Teng! Tong! Teng! Tong!
Suara bel berdenting keras masih bisa didengar oleh telinga Lumiere walaupun ia sudah meninggalkan area universitas sejauh 1km. Sang gadis berjalan dengan santai sembari sesekali melirik jam saku miliknya, menghitung berapa waktu yang harus ia tempuh dari universitas ke vila.
"30 menit jalan kaki dari kampus sampai rumah. Bukankah itu jarak yang pas untuk sekedar berjalan-jalan menikmati pemandangan kota kecil ini?"
Mata Lumiere tidak sengaja menatap seorang pedagang buah yang lapak jualannya cukup ramai dikunjungi oleh pembeli. Mendadak Lumiere ingin memakan apel ketika melihat setumpuk apel merah yang terlihat segar dan menggugah selera makannya.
Dengan langkah anggun khas seorang bangsawan, Lumiere berjalan menghampiri lapak pedagang buah tersebut. Menembus celah kerumunan pembeli untuk menanyakan buah yang akan ia beli.
"Ada apel?" tanya Lumiere seraya memamerkan senyuman ramahnya kepada penjual buah tersebut.
"Ada. Mau beli berapa buah?"
Para pembeli dan juga pedagang buah tersebut yang seorang wanita tua tampak terkejut dengan kehadiran Lumiere yang memamerkan senyuman hangatnya. Di mata mereka, terlihat jelas dari pakaiannya bahwa sang gadis adalah seorang nona bangsawan.
"Yang mau beli buah apel, Anda? Nona bangsawan?" tanya si wanita tua tersebut dengan wajah bingung bercampur tidak percaya. Ia tidak percaya, seorang bangsawan membeli buah secara langsung tanpa meminta pelayannya yang membelikan.
Lumiere memasang ekspresi bingung yang sangat terbaca oleh si wanita tua tersebut, "Benar. Lalu, siapa lagi kalau bukan saya?"
"Baru kali ini aku menjual buah ke bangsawan secara langsung tanpa perantara." Ah. Jadi itu maksud dari pertanyaannya.
Lumiere hanya tersenyum canggung tanpa berniat membalas ucapan si wanita tua tersebut yang mulai mengambilkan beberapa buah apel dan memasukkannya ke dalam kantung kertas.
"Oh! Kamu yang namanya Profesor Wysteria itu ya? Pagi ini aku melihatmu diantarkan oleh Si Hendrik ke kampus. Bisa juga ya kamu memintanya! Hahaha"
"Tapi... aku benar-benar terkejut. Seorang bangsawan membeli sesuatu secara langsung tanpa perantara pelayannya? Itu pertama kali kulihat dari bangsawan yang biasanya bersikap congkak dan sombongnya setinggi angkasa," ujar si wanita tus tersebut seraya menyerahkan kantung kertas berisi apel kepada Lumiere.
Lumiere lantas langsung menerimanya, "Kami baru pindah ke sini. Jadi, belum merekrut pelayan untuk bekerja di kediaman kami. Lagi pula, kami hanya tiga bersaudara. Tidak ada satu pelayan pun tidak masalah."
"Bukankah Anda harus dibantu oleh pelayan ketika berganti pakaian? Para nona bangsawan yang aku tahu begitu." Ucapan si wanita tua membuat sudut bibir Lumiere terangkat sedikit. Seakan-akan ia ingin segera melepaskan tawanya begitu mendengar kalimat tersebut.
"Itu tidak benar. Saya mandiri dan pakaian yang saya pakai sederhana. Tanpa perlu menggunakan korset yang ketat dan juga gaun berumbai," sahut Lumiere tersenyum hangat sekali lagi yang membuat si wanita tua itu tampak tertegun.
"Tapi ya... seberapa mandirinya kalian, kalian itu makhluk yang berbeda dari kami. Selamanya tak akan menjadi bagian dari kota ini yang didominasi oleh rakyat jelata."
Mata Lumiere perlahan terbuka. Sesuatu seperti air es tumpah di atas kepalanya begitu ucapan si wanita tua itu terdengar di telinganya. Secara tidak langsung, Lumiere mendapatkan peringatan untuk menjaga jarak terhadap mereka sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
Tatapan mata Lumiere sejenak menyendu dan kemudian kembali menajam, membawa wibawa khas seorang bangsawan.
"Sepertinya, semua orang di kota ini mempunyai penderitaan yang sama akibat dari tingkah laku seorang bangsawan pemilik tanah di sini."
