Share

Bab 6

"Istriku?"

Alenda masih memeluk dirinya sendiri. "Be--benar!"

"Jadi kau adalah Putri dari Duke Celsion?"

Alenda mengangguk cepat-cepat. Dia sangat mengingat rumor soal Yang Mulia Hephaestus yang kejam. "Makhluk tadi ...."

Gavier baru ingat. Lantas dia mendekat ke jendela dan menutupnya. "Dia adalah iblis tingkat rendah yang sedang kelaparan. Kebetulan sekali kau punya sihir yang dapat mengenyangkannya. Saat merasakan auramu, aku juga cukup terkejut karena baru pertama kali merasakan aura seperti ini."

"Hah? Sihir? Bagaimana mungkin?" Alenda menatap kedua telapak tangannya.

"Jadi kau tak tau kalau punya sihir yang besar?"

Gavier berjalan mendekatinya. Kala berada di posisi cukup dekat, dia mengangkat dagu Alenda sampai mendongak. "Kecil sekali."

"HAH? APANYA?!" Alenda syok minta ampun. Dia kembali memeluk dirinya sendiri. Melihat itu Gavier tertawa renyah.

"Maksudku bukan itu, Nona. Kau sangat kecil untuk kujadikan istri. Berapa usiamu?"

"Aku masih 14 tahun," jawab Alenda yang merasa linglung karena suara tawa Gavier tampak merdu. Seolah rumor soal wajahnya yang buruk rupa dan sifatnya yang keji maupun mata keranjang hanya omong kosong.

"Hmm, baiklah. Di bagian ujung lorong ini ada jalan tikus menuju gerbang rahasia. Di sana ada kereta kuda yang senantiasa berjaga. Kau bilang saja kalau aku yang memintamu ke sana, maka dia akan membawamu ke tempat mana pun yang menjadi tujuanmu."

"Apa ... maksudmu?"

"Aku memberimu kesempatan untuk kabur," ucap Gavier sembari membenah kerah lengannya yang basah.

"Kenapa?" Aneh sekali kalau raja yang menurutnya jahat itu malah memberinya kesempatan kabur.

"Bukankah kau juga ingin menolak pernikahan ini?"

Alenda mengelus lengannya sendiri. "Itu benar ... tapi aneh saat mendengarmu menyuruhku pergi. Kalau aku pergi, bagaimana dengan perjanjian itu?"

"Karena Duke Celsion tak bisa menyelesaikan janjinya, maka nyawanya yang akan menjadi gantinya," ucap Gavier, membuat Alenda terkejut. Tak disangka masalah ini melibatkan nyawa. "Kau tidak perlu khawatir. Perjanjiannya dengan ayahku memang konyol. Tapi dia adalah ayah yang buruk bagimu, kan? Kehilangan nyawanya pasti bukan masalah besar--"

"Tidak!"

Gavier menutup mulutnya.

"Jangan ... jangan nyawa siapapun! Kalau hal ini sampai melibatkan nyawa seseorang, menikah denganmu bukan lagi masalah besar untukku," ucap Alenda. Dia yakin betul dengan keputusannya. Mana tega dia melihat orang lain mati karenanya?

"Jadi, kau mau menikah denganku?"

Alenda menunduk sebentar. "Mungkin itu jalan terbaiknya."

"Kau tidak takut padaku? Aku adalah monster buruk rupa dan mata keranjang," katanya.

Alenda menatap datar laki-laki di depannya. "Kau bahkan memakai topeng, bagaimana aku bisa melihat wajahmu itu? Memang seburuk apa, sih? Kau malu?"

"Wajahku akan membuatmu tidak nyaman. Bahkan kau tak akan bicara dengan tenang seperti ini. Aku akan membuatmu muntah dan muak. Itu sebabnya aku memakai topeng," ucap Gavier, menjelaskan.

"Sejelek itu?"

Gavier mengangguk dua kali.

"Ya sudah. Mungkin ada baiknya kau pakai topeng. Aku tidak benci wajah jelek, tapi memang sedikit tidak nyaman dipandang. Walau begitu, aku tak berhak menilaimu karena kau juga hasil ciptaan Tuhan yang sama denganku, kan? Siapa tau Tuhan menciptakan kelebihan lain padamu daripada menciptakan wajah tampan," ucap Alenda sembari berjalan ke kursi yang berada di meja rias. Kemudian dia mendudukkan diri di sana.

