Sesuai dengan apa yang Lucius ucapkan kepada Lumiere, Keluarga Wysteria yang hanya terdiri dari Lucius, Lumiere, dan Lucian mengunjungi kediaman Baron Rogue. sang Baron yang merupakan penguasa tanah Durham ini mengundang mereka dalam rangka menyambut kepindahan mereka di kota ini, hal tersebut merupakan sudah menjadi tradisi tambahan bagi para bangsawan untuk menyambut sesamanya (dalam artian, sama-sama seorang bangsawan) saat mengunjungi wilayah kekuasaan mereka.
Kediaman Baron Rogue terlihat sedikit lebih kecil daripada kediaman mereka di Kota Durham. Letaknya pun cukup jauh dari pusat kota dan menyendiri. Maksudnya, tidak ada satupun tetangga di sini. Seolah-olah Sang Baron menjauhkan dirinya dari pergaulan di pusat kota. Karena Baron Rogue memandang rakyat Durham sebagai orang rendahan yang setara dengan ternak.
"Mungkin ini tidak semewah makan malam di London. Tapi, silahkan dinikmati!"
Suasana di meja makan pada malam itu cukup tenang. Makanan yang dihidangkan di meja juga sedikit lumayan banyak dan terlihat lezat. Cukup mampu membangkitkan selera makan Lumiere yang menahan lapar sejak tadi sore karena kabar bahwa mereka mendapatkan undangan makan malam.
Walaupun sudah kelaparan. Sebagai seorang wanita, Lumiere tidak bisa mendahului untuk memakannya begitu saja jika ada seorang pria di meja makan. Dan sialnya, Baron Rogue sibuk mengobrol dengan kakaknya. Tanpa berniat memulai acara makan malam dan hanya meminum segelas air putih.
"Terima kasih sudah mengadakan pesta penyambutan untuk kami, Baron Rogue." Lucius berujar dengan mata yang melirik Lumiere yang terlihat sedang menyembunyikan ketidaksabarannya untuk menyantap daging steak di hadapannya.
"Tidak kok!" Sang Baron berujar sembari tersenyum senang, "Sebagai sesama penguasa Durham, bukankah lebih baik kalau kita bisa akrab?"
Lucius hanya tersenyum tipis. Mulai mengambil garpu serta pisau untuk memakan daging steak yang terhidang di hadapannya. Begitu sepotong daging berwarna coklat itu masuk ke dalam mulutnya, Lucius kembali melirik pada Lumiere yang mulai menikmati makan malamnya. Kepala Keluarga Wysteria itu tersenyum, cukup senang melihat sang adik terlihat bahagia.
"Belakangan ini saya tidak ada teman mengobrol karena tidak bisa bepergian jauh," ujar Baron Rogue dengan senyuman ramahnya dan kemudian melahap sepotong daging domba tersebut.
Lucius meletakkan garpu dan pisaunya lalu mengambil segelas anggur untuk ia minum, "Baron, silahkan."
"Ah, maaf. Aku memiliki riwayat penyakit hipertensi dan arteri koroner, jadi saya dilarang minum anggur oleh dokter pribadi saya," tolak Baron Rogue seraya melirik ke sudut ruang makan ini di mana berdiri seorang dokter yang menatap Sang Baron cukup tajam, "Tuh, saya dipelototi terus sedari tadi."
"Saya bersyukur tentang pengetahuan di bidang kedokteran tidak hilang seperti teknologi karena perang dunia ketiga. Para dokter bisa mengetahui berbagai macam penyakit beserta obatnya." Baron Rogue melanjutkan ucapannya.
"Saya tidak bisa membayangkan kalau ilmu kedokteran juga ikut hilang," ujar Lucian menatap ramah Baron Rogue yang mengangguk setuju.
Baron Rogue menolehkan kepalanya untuk menatap Lucius yang kembali meminum anggurnya, "Tapi, Anda masih sangat muda ya?"
"Ah. Biarkan saya memperkenalkan diri lagi. Nama saya Lucius Crowe Wysteria..." ujar Lucius terdiam untuk beberapa, matanya bergulir menatap gelas anggur yang berada di tangannya. Di mata Baron Rogue, Lucius terlihat sedikit emosional saat akan melanjutkan ucapannya, "... orang tua kami meninggal saat terjadi kebakaran hebat di kediaman kami saat kami masih kecil. Karenanya, saya mewarisi gelar kebangsawanan dan aset keluarga di usia muda. Sangat jarang bukan seorang bangsawan menjadi kepala keluarga di usia muda, dan bahkan menjabatnya sebelum menginjak usia kedewasaan."