Si wanita tua itu tampak bingung dengan penuturan Lumiere yang terkesan tenang namun menusuk. Tanpa memperlihatkan bahwa ia penasaran dengan apa yang akan sang gadis kembali ucapkan, wanita tua itu melirik cukup tajam pada Lumiere.
"Maukah Anda mendengar cerita saya?"
"Ya? Apa maksud And—"
"Selain pengajar, sebenarnya saya punya satu pekerjaan lain."
Sebelah alis si wanita tua terangkat, ia menjadi penasaran dengan kelanjutan kalimat yang akan Lumiere ucapkan.
"Saya juga seorang konsultan pribadi," sambung Lumiere tersenyum tulus, "Kalau Anda punya masalah yang rumit, saya akan bantu untuk memecahkannya."
Si wanita tua itu tampak tersenyum mengejek namun tidak sepenuhnya ia mengejek si nona bangsawan ini.
"Hoo... anak sombong, berani ngomong seperti itu ke orang tua?" tanya sang wanita tua tersebut melepaskan tawa yang cukup keras dan kemudian ekspresi wajahnya menyendu bersamaan dengan tawa itu mereda, "Kota Durham ini turun temurun dikuasai dua keluarga bangsawan. Satunya itu merupakan pemilik vila yang kalian beli. Nasibnya cukup malang untuk kalangan bangsawan. Putus turunan bertahun-tahun lalu. Begitu si bangsawan mati, ia tidak memiliki ahli waris dan terpaksa mengakhiri riwayat keluarga lalu menjual rumah itu."
Lumiere terdiam, menjadi pendengar yang baik bagi sang wanita tua yang bersiap untuk melanjutkan ceritanya.
"Satunya lagi adalah Baron Rogue. Dia tinggal menyendiri di utara kota ini. Orang-orang di sini selalu disengsarakan oleh mereka berdua. Namun, orang-orang semakin disengsarakan oleh Baron Rogue."
" ‘Iblis menggoda manusia dalam wujud roh kudus.’ Apakah kutipannya benar? Aku dengar kutipan itu sudah sejak 2000 tahun yang lalu." Si wanita tua itu tertawa jenaka saat ia menyinggung sebuah kutipan yang sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu.
Si wanita tua itu kembali melanjutkan ceritanya, "Pendahulu mereka awalnya menyewakan tanah kepada kami dengan harga murah, serta membelikan peralatan untuk bertani dan dibayar secara bertahap. Tapi, semenjak beberapa generasi. Sewa tanahnya naik. Begitu di generasi Baron Eugene Rogue, buruh tani mulai ditarik pajak. Menyisakan sedikit uang sekadarnya agar kami tak mati. Dengan kata lain, kami hanyalah budak di mata mereka."
***
Lumiere berjalan pelan, ia tampaknya masih memikirkan ucapan si wanita tua penjual buah dan membuat perasaannya kacau.
“Aku tak bilang semua bangsawan itu jahat. Tapi, seberapa ramah pun kamu bersikap kepada kami. Kamu tetap bagian dari mereka. Jadi, jagalah jarak dengan rakyat jelata seperti kamu dan jalankan saja Noblesse Oblige mu.”
Ekspresi Lumiere semakin menggelap ketika ia mengingat kalimat terakhir dari cerita panjang sang wanita tua tersebut.
“Ini merupakan saran dari orang yang sudah lama menjalani kehidupan yang keras.”
Dengan kata lain, secara tidak langsung, wanita tua itu mengatakan bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Semua hal yang terjadi di dunia ini adalah mutlak, seakan-akan tidak akan pernah bisa diganti oleh seseorang. Dan jujur saja, Lumiere merasa marah terhadap kenyataan yang wanita tua itu gunakan untuk menampar batinnya.
Namun, bukan Lumiere jika menyerah hanya karena ucapan seorang wanita tua. Lumiere kembali menumpuk rasa percaya dirinya dan berusaha kembali optimis terhadap dunia ideal yang akan ia wujudkan.
Lumiere mendongak, mendapati sang kakak tengah berhadapan dengan 3 orang pria paruh baya yang masing-masing dari mereka memegang sebuah kantung yang sepertinya berisi uang.
"Kakak!" panggil Lumiere, membuat Lucius menoleh kepadanya.
"Oh! Selamat datang, Lumie," balas Lucius tersenyum lembut kepada sang adik.
