"Ini nggak lagi diprank Inggit, kan?"
Zata menunduk, berusaha merenung dan memahami keadaan yang terjadi sekarang.
Klotak ... klotak
Bunyi kereta kuda yang dijalankan membuat Zata tak nyaman. Lantas dia membuka jendelanya untuk menghirup udara luar. Di sini rasanya sesak, apalagi dia juga ingin mengatasi keterkejutannya atas apa yang terjadi. Belum sempat mengambil napas, Zata bertemu tatap dengan pria yang tadi memarahinya. Entah bagaimana bisa pria itu berkuda tepat di samping kereta Zata.
"Jangan berani berpikir untuk kabur!"
Spontan Zata memasukkan kembali wajahnya dan menutup jendela.
"Galak banget. Slow aja kali. Bokap gue aja nggak pernah marah-marah. Cepet tua lo nanti!" gumam Zata yang kesal.
"... na."
"Sebenarnya kenapa, sih? Apa gue lagi diprank Inggit? Tapi kalo iya, kenapa tubuh gue bisa pindah ke hutan? Masa digendong Inggit? Yakali." gumam Zata yang tak mendengar ucapan perempuan di hadapannya. Dia terlalu sibuk memikirkan situasinya.
"Nona!" seru pelayan lagi kala nona yang biasa dia layani tak kunjung merespon.
"Eh?" Zata mendongak, dia mendapati tatapan merendahkan dari perempuan berbaju pelayan di depannya. "Manggil gue?"
"Saya memanggil Anda. Saya mohon kepada Anda untuk tidak mencari masalah lagi, Nona, karena kami yang akan menanggung akibatnya. Kami mohon dengan berat hati Nona memikirkan ulang perbuatan Nona hari ini sebab nyawa kami yang menjadi taruhannya," ucapnya dengan angkuh.
Kok gue kesel, ya?
"Yah ... tapi nggak janji," jawab Zata langsung.
"A--apa?" Tentu saja pelayan itu terkejut. Nona Alenda yang mereka kenal itu penakut. Menatap mata pelayan saja tak berani. Tapi sekarang ... berbeda. Tatapan Alenda yang dia lihat sekarang sangat angkuh dan tak tergoyahkan. Seolah dia adalah orang lain.
"Apa lagi?"
"Ti--tidak, Nona. Bukan apa-apa. Saya hanya merasa ... Nona sedikit berbeda. Saya harap Nona tidak berbuat--"
"Duh! Iya-iya. Ngatur banget, sih, direktur lo?! Suara lo berisik tau!" Zata menggosok telinganya. Satu-satunya hal yang membuat dia kesal di dunia ini adalah disuruh-suruh.
"A--apa?" Pelayan itu semakin melongo. Nona muda ini ... apa benar Nona Alenda yang dia kenal?
Eh, eh, apa gue udah berlebihan? Kayaknya dia mulai curiga. Kalo sampai si bapak-bapak galak itu tau gue bukan anak yang dia cari ... gue bakalan dikill? Soalnya dia bahkan nggak segan-segan nampar anaknya, batin Zata yang pikirannya mendadak dipenuhi banyak hal. Dia memang tak tau harus bersikap bagaimana di situasi aneh ini. Tapi kalo perkiraannya benar bahwa dia sedang berpindah dunia, maka ada baiknya untuk berhati-hati. Seperti di novel I'm In Love With A Second Lead yang dia baca, Lusi bisa bertemu dengan pemilik tubuh asli yaitu Lauren. Apakah hal itu juga akan Zata alami? Apa dia akan bertemu Alenda asli?
Masalahnya, perpindahan Zata ke sini berbeda dengan novel-novel yang dia baca. Bahkan dia tiba-tiba sudah ada di sini saat membuka mata.
"Anu ... sebenarnya kepala gue kepentok pohon. Jadi tiba-tiba gue lupa semuanya," ucap Zata yang berusaha dibuat lembut agar mirip Alenda asli.
Pelayan itu terdiam sebentar. Wajah terkejutnya perlahan memudar, membuat Zata lega sementara. Sepertinya aktingnya berhasil.
"Gue itu ... siapa, Nona?"
Zata menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Kok malah nanya gue? Gue itu ya lo."