"Saya turut prihatin," ujar Baron Rogue dengan wajah tidak enaknya. Merasa bersalah karena sudah membuat seseorang membuka luka lamanya.
Lucius menatap sekilas Baron Rogue untuk memberikan senyumannya, "Tidak masalah. Lagi pula, saya sudah bangkit dari masa keterpurukan saya karena ditinggalkan oleh orang tua."
Mendengar ucapan tersebut, Lumiere menahan tawanya yang membuat Lucian menyenggol sikunya untuk menjaga sikap.
"Maaf," bisik Lumiere saat melihat tatapan tajam yang diberikan oleh adik bungsunya.
"Saya bekerja sebagai Kolonel Angkatan Darat di London. Tapi, sedang cuti untuk membantu para adik yang pindah ke sini." Lucius kembali melanjutkan penjelasannya mengenai Keluarga Wysteria kepada Baron Rogue, "Ini putri sulung sekaligus anak kedua, Lumiere Crowe Wysteria. Dia dosen matematika di Universitas Durham."
Lumiere tersenyum ramah dan sedikit menundukkan kepalanya, memberi salam hormat kepada Baron Rogue yang saat ini sedang menatapnya.
"Lalu, ini putra kedua sekaligus anak ketiga. Lucian Crowe Wysteria. Dia menggantikanku mengurus rumah dan administrasi wilayah kekuasaan," tambah Lucius seraya menatap Lucian yang tersenyum ramah, "Ah. Untuk Lumiere, dia mempunyai pekerjaan sampingan sebagai konsultan. Kalau Baron punya masalah, silahkan ceritakan saja kepadanya.”
"Hoo... begitu ya. Saya jadi terbantu! Kalau begitu, saya sedang butuh saran Anda. Lady Wysteria," ujar Baron Rogue seraya menatap Lumiere yang menghentikan acara makan daging steak nya untuk mendengarkan keluhan si pria tua tersebut.
"Silahkan," sahut Lumiere seraya memasang senyuman ramah khas miliknya.
"Tidak terlalu merepotkan kok. 15 tahun yang lalu, istriku meninggal tanpa meninggalkan anak."
Ekspresi Lumiere tampak sedikit mengeras. Keluhan Tuan Baron memang terdengar tidak begitu memusingkan. Hanya saja, topik yang dikeluhkannya mengetuk pintu hatinya sebagai perempuan.
'Meninggal tanpa meninggalkan anak'. Bagi Lumiere, kalimat tersebut seolah-olah menyalahkan Nyonya Rogue karena mati tanpa melahirkan anak untuk dijadikan pewaris. Jika ditelaah lebih dalam lagi. Wanita di mata pria hanyalah alat untuk menghasilkan keturunan.
Bagaimana tidak? Memperbanyak keturunan memang bagus bagi kelangsungan hidup ras manusia. Hanya saja, bangsawan pada era ini menganggap keturunan adalah hal yang harus mereka dapatkan setelah menikah.
Anak sulung pria akan dijadikan ahli waris. Anak kedua pria akan diberi gelar Count ataupun Baron dan diberi modal usaha. Sedangkan untuk anak perempuan. Baik itu sulung ataupun bungsu, mereka hanya dijadikan pion dalam politik. Hal apalagi kalau bukan pernikahan politik?
Putri dari keluarga Duke, Marquess, dan Earl bisa mencalonkan diri sebagai putri mahkota. Sedangkan Count, Viscount, dan Baron hanya bisa mengajukan permintaan politik kepada sesama ataupun kepada keluarga yang memiliki gelar di atas mereka. Selain itu, wanita bangsawan tidak dianjurkan bekerja ataupun bersekolah di sekolah campuran. Para wanita dituntut untuk belajar menjadi seorang istri yang baik. Merajut, mengatur keuangan, dan bagaimana menyenangkan suami di atas ranjang.
Lumiere sendiri mendadak melupakannya. Ia hanya fokus terhadap kesenjangan sosial antara si bangsawan dan di rakyat jelata. Tidak memikirkan bahwa ada juga kesenjangan di antara pria dan wanita. Di dalam hatinya. Lumiere merasa bersyukur karena ia tidak dikekang oleh aturan-aturan kuno yang kebanyakan membuat para wanita tidak bergerak secara bebas.
"Masalah pewaris, ya?" tanya Lumiere memandang sendu daging steak di hadapannya tersebut.
"Benar sekali! Saya juga tidak punya kerabat. Jadi, bisakah Anda bantu mencarikan kerabat jauh dari istriku?"