"Sedang apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Lumiere begitu ia mendekati Lucius dan 3 pria paruh baya tersebut.
"Mereka adalah buruh tani dan sepertinya lahan mereka ada di wilayah kita," jawab Lucius kelewat tenang tanpa memalingkan sedikit pun wajahnya dari Lumiere.
Lumiere lantas menatap ketiga pria paruh baya tersebut. Mereka masih memegangi kantung uang dengan tangan yang penuh luka. Hal tersebut semakin membuat emosi Lumiere semakin memuncak. Padahal, dia sudah cukup tenang. Tapi sekarang?
"Mereka datang membawa uang sewa lahan bulan ini. Tapi, sepertinya tidak cukup ya," sambung Lucius yang menangkap ekspresi tidak enak di wajah sang adik. Maksudnya, Lucius jarang sekali melihat ekspresi ini. Merasa marah namun tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Kau bisa menyebutnya ekspresi kekecewaan.
"Kontrak yang ada, kita batalkan! Hari minggu nanti kita lakukan survei tanah dan kemudian menetapkan ulang harga sewa tanah berdasarkan luasnya. Isi kontrak yang sekarang benar-benar di luar akal dan terlalu menguntungkan satu pihak!"
3 pria paruh baya hanya terdiam, tidak tahu harus membalas seperti ucapan Lumiere yang terdengar seperti sedang memarahi mereka.
"Baiklah kalau begitu, kami akan datang kembali hari minggu nanti."
"Kami permisi dulu."
Ketiga pria paruh baya tersebut membungkuk, memberi hormat sebagaimana norma sosial yang berlaku dan kemudian mereka pergi meninggalkan kediaman Keluarga Wysteria. Lucius kembali memperhatikan sang adik, merasa asing dengan ekspresi yang dikeluarkan sang gadis saat ini. Seperti, ah jarang sekali aku melihat ekspresi kekecewaan ditampilkan di wajah cantiknya itu.
“Tumben sekali kamu berekspresi seperti itu? Apa ada sesuatu?" tanya Lucius seraya menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap kepergian ketiga pria paruh baya tersebut yang sudah menjauh.
"Tidak. Hanya ada seseorang bilang kepadaku, aku tak bisa apa-apa sebaik apa pun yang kulakukan."
Lucius kembali memusatkan seluruh perhatiannya. Kali ini ia dibuat terkejut dengan tatapan sendu yang sang adik pancarkan dari mata biru langitnya. Angin berhembus, membuat surai coklat keemasan dan hitam pekat milik kedua kakak beradik itu menari-nari. Alam seakan mendukung suasana suram yang menyelimuti mereka.
"Dan karena itu kau berekspresi suram seperti itu?" Lucius kembali bertanya. Sebelah tangannya menopang dagunya, merupakan kebiasaan sang kepala keluarga Wysteria ketika akan memasuki area percakapan serius, "Kita dapat melihat bagaimana perlakuan tuan tanah sebelumnya kepada mereka."
"Itu mata orang diperbudak." Mata Lumiere tampak sedikit melebar saat Lucius mengatakannya.
"'Neraka sudah kosong dan semua iblis ada di dunia'"
Lucius kembali menoleh kepada sang adik. Sebuah senyuman lembut kembali terpatri di bibir tebal sang Adam, "Kita mendapatkan undangan makan malam di kediaman Baron Rogue. Bersiap-siaplah!"
