"Sialan! Arrrrrgh!"
Alenda menendang-nendang pilar yang berada di dekat air terjun. Perasaannya kini sangat kacau usai keluar dari ruangan ayahnya. Kalau diingat kembali, Celsion benar-benar ayah yang kejam. Padahal dia bilang, dia mencintai ibunya Alenda. Lalu kenapa Celsion tega mengirim Alenda ke kerajaan ujung benua? Padahal Alenda tak pernah buat masalah selain saat kabur kemarin.
"Kamu baik-baik saja?"
Ucapan seseorang membuat pergerakan Alenda terhenti. Dia harus bersikap lembut. Seorang gadis berusia 14 tahun normalnya tak akan berkata kasar dan bersikap bar-bar. Dia tak boleh membuat orang lain mencurigainya. Kala berbalik, dia bisa melihat tatapan hangat dari Gaffar padanya.
"Kakak ...."
Gaffar berjalan mendekat lalu mengulurkan tangan di depan Alenda. "Izinkan aku menemanimu berkeliling taman."
Karena sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, Alenda tak punya pilihan selain menerima ajakannya. Gaffar pasti akan curiga kalau respon Alenda berbeda.
"Hari ini kamu cantik." Gaffar mencium punggung tangan Alenda. Mau tidak mau Alenda tersenyum malu, padahal aslinya ingin muntah. Kalau saja Gaffar bukan saudara tiri Alenda asli, kisah cinta mereka akan dijalankannya tanpa ragu. Tapi mengetahui bahwa mereka masih memiliki darah ayah yang sama, ini cukup menjijikkan.
"Aku sudah dengar soal keputusan ayah mengirimmu ke Kerajaan Disappear. Itu adalah keputusan paling tidak bijaksana yang pertama kali ayah ambil. Padahal putri bungsu tak boleh menikah mendahului kakaknya, sehingga Galya lah yang paling cocok menjadi Ratu untuk Raja Monster itu."
Alenda tak tau harus menjawab apa. Dia hanya mengalihkan pandangan dan diam.
"Alenda, jangan khawatir. Aku akan selalu ada di sisimu." Gaffar menggenggam erat tangan Alenda. Dia memang masih sangat kecil, itu sebabnya Gaffar semakin ingin melindungi gadis ini secepatnya. "Kamu harus ingat bahwa aku akan selalu membawa cinta ini sampai mati. Bahkan jika harus menunggumu bercerai dengan raja itu, aku akan melakukannya."
"Kenapa?" tanya Alenda yang akhirnya menatap Gaffar.
"Karena kamu adalah cinta pertama dan terakhirku. Aku tak butuh yang lainnya selain kamu."
Aku tidak tau apa yang sudah dilakukan Alenda asli sampai Gaffar begitu mencintainya, batin Alenda.
***
Di saat seperti ini, mencari udara segar adalah jalan terbaik. Keputusan soal pernikahan sudah dipastikan akan terjadi minggu depan. Benar-benar sulit dipercaya bahwa akhirnya mereka mengirim anak di bawah umur untuk menikah dengan raja mata keranjang.
Kalau sudah menjadi raja, berarti dia adalah om-om tua yang punya penyakit pedofil, kan? Entah sudah berapa banyak istrinya sampai membutuhkan anak kecil sepertinya. Mau dipikirkan berapa kali pun Alenda masih tak paham. Kalau papanya yang menjadi Duke, tak akan mungkin dengan mudah mengirim anak gadisnya ke tempat aneh. Alenda benar-benar tak tau apa yang harus dia lakukan di sana nanti.
Sepertinya hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah tidak jatuh cinta pada raja mata keranjang itu. Mungkin di cerita aslinya, Alenda mudah jatuh cinta karena masih muda dan labil. Tapi sekarang Alenda tidak akan begitu karena jiwa yang datang ke tempat ini berusia 22 tahun.
"Saya berjanji akan menuntaskan pendidikan saya dan menerima gelar Baron. Apakah Anda mau menunggu saya sampai saya berhasil mendapatkannya, Nona?"
Eh?
Alenda segera bersembunyi di belakang pohon. Mungkin karena dia terus berjalan sampai tak sadar berada di bagian belakang kediaman Duke, Alenda tak sengaja menjumpai Galya yang sedang berbicara diam-diam dengan seorang pria.