"Begitu ya? Maaf sekali saya tidak bisa membantu. Untuk mencari orang, sepertinya akan lebih cepat kalau meminta bantuan pada detektif," jawab Lumiere merasa tidak enak karena tidak bisa membantu menyelesaikan masalah yang dialami Baron Rogue.
"Detektif..."
Lumiere mengangguk tanpa melunturkan senyumannya, "Sekali lagi saya minta maaf karena tidak bisa membantu."
"Tidak. Saya juga baru menyadari dan menurut saya, apa yang Anda ucapkan tentang detektif merupakan sebuah saran bagi saya. Terima kasih atas sarannya, Lady Wysteria."
Lumiere mengangguk paham dan kemudian memandang sang Baron dengan tatapan datar namun memancarkan aura ketenangan, "Bicara tentang wilayah... Anda menarik harga yang tinggi dari para buruh tani di kota ini, ya?"
Baron Rogue tampak tertawa sebentar sebelum kemudian berujar, "Tentu saja! Penghasilan utama kaum bangsawan memang dari sana, bukan?"
Terdapat perubahan pada ekspresi wajah Lucian begitu mendengarnya. Sementara Lucius dan Lumiere tampak tidak menunjukkan reaksi apa pun.
"Biarpun di kampung. Tapi, kalau sudah waktunya Aseason Salon pengeluarannya tidak main-main. Gaji pelayan juga tidaklah murah. Belum lagi keperluan-keperluan mendadak yang kemunculannya seperti nama belakangnya," Lanjut Baron Rogue kemudian meminum segelas air putih.
Aseason Salon merupakan sebuah musim di mana acara-acara sosialisasi kaum bangsawan dilaksanakan. Banyak pesta dansa serta pesta minum teh diadakan. Musim ini juga menjadi ajang debut para gadis yang baru menginjak usia dewasa. Serta ajang pamer kekayaan tiap keluarga.
Dan Lucian tahu, betapa banyaknya uang yang harus mereka keluarkan saat musim itu tiba. Pasalnya, menggelar satu pesta saja tidaklah cukup. Dalam satu minggu, mengadakan pesta minum teh haruslah lebih dari dua kali. Kurang dari itu, harga diri sebuah keluarga akan turun.
"Tidak ada pilihan lain supaya bisa menjaga hidup kita yang sekarang. Banyak uang, makan sepuasnya, tidur dengan nyaman..."
Lucian mengernyit, sedikit tidak suka dengan ucapan yang Baron Rogue keluarkan dari mulut tuanya tersebut. Hidup senang di atas penderitaan orang lain, maksudnya begitu?
"...Toh, bisa dibilang. Mereka semua itu hewan ternak negara kita!"
TAK!
Dengan ekspresi wajah tenang, Lucius meletakkan gelas anggurnya cukup keras ke meja. Mengundang perhatian dari ketiga pria yang satu meja dengannya.
"Begitu ya... kami selalu berpindah-pindah. Dan di mana pun itu, bangsawan tetap sama saja," ujar Lucius tenang namun sejujurnya kalimatnya tersebut menusuk di hati. Namun, sepertinya Baron Rogue tidak menyadari kalimat menusuk tersebut yang sebetulnya ditujukan pada keserakahannya.
"Saya juga tahu, betapa banyak pengeluaran saat Aseason salon itu. Tapi, karena kami hanya ada bertiga. Pengeluaran kami bisa dibilang sedikit dan cukup tidak membuat pusing saat musim itu tiba," ujar Lucian setelah puluhan menit ia menjadi pendengar saja.
"Karena itu, kami bermaksud menurunkan harga sewa tanah kami," imbuh Lucius yang membuat Baron Rogue yang hendak melahap potongan dagingnya menghentikan kegiatannya tersebut.
BRAK!
Lucian dan Lumiere cukup terkejut namun mereka masih bisa mengontrol ekspresinya saat Baron Rogue menggebrak meja makan cukup keras. Merefleksikan keterkejutannya atas pernyataan yang di buat oleh Lucius.
"Earl, itu tidak boleh!" sentak Baron Rogue dengan ekspresi tidak terima terpasang di wajah keriputnya.
Lucius melirik sekilas kepada Baron Rogue lalu bertanya, "Kenapa? Apa alasannya saya tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut?"
"Kalau Anda melakukan itu, petani di wilayahku tidak akan tinggal dia! Mereka akan meminta kepadaku untuk menurunkan harga sewa tanah dan pajaknya! Di dunia ini itu perlu yang namanya keseimbangan!" jawab Baron Rogue dengan suara yang meninggi.