"Lo?"
Astaga, lupa!
"Eh-eh, anu ... maksudnya itu aku. Jadi, gue itu aku. Lo itu kamu. Maaf, aku memakai bahasa yang terlalu sulit. Intinya, aku habis jatuh di sana dan semua ingatanku hilang. Apa kamu bisa menceritakan apa yang terjadi?" Zata kelabakan sendiri untuk menjelaskan maksudnya.
"Gue, lo, bahasa yang unik." Lantas pelayan itu kembali menatap Zata. "Anda hilang ingatan? Tapi apa ada luka?"
Pelayan berniat mendekat untuk melihat kondisi kepala Zata. Merasa bahwa tak ada luka apa pun di keningnya, Zata segera menutupinya. "Di bagian belakang kepala jatuhnya. Jadi nggak kelihatan!"
"Hmm ... baiklah, Nona. Anda akan segera tau setelah kita sampai di kediaman Duke Celsion."
Sok misterius banget, pikir Zata yang sedikit kesal karena pelayan itu dari tadi seperti berusaha merendahkannya. Perut Zata yang sudah lapar membuatnya tak lagi bertenaga untuk bicara. Akhirnya Zata memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya dan menutup mata.
Capek. Siapa tau pas bangun udah balik di sebelah Inggit. Kalo beneran terjadi, hal pertama yang harus gue lakuin adalah nampol kepala Inggit. Ya ... harus!
***
"Huaaah ...." Zata menguap sekaligus meregangkan tubuhnya, tapi tangannya malah terbentur langit kereta kuda. Spontan dia mengaduh sambil mengibas-ibas tangannya. "Aduh-aduh! Sakit, anjir!"
Kala membuka mata, Zata sadar kalau dia sendirian. Ke mana pelayan tadi? Kereta kuda sudah berhenti dan kenapa dirinya tak dibangunkan? Yah, sebenarnya Zata cukup kecewa karena tak bisa menampol kepala Inggit saat bangun.
Tok ... tok!
"Nona? Anda sudah bangun?"
Zata mendengar suara itu. Lantas dia membuka pintunya. Betapa terkejut dirinya kala melihat Inggit yang berpakaian seperti pelayan tadi sedang mengulurkan tangan padanya.
"Inggit?!"
"Mari saya antar ke kamar Nona. Semua orang sudah masuk. Mereka sengaja membiarkan Nona di sini, tapi saya khawatir Nona kenapa-napa. Maafkan saya karena tidak berhasil membantu Nona. Akhirnya semua rencana kita terbongkar," ucapnya yang hampir meneteskan air mata.
Sontak Zata langsung loncat dari kereta kuda, membuat gadis yang mirip Inggit itu membulatkan mata. Tak seharusnya Nona yang selama ini dia layani bertingkah bar-bar begini. "No--na?"
"Inggit, lo gila! Anjing lo!" Zata menampol kepala pelayan itu sampai dia terjungkal ke belakang. Tentu saja Zata segera menahan tangannya agar tak jatuh lalu menariknya kembali.
"A--apa?"
"Duh, lo tuh lagi ngapain, sih? Cosplay, hah? Gue tau kok kalo lo tuh mau kasih gue kejutan, tapi nggak gini juga, njir. Gimana caranya lo bawa gue ke sini? Apa lo bius gue? Ah, enggak-enggak, lo kan licik. Lo pasti bawa gue waktu gue tidur, kan? Gue akan maafin lo kalo lo jelasin semuanya ke gue!"
Belum sempat menjelaskan, pelayan itu bingung dengan banyaknya informasi yang disampaikan nonanya. Kepalanya terasa mau pecah sekarang.
"No--Nona ...."
"Nggak, deh, jangan dulu! Ada baiknya lo kasih HP gue dulu. Soalnya mumpung masih pakai kostum begini kan nggak afdol kalo nggak diposting. Mana HP gue? Gue harus upload story I*******m."
Zata mengulurkan tangannya ke depan perempuan yang dia kira Inggit, dia kibas-kibaskan agar segera mendapatkan ponselnya.
"Mana? Mana?"