"Aku mencintaimu, tapi ... ini tidak mudah, Ezra. Ayah tetap tak akan menerimamu walau kau menjadi Baron. Itu tetaplah kedudukan yang jauh lebih rendah dariku. Kalau aku menjadi Duchess, mungkin aku bisa melakukan sesuatu dan membuatmu menjadi Dukeku. Tapi tentu saja itu tidak mudah, setidaknya kau harus berjasa untuk negara ini."
Galya mengambil tangan pria itu lalu menunduk.
"Maafkan aku ... mungkin kita tidak ditakdirkan bersama."
"Ta--tapi!"
Galya berbalik, hendak berlari. Dalam waktu singkat, dia sudah berada di dalam dekapan pria itu yang sengaja menahannya.
Alenda bersiul dalam hati. Di dunia seperti ini ternyata banyak adegan dramatis. Alenda merasa seperti sedang menonton film di bioskop, sehingga dia memutuskan untuk terus mengintip. Rasanya jadi penasaran apa yang akan terjadi.
"Kumohon, jangan pergi! Aku tak bisa hidup tanpamu, Galya."
Eiyy, masa sih? Emang bener nggak bisa hidup tanpa Galya? Bukannya oksigen? batin Alenda yang sudah cekikikan dalam hati.
"Kita berbeda, Ezra."
"Tapi perasaan kita sama, Galya."
Duh, bagus amat kalimatnya. Catet-catet! Siapa tau aku ntar kejebak adegan begini juga. Ah, apa aku coba sama si Gaffar itu? pikir Alenda yang sudah ngawur ke mana-mana.
"Maaf ... aku harus menjadi Duchess, Ezra."
Air mata Galya menetes di luar kendalinya. Padahal Galya bukan perempuan cengeng seperti ini. Dia bahkan lebih kuat dari kelihatannya. Tak hanya kecerdasan otak, keahlian pedang yang dia punya juga selalu berhasil mengalahkan Gaffar yang punya julukan Mata Pedang karena berhasil mengalahkan panglima perang kerajaan. Tapi bagaimanapun juga, Galya memang seorang perempuan yang mengutamakan perasaan. Dia jadi lemah karena hal seperti ini.
"Cinta ini ... mungkin harus kita hapus, Ezra."
"Eh! Eh!"
Brak!
Tangis Galya dan Ezra yang sedang kalut di dalam kesedihan mereka tiba-tiba terhenti setelah kedatangan Alenda. Itu semua karena kaki Alenda yang tak sengaja salah pijak dan berakhir jatuh dengan posisi telungkup.
"A--lenda?"
Keduanya kini tampak sangat konyol. Galya yang malu karena menangis dan Ezra yang bisa-bisanya memeluk anak bangsawan tanpa takut nyawanya dihabisi saat ini juga.
"Ha--hai?"
Suasana menjadi canggung. Setelah mengucap perpisahan dengan Galya, Ezra segera berlari keluar agar tak lagi ada yang memergoki dirinya. Sedangkan Galya menatap datar Alenda yang tak mungkin berani mengadukannya.
"Lihat semuanya?"
"Ha?" Alenda lemot sebentar. "Eh ... kebetulan iya."
"Aku nggak akan berdalih karena kamu juga sudah melihat semuanya." Walau sudah ketahuan rahasianya, Galya tetap bersikap keren saja. "Kamu bukan orang penting di tempat ini. Jadi, cepatlah pergi dan hidup menderita dengan monster itu. Aku akan lega mendengarnya."
Dih, jahat banget!
"Kamu sangat membenciku, ya?"
"Tidak perlu ditanya. Kehadiranmu di sini saja sudah membuatku kesal. Anak dari pelacur sepertimu tak seharusnya memiliki nama besar Celsion. Kamu tak pantas."
Dia ini malu karena ketahuan rahasianya atau emang beneran jahat, sih?
"Aku mendukung kalian," ucap Alenda, yang sebenarnya enggan mengatakannya. Tapi dia merasa harus menjalin hubungan baik sebelum pergi.
"Apa?"
