"Hati-hati! Jangan membuatnya marah. Raja Hephaestus dikenal emosional. Ada baiknya kamu tidak berulah di sana."
Alenda menenggelamkan wajahnya di atas lipatan kaki yang dia buat. Kini dia sudah berada di dalam kereta kuda yang akan membawanya ke kerajaan di ujung benua bersama Anggita. Perkataan ayahnya saat melepas kepergiannya pagi tadi masih saja terngiang dan membuatnya semakin kalut.
"Jangan duduk seperti itu, Nona. Gaun dan riasan Nona akan hancur," ucap Anggita agar Alenda tak lagi bertingkah bar-bar. Setelah ini nonanya akan menjadi seorang istri dari raja, ada baiknya untuk tetap menjaga tata krama dan bersikap lembut.
"Jangan ceramahin aku, Nggit. Aku gugup banget tiba-tiba nikah," ucap Alenda. Dia tidak bohong. Dari pagi memang hatinya tak tenang karena hari ini akan menikah. Walau usianya 22 pun, dia masih belum siap dengan yang namanya pernikahan. Apalagi sekarang yang masih 14 tahun?
Anggita beranjak dari tempatnya lalu duduk di sebelah Alenda. Dia genggam tangan nonanya yang terasa dingin itu. "Saya akan selalu ada di sisi Nona. Nona jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja. Sekarang kita hanya bisa berharap bahwa Raja Hephaestus bukan seperti yang diceritakan."
Ucapan Anggita mungkin benar. Setelah dua hari satu malam perjalanan panjang mereka, akhirnya Alenda sampai di Kerajaan Disappear. Istana yang begitu megah itu jauh lebih besar dari kediaman Duke. Bahkan berkali-kali lipat lebih besar.
"Whoaaa ... besar banget, Nggit!" seru Alenda yang mengintip dari dalam kereta kuda.
"Anda benar Nona! Istananya besar sekali. Saya baru pertama kali ke tempat semegah ini," ucapnya yang tak kalah takjub. Kini Alenda dan Anggita sama-sama memandang kagum istana di depannya.
"NONA ALENDA LAQUEEN CELSION TELAH TIBA!"
Jantung Alenda berdebar hebat, sama halnya dengan Anggita yang sangat bersemangat. Gadis itu segera memperbaiki pakaian dan penampilan Alenda. Bagaimanapun, dirinya adalah calon ratu kerajaan ini, maka Anggita harus membuat Alenda tampak secantik mungkin.
"Jangan tebel-tebel, Nggit. Nanti aku dipanggil tante-tante," ucap Alenda yang masih memejamkan mata karena sedang dirias Anggita.
"Nona tenang saja. Nona akan tampak sangat cantik."
"Apakah Anda sudah siap, Nona?" tanya pengawal dari luar.
"Se--sebentar!" seru Alenda.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Anggita selesai. Alenda pun menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari kereta kuda. Lantas dirinya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru istana yang indah. Tangan pengawal yang terulur padanya pun dia terima dengan sopan.
"SELAMAT DATANG DI KERAJAAN DISAPPEAR, CALON RATU DISAPPEAR!"
Seluruh pelayan dan pengawal berbaris sepanjang jalan. Alenda jadi semakin bersemangat untuk menyapa mereka.
Kayak di film-film, njir. Sekalian fashion show, ah, batin Alenda yang pipinya sudah memerah karena malu. Dia melambaikan tangan ke kanan dan kiri bergantian. Kalau seperti ini saja mudah sekali. Dia sudah sering menonton dokumentasi Ratu Inggris yang menyapa rakyatnya di televisi.
"Selamat datang, Nona. Perkenalkan saya Lalea, kepala pengurus rumah tangga. Anda bisa mengikuti saya menuju ruangan Nona," ucap wanita paruh baya itu. Karena belum kenal siapa-siapa, Alenda pun mengangguk setuju.
"Wah, calon ratu kita sangat muda!"
"Iya, nih, cantik lagi."
"Siapa sangka Duke Celsion benar-benar akan mengirim putri kesayangannya?"
"Heran, ya? Kok dia mau datang ke sini?"