"Mo--mohon ampun, Nona!" Sontak Zata tersentak kala melihat perempuan itu bersujud di kakinya. "Saya pantas mati, Nona! Saya ... saya ... bersumpah tidak mengerti apa pun yang Nona katakan. Sehing--sehingga saya pantas mati! Hiks hiks ...."
"Na--nangis? Kenapa nangis?" Zata otomatis berjongkok dan mengangkat kedua pipi pelayan itu agar mendongak. "Lo kenapa nangis? Inggit, lo udah ketahuan. Jangan akting begini, gue jadi panik kalau lo bukan Inggit."
"Tapi ... tapi maaf ... saya bukan Inggit, Nona. Saya Anggita, pelayan pribadi Nona."
"A--APA?!"
Tak menunggu lama, pandangan Zata menggelap. Dia terlalu syok kala mengetahui bahwa dirinya ternyata benar-benar pindah dunia, bukan diprank Inggit.
Duh, darah tinggi nih gue.
Setelah kehilangan kesadarannya selama beberapa jam, Zata akhirnya bisa merasakan keadaan di sekitar. Rasa sakit yang ada di kepalanya juga tak separah kala dia bangun setelah mabuk semalaman. Tubuhnya terasa nyaman, mungkin karena ranjang ini lebih empuk daripada kasur yang dia pakai biasanya."Pingsan?" gumamnya. Perlahan dia bangkit dan menyapu pandangan. Ruangan ini sangat luas. Kalau di dunia nyata pasti para artis terkenal yang memilikinya. Walau keluarga Zata cukup kaya, dia tak pernah kepikiran memiliki kamar megah begini."No ... Nona!" teriak seseorang dari arah pintu. Dia berlari tergesa-gesa setelah meletakkan baskom berisi air hangat ke atas nakas, kemudian mendekati sisi ranjang Zata. "Bagaimana keadaan, Nona?""Gue ... ehem--"Aku harus segera terbiasa dengan cara bicara di tempat ini, pikir Zata."... aku habis pingsan?""Benar, Nona. Saya sangat cemas. Untung ada Tuan Muda Gaffar yang tidak sengaja lewat. Beliau menggendong Nona ke sini karena kalau sampai Tuan Duke t
"Apa ... yang kamu lakukan di sini?"Zata, yang sekarang akan lebih banyak kita sebut Alenda, tengah menatap bingung Anggita yang berjongkok di samping tempat putri Celsion mandi."Saya menunggu Tuan Putri.""Iya, maksudku kenapa kamu menungguku di sini?" tanya Alenda lagi yang masih tak paham."Saya akan memandikan Nona," ucapnya tanpa dosa dengan senyuman lebar."Hah? Ngapain? Emang ada peraturan di tempat ini kalau kita nggak boleh mandi sendiri?" Alenda bingung karena selama dia hidup di dunia asalnya, dia pasti mandi sendiri. Terakhir kali dimandikan adalah saat berusia lima tahun."Tidak juga, tapi ... para putri bangsawan memang selalu dimandikan. Termasuk Nona Alenda. Jadi--""Oke-oke, tapi ... kami berhak menolak, kan? Maksudku, kalau aku tidak nyaman, aku bisa menolak hal itu, kan?" ucap Alenda seraya memegang erat-erat piyama mandinya."Apa maksud Nona?""Aku mau mandi sendiri! Bo--boleh, kan?"Anggita menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, dia jadi bingung dengan sikap
"Sialan! Arrrrrgh!"Alenda menendang-nendang pilar yang berada di dekat air terjun. Perasaannya kini sangat kacau usai keluar dari ruangan ayahnya. Kalau diingat kembali, Celsion benar-benar ayah yang kejam. Padahal dia bilang, dia mencintai ibunya Alenda. Lalu kenapa Celsion tega mengirim Alenda ke kerajaan ujung benua? Padahal Alenda tak pernah buat masalah selain saat kabur kemarin."Kamu baik-baik saja?"Ucapan seseorang membuat pergerakan Alenda terhenti. Dia harus bersikap lembut. Seorang gadis berusia 14 tahun normalnya tak akan berkata kasar dan bersikap bar-bar. Dia tak boleh membuat orang lain mencurigainya. Kala berbalik, dia bisa melihat tatapan hangat dari Gaffar padanya."Kakak ...."Gaffar berjalan mendekat lalu mengulurkan tangan di depan Alenda. "Izinkan aku menemanimu berkeliling taman."Karena sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, Alenda tak punya pilihan selain menerima ajakannya. Gaffar pasti akan curiga kalau respon Alenda berbeda."Har
