Share

The King's Forbidden Love
The King's Forbidden Love
Penulis: hi.shenaaa

Prolog

Dum! Dum! Dum!

Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda tinggi berjalan melenggak-lenggok, melewati kerumunan orang yang sibuk berjoget. Bunyi lagu yang diputar keras menambah suasana setiap orang yang sibuk menikmati kebebasan. Bibir semerah mawar gadis itu memberikan daya tarik kuat kepada laki-laki yang kesepian. Beberapa mendekati secara terang-terangan, tapi dia ahli sekali dalam menghindar. Setelah mengambil gelas berisi vodka, dia menggoyangkannya sebentar. Belum sempat diminum, seseorang memanggilnya.

"Zata!"

Yang dipanggil menoleh. Senyumnya mengembang saat Inggit akhirnya menemukan dirinya.

"Gila lo! Gue udah cari ke sana ke mari tapi nggak ketemu-ketemu!"

"Hah? Apa?" seru Zata karena tak bisa mendengar suara Inggit.

"AYO PULANG! LO MABUK, LONTE!" teriak Inggit di kuping Zata. Akhirnya Zata bisa dengar. Dia tertawa saat mengetahui cara Inggit menyebutnya. Memang sudah biasa mereka saling memaki, sebab pertemanan mereka lebih lama dari hanya sekedar teman sepermainan. Mereka sudah seperti saudara beda orang tua.

"Nggak, ah! Mau main~" Zata tak memedulikan Inggit yang sudah kuwalahan. Dia malah berlari tanpa sepatunya lalu melepas ikatan rambutnya. Dia berdiri di atas panggung kecil lalu berjoget di dekat tiang. Orang-orang yang melihatnya jadi berdecak kagum, karena Zata tampak sangat cantik.

"Anak gila," gumam Inggit usai menghela napas.

Zata terus menggoyangkan tubuhnya mengikuti alunan lagu. Yang ada di benaknya sekarang hanya perasaan bebas. Entah hal besar apa yang pernah dia lakukan sampai diberikan kehidupan luar biasa begini. Yang jelas, Zata tak pernah sedikit pun merasakan namanya pahitnya hidup. Sebab seluruh hidupnya sudah dijamin kebahagiaan oleh orang tua. Sisa apalagi sekarang? Zata hanya cukup menikmati dan bersenang-senang.

***

Pusing.

Itu yang mampu mendeskripsikan bagaimana perasaan Zata sekarang. Tak hanya sakit kepala, dia juga merasa mual dan sekujur tubuhnya pegal-pegal. Sebenarnya berapa banyak yang sudah dia minum?

Zata bangun dari kasur dan mengelus-elus keningnya. Mengeluh di pagi hari yang cerah akan membawa nasib buruk, jadi Zata memilih untuk meregangkan seluruh tubuhnya sambil menguap. Dalam waktu beberapa menit dia memutuskan menatap kosong ruangannya. Dia sedang mencoba mengingat apa saja yang terjadi semalam sampai dia berada di ruangan asing ini.

Eh?

Zata merasakan kaki orang lain di bawah selimutnya. Spontan dia langsung menyibak selimut itu hingga terbuang ke atas lantai.

"Nggh ...."

Zata mengelus dada lega. Ternyata itu adalah Inggit yang tidur telungkup di bawah selimut. Gadis itu memang punya kebiasaan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut saat tidur.

"Aduh, kok dibuka, sih?!" amuk Inggit yang sudah merasakan kehilangan selimut di tubuhnya.

"Udah pagi, Nggit. Lo mau bangun jam berapa?" tanya Zata yang mulai bangkit. Gadis itu mengambil piyama yang sudah di sediakan sebagai fasilitas hotel lalu berjalan ke balkon kamar.

Zata mendudukkan diri di kursi yang ada di sana lalu membuka ponselnya. Aplikasi w*****d adalah yang pertama dia buka. Helaan napas terdengar saat Inggit datang dan ikut duduk di dekat Zata.

"Kenapa? Sad ending?" tanya Inggit yang mengintip layar ponsel Zata, mulutnya sudah penuh oleh roti yang tadi dia ambil sebelum menghampiri Zata.