***
Sesuai dengan apa yang Lucius ucapkan kepada Lumiere, Keluarga Wysteria yang hanya terdiri dari Lucius, Lumiere, dan Lucian mengunjungi kediaman Baron Rogue. sang Baron yang merupakan penguasa tanah Durham ini mengundang mereka dalam rangka menyambut kepindahan mereka di kota ini, hal tersebut merupakan sudah menjadi tradisi tambahan bagi para bangsawan untuk menyambut sesamanya (dalam artian, sama-sama seorang bangsawan) saat mengunjungi wilayah kekuasaan mereka.Kediaman Baron Rogue terlihat sedikit lebih kecil daripada kediaman mereka di Kota Durham. Letaknya pun cukup jauh dari pusat kota dan menyendiri. Maksudnya, tidak ada satupun tetangga di sini. Seolah-olah Sang Baron menjauhkan dirinya dari pergaulan di pusat kota. Karena Baron Rogue memandang rakyat Durham sebagai orang rendahan yang setara dengan ternak."Mungkin ini tidak semewah makan malam di London. Tapi, silahkan dinikmati!"Suasana di meja makan p
Sesuai yang dikatakan Lumiere tempo hari. Pada hari minggu, para petani yang menyewa tanah di tanah milik Keluarga Wysteria melakukan pengukuran ulang. Lucius, Lumiere, dan Lucian datang dengan pakaian santai mereka. Saking santainya, mereka terlihat seperti bukanlah seorang bangsawan. Hal tersebut membuat para warga tercengang dan terlihat tidak mempercayai apa yang mereka lihat.Kegiatan pengukuran ulang tanah sewaan berjalan lancar tanpa ada kendala apa pun. Para petani juga mendapatkan beberapa penjelasan tambahan dari Lumiere perihal tanaman apa saja yang dapat mereka tanam di tanah ini. Setelah menyelesaikan pengukuran, Lucian selaku pengurus Administrasi dan Wilayah kekuasaan menetapkan harga sewa per meternya.Para petani yang menerima jumlah harga yang harus mereka bayarkan terkejut begitu mengetahui nominalnya. Harga sewa yang jauh lebih murah dari pada yang ditetapkan oleh Baron Rogue.Esoknya, berita tentang harga sewa tanah di wilayah Wysteria
Pada malam harinya, Baron Rogue menatap peta Kota Durham dan sesekali memijit pelipisnya yang berdenyut. Kepalanya pusing karena memikirkan satu persatu tanah di wilayah kekuasaannya ditinggalkan oleh penyewa.Baron Rogue mengerang, membanting kasar peta tersebut ke meja, “Ugh... kalau begini terus, pemasukanku ke depan ...”Tok! Tok! Tok!Pintu ruang kerja Baron Rogue diketuk tiga kali dan kemudian terbuka cukup lebar, menampilkan salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya. Pria berpakaian rapi tersebut tampaknya ingin menyampaikan sesuatu kepada majikannya tersebut.“Tuan, Keluarga Earl Wysteria dan Tuan Hendrik, sudah tiba.” Pelayan tersebut tanpa basa-basi lagi langsung menyampaikan kabar tersebut. Baron Rogue mengernyitkan dahinya saat mendengar nama yang cukup asing terdengar di telinganya.“Baiklah. Antarkan mereka ke ruang makan!”Si Pelayan itu mengangguk dan bergegas menjalan
“Bayaranku yang sebenarnya adalah hidupku ini akan kuserahkan pada Nona Wysteria.”Baron Rogue terkejut bukan main. Kalau begitu, bagaimana caranya ia membayar dua kali lipat dari yang Michelle bayarkan kepada Lumiere? Pria tua ini masih ingin hidup.“Nah ...” ujar Lumiere memberi jeda untuk ia menegakkan kembali tubuhnya dan kembali memberikan tatapan tajam pada sang Baron, “... ada soal matematika. 10 × 0 tetap 0! Apa Anda berani bayar 20 kali nyawa Anda?”Baron Rogue memandang Lumiere dengan ekspresi penuh penyesalana, “Ma–maaf. Maafkan aku atas apa yang sudah kulakukan.”Permintaan maaf yang tidak terduga itu tampaknya membuat Pak Hendrik dan Michelle terkejut. Sedangkan Lumiere hanya memasang wajah datar tanpa berniat menunjukkan reaksinya. Namun, itu tidak bertahan lama. Karena selanjutnya, Lumiere menoleh ke arah Pak Hendrik dan Michelle.“Bagaimana?
