Share

Bab 4

"Sialan! Arrrrrgh!"

Alenda menendang-nendang pilar yang berada di dekat air terjun. Perasaannya kini sangat kacau usai keluar dari ruangan ayahnya. Kalau diingat kembali, Celsion benar-benar ayah yang kejam. Padahal dia bilang, dia mencintai ibunya Alenda. Lalu kenapa Celsion tega mengirim Alenda ke kerajaan ujung benua? Padahal Alenda tak pernah buat masalah selain saat kabur kemarin.

"Kamu baik-baik saja?"

Ucapan seseorang membuat pergerakan Alenda terhenti. Dia harus bersikap lembut. Seorang gadis berusia 14 tahun normalnya tak akan berkata kasar dan bersikap bar-bar. Dia tak boleh membuat orang lain mencurigainya. Kala berbalik, dia bisa melihat tatapan hangat dari Gaffar padanya.

"Kakak ...."

Gaffar berjalan mendekat lalu mengulurkan tangan di depan Alenda. "Izinkan aku menemanimu berkeliling taman."

Karena sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, Alenda tak punya pilihan selain menerima ajakannya. Gaffar pasti akan curiga kalau respon Alenda berbeda.

"Hari ini kamu cantik." Gaffar mencium punggung tangan Alenda. Mau tidak mau Alenda tersenyum malu, padahal aslinya ingin muntah. Kalau saja Gaffar bukan saudara tiri Alenda asli, kisah cinta mereka akan dijalankannya tanpa ragu. Tapi mengetahui bahwa mereka masih memiliki darah ayah yang sama, ini cukup menjijikkan.

"Aku sudah dengar soal keputusan ayah mengirimmu ke Kerajaan Disappear. Itu adalah keputusan paling tidak bijaksana yang pertama kali ayah ambil. Padahal putri bungsu tak boleh menikah mendahului kakaknya, sehingga Galya lah yang paling cocok menjadi Ratu untuk Raja Monster itu."

Alenda tak tau harus menjawab apa. Dia hanya mengalihkan pandangan dan diam.

"Alenda, jangan khawatir. Aku akan selalu ada di sisimu." Gaffar menggenggam erat tangan Alenda. Dia memang masih sangat kecil, itu sebabnya Gaffar semakin ingin melindungi gadis ini secepatnya. "Kamu harus ingat bahwa aku akan selalu membawa cinta ini sampai mati. Bahkan jika harus menunggumu bercerai dengan raja itu, aku akan melakukannya."

"Kenapa?" tanya Alenda yang akhirnya menatap Gaffar.

"Karena kamu adalah cinta pertama dan terakhirku. Aku tak butuh yang lainnya selain kamu."

Aku tidak tau apa yang sudah dilakukan Alenda asli sampai Gaffar begitu mencintainya, batin Alenda.

***

Di saat seperti ini, mencari udara segar adalah jalan terbaik. Keputusan soal pernikahan sudah dipastikan akan terjadi minggu depan. Benar-benar sulit dipercaya bahwa akhirnya mereka mengirim anak di bawah umur untuk menikah dengan raja mata keranjang.

Kalau sudah menjadi raja, berarti dia adalah om-om tua yang punya penyakit pedofil, kan? Entah sudah berapa banyak istrinya sampai membutuhkan anak kecil sepertinya. Mau dipikirkan berapa kali pun Alenda masih tak paham. Kalau papanya yang menjadi Duke, tak akan mungkin dengan mudah mengirim anak gadisnya ke tempat aneh. Alenda benar-benar tak tau apa yang harus dia lakukan di sana nanti.

Sepertinya hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah tidak jatuh cinta pada raja mata keranjang itu. Mungkin di cerita aslinya, Alenda mudah jatuh cinta karena masih muda dan labil. Tapi sekarang Alenda tidak akan begitu karena jiwa yang datang ke tempat ini berusia 22 tahun.

"Saya berjanji akan menuntaskan pendidikan saya dan menerima gelar Baron. Apakah Anda mau menunggu saya sampai saya berhasil mendapatkannya, Nona?"

Eh?

Alenda segera bersembunyi di belakang pohon. Mungkin karena dia terus berjalan sampai tak sadar berada di bagian belakang kediaman Duke, Alenda tak sengaja menjumpai Galya yang sedang berbicara diam-diam dengan seorang pria.

"Aku mencintaimu, tapi ... ini tidak mudah, Ezra. Ayah tetap tak akan menerimamu walau kau menjadi Baron. Itu tetaplah kedudukan yang jauh lebih rendah dariku. Kalau aku menjadi Duchess, mungkin aku bisa melakukan sesuatu dan membuatmu menjadi Dukeku. Tapi tentu saja itu tidak mudah, setidaknya kau harus berjasa untuk negara ini."