Zata menggigit kuku jari telunjuknya sambil menggulir layar. Cerita 'I'm In Love With A Second Lead' adalah cerita yang dia sukai di w*****d saat ini, bahkan selalu mengikuti perkembangan babnya setiap update. Membaca judul 'epilog' pada bab yang baru diupdate membuat perasaannya waswas. Apakah akhirnya ... Lusi mengetahui identitas asli Axel yang merupakan Bizar? Entahlah, semoga saja akhirnya memuaskan.

"Yah ...."

"Kenapa? Kenapa?"

Zata menenggelamkan wajahnya. "Gantung."

"Serius?!" Inggit mengambil alih ponsel Zata untuk membaca bab terakhirnya juga. "Wah ... beneran gantung."

"Males jadinya."

"Eh, tapi kan ada season 2!"

Bola mata Zata membulat. "Masa?! Mana-mana?" Zata hendak mengambil ponselnya kembali, tapi dengan cepat Inggit menjauhkannya.

"Tunggu! Sebelum itu ... lo harus ikut gue ya nanti sore!"

"Hah? Ke mana? Males, ah. Gue mau rebahan hari ini. Nggak mau jalan ke mana-mana. Kepala gue masih pusing."

Inggit memutar malas bola matanya. "Ha ha ha ... gue yang capek seret lo ke hotel bahkan sampai bersihin muntahan lo, lo yang pusing, ya?"

Sontak Zata mengalihkan pandangannya sambil tersenyum lebar. "He ... he ... he ... makasih, Inggit. Lo emang sahabat gue yang paling-- aw!"

"LO NGGAK BOLEH MINUM LAGI!" bentak Inggit sambil memukul Zata dengan bantal. Zata langsung berdiri untuk menghindar, tapi lemparan bantal Inggit malah kembali mengenai wajahnya. "Gue serius! Lo nggak boleh minum lagi!"

"Ta--tapi!"

"Kecuali lo mau ikut gue nonton nanti sore!"

"Aduh ... sumpah gue males, Nggit."

Inggit mendekap lengannya. "Harus! Wajib! Soalnya baru rilis hari ini!"

"Nonton apaan, sih? Gue beneran nggak ikut kalo jelek!"

"Sumpah dijamin seru! Ini tuh movie animasi pertama Indonesia yang mengangkat tema kerajaan dan fantasi. Kayak anime-anime gitu tapi versi buatan orisinil Indonesia. Keren banget gue liat trailernya tadi. Judulnya The Beast And His Secret!" ujar Inggit, menjelaskan dengan semangat.

Sebenarnya Zata malas, tapi wajah Inggit tampak berseri-seri kala menceritakannya. Jadi Zata tak enak untuk mengabaikannya.

"Yang lebih seru lagi ... ditontonnya secara tiga dimensi! Seru banget nggak tuh?! Gue udah beli tiket buat berdua. Jadi, nanti gue jemput oke?!"

Zata diam sebentar, membuat Inggit gelisah karena takut Zata menolaknya. "Haaah ... ya udah, deh. Terserah lo."

"HORE!"

"Kayaknya lo beneran harus cepet-cepet punya pacar biar nggak ngerepotin gue," kata Zata.

Inggit berlari mendekati Zata lalu memeluknya. "Iya-iya, makasih!"

Zata tersenyum dibalik pelukan Inggit. "Sama-sama."

Sesuai kesepakatan mereka, Inggit mejemput Zata yang tadi pagi dia antar pulang. Daripada sahabat, Inggit memang punya kerja sampingan sebagai supir pribadi Zata karena selalu menjemput dan mengantarnya pulang. Hal itu juga Inggit jadikan peluang untuk menggerogoti harta Zata yang tak habis-habis. Jadi sekalian saja untuk uang jajan karena Zata selalu membayar jasanya.

"Lama banget, sih!" gerutu Zata saat akhirnya Inggit datang sambil memakai kacamata tiga dimensi dan membawa dua popcorn di tangan.

"Antre dulu, Bunda. Nih, punya lo," kata Inggit sambil menyodorkan popcorn dan kacamata milik Zata.