"Tuan Baron. Selama kita hidup mewah, para penduduk di wilayah kekuasaan kita berusaha berhemat. Mereka membagi hasil kerja keras mereka dengan seperempat dari total penghasilan yang mereka dapatkan. Bukankah itu ketidakseimbangan?" tanya Lumiere seraya menatap tenang namun menusuk pada Baron Rogue yang tampaknya tak bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Suasana setelahnya semakin panas. Semenjak Lumiere mulai menunjukkan sikap menentangnya, baik Baron Rogue maupun kedua saudara laki-lakinya itu sama-sama terdiam. Bahkan, Lucian berkali-kali memberi kode pada kakak sulungnya tersebut untuk menghentikan Lumiere.
"Tuan Baron, terima kasih atas pesta penyambutannya. Malam semakin larut, kami mau pamit undur diri dulu." Lucius berujar setelah memahami salah satu kode yang diberikan oleh sang Adik bungsu.
Perhatian Baron mulai teralih, ekspresi ramah kembali terpasang di wajah penuh keriputnya. Bukan hal yang aneh lagi jika sesama bangsawan saling menjilat.
"Tidak masalah. Justru saya ingin meminta maaf karena sudah menyita waktu Anda sekalian," balas Baron Rogue seraya melirik kepada kepala pelayannya untuk mengantarkan kepulangan Keluarga Wysteria tersebut.
"Baron," panggil Lumiere saat mereka bersiap-siap untuk meninggalkan kediaman ini.
Sang Baron menatap Lumiere yang berekspresi datar, "Lupa diri karena kelas sosial, kita bisa dimakan oleh ternak, lho." Setelah mengatakan itu, Lumiere memberikan senyuman manisnya dan kemudian beranjak dari duduknya.
Baron tampak terdiam. Bahkan membiarkan ketiga anggota Keluarga Wysteria itu pulang dengan diantar oleh kepala pelayannya, "Dasar! Mereka itu dididik seperti apa sih? Dia bilang, bangsawan dimakan kelas bawah? Cih! Kita ini dilindungi oleh hukum negara ini!"
***
"Kalian sudah bekerja keras," ujar Lucian dengan senyuman canggungnya saat mereka sudah menaiki kereta kuda.
Lucian terpaksa mengucapkan kalimat tersebut karena suasana di dalam kereta kuda ini benar-benar menyesakkan. Putra bungsu Keluarga Wysteria itu bukan bermaksud ia tidak ikhlas mengucapkannya. Hanya saja ia sudah tidak kuat menghadapi suasana sesak yang diciptakan oleh kedua kakaknya tersebut.
Lucius yang duduk di hadapan kedua adiknya tersebut melirik kepada Lucian dan kemudian menarik nafasnya pelan, "Maaf, Lucian. Maaf sudah membuat suasana tidak nyaman di dalam kereta setelah makan malam."
"Tidak apa-apa kak! Saya tahu perasaan kakak campur aduk setelah mendengar perkataan Tuan Baron," ujar Lucian menggelengkan kepalanya pelan lalu menatap Lumiere, "Sebenarnya aku takjub pada Kak Lumiere."
Karena namanya disebut, Lumiere tersadar dari pikirannya dan menatap bingung pada Lucian yang tersenyum lembut, "Memangnya, hal apa yang sampai membuatmu takjub, Lucian?"
"Kak Lumiere sangat sempurna dalam mengatur emosi kakak! Kakak benar-benar terlihat tenang ketika beradu argumen sebelum kita pulang tadi," jawab Lucian membuka lebar kedua tangannya dan memeluk erat kakak perempuannya tersebut.
Lumiere hanya tertawa kecil untuk menanggapi tingkah Lucian yang seperti anak kecil. Sementara Lucius, pemuda itu hanya tersenyum menahan gemas melihat interaksi kedua adiknya tersebut.
"Aku ingin cepat-cepat memberi hukuman pada Tuan Baron."