"Kita harus melindunginya! Jangan sampai dia kabur setelah bertemu Yang Mulia. Biasanya kan perempuan akan lari ketakutan."
"Oh iya-ya! Gimana kalau dia melihat wajah Yang Mulia? Aku tidak bisa membayangkan wajah cantiknya ketakutan!"
"Duh, iya! Kasihan sekali. Kita harus membuatnya merasa betah di sini."
Alenda melirik Anggita. Keduanya sama-sama mendengar bisikan para pelayan. Entah itu kabar baik atau buruk. Yang jelas, Alenda sudah berhasil memberikan kesan baik. Hanya saja dia jadi cukup waswas mendengar betapa buruk rupanya raja kerajaan ini sampai pelayan bisa terang-terangan mengatainya.
"Untuk sementara, ini adalah ruangan Nona. Setelah menikah dengan Yang Mulia, kamar Anda akan dipindah ke Istana Matahari bersama Yang Mulia," ucapnya di ambang pintu.
"Emm ... baiklah."
"Apa ada pertanyaan, Nona?"
Alenda bingung harus bertanya apa karena terlalu tiba-tiba. Tapi setelah berpikir dalam waktu cepat, akhirnya dia menemukan pertanyaan yang ingin disampaikan. "Di manakah Yang Mulia sekarang?"
"Yang Mulia sedang dalam perjalanan ke mari. Beliau baru selesai mengurus hubungan diplomatik dengan Negara Angkasa."
Negara Angkasa?
"Baiklah."
"Sebelum pernikahan Nona besok pagi, nanti malam Yang Mulia akan bertemu Nona untuk makan malam."
Alenda mengangguk. "Terima kasih informasinya."
Setelah itu, Lalea pergi dari pandangan Alenda untuk menyiapkan pesta pernikahan rajanya. Anggita pun menutup pintu ruangan dan mengikuti langkah Alenda yang ambruk di atas ranjang.
"Anggita ...," panggil Alenda dengan tatapan kosong ke langit kamar.
"Ya, Nona?"
"Anggita ...," panggilnya lagi.
"Iya, Nona Alenda."
"Anggita ...," panggil Alenda lagi yang kali ini disertai rengekan.
"Iya, Calon Ratu Disappear."
Alenda pun menutup wajahnya. "Besok aku nikah!"
"Benar, Nona."
"Aku harus gimana?" Alenda bangkit dan menatap Anggita yang juga merasa situasi ini tak adil. Padahal nonanya masih sangat kecil. Dengan penuh rasa kasihan, Anggita mendekat ke Alenda dan memeluknya. Tanpa ragu Alenda membalas pelukan Anggita.
"Setelah ini, semuanya baru benar-benar akan dimulai ... hiks!" Alenda meneteskan air matanya. Persetan dengan menjaga nyawa. Besok dia sudah akan menjadi istri. Memang apa yang bisa dia lakukan?
"Saya akan selalu ada di sisi Nona Alenda apa pun yang terjadi. Percayakan saja pada saya, Nona!"
Alenda pun menguraikan pelukan mereka. Dia mengusap air mata di pipinya. "Yang benar?"
"Benar, Nona."
"Kalau begitu, aku mau minta bantuanmu!"
Anggita mengusapkan air mata Alenda yang masih mengalir di pipinya. "Apa itu, Nona?"
"Besok setelah menikah ... kamu harus berjaga di depan kamarku semalaman! Kalo kamu dengar aku teriak, kamu harus segera masuk dan membawaku pergi, ya?"
"Ta--tapi ... itu ...."
Alenda mengalihkan pandangannya ke jendela ruangan. "Aku tidak ingin dia menyentuh sedikit pun tubuhku."
Melihat tatapan pasrah Alenda, Anggita jadi tak tega. Mau bagaimanapun, nonanya masih muda. Akan terlalu berat jika anak sekecilnya menanggung beban dan rasa takut begitu besar. "Akan saya lakukan, Nona!"
"Terima kasih, Anggita."