"Aku bilang, aku mendukung kalian. Memang ada yang bisa menyalahkan cinta? Ayah saja jatuh cinta pada ibuku yang rakyat biasa. Tak dapat dipungkiri kalau Kakak bisa saja merasakan hal yang sama. Jatuh cinta itu tidak salah. Keadaanlah yang membuatnya begitu. Jadi, jangan menyerah. Jangan mau dikalahkan keadaan." Ucapan Alenda membuat Galya terdiam. Untuk pertama kalinya dia mendapat dukungan tentang hal ini. Padahal bercerita kepada ibunya atau Gaffar, dia malah ditentang habis-habisan.
"Cuma itu sih yang mau aku bilang. Anggap saja hadiah terakhirku sebelum pergi."
"Kamu pikir kamu siapa berani menasehatiku?" ucap Galya dengan tatapan tak terima. Dia seperti diremehkan, tapi di sisi lain merasa tenang mendengar ucapannya.
Alenda tersenyum. "Aku tidak pernah membencimu, Kak."
Seminggu kemudian, hari yang berharap bisa Alenda hapus pun datang. Pernikahannya dengan Raja Gavier Hephaestus berlangsung.
"Hati-hati! Jangan membuatnya marah. Raja Hephaestus dikenal emosional. Ada baiknya kamu tidak berulah di sana."Alenda menenggelamkan wajahnya di atas lipatan kaki yang dia buat. Kini dia sudah berada di dalam kereta kuda yang akan membawanya ke kerajaan di ujung benua bersama Anggita. Perkataan ayahnya saat melepas kepergiannya pagi tadi masih saja terngiang dan membuatnya semakin kalut."Jangan duduk seperti itu, Nona. Gaun dan riasan Nona akan hancur," ucap Anggita agar Alenda tak lagi bertingkah bar-bar. Setelah ini nonanya akan menjadi seorang istri dari raja, ada baiknya untuk tetap menjaga tata krama dan bersikap lembut."Jangan ceramahin aku, Nggit. Aku gugup banget tiba-tiba nikah," ucap Alenda. Dia tidak bohong. Dari pagi memang hatinya tak tenang karena hari ini akan menikah. Walau usianya 22 pun, dia masih belum siap dengan yang namanya pernikahan. Apalagi sekarang yang masih 14 tahun?Anggita beranjak dari tempatnya lalu duduk di sebelah Alenda. Dia genggam tangan nonany
"Istriku?"Alenda masih memeluk dirinya sendiri. "Be--benar!""Jadi kau adalah Putri dari Duke Celsion?"Alenda mengangguk cepat-cepat. Dia sangat mengingat rumor soal Yang Mulia Hephaestus yang kejam. "Makhluk tadi ...."Gavier baru ingat. Lantas dia mendekat ke jendela dan menutupnya. "Dia adalah iblis tingkat rendah yang sedang kelaparan. Kebetulan sekali kau punya sihir yang dapat mengenyangkannya. Saat merasakan auramu, aku juga cukup terkejut karena baru pertama kali merasakan aura seperti ini.""Hah? Sihir? Bagaimana mungkin?" Alenda menatap kedua telapak tangannya."Jadi kau tak tau kalau punya sihir yang besar?"Gavier berjalan mendekatinya. Kala berada di posisi cukup dekat, dia mengangkat dagu Alenda sampai mendongak. "Kecil sekali.""HAH? APANYA?!" Alenda syok minta ampun. Dia kembali memeluk dirinya sendiri. Melihat itu Gavier tertawa renyah."Maksudku bukan itu, Nona. Kau sangat kecil untuk kujadikan istri. Berapa usiamu?""Aku masih 14 tahun," jawab Alenda yang merasa l
Dum! Dum! Dum!Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda tinggi berjalan melenggak-lenggok, melewati kerumunan orang yang sibuk berjoget. Bunyi lagu yang diputar keras menambah suasana setiap orang yang sibuk menikmati kebebasan. Bibir semerah mawar gadis itu memberikan daya tarik kuat kepada laki-laki yang kesepian. Beberapa mendekati secara terang-terangan, tapi dia ahli sekali dalam menghindar. Setelah mengambil gelas berisi vodka, dia menggoyangkannya sebentar. Belum sempat diminum, seseorang memanggilnya."Zata!"Yang dipanggil menoleh. Senyumnya mengembang saat Inggit akhirnya menemukan dirinya."Gila lo! Gue udah cari ke sana ke mari tapi nggak ketemu-ketemu!""Hah? Apa?" seru Zata karena tak bisa mendengar suara Inggit."AYO PULANG! LO MABUK, LONTE!" teriak Inggit di kuping Zata. Akhirnya Zata bisa dengar. Dia tertawa saat mengetahui cara Inggit menyebutnya. Memang sudah biasa mereka saling memaki, sebab pertemanan mereka lebih lama dari hanya sekedar teman sepermainan. Mereka s