"Hati-hati! Jangan membuatnya marah. Raja Hephaestus dikenal emosional. Ada baiknya kamu tidak berulah di sana."Alenda menenggelamkan wajahnya di atas lipatan kaki yang dia buat. Kini dia sudah berada di dalam kereta kuda yang akan membawanya ke kerajaan di ujung benua bersama Anggita. Perkataan ayahnya saat melepas kepergiannya pagi tadi masih saja terngiang dan membuatnya semakin kalut."Jangan duduk seperti itu, Nona. Gaun dan riasan Nona akan hancur," ucap Anggita agar Alenda tak lagi bertingkah bar-bar. Setelah ini nonanya akan menjadi seorang istri dari raja, ada baiknya untuk tetap menjaga tata krama dan bersikap lembut."Jangan ceramahin aku, Nggit. Aku gugup banget tiba-tiba nikah," ucap Alenda. Dia tidak bohong. Dari pagi memang hatinya tak tenang karena hari ini akan menikah. Walau usianya 22 pun, dia masih belum siap dengan yang namanya pernikahan. Apalagi sekarang yang masih 14 tahun?Anggita beranjak dari tempatnya lalu duduk di sebelah Alenda. Dia genggam tangan nonany
"Istriku?"Alenda masih memeluk dirinya sendiri. "Be--benar!""Jadi kau adalah Putri dari Duke Celsion?"Alenda mengangguk cepat-cepat. Dia sangat mengingat rumor soal Yang Mulia Hephaestus yang kejam. "Makhluk tadi ...."Gavier baru ingat. Lantas dia mendekat ke jendela dan menutupnya. "Dia adalah iblis tingkat rendah yang sedang kelaparan. Kebetulan sekali kau punya sihir yang dapat mengenyangkannya. Saat merasakan auramu, aku juga cukup terkejut karena baru pertama kali merasakan aura seperti ini.""Hah? Sihir? Bagaimana mungkin?" Alenda menatap kedua telapak tangannya."Jadi kau tak tau kalau punya sihir yang besar?"Gavier berjalan mendekatinya. Kala berada di posisi cukup dekat, dia mengangkat dagu Alenda sampai mendongak. "Kecil sekali.""HAH? APANYA?!" Alenda syok minta ampun. Dia kembali memeluk dirinya sendiri. Melihat itu Gavier tertawa renyah."Maksudku bukan itu, Nona. Kau sangat kecil untuk kujadikan istri. Berapa usiamu?""Aku masih 14 tahun," jawab Alenda yang merasa l
Dum! Dum! Dum!Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda tinggi berjalan melenggak-lenggok, melewati kerumunan orang yang sibuk berjoget. Bunyi lagu yang diputar keras menambah suasana setiap orang yang sibuk menikmati kebebasan. Bibir semerah mawar gadis itu memberikan daya tarik kuat kepada laki-laki yang kesepian. Beberapa mendekati secara terang-terangan, tapi dia ahli sekali dalam menghindar. Setelah mengambil gelas berisi vodka, dia menggoyangkannya sebentar. Belum sempat diminum, seseorang memanggilnya."Zata!"Yang dipanggil menoleh. Senyumnya mengembang saat Inggit akhirnya menemukan dirinya."Gila lo! Gue udah cari ke sana ke mari tapi nggak ketemu-ketemu!""Hah? Apa?" seru Zata karena tak bisa mendengar suara Inggit."AYO PULANG! LO MABUK, LONTE!" teriak Inggit di kuping Zata. Akhirnya Zata bisa dengar. Dia tertawa saat mengetahui cara Inggit menyebutnya. Memang sudah biasa mereka saling memaki, sebab pertemanan mereka lebih lama dari hanya sekedar teman sepermainan. Mereka s