"Duduk sebentar, ya. Aku capek."

"Kau ... tidak takut padaku? Kau benar-benar mau menikah denganku? Perempuan secantik dirimu sebenarnya tak perlu menerima pernikahan ini," ucapnya yang bingung dengan sikap Alenda.

"Sudahlah. Keputusanku sudah bulat. Lagipula aku tak lagi takut pada orang yang menyelamatkanku. Aku yakin kau bukan orang jahat."

Gavier terdiam. Baru kali ini dia bertemu perempuan yang tidak ketakutan dan bersedia menjadi istrinya. Apalagi perempuan itu adalah Putri Duke yang sangat cantik.

"Aku tanya lagi, apa kau yakin?"

Alenda mengangguk. "Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan. Aku Alenda Laqueen Celsion, senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia." Setelahnya Alenda mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Gavier.

Melihat itu, Gavier mengulum senyum. Dia sedikit ragu, tapi akhirnya mendapat keberanian kala melihat tatapan Alenda yang tulus padanya. "Gavier Hephaestus. Kau bisa memanggil namaku saja saat hanya berdua."

"Baiklah, tapi berapa usiamu? Aku penasaran sejak tadi."

"18 tahun," jawab Gavier.

"APA?! Muda sekali!" Alenda berteriak, bahkan sampai menegakkan tubuh lagi.

"Itu sebabnya ... kita terlalu kecil untuk menikah."

Alenda melirik telinga Gavier yang tampak memerah. Apa dia malu?

Jadi ini sebabnya dia lebih ramah dari dugaanku, karena dia masih sangat muda?

"Jadi kita berbeda 4 tahun, ya?"

Gavier mengangguk. "Sepertinya begitu."

"Hmm, tidak masalah. Aku suka yang lebih tua." Alenda menepuk akrab bahu Gavier. Spontan Gavier membatu. Lagi-lagi telinganya memerah. Apakah dia memang mudah tersipu begini? Ini jadi lebih menyenangkan. "Baiklah, sampai bertemu di pernikahan kita besok!"

Alenda berjalan menuju ranjangnya. Sepertinya hari ini dia harus beristirahat lebih cepat karena begitu lelah. Melihat itu Gavier terdiam di tempat sambil menatap Alenda yang menyelimuti dirinya sendiri.

"Selamat tidur, Nona."

Setelah itu Gavier keluar dari kamar Alenda dengan perasaan kacau atas sentuhan Alenda di tubuhnya tadi.

***

"Saya menerima Alenda Laqueen Celsion sebagai istri dan berjanji akan mencintai, menyayangi, merawat, dan melindunginya dalam suka maupun duka."

"Saya menerima Gavier Hephaestus sebagai suami dan berjanji akan mencintai, menyayangi, merawat, dan mendampinginya dalam suka maupun duka."

Setelah itu Gavier memasangkan sebuah cincin ke jari manis Alenda.

"Mulai hari ini, kalian berdua adalah suami istri. Selamat Raja Gavier dan Ratu Alenda!"

Riuh tepuk tangan ucapan selamat dari para pelayan dan pengawal mengisi altar dengan ramai. Alenda mendekap lengan Gavier kemudian melambaikan tangan. Anggita yang juga duduk di sana ikut bahagia sambil melambaikan tangannya.

Gavier menarik dirinya, hendak menjauhkan tangan Alenda darinya secara sopan.

"Kau yakin akan melepasnya di saat seperti ini? Pelayanmu bisa menganggap kau sedang membuangku," bisik Alenda di tengah senyumnya.

Gavier bingung karena Alenda terlihat nyaman-nyaman saja menyentuhnya. Padahal selama ini orang-orang akan merasa jijik atau tertekan.

"Kok bisa ya Ratu kita memeluk lengan Raja tanpa beban?"

"Iya, ya? Dia sangat hebat!"

"Sebenarnya apa yang sudah dilakukan Raja pada Ratu, ya?"