Saat waktu makan malam tiba, hujan deras dicampur halilintar mendadak datang. Seluruh lilin di penjuru istana padam tanpa sebab. Harusnya bagian luar saja yang gelap, nyatanya seluruh isi ruangan juga gelap walau tak ada angin. Mengetahui hal itu, Anggita yang sedang mendandani Alenda pun ikut panik.
"Saya akan periksa kondisi di luar, Nona," ucapnya.
Alenda mengangguk. Mati lampu bukanlah hal menakutkan bagi Alenda. Sebagai perempuan dewasa yang hidup di era modern, Alenda cukup tau bagaimana menjaga diri dan tidak percaya dengan hal mistis seperti hantu.
"Bagaimana rupanya, ya?" Hanya itu yang Alenda pusingkan. Sampai saat ini, kepala pengurus belum menjemputnya. Yang artinya sang raja belum pulang. Alenda pun menegakkan tubuhnya menuju jendela. Sebenarnya di luar istana malah lebih terang karena sinar bulan. Alenda pun membuka tirainya dan menatap bulan purnama yang muncul di atas sana.
Bintang jatuh!
Alenda melihat suatu sinar yang melintas dengan cepat. Sepertinya itu adalah bintang jatuh. Dengan cepat dia menangkupkan kedua tangannya. Segera mengucapkan sebuah harapan agar menjadi kenyataan.
"Alenda Laqueen, kau enak sekali!"
Mendengar itu, Alenda segera membuka mata. Betapa terkejut dirinya melihat wajah seram yang tersenyum di balik jendela. Matanya yang terbuka lebar dan lidahnya yang menjulur panjang membuat Alenda membatu di tempat.
"I--it--itu!"
"KE MARI KAU!"
Seseorang menjambak rambut makhluk itu dari belakang. Bukannya lari, Alenda malah membuka jendela. Dia ingin tau situasi apa yang terjadi di luar sana. Karena jendela yang terbuka, air hujan jadi masuk ke dalam kamar. Alenda berusaha memicingkan mata untuk melihat dua makhluk yang berterbangan di atas sana.
Alenda melihat seorang laki-laki bertopeng yang terbang dengan sapu sambil berterbangan menjambak makhluk tadi.
K--kok?! Itu Harry Potter? Kau kah itu?
Alenda yang syok jadi makin ngawur. Dia kelabakan mengedarkan pandangan.
Jangan-jangan ini Hogwarts? Tapi kan aku Muggle!
Saking pusingnya, Alenda ingin pingsan. Tapi belum sempat memejamkan mata, Alenda harus membukanya lebar-lebar karena makhluk aneh dan pria bertopeng itu terbang ke arahnya.
"Hah? Hah? Gue harus ngapain? Apa? Apa? Ini gimana, nih?!"
"TUTUP JENDELANYA!"
Alenda takut, dia sampai tak punya tenaga untuk menutup jendela. Bagaimana tidak? Wajah makhluk itu sangat menyeramkan dan dia baru pertama kali melihat manusia terbang.
"ASTAGA!"
Hampir saja makhluk itu melahap Alenda, pria bertopeng itu memakan otaknya. Alenda yang oleng ke belakang langsung dia tangkap pinggangnya.
"AKKKHHHHHH!"
Alenda merasa dirinya baik-baik saja, lantas dia membuka mata dan mendapati dalam posisi yang sangat dekat dengan manusia bertopeng.
"Siapa kau?"
"AKKKKHHHH!" Alenda teriak lagi. Membuatnya menutup telinga dan berakhir melepas Alenda.
"Aku tidak akan menyakitimu jadi berhenti berteriak."
Alenda terdiam. Dengan jantung yang berdebar hebat karena rasa takut, Alenda memperhatikan pria berpakaian aneh dan bertopeng itu.
"Siapa kau? Apa kau malaikat maut?!" tanya Alenda.
"Mirip?"
"APA?!" Alenda memeluk tubuhnya sendiri.
"Aku bercanda, tapi siapa kau dan kenapa ada di sini?"
"A--aku tak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu! Kau saja tak menjawab pertanyaanku." Alenda kesal karena malam-malam begini menghabiskan tenaga untuk berbicara dengan orang yang wajahnya tak bisa dia lihat.
"Masalahnya, kau berada di dalam istanaku."