***
Sesuai yang dikatakan Lumiere tempo hari. Pada hari minggu, para petani yang menyewa tanah di tanah milik Keluarga Wysteria melakukan pengukuran ulang. Lucius, Lumiere, dan Lucian datang dengan pakaian santai mereka. Saking santainya, mereka terlihat seperti bukanlah seorang bangsawan. Hal tersebut membuat para warga tercengang dan terlihat tidak mempercayai apa yang mereka lihat.Kegiatan pengukuran ulang tanah sewaan berjalan lancar tanpa ada kendala apa pun. Para petani juga mendapatkan beberapa penjelasan tambahan dari Lumiere perihal tanaman apa saja yang dapat mereka tanam di tanah ini. Setelah menyelesaikan pengukuran, Lucian selaku pengurus Administrasi dan Wilayah kekuasaan menetapkan harga sewa per meternya.Para petani yang menerima jumlah harga yang harus mereka bayarkan terkejut begitu mengetahui nominalnya. Harga sewa yang jauh lebih murah dari pada yang ditetapkan oleh Baron Rogue.Esoknya, berita tentang harga sewa tanah di wilayah Wysteria
Pada malam harinya, Baron Rogue menatap peta Kota Durham dan sesekali memijit pelipisnya yang berdenyut. Kepalanya pusing karena memikirkan satu persatu tanah di wilayah kekuasaannya ditinggalkan oleh penyewa.Baron Rogue mengerang, membanting kasar peta tersebut ke meja, “Ugh... kalau begini terus, pemasukanku ke depan ...”Tok! Tok! Tok!Pintu ruang kerja Baron Rogue diketuk tiga kali dan kemudian terbuka cukup lebar, menampilkan salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya. Pria berpakaian rapi tersebut tampaknya ingin menyampaikan sesuatu kepada majikannya tersebut.“Tuan, Keluarga Earl Wysteria dan Tuan Hendrik, sudah tiba.” Pelayan tersebut tanpa basa-basi lagi langsung menyampaikan kabar tersebut. Baron Rogue mengernyitkan dahinya saat mendengar nama yang cukup asing terdengar di telinganya.“Baiklah. Antarkan mereka ke ruang makan!”Si Pelayan itu mengangguk dan bergegas menjalan
“Bayaranku yang sebenarnya adalah hidupku ini akan kuserahkan pada Nona Wysteria.”Baron Rogue terkejut bukan main. Kalau begitu, bagaimana caranya ia membayar dua kali lipat dari yang Michelle bayarkan kepada Lumiere? Pria tua ini masih ingin hidup.“Nah ...” ujar Lumiere memberi jeda untuk ia menegakkan kembali tubuhnya dan kembali memberikan tatapan tajam pada sang Baron, “... ada soal matematika. 10 × 0 tetap 0! Apa Anda berani bayar 20 kali nyawa Anda?”Baron Rogue memandang Lumiere dengan ekspresi penuh penyesalana, “Ma–maaf. Maafkan aku atas apa yang sudah kulakukan.”Permintaan maaf yang tidak terduga itu tampaknya membuat Pak Hendrik dan Michelle terkejut. Sedangkan Lumiere hanya memasang wajah datar tanpa berniat menunjukkan reaksinya. Namun, itu tidak bertahan lama. Karena selanjutnya, Lumiere menoleh ke arah Pak Hendrik dan Michelle.“Bagaimana?
Suara ketukan yang dihasilkan dari kapur tulis yang bertemu dengan papan tulis hijau terdengar memenuhi salah satu ruang belajar di Universitas Durham. Kelas matematika yang dibimbing oleh Profesor Lumiere Crowe Wysteria sedang berlangsung.Para siswa yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki ini tampak fokus memperhatikan apa yang Lumiere jelaskan. Sang gadis begitu cakap dalam menjelaskan rumus-rumus persamaan yang bagi para murid cukup sulit untuk dikerjakan."Baiklah. Sampai di sini, ada yang dipertanyakan?" Tanya Lumiere setelah menyelesaikan menulis materi yang sedang ia ajarkan kepada anak didiknya."Profesor!" Suara ini berasal dari bangku paling atas ruang belajar ini. Seorang pria berparas tampan tampak mengangkat sebelah tangannya guna menarik atensi sang profesor muda tersebut, "Bisakah Anda menceritakan masa kecil Anda?"Lumiere cukup terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga tersebut. Dengan kata lain, mereka ingin menanyakan sesuat