"Ini nggak lagi diprank Inggit, kan?"Zata menunduk, berusaha merenung dan memahami keadaan yang terjadi sekarang.Klotak ... klotakBunyi kereta kuda yang dijalankan membuat Zata tak nyaman. Lantas dia membuka jendelanya untuk menghirup udara luar. Di sini rasanya sesak, apalagi dia juga ingin mengatasi keterkejutannya atas apa yang terjadi. Belum sempat mengambil napas, Zata bertemu tatap dengan pria yang tadi memarahinya. Entah bagaimana bisa pria itu berkuda tepat di samping kereta Zata."Jangan berani berpikir untuk kabur!"Spontan Zata memasukkan kembali wajahnya dan menutup jendela."Galak banget. Slow aja kali. Bokap gue aja nggak pernah marah-marah. Cepet tua lo nanti!" gumam Zata yang kesal."... na.""Sebenarnya kenapa, sih? Apa gue lagi diprank Inggit? Tapi kalo iya, kenapa tubuh gue bisa pindah ke hutan? Masa digendong Inggit? Yakali." gumam Zata yang tak mendengar ucapan perempuan di hadapannya. Dia terlalu sibuk memikirkan situasinya."Nona!" seru pelayan lagi kala nona
Setelah kehilangan kesadarannya selama beberapa jam, Zata akhirnya bisa merasakan keadaan di sekitar. Rasa sakit yang ada di kepalanya juga tak separah kala dia bangun setelah mabuk semalaman. Tubuhnya terasa nyaman, mungkin karena ranjang ini lebih empuk daripada kasur yang dia pakai biasanya."Pingsan?" gumamnya. Perlahan dia bangkit dan menyapu pandangan. Ruangan ini sangat luas. Kalau di dunia nyata pasti para artis terkenal yang memilikinya. Walau keluarga Zata cukup kaya, dia tak pernah kepikiran memiliki kamar megah begini."No ... Nona!" teriak seseorang dari arah pintu. Dia berlari tergesa-gesa setelah meletakkan baskom berisi air hangat ke atas nakas, kemudian mendekati sisi ranjang Zata. "Bagaimana keadaan, Nona?""Gue ... ehem--"Aku harus segera terbiasa dengan cara bicara di tempat ini, pikir Zata."... aku habis pingsan?""Benar, Nona. Saya sangat cemas. Untung ada Tuan Muda Gaffar yang tidak sengaja lewat. Beliau menggendong Nona ke sini karena kalau sampai Tuan Duke t
"Apa ... yang kamu lakukan di sini?"Zata, yang sekarang akan lebih banyak kita sebut Alenda, tengah menatap bingung Anggita yang berjongkok di samping tempat putri Celsion mandi."Saya menunggu Tuan Putri.""Iya, maksudku kenapa kamu menungguku di sini?" tanya Alenda lagi yang masih tak paham."Saya akan memandikan Nona," ucapnya tanpa dosa dengan senyuman lebar."Hah? Ngapain? Emang ada peraturan di tempat ini kalau kita nggak boleh mandi sendiri?" Alenda bingung karena selama dia hidup di dunia asalnya, dia pasti mandi sendiri. Terakhir kali dimandikan adalah saat berusia lima tahun."Tidak juga, tapi ... para putri bangsawan memang selalu dimandikan. Termasuk Nona Alenda. Jadi--""Oke-oke, tapi ... kami berhak menolak, kan? Maksudku, kalau aku tidak nyaman, aku bisa menolak hal itu, kan?" ucap Alenda seraya memegang erat-erat piyama mandinya."Apa maksud Nona?""Aku mau mandi sendiri! Bo--boleh, kan?"Anggita menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, dia jadi bingung dengan sikap