Galya mengambil tangan pria itu lalu menunduk.

"Maafkan aku ... mungkin kita tidak ditakdirkan bersama."

"Ta--tapi!"

Galya berbalik, hendak berlari. Dalam waktu singkat, dia sudah berada di dalam dekapan pria itu yang sengaja menahannya.

Alenda bersiul dalam hati. Di dunia seperti ini ternyata banyak adegan dramatis. Alenda merasa seperti sedang menonton film di bioskop, sehingga dia memutuskan untuk terus mengintip. Rasanya jadi penasaran apa yang akan terjadi.

"Kumohon, jangan pergi! Aku tak bisa hidup tanpamu, Galya."

Eiyy, masa sih? Emang bener nggak bisa hidup tanpa Galya? Bukannya oksigen? batin Alenda yang sudah cekikikan dalam hati.

"Kita berbeda, Ezra."

"Tapi perasaan kita sama, Galya."

Duh, bagus amat kalimatnya. Catet-catet! Siapa tau aku ntar kejebak adegan begini juga. Ah, apa aku coba sama si Gaffar itu? pikir Alenda yang sudah ngawur ke mana-mana.

"Maaf ... aku harus menjadi Duchess, Ezra."

Air mata Galya menetes di luar kendalinya. Padahal Galya bukan perempuan cengeng seperti ini. Dia bahkan lebih kuat dari kelihatannya. Tak hanya kecerdasan otak, keahlian pedang yang dia punya juga selalu berhasil mengalahkan Gaffar yang punya julukan Mata Pedang karena berhasil mengalahkan panglima perang kerajaan. Tapi bagaimanapun juga, Galya memang seorang perempuan yang mengutamakan perasaan. Dia jadi lemah karena hal seperti ini.

"Cinta ini ... mungkin harus kita hapus, Ezra."

"Eh! Eh!"

Brak!

Tangis Galya dan Ezra yang sedang kalut di dalam kesedihan mereka tiba-tiba terhenti setelah kedatangan Alenda. Itu semua karena kaki Alenda yang tak sengaja salah pijak dan berakhir jatuh dengan posisi telungkup.

"A--lenda?"

Keduanya kini tampak sangat konyol. Galya yang malu karena menangis dan Ezra yang bisa-bisanya memeluk anak bangsawan tanpa takut nyawanya dihabisi saat ini juga.

"Ha--hai?"

Suasana menjadi canggung. Setelah mengucap perpisahan dengan Galya, Ezra segera berlari keluar agar tak lagi ada yang memergoki dirinya. Sedangkan Galya menatap datar Alenda yang tak mungkin berani mengadukannya.

"Lihat semuanya?"

"Ha?" Alenda lemot sebentar. "Eh ... kebetulan iya."

"Aku nggak akan berdalih karena kamu juga sudah melihat semuanya." Walau sudah ketahuan rahasianya, Galya tetap bersikap keren saja. "Kamu bukan orang penting di tempat ini. Jadi, cepatlah pergi dan hidup menderita dengan monster itu. Aku akan lega mendengarnya."

Dih, jahat banget!

"Kamu sangat membenciku, ya?"

"Tidak perlu ditanya. Kehadiranmu di sini saja sudah membuatku kesal. Anak dari pelacur sepertimu tak seharusnya memiliki nama besar Celsion. Kamu tak pantas."

Dia ini malu karena ketahuan rahasianya atau emang beneran jahat, sih?

"Aku mendukung kalian," ucap Alenda, yang sebenarnya enggan mengatakannya. Tapi dia merasa harus menjalin hubungan baik sebelum pergi.

"Apa?"

"Aku bilang, aku mendukung kalian. Memang ada yang bisa menyalahkan cinta? Ayah saja jatuh cinta pada ibuku yang rakyat biasa. Tak dapat dipungkiri kalau Kakak bisa saja merasakan hal yang sama. Jatuh cinta itu tidak salah. Keadaanlah yang membuatnya begitu. Jadi, jangan menyerah. Jangan mau dikalahkan keadaan." Ucapan Alenda membuat Galya terdiam. Untuk pertama kalinya dia mendapat dukungan tentang hal ini. Padahal bercerita kepada ibunya atau Gaffar, dia malah ditentang habis-habisan.

"Cuma itu sih yang mau aku bilang. Anggap saja hadiah terakhirku sebelum pergi."

"Kamu pikir kamu siapa berani menasehatiku?" ucap Galya dengan tatapan tak terima. Dia seperti diremehkan, tapi di sisi lain merasa tenang mendengar ucapannya.

Alenda tersenyum. "Aku tidak pernah membencimu, Kak."

Seminggu kemudian, hari yang berharap bisa Alenda hapus pun datang. Pernikahannya dengan Raja Gavier Hephaestus berlangsung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status