"Apa maksudmu?" Alenda yang masih bingung jadi semakin tak mengerti.
"Ini istanaku, Nona."
Tunggu ... ini istananya? Apa maksudnya dia adalah Yang Mulia Gavier Hephaestus?! Apa itu mungkin? Suaranya terdengar sangat muda ... bukan om-om!
"Jadi, Anda adalah Yang Mulia?"
"Benar. Lalu, kau siapa, Nona?" tanya Gavier lagi.
"Saya ... adalah calon istri Anda."
"Istriku?"Alenda masih memeluk dirinya sendiri. "Be--benar!""Jadi kau adalah Putri dari Duke Celsion?"Alenda mengangguk cepat-cepat. Dia sangat mengingat rumor soal Yang Mulia Hephaestus yang kejam. "Makhluk tadi ...."Gavier baru ingat. Lantas dia mendekat ke jendela dan menutupnya. "Dia adalah iblis tingkat rendah yang sedang kelaparan. Kebetulan sekali kau punya sihir yang dapat mengenyangkannya. Saat merasakan auramu, aku juga cukup terkejut karena baru pertama kali merasakan aura seperti ini.""Hah? Sihir? Bagaimana mungkin?" Alenda menatap kedua telapak tangannya."Jadi kau tak tau kalau punya sihir yang besar?"Gavier berjalan mendekatinya. Kala berada di posisi cukup dekat, dia mengangkat dagu Alenda sampai mendongak. "Kecil sekali.""HAH? APANYA?!" Alenda syok minta ampun. Dia kembali memeluk dirinya sendiri. Melihat itu Gavier tertawa renyah."Maksudku bukan itu, Nona. Kau sangat kecil untuk kujadikan istri. Berapa usiamu?""Aku masih 14 tahun," jawab Alenda yang merasa l
Dum! Dum! Dum!Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda tinggi berjalan melenggak-lenggok, melewati kerumunan orang yang sibuk berjoget. Bunyi lagu yang diputar keras menambah suasana setiap orang yang sibuk menikmati kebebasan. Bibir semerah mawar gadis itu memberikan daya tarik kuat kepada laki-laki yang kesepian. Beberapa mendekati secara terang-terangan, tapi dia ahli sekali dalam menghindar. Setelah mengambil gelas berisi vodka, dia menggoyangkannya sebentar. Belum sempat diminum, seseorang memanggilnya."Zata!"Yang dipanggil menoleh. Senyumnya mengembang saat Inggit akhirnya menemukan dirinya."Gila lo! Gue udah cari ke sana ke mari tapi nggak ketemu-ketemu!""Hah? Apa?" seru Zata karena tak bisa mendengar suara Inggit."AYO PULANG! LO MABUK, LONTE!" teriak Inggit di kuping Zata. Akhirnya Zata bisa dengar. Dia tertawa saat mengetahui cara Inggit menyebutnya. Memang sudah biasa mereka saling memaki, sebab pertemanan mereka lebih lama dari hanya sekedar teman sepermainan. Mereka s
"Ini nggak lagi diprank Inggit, kan?"Zata menunduk, berusaha merenung dan memahami keadaan yang terjadi sekarang.Klotak ... klotakBunyi kereta kuda yang dijalankan membuat Zata tak nyaman. Lantas dia membuka jendelanya untuk menghirup udara luar. Di sini rasanya sesak, apalagi dia juga ingin mengatasi keterkejutannya atas apa yang terjadi. Belum sempat mengambil napas, Zata bertemu tatap dengan pria yang tadi memarahinya. Entah bagaimana bisa pria itu berkuda tepat di samping kereta Zata."Jangan berani berpikir untuk kabur!"Spontan Zata memasukkan kembali wajahnya dan menutup jendela."Galak banget. Slow aja kali. Bokap gue aja nggak pernah marah-marah. Cepet tua lo nanti!" gumam Zata yang kesal."... na.""Sebenarnya kenapa, sih? Apa gue lagi diprank Inggit? Tapi kalo iya, kenapa tubuh gue bisa pindah ke hutan? Masa digendong Inggit? Yakali." gumam Zata yang tak mendengar ucapan perempuan di hadapannya. Dia terlalu sibuk memikirkan situasinya."Nona!" seru pelayan lagi kala nona