"Istriku?"Alenda masih memeluk dirinya sendiri. "Be--benar!""Jadi kau adalah Putri dari Duke Celsion?"Alenda mengangguk cepat-cepat. Dia sangat mengingat rumor soal Yang Mulia Hephaestus yang kejam. "Makhluk tadi ...."Gavier baru ingat. Lantas dia mendekat ke jendela dan menutupnya. "Dia adalah iblis tingkat rendah yang sedang kelaparan. Kebetulan sekali kau punya sihir yang dapat mengenyangkannya. Saat merasakan auramu, aku juga cukup terkejut karena baru pertama kali merasakan aura seperti ini.""Hah? Sihir? Bagaimana mungkin?" Alenda menatap kedua telapak tangannya."Jadi kau tak tau kalau punya sihir yang besar?"Gavier berjalan mendekatinya. Kala berada di posisi cukup dekat, dia mengangkat dagu Alenda sampai mendongak. "Kecil sekali.""HAH? APANYA?!" Alenda syok minta ampun. Dia kembali memeluk dirinya sendiri. Melihat itu Gavier tertawa renyah."Maksudku bukan itu, Nona. Kau sangat kecil untuk kujadikan istri. Berapa usiamu?""Aku masih 14 tahun," jawab Alenda yang merasa l
"Hati-hati! Jangan membuatnya marah. Raja Hephaestus dikenal emosional. Ada baiknya kamu tidak berulah di sana."Alenda menenggelamkan wajahnya di atas lipatan kaki yang dia buat. Kini dia sudah berada di dalam kereta kuda yang akan membawanya ke kerajaan di ujung benua bersama Anggita. Perkataan ayahnya saat melepas kepergiannya pagi tadi masih saja terngiang dan membuatnya semakin kalut."Jangan duduk seperti itu, Nona. Gaun dan riasan Nona akan hancur," ucap Anggita agar Alenda tak lagi bertingkah bar-bar. Setelah ini nonanya akan menjadi seorang istri dari raja, ada baiknya untuk tetap menjaga tata krama dan bersikap lembut."Jangan ceramahin aku, Nggit. Aku gugup banget tiba-tiba nikah," ucap Alenda. Dia tidak bohong. Dari pagi memang hatinya tak tenang karena hari ini akan menikah. Walau usianya 22 pun, dia masih belum siap dengan yang namanya pernikahan. Apalagi sekarang yang masih 14 tahun?Anggita beranjak dari tempatnya lalu duduk di sebelah Alenda. Dia genggam tangan nonany
"Sialan! Arrrrrgh!"Alenda menendang-nendang pilar yang berada di dekat air terjun. Perasaannya kini sangat kacau usai keluar dari ruangan ayahnya. Kalau diingat kembali, Celsion benar-benar ayah yang kejam. Padahal dia bilang, dia mencintai ibunya Alenda. Lalu kenapa Celsion tega mengirim Alenda ke kerajaan ujung benua? Padahal Alenda tak pernah buat masalah selain saat kabur kemarin."Kamu baik-baik saja?"Ucapan seseorang membuat pergerakan Alenda terhenti. Dia harus bersikap lembut. Seorang gadis berusia 14 tahun normalnya tak akan berkata kasar dan bersikap bar-bar. Dia tak boleh membuat orang lain mencurigainya. Kala berbalik, dia bisa melihat tatapan hangat dari Gaffar padanya."Kakak ...."Gaffar berjalan mendekat lalu mengulurkan tangan di depan Alenda. "Izinkan aku menemanimu berkeliling taman."Karena sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, Alenda tak punya pilihan selain menerima ajakannya. Gaffar pasti akan curiga kalau respon Alenda berbeda."Har
"Apa ... yang kamu lakukan di sini?"Zata, yang sekarang akan lebih banyak kita sebut Alenda, tengah menatap bingung Anggita yang berjongkok di samping tempat putri Celsion mandi."Saya menunggu Tuan Putri.""Iya, maksudku kenapa kamu menungguku di sini?" tanya Alenda lagi yang masih tak paham."Saya akan memandikan Nona," ucapnya tanpa dosa dengan senyuman lebar."Hah? Ngapain? Emang ada peraturan di tempat ini kalau kita nggak boleh mandi sendiri?" Alenda bingung karena selama dia hidup di dunia asalnya, dia pasti mandi sendiri. Terakhir kali dimandikan adalah saat berusia lima tahun."Tidak juga, tapi ... para putri bangsawan memang selalu dimandikan. Termasuk Nona Alenda. Jadi--""Oke-oke, tapi ... kami berhak menolak, kan? Maksudku, kalau aku tidak nyaman, aku bisa menolak hal itu, kan?" ucap Alenda seraya memegang erat-erat piyama mandinya."Apa maksud Nona?""Aku mau mandi sendiri! Bo--boleh, kan?"Anggita menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, dia jadi bingung dengan sikap