Suara ketukan yang dihasilkan dari kapur tulis yang bertemu dengan papan tulis hijau terdengar memenuhi salah satu ruang belajar di Universitas Durham. Kelas matematika yang dibimbing oleh Profesor Lumiere Crowe Wysteria sedang berlangsung.Para siswa yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki ini tampak fokus memperhatikan apa yang Lumiere jelaskan. Sang gadis begitu cakap dalam menjelaskan rumus-rumus persamaan yang bagi para murid cukup sulit untuk dikerjakan."Baiklah. Sampai di sini, ada yang dipertanyakan?" Tanya Lumiere setelah menyelesaikan menulis materi yang sedang ia ajarkan kepada anak didiknya."Profesor!" Suara ini berasal dari bangku paling atas ruang belajar ini. Seorang pria berparas tampan tampak mengangkat sebelah tangannya guna menarik atensi sang profesor muda tersebut, "Bisakah Anda menceritakan masa kecil Anda?"Lumiere cukup terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga tersebut. Dengan kata lain, mereka ingin menanyakan sesuat
Tok! Tok! Tok!Si Gadis kecil bermata biru langit dengan perlahan membuka pintu berdaun dua tersebut setelah mendengar sahutan dari dalam. Ruang baca dengan dekorasi mewah dan seorang wanita cantik menjadi pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatan si Gadis.“Saya sudah kembali,” ujar si Gadis seraya melangkah menghampiri sang Wanita yang merupakan Countess Wysteria.“Suratku sudah kau kirimkan?” Tanya Countess Wysteria tanpa menatap si Gadis dan lebih memilih melanjutkan kegiatan membaca bukunya.Si Gadis tersenyum manis dengan kedua matanya yang terpejam. Terlihat sangat jelas bahwa senyumannya tidak begitu tulus ia keluarkan, “Ya, Ibu.”Mendengar kata ‘ibu’ yang terucap dari mulut si Gadis. Countess Wysteria mendelik tajam kepadanya, berdiri secepat mungkin dan kemudian berteriak, “JANGAN SALAH PAHAM, YA! MERAWAT ANAK YATIM PIATU ITU CUMA KEWAJIBAN SEORANG BANGSAWAN! INI TINDAKAN AMAL! MANA SUDI MENG
Setelah menganiaya Lucy, waktu terus bergulir. Matahari yang selama setengah hari duduk manis pada singgasana, menyinari Tanah Inggris dengan kehangatan sinarnya yang terkadang terasa menyengat ketika di musim panas, telah tergantikan dengan bulan yang bersinar lembut. Walaupun hari telah menjadi gelap, aktivitas masyarakat di Kota London tidaklah berhenti begitu saja.Sebagian besar masyarakat yang merupakan bagian dari ‘Kelas Pekerja’ masih beraktivitas, dan sebagian lagi yang merupakan kaum bangsawan lebih memilih beristirahat di kediaman mereka yang super mewah. Beristirahat sembari menikmati makan malam yang mewah, kemudian dilanjut tidur di kasur yang empuk dan hangat.Termasuk Keluarga Wysteria yang saat ini sedang menikmati makan malam mereka. Berbagai menu makanan mewah tersedia di hadapan mereka yang berjumlah empat anggota keluarga. Dimulai dari daging steak yang berkualitas tinggi, olahan Jamur Truffle Putih yang pada saat ini harganya men
“Bisa-bisanya ketiduran tanpa mengerjakan tugas! Kalian mengira kasta kalian sedikit lebih tinggi dari kami karena menjadi anak angkat keluarga ini!?” seru seorang wanita tua berpakaian pelayan tajam. Menatap Lucy dan Lucian yang sedang menaiki tangga untuk membersihkan tempat lilin di sepanjang koridor rumah.“Hei, Underclass! Pokoknya, pagi ini 550 tempat lilin harus sudah digosok!” Satu orang pelayan lain menambahkan dengan nada mencemoohnya yang terdengar menjengkelkan bagi Lucian.“kami mau tidur dulu!” ujar si Wanita tua tersenyum meremehkan pada Lucy yang memasang wajah memelas. Dua pelayan ini kemudian pergi meninggalkan mereka berdua yang sedang berkutat dengan tempat lilin.“Kalian tidur saja yang nyenyak, sana!” Suara seorang anak laki-laki terdengar dari gelapnya kegelapan lorong karena hampir semua lilin yang terpasang di setiap sisi tembok telah dimatikan apinya.Pelayan wanita tua yang terkejut lantas mengarahkan