"Istriku?"Alenda masih memeluk dirinya sendiri. "Be--benar!""Jadi kau adalah Putri dari Duke Celsion?"Alenda mengangguk cepat-cepat. Dia sangat mengingat rumor soal Yang Mulia Hephaestus yang kejam. "Makhluk tadi ...."Gavier baru ingat. Lantas dia mendekat ke jendela dan menutupnya. "Dia adalah iblis tingkat rendah yang sedang kelaparan. Kebetulan sekali kau punya sihir yang dapat mengenyangkannya. Saat merasakan auramu, aku juga cukup terkejut karena baru pertama kali merasakan aura seperti ini.""Hah? Sihir? Bagaimana mungkin?" Alenda menatap kedua telapak tangannya."Jadi kau tak tau kalau punya sihir yang besar?"Gavier berjalan mendekatinya. Kala berada di posisi cukup dekat, dia mengangkat dagu Alenda sampai mendongak. "Kecil sekali.""HAH? APANYA?!" Alenda syok minta ampun. Dia kembali memeluk dirinya sendiri. Melihat itu Gavier tertawa renyah."Maksudku bukan itu, Nona. Kau sangat kecil untuk kujadikan istri. Berapa usiamu?""Aku masih 14 tahun," jawab Alenda yang merasa l
"Hati-hati! Jangan membuatnya marah. Raja Hephaestus dikenal emosional. Ada baiknya kamu tidak berulah di sana."Alenda menenggelamkan wajahnya di atas lipatan kaki yang dia buat. Kini dia sudah berada di dalam kereta kuda yang akan membawanya ke kerajaan di ujung benua bersama Anggita. Perkataan ayahnya saat melepas kepergiannya pagi tadi masih saja terngiang dan membuatnya semakin kalut."Jangan duduk seperti itu, Nona. Gaun dan riasan Nona akan hancur," ucap Anggita agar Alenda tak lagi bertingkah bar-bar. Setelah ini nonanya akan menjadi seorang istri dari raja, ada baiknya untuk tetap menjaga tata krama dan bersikap lembut."Jangan ceramahin aku, Nggit. Aku gugup banget tiba-tiba nikah," ucap Alenda. Dia tidak bohong. Dari pagi memang hatinya tak tenang karena hari ini akan menikah. Walau usianya 22 pun, dia masih belum siap dengan yang namanya pernikahan. Apalagi sekarang yang masih 14 tahun?Anggita beranjak dari tempatnya lalu duduk di sebelah Alenda. Dia genggam tangan nonany
"Sialan! Arrrrrgh!"Alenda menendang-nendang pilar yang berada di dekat air terjun. Perasaannya kini sangat kacau usai keluar dari ruangan ayahnya. Kalau diingat kembali, Celsion benar-benar ayah yang kejam. Padahal dia bilang, dia mencintai ibunya Alenda. Lalu kenapa Celsion tega mengirim Alenda ke kerajaan ujung benua? Padahal Alenda tak pernah buat masalah selain saat kabur kemarin."Kamu baik-baik saja?"Ucapan seseorang membuat pergerakan Alenda terhenti. Dia harus bersikap lembut. Seorang gadis berusia 14 tahun normalnya tak akan berkata kasar dan bersikap bar-bar. Dia tak boleh membuat orang lain mencurigainya. Kala berbalik, dia bisa melihat tatapan hangat dari Gaffar padanya."Kakak ...."Gaffar berjalan mendekat lalu mengulurkan tangan di depan Alenda. "Izinkan aku menemanimu berkeliling taman."Karena sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, Alenda tak punya pilihan selain menerima ajakannya. Gaffar pasti akan curiga kalau respon Alenda berbeda."Har
"Apa ... yang kamu lakukan di sini?"Zata, yang sekarang akan lebih banyak kita sebut Alenda, tengah menatap bingung Anggita yang berjongkok di samping tempat putri Celsion mandi."Saya menunggu Tuan Putri.""Iya, maksudku kenapa kamu menungguku di sini?" tanya Alenda lagi yang masih tak paham."Saya akan memandikan Nona," ucapnya tanpa dosa dengan senyuman lebar."Hah? Ngapain? Emang ada peraturan di tempat ini kalau kita nggak boleh mandi sendiri?" Alenda bingung karena selama dia hidup di dunia asalnya, dia pasti mandi sendiri. Terakhir kali dimandikan adalah saat berusia lima tahun."Tidak juga, tapi ... para putri bangsawan memang selalu dimandikan. Termasuk Nona Alenda. Jadi--""Oke-oke, tapi ... kami berhak menolak, kan? Maksudku, kalau aku tidak nyaman, aku bisa menolak hal itu, kan?" ucap Alenda seraya memegang erat-erat piyama mandinya."Apa maksud Nona?""Aku mau mandi sendiri! Bo--boleh, kan?"Anggita menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, dia jadi bingung dengan sikap