Setelah kehilangan kesadarannya selama beberapa jam, Zata akhirnya bisa merasakan keadaan di sekitar. Rasa sakit yang ada di kepalanya juga tak separah kala dia bangun setelah mabuk semalaman. Tubuhnya terasa nyaman, mungkin karena ranjang ini lebih empuk daripada kasur yang dia pakai biasanya."Pingsan?" gumamnya. Perlahan dia bangkit dan menyapu pandangan. Ruangan ini sangat luas. Kalau di dunia nyata pasti para artis terkenal yang memilikinya. Walau keluarga Zata cukup kaya, dia tak pernah kepikiran memiliki kamar megah begini."No ... Nona!" teriak seseorang dari arah pintu. Dia berlari tergesa-gesa setelah meletakkan baskom berisi air hangat ke atas nakas, kemudian mendekati sisi ranjang Zata. "Bagaimana keadaan, Nona?""Gue ... ehem--"Aku harus segera terbiasa dengan cara bicara di tempat ini, pikir Zata."... aku habis pingsan?""Benar, Nona. Saya sangat cemas. Untung ada Tuan Muda Gaffar yang tidak sengaja lewat. Beliau menggendong Nona ke sini karena kalau sampai Tuan Duke t
"Ini nggak lagi diprank Inggit, kan?"Zata menunduk, berusaha merenung dan memahami keadaan yang terjadi sekarang.Klotak ... klotakBunyi kereta kuda yang dijalankan membuat Zata tak nyaman. Lantas dia membuka jendelanya untuk menghirup udara luar. Di sini rasanya sesak, apalagi dia juga ingin mengatasi keterkejutannya atas apa yang terjadi. Belum sempat mengambil napas, Zata bertemu tatap dengan pria yang tadi memarahinya. Entah bagaimana bisa pria itu berkuda tepat di samping kereta Zata."Jangan berani berpikir untuk kabur!"Spontan Zata memasukkan kembali wajahnya dan menutup jendela."Galak banget. Slow aja kali. Bokap gue aja nggak pernah marah-marah. Cepet tua lo nanti!" gumam Zata yang kesal."... na.""Sebenarnya kenapa, sih? Apa gue lagi diprank Inggit? Tapi kalo iya, kenapa tubuh gue bisa pindah ke hutan? Masa digendong Inggit? Yakali." gumam Zata yang tak mendengar ucapan perempuan di hadapannya. Dia terlalu sibuk memikirkan situasinya."Nona!" seru pelayan lagi kala nona
Dum! Dum! Dum!Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda tinggi berjalan melenggak-lenggok, melewati kerumunan orang yang sibuk berjoget. Bunyi lagu yang diputar keras menambah suasana setiap orang yang sibuk menikmati kebebasan. Bibir semerah mawar gadis itu memberikan daya tarik kuat kepada laki-laki yang kesepian. Beberapa mendekati secara terang-terangan, tapi dia ahli sekali dalam menghindar. Setelah mengambil gelas berisi vodka, dia menggoyangkannya sebentar. Belum sempat diminum, seseorang memanggilnya."Zata!"Yang dipanggil menoleh. Senyumnya mengembang saat Inggit akhirnya menemukan dirinya."Gila lo! Gue udah cari ke sana ke mari tapi nggak ketemu-ketemu!""Hah? Apa?" seru Zata karena tak bisa mendengar suara Inggit."AYO PULANG! LO MABUK, LONTE!" teriak Inggit di kuping Zata. Akhirnya Zata bisa dengar. Dia tertawa saat mengetahui cara Inggit menyebutnya. Memang sudah biasa mereka saling memaki, sebab pertemanan mereka lebih lama dari hanya sekedar teman sepermainan. Mereka s