Setelah kehilangan kesadarannya selama beberapa jam, Zata akhirnya bisa merasakan keadaan di sekitar. Rasa sakit yang ada di kepalanya juga tak separah kala dia bangun setelah mabuk semalaman. Tubuhnya terasa nyaman, mungkin karena ranjang ini lebih empuk daripada kasur yang dia pakai biasanya."Pingsan?" gumamnya. Perlahan dia bangkit dan menyapu pandangan. Ruangan ini sangat luas. Kalau di dunia nyata pasti para artis terkenal yang memilikinya. Walau keluarga Zata cukup kaya, dia tak pernah kepikiran memiliki kamar megah begini."No ... Nona!" teriak seseorang dari arah pintu. Dia berlari tergesa-gesa setelah meletakkan baskom berisi air hangat ke atas nakas, kemudian mendekati sisi ranjang Zata. "Bagaimana keadaan, Nona?""Gue ... ehem--"Aku harus segera terbiasa dengan cara bicara di tempat ini, pikir Zata."... aku habis pingsan?""Benar, Nona. Saya sangat cemas. Untung ada Tuan Muda Gaffar yang tidak sengaja lewat. Beliau menggendong Nona ke sini karena kalau sampai Tuan Duke t
"Apa ... yang kamu lakukan di sini?"Zata, yang sekarang akan lebih banyak kita sebut Alenda, tengah menatap bingung Anggita yang berjongkok di samping tempat putri Celsion mandi."Saya menunggu Tuan Putri.""Iya, maksudku kenapa kamu menungguku di sini?" tanya Alenda lagi yang masih tak paham."Saya akan memandikan Nona," ucapnya tanpa dosa dengan senyuman lebar."Hah? Ngapain? Emang ada peraturan di tempat ini kalau kita nggak boleh mandi sendiri?" Alenda bingung karena selama dia hidup di dunia asalnya, dia pasti mandi sendiri. Terakhir kali dimandikan adalah saat berusia lima tahun."Tidak juga, tapi ... para putri bangsawan memang selalu dimandikan. Termasuk Nona Alenda. Jadi--""Oke-oke, tapi ... kami berhak menolak, kan? Maksudku, kalau aku tidak nyaman, aku bisa menolak hal itu, kan?" ucap Alenda seraya memegang erat-erat piyama mandinya."Apa maksud Nona?""Aku mau mandi sendiri! Bo--boleh, kan?"Anggita menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, dia jadi bingung dengan sikap
"Sialan! Arrrrrgh!"Alenda menendang-nendang pilar yang berada di dekat air terjun. Perasaannya kini sangat kacau usai keluar dari ruangan ayahnya. Kalau diingat kembali, Celsion benar-benar ayah yang kejam. Padahal dia bilang, dia mencintai ibunya Alenda. Lalu kenapa Celsion tega mengirim Alenda ke kerajaan ujung benua? Padahal Alenda tak pernah buat masalah selain saat kabur kemarin."Kamu baik-baik saja?"Ucapan seseorang membuat pergerakan Alenda terhenti. Dia harus bersikap lembut. Seorang gadis berusia 14 tahun normalnya tak akan berkata kasar dan bersikap bar-bar. Dia tak boleh membuat orang lain mencurigainya. Kala berbalik, dia bisa melihat tatapan hangat dari Gaffar padanya."Kakak ...."Gaffar berjalan mendekat lalu mengulurkan tangan di depan Alenda. "Izinkan aku menemanimu berkeliling taman."Karena sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, Alenda tak punya pilihan selain menerima ajakannya. Gaffar pasti akan curiga kalau respon Alenda berbeda."Har