Kedua alis Lumiere saling bertaut. Gadis bersurai cokelat madu tersebut tampaknya sangat tidak menyukai apa yang baru saja ia dengar.Inggrid Rovein, pria yang menjadi target misi mereka kali ini tersebut, sedari tadi melontarkan bualan tentang kesehatan dan sumber ketakutan manusia. Pria beralis tebal tersebut pria tersebut mengatakan, kematian merupakan sumber ketakutan palin dasar yang diderita oleh manusia. Meskipun seorang manusia telah menjaga kesehatannya, dan bahkan memiliki kekayaan yang banyak, mereka tidak dapat menghindari kematian yang kedatangannya tidak bisa diprediksi tersebut.Dan hal yang semakin membuat Lumiere merasa muak adalah, pria itu dengan santainya mengatakan bahwa, ia telah menemukan cara untuk hidup kembali setelah mengalami kematian. Perhatian Lumiere pun kini tertuju pada sebuah peti mati yang telah terbuka, menampilkan sesosok mayat seorang perempuan, usianya diperkirakan baru menginjak delapan belas tahun. Kulitnya terl
Miya, bahkan sampai Lucian pun memandang takjub kapal pesiar mewah dan berukuran besar di hadapan mereka.“Jadi ... ini adalah kapal RMS Titanic yang pernah karam ribuan tahun yang lalu?” tanya Miya seraya memalingkan pandangannya ke arah Reynox. “Kau beruntung sekali bisa ikut naik ke kapal besar itu.”Reynox berdecak, memilih untuk mengabaikan Miya. Kedua netra emasnya yang tajam itu mengamati seluruh bagian dari tubuh kapal berukuran super besar tersebut. Reynox tahu soal tenggelamnya sebuah kapal, yang kisahnya menjadi legendaris hingga ribuan tahun tersebut. Dan Reynox sendiri menjadi ragu, apakah kapal kedua dari RMS Titanic ini akan memiliki nasib yang sama seperti kakaknya, atau tidak.“Tolong antarkan barang bawaan kami di kamar nomor A12 kelas satu,” ujar Peter pada seorang petugas kapal yang menghampirinya. Setelah memastikan petugas kapal tersebut mengangkut barang bawaannya dan Lumiere, Peter meng
Lumiere membenarkan kembali letak topeng pesta yang sedang dipakai olehnya. Gadis bersurai cokelat madu tersebut kemudian memantapkan kembali hatinya, memantapkan niatnya untuk mengunjungi pasar gelap yang dikelola oleh pemerintah Inggris.“Tidak perlu takut,” bisik Peter yang memaksa untuk ikut. Pria itu membantu istrinya tersebut untuk merapikan penampilannya tersebut. “Kita hanya perlu melakukan penyelidikan, tanpa membuat keributan apa pun selain mau membeli manusia yang akan dijajakan oleh mereka.”Lumiere mengangguk, mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah tampan Peter yang bersembunyi dibalik tudung jubah yang pria itu kenakan tersebut. “Sepertinya, setelah ini kamu harus memotong rambutmu.”“Benarkah? Sayang sekali kalau dipotong,” ujar Peter seraya menaik turunkan alisnya, bermaksud menggoda Lumiere. “Padahal kamu sangat menyukai rambut panjangku ini.”“Atau uba
“Ini informasi terkait Inggrid Rovein yang kamu minta.”Lumiere menerima satu bundel dokumen yang diserahkan oleh Ashen tersebut. Gadis bersurai cokelat madu itu langsung membacanya. Tenggelam dalam ribuan kosa kata yang tertulis di sana, menyampaikan informasi tentang sesosok Inggrid Rovein yang terasa misterius sekaligus terasa tidak asing tersebut.“Dia ... satu jenis dengan Charles Evanescene,” ujar Ashen yang membuat Lumiere dan Peter menatapnya terkejut. “Ada sedikit perbedaan di antara mereka. Charles melakukan pemerasan untuk melihat kesengsaraan orang lain. Sedangkan Inggrid ... dia murni melakukannya untuk mendapatkan seseorang.”“Hah?” Kedua alis Peter terangkat, merasa bingung dengan maksud dari perkataan Ashen tersebut. “Apa maksudnya?”“Perdagangan manusia,” jawab Ashen dengan wajah yang menggelap karena menahan amarahnya. “Inggrid melakukan hal te
Darius menggigiti kuku-kuku jari tangannya. Pria paruh baya tersebut terlihat cemas lantarana putra dan calon menantunya tersebut menghilang sejak kemarin.“Sayang, sudahlah,” ujar Viona terlihat santai memandangi jari-jari tangannya yang terlihat indah tersebut. “Mereka pasti sedang pergi ke suatu tempat untuk menikmati waktu bersama. Sebentar lagi juga mereka akan pulang.”“Ini sudah hampir siang hari, Viona!” bentak Darius yang membuat Viona tersentak terkejut. “Mana mungkin mereka pergi selama ini.”“Ya terus kita harus bagaimana? Mencari mereka? Kita saja tidak tahu mereka pergi ke mana!” Viona balik membentak, karena merasa kesal setelah dibentak oleh Darius tersebut. “Kita tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Lebih baik kamu duduk tenang dan menunggu kedatangan mereka. Mereka pasti pulang.”Perdebatan mereka kemudian terhenti saat mendengar suara ketukan p
