun percakapan itu didominasi oleh Alyn. Namun, mereka terlihat begitu serasi dan dekat, terlihat seakan-akan mereka adalah sepasang suami istri yang masih merasakan p