Tok! Tok! Tok!Si Gadis kecil bermata biru langit dengan perlahan membuka pintu berdaun dua tersebut setelah mendengar sahutan dari dalam. Ruang baca dengan dekorasi mewah dan seorang wanita cantik menjadi pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatan si Gadis.“Saya sudah kembali,” ujar si Gadis seraya melangkah menghampiri sang Wanita yang merupakan Countess Wysteria.“Suratku sudah kau kirimkan?” Tanya Countess Wysteria tanpa menatap si Gadis dan lebih memilih melanjutkan kegiatan membaca bukunya.Si Gadis tersenyum manis dengan kedua matanya yang terpejam. Terlihat sangat jelas bahwa senyumannya tidak begitu tulus ia keluarkan, “Ya, Ibu.”Mendengar kata ‘ibu’ yang terucap dari mulut si Gadis. Countess Wysteria mendelik tajam kepadanya, berdiri secepat mungkin dan kemudian berteriak, “JANGAN SALAH PAHAM, YA! MERAWAT ANAK YATIM PIATU ITU CUMA KEWAJIBAN SEORANG BANGSAWAN! INI TINDAKAN AMAL! MANA SUDI MENG
Setelah menganiaya Lucy, waktu terus bergulir. Matahari yang selama setengah hari duduk manis pada singgasana, menyinari Tanah Inggris dengan kehangatan sinarnya yang terkadang terasa menyengat ketika di musim panas, telah tergantikan dengan bulan yang bersinar lembut. Walaupun hari telah menjadi gelap, aktivitas masyarakat di Kota London tidaklah berhenti begitu saja.Sebagian besar masyarakat yang merupakan bagian dari ‘Kelas Pekerja’ masih beraktivitas, dan sebagian lagi yang merupakan kaum bangsawan lebih memilih beristirahat di kediaman mereka yang super mewah. Beristirahat sembari menikmati makan malam yang mewah, kemudian dilanjut tidur di kasur yang empuk dan hangat.Termasuk Keluarga Wysteria yang saat ini sedang menikmati makan malam mereka. Berbagai menu makanan mewah tersedia di hadapan mereka yang berjumlah empat anggota keluarga. Dimulai dari daging steak yang berkualitas tinggi, olahan Jamur Truffle Putih yang pada saat ini harganya men
“Bisa-bisanya ketiduran tanpa mengerjakan tugas! Kalian mengira kasta kalian sedikit lebih tinggi dari kami karena menjadi anak angkat keluarga ini!?” seru seorang wanita tua berpakaian pelayan tajam. Menatap Lucy dan Lucian yang sedang menaiki tangga untuk membersihkan tempat lilin di sepanjang koridor rumah.“Hei, Underclass! Pokoknya, pagi ini 550 tempat lilin harus sudah digosok!” Satu orang pelayan lain menambahkan dengan nada mencemoohnya yang terdengar menjengkelkan bagi Lucian.“kami mau tidur dulu!” ujar si Wanita tua tersenyum meremehkan pada Lucy yang memasang wajah memelas. Dua pelayan ini kemudian pergi meninggalkan mereka berdua yang sedang berkutat dengan tempat lilin.“Kalian tidur saja yang nyenyak, sana!” Suara seorang anak laki-laki terdengar dari gelapnya kegelapan lorong karena hampir semua lilin yang terpasang di setiap sisi tembok telah dimatikan apinya.Pelayan wanita tua yang terkejut lantas mengarahkan
Lumiere menatap bingung salah satu bangku yang biasanya diduduki oleh salah satu mahasiswa terpintar kini telah kosong. Padahal, mahasiswa tersebut tak pernah absen untuk mengikuti jadwal kelas profesor muda ini. Tentu saja hal ini mengundang pertanyaan di benak Lumiere.“Tumben sekali Darius tidak hadir,” ujar Lumiere menyebutkan nama mahasiswa tersebut, “Apakah dia sakit?”“Profesor,” panggil Vincent yang kembali mengikuti kelas Lumiere, “Aku mendapatkan kabar kalau semalam Darius kembali ke rumahnya sebentar karena ayahnya meninggal dunia.”“Maksudmu Baron Ellard?” Mahasiswa yang duduk bersebelahan dengan Vincent melontarkan pertanyaan, “Bukankah beliau sedang berada di Swiss untuk urusan bisnis?”Alis Lumiere terangkat sebelah, namun tidak sedikit pun ia bersuara untuk bergabung ke dalam obrolan tersebut.“Eh? Jadi maksudmu, Darius berbohong?” tanya Vincent.“Lalu, apa tujuan Darius terhadap kepergiannya semalam? Bukankah kelas