Awas aja kalo ceritanya nggak seru. Bakal gue tinggal tidur karena sekarang aja mata gue masih berat, pikir Zata yang mengekor di belakang Inggit.

Entah mengapa saat masuk ke studio, hawa di dalamnya terasa asing. Padahal bukan kali pertama Zata menonton bioskop tiga dimensi bersama Inggit, tapi kenapa yang sekarang rasanya berbeda, ya?

Setelah menunggu hampir setengah jam, penonton lainnya tampak sudah berkumpul juga. Mereka saling bercengkrama sambil menunggu iklan dan trailer-trailer film lain yang diputar.

"Lo tau ceritanya, nggak?" bisik Inggit di sebelahnya.

Zata bahkan tak peduli bagaimana ceritanya. Dia hanya ingin tidur saat filmnya dimulai. Toh matanya tak akan terlihat nanti. Jadi sambil memakan popcornnya, Zata menggeleng.

"Jadi ada cewek yang hidupnya sengsara banget. Dia akhirnya dijual sama keluarganya ke seorang raja dari kerajaan terpencil. Rumor yang beredar mengatakan kalau raja itu buruk rupa. Karena kebaikan si raja, si cewek lama-lama jatuh cinta. Kecantikan yang sesungguhnya kan dari hati ya bukan dari rupa. Oh, sama katanya nanti cukup menegangkan karena cewek itu malah ngebongkar rahasia-rahasia si raja yang nggak perlu dia ketahui! Duh, apa dia bakal dibunuh, ya? Gue duga sih gitu, lagian pake nemuin ruang bawah tanah segala! (Bla-bla-bla ...)"

Zata hampir masuk ke dalam mimpinya saat mendengar cerita Inggit. Dia benar-benar mengantuk.

"Eh-eh! Udah mulai!" seru Inggit seraya menepuk-nepuk punggung tangan Zata beberapa kali.

Zata akhirnya membuka mata lalu memperbaiki posisi duduknya. Dia menonton layar bioskop yang tampak seperti nyata melalui kacamata tiga dimensi. Anehnya, visualisasi nyata itu tak hanya bisa dipandang saja. Zata juga bisa merasakannya saat ada angin atau air yang muncul di film.

Srak! Srak!

Keren, batin Zata saat merasakan dedaunan yang bergerak terasa nyata dan benar-benar ada di depannya.

"ALENDA!"

Zata menoleh, seseorang memanggil Alenda dan dia benar-benar merasa film ini nyata. Bibirnya mengembang, ternyata menyenangkan juga mengikuti permintaan Inggit untuk menonton ke bioskop ini.

"Ya? Hehehe," gumam Zata yang malah cengengesan. Dia berakting seolah dirinya yang dipanggil.

"Kenapa malah tertawa, hah? Kau benar-benar tak punya sopan santun. Setelah semua yang kulakukan untukmu, sekarang kau memilih kabur?!"

Zata diam sebentar. Jantungnya sempat hendak berhenti saat merasakan tatapan tajam dari pria di depannya. "Beneran hampir ngerasa kalo lagi ngomong ke aku."

"Aku memang sedang bicara denganmu!"

"Tunggu ... apa?"

Plak!

"Sadarlah! Kau hanya anak haram yang kubesarkan. Di namamu ada namaku. Jangan membuatku malu! Kalau tau kau akan jadi begini, maka aku tak akan menerima permohonan terakhir ibumu untuk menjagamu. Kau harus tau diri!"

Zata tak tau harus berterima kasih atau marah saat menerima tamparan itu. Karena setelahnya, dia hanya mampu membeku di tempat sebab tamparan ini ... benar-benar nyata.

Zata memutar tubuhnya. Dia sedang berdiri di dalam hutan. Pria yang menamparnya tadi berbicara pada para pengawal untuk membawa gadis bernama Alenda kembali. Merasa bahwa di sekitarnya semakin aneh, Zata mulai melepas kacamata tiga dimensi itu. Kini dia sadar bahwa tubuhnya tak lagi berada di dalam bioskop. Tapi benar-benar masuk ke dalam filmnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status