Kediaman Keluarga Wysteria, sekaligus markas MI6, digegerkan oleh kedatangan Arnold Rudeus yang membuat keributan di pagi hari. Bahkan pria bertempramen buruk itu sampai merangsek maju dan menerobos masuk. Sampai-sampai membuat Reynox harus turun tangan karena sama-sama bertubuh besar.Tujuan Arnold melakukan hal tersebut adalah, untuk merebut kembali Alyn yang diculik oleh Lucius kemarin pagi. Namun pada kenyataannya, Lucius hanya menyelamatkan Alyn dan kekejaman Arnold. Yang tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita.“Tenangkan dirimu, Bung!” bentak Reynox seraya menahan tubuh besar Arnold yang hendak menerobos masuk semakin dalam. Bahkan, Reynox harus mengeluarkan seluruh kekuatan tubuhnya agar bisa menghentikan pergerakan Arnold.“Minggir! Aku harus membawa pulang Alyn!” rutuk Arnold berusaha terus melangkah maju.“Jangan membuat kekacauan di kantorku, Tuan Muda Rudeus!”Ba
Alyn mengernyit ketakutan ketika apa yang terjadi pada hari itu, hari di mana ia disiksa oleh Arnold, kembali terlihat di matanya. Bukan hanya melihat adegan tersebut, Alyn juga mampu merasakan perasaan takut yang ia rasakan pada saat itu.Dan ketika adegan itu beralih, di mana Arnold menindih tubuhnya tersebut, Alyn tersentak dan terbangun dari tidurnya. Bahkan terduduk dalam satu kali gerakan hingga membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dan pada saat itu pula Alyn mulai menyadari, ini bukanlah kamarnya.Alyn menolehkan kepalanya saat merasakan pergerakan pada kasur di sisi kanan. Membulatkan matanya saat melihat Lucius yang sedang menggeliat tidak nyaman, terlihat sekali bahwa tidur pria berwajah tampan tersebut terusik karena dirinya.“Sudah bangun?” tanya Lucius seraya membuka matanya, dan mendapati wajah ketakutan Alyn. “Kamu bermimpi buruk?”GREP!Lucius tersenyum lembut saat Aly
“Dari mana saja kamu? Seharian tidak pulang ke rumah dan tanpa kabar pergi ke mananya.”Tubuh Alyn membeku saat terdengar pertanyaan bernada rendah dan penuh amarah, ketika ia baru saja memasuki kediaman Baron Rudeus tersebut. Alyn mendadak kikuk, tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh tunangannya tersebut.“Aku diajak pergi oleh Suster Diana untuk mengunjungi pusat kota. Karena terlalu malam ketika sampai di panti, aku menginap di sana,” jawab Alyn setelah terdiam selama beberapa saat hanya untuk mengumpulkan keberaniannya tersebut. “Maafkan aku jika telah membuatmu khawatir, Arnold.”“Kau kira aku mudah dibohongi hah!” pekik Arnold merasa geram dengan kebohongan Alyn yang mudah terendus olehnya tersebut. “Kau pikir aku bodoh? Aku mendatangi panti asuhan tempat di mana kamu berasal itu semalam! Mereka mengatakan jika kamu tidak mengunjungi mereka. Dan justru per
Tubuh Alyn kembali membeku, dengan senyuman manisnya yang melebar ketika ia kembali mendapati Lucius tengah menunggunya di depan gerbang panti asuhan. Gadis bersurai hitam legam tersebut tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, karena kembali bertemu dengan Lucius. Bahkan, Alyn terlihat menari-nari kecil sembari mendekati Lucius. Membuat pria yang berada di hadapannya kini itu, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.“Sesenang itukah kamu bertemu denganku?” tanya Lucius begitu Alyn berdiri di hadapannya.Alyn mengangguk antusias, “Kita bertemu lagi, Lucius.”“Senang bertemu denganmu, Alyn.”Keduanya kemudian berjalan-jalan memutari taman, sembari menikmati jajanan pinggir jalanan untuk mengganjal perut mereka. Saling bertukar cerita, walaupun percakapan itu didominasi oleh Alyn. Namun, mereka terlihat begitu serasi dan dekat, terlihat seakan-akan mereka adalah sepasang suami istri yang masih merasakan p