Kedua alis Lumiere saling bertaut. Gadis bersurai cokelat madu tersebut tampaknya sangat tidak menyukai apa yang baru saja ia dengar.Inggrid Rovein, pria yang menjadi target misi mereka kali ini tersebut, sedari tadi melontarkan bualan tentang kesehatan dan sumber ketakutan manusia. Pria beralis tebal tersebut pria tersebut mengatakan, kematian merupakan sumber ketakutan palin dasar yang diderita oleh manusia. Meskipun seorang manusia telah menjaga kesehatannya, dan bahkan memiliki kekayaan yang banyak, mereka tidak dapat menghindari kematian yang kedatangannya tidak bisa diprediksi tersebut.Dan hal yang semakin membuat Lumiere merasa muak adalah, pria itu dengan santainya mengatakan bahwa, ia telah menemukan cara untuk hidup kembali setelah mengalami kematian. Perhatian Lumiere pun kini tertuju pada sebuah peti mati yang telah terbuka, menampilkan sesosok mayat seorang perempuan, usianya diperkirakan baru menginjak delapan belas tahun. Kulitnya terl
Miya, bahkan sampai Lucian pun memandang takjub kapal pesiar mewah dan berukuran besar di hadapan mereka.“Jadi ... ini adalah kapal RMS Titanic yang pernah karam ribuan tahun yang lalu?” tanya Miya seraya memalingkan pandangannya ke arah Reynox. “Kau beruntung sekali bisa ikut naik ke kapal besar itu.”Reynox berdecak, memilih untuk mengabaikan Miya. Kedua netra emasnya yang tajam itu mengamati seluruh bagian dari tubuh kapal berukuran super besar tersebut. Reynox tahu soal tenggelamnya sebuah kapal, yang kisahnya menjadi legendaris hingga ribuan tahun tersebut. Dan Reynox sendiri menjadi ragu, apakah kapal kedua dari RMS Titanic ini akan memiliki nasib yang sama seperti kakaknya, atau tidak.“Tolong antarkan barang bawaan kami di kamar nomor A12 kelas satu,” ujar Peter pada seorang petugas kapal yang menghampirinya. Setelah memastikan petugas kapal tersebut mengangkut barang bawaannya dan Lumiere, Peter meng
Lumiere membenarkan kembali letak topeng pesta yang sedang dipakai olehnya. Gadis bersurai cokelat madu tersebut kemudian memantapkan kembali hatinya, memantapkan niatnya untuk mengunjungi pasar gelap yang dikelola oleh pemerintah Inggris.“Tidak perlu takut,” bisik Peter yang memaksa untuk ikut. Pria itu membantu istrinya tersebut untuk merapikan penampilannya tersebut. “Kita hanya perlu melakukan penyelidikan, tanpa membuat keributan apa pun selain mau membeli manusia yang akan dijajakan oleh mereka.”Lumiere mengangguk, mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah tampan Peter yang bersembunyi dibalik tudung jubah yang pria itu kenakan tersebut. “Sepertinya, setelah ini kamu harus memotong rambutmu.”“Benarkah? Sayang sekali kalau dipotong,” ujar Peter seraya menaik turunkan alisnya, bermaksud menggoda Lumiere. “Padahal kamu sangat menyukai rambut panjangku ini.”“Atau uba
“Ini informasi terkait Inggrid Rovein yang kamu minta.”Lumiere menerima satu bundel dokumen yang diserahkan oleh Ashen tersebut. Gadis bersurai cokelat madu itu langsung membacanya. Tenggelam dalam ribuan kosa kata yang tertulis di sana, menyampaikan informasi tentang sesosok Inggrid Rovein yang terasa misterius sekaligus terasa tidak asing tersebut.“Dia ... satu jenis dengan Charles Evanescene,” ujar Ashen yang membuat Lumiere dan Peter menatapnya terkejut. “Ada sedikit perbedaan di antara mereka. Charles melakukan pemerasan untuk melihat kesengsaraan orang lain. Sedangkan Inggrid ... dia murni melakukannya untuk mendapatkan seseorang.”“Hah?” Kedua alis Peter terangkat, merasa bingung dengan maksud dari perkataan Ashen tersebut. “Apa maksudnya?”“Perdagangan manusia,” jawab Ashen dengan wajah yang menggelap karena menahan amarahnya. “Inggrid melakukan hal te
Darius menggigiti kuku-kuku jari tangannya. Pria paruh baya tersebut terlihat cemas lantarana putra dan calon menantunya tersebut menghilang sejak kemarin.“Sayang, sudahlah,” ujar Viona terlihat santai memandangi jari-jari tangannya yang terlihat indah tersebut. “Mereka pasti sedang pergi ke suatu tempat untuk menikmati waktu bersama. Sebentar lagi juga mereka akan pulang.”“Ini sudah hampir siang hari, Viona!” bentak Darius yang membuat Viona tersentak terkejut. “Mana mungkin mereka pergi selama ini.”“Ya terus kita harus bagaimana? Mencari mereka? Kita saja tidak tahu mereka pergi ke mana!” Viona balik membentak, karena merasa kesal setelah dibentak oleh Darius tersebut. “Kita tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Lebih baik kamu duduk tenang dan menunggu kedatangan mereka. Mereka pasti pulang.”Perdebatan mereka kemudian terhenti saat mendengar suara ketukan p