"Istriku?"Alenda masih memeluk dirinya sendiri. "Be--benar!""Jadi kau adalah Putri dari Duke Celsion?"Alenda mengangguk cepat-cepat. Dia sangat mengingat rumor soal Yang Mulia Hephaestus yang kejam. "Makhluk tadi ...."Gavier baru ingat. Lantas dia mendekat ke jendela dan menutupnya. "Dia adalah iblis tingkat rendah yang sedang kelaparan. Kebetulan sekali kau punya sihir yang dapat mengenyangkannya. Saat merasakan auramu, aku juga cukup terkejut karena baru pertama kali merasakan aura seperti ini.""Hah? Sihir? Bagaimana mungkin?" Alenda menatap kedua telapak tangannya."Jadi kau tak tau kalau punya sihir yang besar?"Gavier berjalan mendekatinya. Kala berada di posisi cukup dekat, dia mengangkat dagu Alenda sampai mendongak. "Kecil sekali.""HAH? APANYA?!" Alenda syok minta ampun. Dia kembali memeluk dirinya sendiri. Melihat itu Gavier tertawa renyah."Maksudku bukan itu, Nona. Kau sangat kecil untuk kujadikan istri. Berapa usiamu?""Aku masih 14 tahun," jawab Alenda yang merasa l
"Hati-hati! Jangan membuatnya marah. Raja Hephaestus dikenal emosional. Ada baiknya kamu tidak berulah di sana."Alenda menenggelamkan wajahnya di atas lipatan kaki yang dia buat. Kini dia sudah berada di dalam kereta kuda yang akan membawanya ke kerajaan di ujung benua bersama Anggita. Perkataan ayahnya saat melepas kepergiannya pagi tadi masih saja terngiang dan membuatnya semakin kalut."Jangan duduk seperti itu, Nona. Gaun dan riasan Nona akan hancur," ucap Anggita agar Alenda tak lagi bertingkah bar-bar. Setelah ini nonanya akan menjadi seorang istri dari raja, ada baiknya untuk tetap menjaga tata krama dan bersikap lembut."Jangan ceramahin aku, Nggit. Aku gugup banget tiba-tiba nikah," ucap Alenda. Dia tidak bohong. Dari pagi memang hatinya tak tenang karena hari ini akan menikah. Walau usianya 22 pun, dia masih belum siap dengan yang namanya pernikahan. Apalagi sekarang yang masih 14 tahun?Anggita beranjak dari tempatnya lalu duduk di sebelah Alenda. Dia genggam tangan nonany
"Sialan! Arrrrrgh!"Alenda menendang-nendang pilar yang berada di dekat air terjun. Perasaannya kini sangat kacau usai keluar dari ruangan ayahnya. Kalau diingat kembali, Celsion benar-benar ayah yang kejam. Padahal dia bilang, dia mencintai ibunya Alenda. Lalu kenapa Celsion tega mengirim Alenda ke kerajaan ujung benua? Padahal Alenda tak pernah buat masalah selain saat kabur kemarin."Kamu baik-baik saja?"Ucapan seseorang membuat pergerakan Alenda terhenti. Dia harus bersikap lembut. Seorang gadis berusia 14 tahun normalnya tak akan berkata kasar dan bersikap bar-bar. Dia tak boleh membuat orang lain mencurigainya. Kala berbalik, dia bisa melihat tatapan hangat dari Gaffar padanya."Kakak ...."Gaffar berjalan mendekat lalu mengulurkan tangan di depan Alenda. "Izinkan aku menemanimu berkeliling taman."Karena sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, Alenda tak punya pilihan selain menerima ajakannya. Gaffar pasti akan curiga kalau respon Alenda berbeda."Har
"Apa ... yang kamu lakukan di sini?"Zata, yang sekarang akan lebih banyak kita sebut Alenda, tengah menatap bingung Anggita yang berjongkok di samping tempat putri Celsion mandi."Saya menunggu Tuan Putri.""Iya, maksudku kenapa kamu menungguku di sini?" tanya Alenda lagi yang masih tak paham."Saya akan memandikan Nona," ucapnya tanpa dosa dengan senyuman lebar."Hah? Ngapain? Emang ada peraturan di tempat ini kalau kita nggak boleh mandi sendiri?" Alenda bingung karena selama dia hidup di dunia asalnya, dia pasti mandi sendiri. Terakhir kali dimandikan adalah saat berusia lima tahun."Tidak juga, tapi ... para putri bangsawan memang selalu dimandikan. Termasuk Nona Alenda. Jadi--""Oke-oke, tapi ... kami berhak menolak, kan? Maksudku, kalau aku tidak nyaman, aku bisa menolak hal itu, kan?" ucap Alenda seraya memegang erat-erat piyama mandinya."Apa maksud Nona?""Aku mau mandi sendiri! Bo--boleh, kan?"Anggita menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, dia jadi bingung dengan sikap