Setelah kehilangan kesadarannya selama beberapa jam, Zata akhirnya bisa merasakan keadaan di sekitar. Rasa sakit yang ada di kepalanya juga tak separah kala dia bangun setelah mabuk semalaman. Tubuhnya terasa nyaman, mungkin karena ranjang ini lebih empuk daripada kasur yang dia pakai biasanya."Pingsan?" gumamnya. Perlahan dia bangkit dan menyapu pandangan. Ruangan ini sangat luas. Kalau di dunia nyata pasti para artis terkenal yang memilikinya. Walau keluarga Zata cukup kaya, dia tak pernah kepikiran memiliki kamar megah begini."No ... Nona!" teriak seseorang dari arah pintu. Dia berlari tergesa-gesa setelah meletakkan baskom berisi air hangat ke atas nakas, kemudian mendekati sisi ranjang Zata. "Bagaimana keadaan, Nona?""Gue ... ehem--"Aku harus segera terbiasa dengan cara bicara di tempat ini, pikir Zata."... aku habis pingsan?""Benar, Nona. Saya sangat cemas. Untung ada Tuan Muda Gaffar yang tidak sengaja lewat. Beliau menggendong Nona ke sini karena kalau sampai Tuan Duke t
"Ini nggak lagi diprank Inggit, kan?"Zata menunduk, berusaha merenung dan memahami keadaan yang terjadi sekarang.Klotak ... klotakBunyi kereta kuda yang dijalankan membuat Zata tak nyaman. Lantas dia membuka jendelanya untuk menghirup udara luar. Di sini rasanya sesak, apalagi dia juga ingin mengatasi keterkejutannya atas apa yang terjadi. Belum sempat mengambil napas, Zata bertemu tatap dengan pria yang tadi memarahinya. Entah bagaimana bisa pria itu berkuda tepat di samping kereta Zata."Jangan berani berpikir untuk kabur!"Spontan Zata memasukkan kembali wajahnya dan menutup jendela."Galak banget. Slow aja kali. Bokap gue aja nggak pernah marah-marah. Cepet tua lo nanti!" gumam Zata yang kesal."... na.""Sebenarnya kenapa, sih? Apa gue lagi diprank Inggit? Tapi kalo iya, kenapa tubuh gue bisa pindah ke hutan? Masa digendong Inggit? Yakali." gumam Zata yang tak mendengar ucapan perempuan di hadapannya. Dia terlalu sibuk memikirkan situasinya."Nona!" seru pelayan lagi kala nona
Dum! Dum! Dum!Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda tinggi berjalan melenggak-lenggok, melewati kerumunan orang yang sibuk berjoget. Bunyi lagu yang diputar keras menambah suasana setiap orang yang sibuk menikmati kebebasan. Bibir semerah mawar gadis itu memberikan daya tarik kuat kepada laki-laki yang kesepian. Beberapa mendekati secara terang-terangan, tapi dia ahli sekali dalam menghindar. Setelah mengambil gelas berisi vodka, dia menggoyangkannya sebentar. Belum sempat diminum, seseorang memanggilnya."Zata!"Yang dipanggil menoleh. Senyumnya mengembang saat Inggit akhirnya menemukan dirinya."Gila lo! Gue udah cari ke sana ke mari tapi nggak ketemu-ketemu!""Hah? Apa?" seru Zata karena tak bisa mendengar suara Inggit."AYO PULANG! LO MABUK, LONTE!" teriak Inggit di kuping Zata. Akhirnya Zata bisa dengar. Dia tertawa saat mengetahui cara Inggit menyebutnya. Memang sudah biasa mereka saling memaki, sebab pertemanan mereka lebih lama dari hanya sekedar teman sepermainan. Mereka s