Kediaman Keluarga Wysteria, sekaligus markas MI6, digegerkan oleh kedatangan Arnold Rudeus yang membuat keributan di pagi hari. Bahkan pria bertempramen buruk itu sampai merangsek maju dan menerobos masuk. Sampai-sampai membuat Reynox harus turun tangan karena sama-sama bertubuh besar.Tujuan Arnold melakukan hal tersebut adalah, untuk merebut kembali Alyn yang diculik oleh Lucius kemarin pagi. Namun pada kenyataannya, Lucius hanya menyelamatkan Alyn dan kekejaman Arnold. Yang tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita.“Tenangkan dirimu, Bung!” bentak Reynox seraya menahan tubuh besar Arnold yang hendak menerobos masuk semakin dalam. Bahkan, Reynox harus mengeluarkan seluruh kekuatan tubuhnya agar bisa menghentikan pergerakan Arnold.“Minggir! Aku harus membawa pulang Alyn!” rutuk Arnold berusaha terus melangkah maju.“Jangan membuat kekacauan di kantorku, Tuan Muda Rudeus!”Ba
Alyn mengernyit ketakutan ketika apa yang terjadi pada hari itu, hari di mana ia disiksa oleh Arnold, kembali terlihat di matanya. Bukan hanya melihat adegan tersebut, Alyn juga mampu merasakan perasaan takut yang ia rasakan pada saat itu.Dan ketika adegan itu beralih, di mana Arnold menindih tubuhnya tersebut, Alyn tersentak dan terbangun dari tidurnya. Bahkan terduduk dalam satu kali gerakan hingga membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dan pada saat itu pula Alyn mulai menyadari, ini bukanlah kamarnya.Alyn menolehkan kepalanya saat merasakan pergerakan pada kasur di sisi kanan. Membulatkan matanya saat melihat Lucius yang sedang menggeliat tidak nyaman, terlihat sekali bahwa tidur pria berwajah tampan tersebut terusik karena dirinya.“Sudah bangun?” tanya Lucius seraya membuka matanya, dan mendapati wajah ketakutan Alyn. “Kamu bermimpi buruk?”GREP!Lucius tersenyum lembut saat Aly
“Dari mana saja kamu? Seharian tidak pulang ke rumah dan tanpa kabar pergi ke mananya.”Tubuh Alyn membeku saat terdengar pertanyaan bernada rendah dan penuh amarah, ketika ia baru saja memasuki kediaman Baron Rudeus tersebut. Alyn mendadak kikuk, tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh tunangannya tersebut.“Aku diajak pergi oleh Suster Diana untuk mengunjungi pusat kota. Karena terlalu malam ketika sampai di panti, aku menginap di sana,” jawab Alyn setelah terdiam selama beberapa saat hanya untuk mengumpulkan keberaniannya tersebut. “Maafkan aku jika telah membuatmu khawatir, Arnold.”“Kau kira aku mudah dibohongi hah!” pekik Arnold merasa geram dengan kebohongan Alyn yang mudah terendus olehnya tersebut. “Kau pikir aku bodoh? Aku mendatangi panti asuhan tempat di mana kamu berasal itu semalam! Mereka mengatakan jika kamu tidak mengunjungi mereka. Dan justru per
Tubuh Alyn kembali membeku, dengan senyuman manisnya yang melebar ketika ia kembali mendapati Lucius tengah menunggunya di depan gerbang panti asuhan. Gadis bersurai hitam legam tersebut tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, karena kembali bertemu dengan Lucius. Bahkan, Alyn terlihat menari-nari kecil sembari mendekati Lucius. Membuat pria yang berada di hadapannya kini itu, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.“Sesenang itukah kamu bertemu denganku?” tanya Lucius begitu Alyn berdiri di hadapannya.Alyn mengangguk antusias, “Kita bertemu lagi, Lucius.”“Senang bertemu denganmu, Alyn.”Keduanya kemudian berjalan-jalan memutari taman, sembari menikmati jajanan pinggir jalanan untuk mengganjal perut mereka. Saling bertukar cerita, walaupun percakapan itu didominasi oleh Alyn. Namun, mereka terlihat begitu serasi dan dekat, terlihat seakan-akan mereka adalah sepasang suami istri yang masih merasakan p