Setelah kehilangan kesadarannya selama beberapa jam, Zata akhirnya bisa merasakan keadaan di sekitar. Rasa sakit yang ada di kepalanya juga tak separah kala dia bangun setelah mabuk semalaman. Tubuhnya terasa nyaman, mungkin karena ranjang ini lebih empuk daripada kasur yang dia pakai biasanya."Pingsan?" gumamnya. Perlahan dia bangkit dan menyapu pandangan. Ruangan ini sangat luas. Kalau di dunia nyata pasti para artis terkenal yang memilikinya. Walau keluarga Zata cukup kaya, dia tak pernah kepikiran memiliki kamar megah begini."No ... Nona!" teriak seseorang dari arah pintu. Dia berlari tergesa-gesa setelah meletakkan baskom berisi air hangat ke atas nakas, kemudian mendekati sisi ranjang Zata. "Bagaimana keadaan, Nona?""Gue ... ehem--"Aku harus segera terbiasa dengan cara bicara di tempat ini, pikir Zata."... aku habis pingsan?""Benar, Nona. Saya sangat cemas. Untung ada Tuan Muda Gaffar yang tidak sengaja lewat. Beliau menggendong Nona ke sini karena kalau sampai Tuan Duke t
"Ini nggak lagi diprank Inggit, kan?"Zata menunduk, berusaha merenung dan memahami keadaan yang terjadi sekarang.Klotak ... klotakBunyi kereta kuda yang dijalankan membuat Zata tak nyaman. Lantas dia membuka jendelanya untuk menghirup udara luar. Di sini rasanya sesak, apalagi dia juga ingin mengatasi keterkejutannya atas apa yang terjadi. Belum sempat mengambil napas, Zata bertemu tatap dengan pria yang tadi memarahinya. Entah bagaimana bisa pria itu berkuda tepat di samping kereta Zata."Jangan berani berpikir untuk kabur!"Spontan Zata memasukkan kembali wajahnya dan menutup jendela."Galak banget. Slow aja kali. Bokap gue aja nggak pernah marah-marah. Cepet tua lo nanti!" gumam Zata yang kesal."... na.""Sebenarnya kenapa, sih? Apa gue lagi diprank Inggit? Tapi kalo iya, kenapa tubuh gue bisa pindah ke hutan? Masa digendong Inggit? Yakali." gumam Zata yang tak mendengar ucapan perempuan di hadapannya. Dia terlalu sibuk memikirkan situasinya."Nona!" seru pelayan lagi kala nona
Dum! Dum! Dum!Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda tinggi berjalan melenggak-lenggok, melewati kerumunan orang yang sibuk berjoget. Bunyi lagu yang diputar keras menambah suasana setiap orang yang sibuk menikmati kebebasan. Bibir semerah mawar gadis itu memberikan daya tarik kuat kepada laki-laki yang kesepian. Beberapa mendekati secara terang-terangan, tapi dia ahli sekali dalam menghindar. Setelah mengambil gelas berisi vodka, dia menggoyangkannya sebentar. Belum sempat diminum, seseorang memanggilnya."Zata!"Yang dipanggil menoleh. Senyumnya mengembang saat Inggit akhirnya menemukan dirinya."Gila lo! Gue udah cari ke sana ke mari tapi nggak ketemu-ketemu!""Hah? Apa?" seru Zata karena tak bisa mendengar suara Inggit."AYO PULANG! LO MABUK, LONTE!" teriak Inggit di kuping Zata. Akhirnya Zata bisa dengar. Dia tertawa saat mengetahui cara Inggit menyebutnya. Memang sudah biasa mereka saling memaki, sebab pertemanan mereka lebih lama dari hanya sekedar teman sepermainan. Mereka s