Alenda melirik Gavier yang menunduk. Dia pasti bisa mendengar bisikan-bisikan pelayan yang mengejek dirinya. Kalau dilihat-lihat ternyata situasi Gavier lebih menyedihkan darinya. Memangnya siapa yang mau punya rupa jelek? Tapi bukan berarti kita bisa merendahkannya, kan? Padahal mereka semua sama-sama manusia.

Tiba-tiba Alenda menjauhkan tangannya, tapi Gavier tak terkejut. Itu hal yang wajar karena tak mungkin perempuan cantik ini betah lama-lama memegangnya. Namun, di luar dugaan Gavier, Alenda malah berganti menggenggam tangan Gavier.

"Tunggu, ini ...."

"Apa tadi, ya? Mendampinginya dalam suka maupun duka, kan?"

Lagi-lagi Alenda bisa melihat telinga yang memerah itu. Dia jadi semakin bersemangat dan mempererat genggamannya.

"Wah, Ratu menggandeng Raja!"

"Wah! Wah! Ini mengejutkan!"

"Tampaknya Ratu sudah mulai mencintai Raja!"

Untuk pembacaan janji suci memang tidak dihadiri oleh orang selain penghuni istana, tapi pesta pernikahan di malam hari dihadiri oleh seluruh bangsawan. Bahkan yang dari negara-negara lain. Sembari menunggu acara utama, Alenda dan Gavier duduk di ruang tunggu berdua sambil menikmati camilan karena tidak sempat makan sejak pagi.

"Duh, laper! Pengin daging!" rengek Alenda sambil mengusap-usap perutnya. Sejak berpindah ke dunia ini, dia memang sangat suka daging sapi. Rasanya benar-benar luar biasa.

"Apa perlu kupanggilkan sekarang?"

Alenda menggeleng. "Nggak perlu. Mungkin bisa kutahan sedikit. Gaun ini sangat menekan perutku, tidak akan nyaman untuk dipakai makan. Apa kamu tidak lapar?"

Gavier mengamati camilan yang ada di depannya. "Tidak, aku sudah biasa menahan lapar. Kemampuan seperti ini sangat diperlukan saat terjadi peperangan."

"Ooh ...."

Dan terjadilah keheningan dalam beberapa menit sebelum Gavier memutuskan untuk memecahkannya.

"Kenapa ... kamu melakukan hal tadi?"

Alenda menggigit potongan melon yang disediakan di depannya. "Apa? Menggandengmu?"

"Iya."

"Itu hal yang wajar bagi seorang istri, kan? Tidak hanya suami yang bisa melindungi istri, tapi istri juga bisa. Aku hanya melakukan kewajibanku. Lagipula kamu terlihat tertekan," ucap Alenda.

"Aku?"

"Iyap."

"Bagaimana kamu tau? Kamu kan tidak bisa melihat ekspresi wajahku," tanya Gavier yang bingung.

Iya juga, ya? Kok aku tau?

Alenda kini menatap lekat kedua mata Gavier yang masih bisa terlihat di topengnya. Dari gaya rambut Gavier saja Alenda tak bisa menebak bagaimana rupanya. Tapi kalau sudah berusia 18 tahun, setidaknya pria itu akan terlihat sedikit lebih segar. Telinganya juga sangat putih karena ketika malu dia akan berubah sangat merah. Bola matanya yang berwarna biru gelap, entah mengapa memberikan rasa aman saat Alenda memandang. Terlebih lagi ....

"Aku tidak bisa melihat wajahmu, ya?" tanya Alenda.

Gavier menggeleng. "Kamu tidak akan merasa nyaman. Aku belum siap melihat tatapan jijik istri pada suaminya."

"Aku janji takkan begitu."

"Maaf, aku tetap tidak bisa," jawab Gavier dengan tegas.

Ish, aku kan jadi semakin penasaran. Memang sampai kapan aku tidak bisa melihat wajahnya?

Lantas Alenda melirik tangan Gavier yang cukup kekar. "Kalau tangan ... apa aku bisa melihatnya?"

Karena dari awal, Gavier memang memakai kaus tangan hitam dan tak ingin menunjukkan tubuhnya.

"Kenapa kamu sangat ingin melihat tubuhku?"

"Karena aku istrimu, aku jadi semakin penasaran," ucap Alenda tanpa ragu.

"Tanganku biasa saja, jarinya sama-sama lima."

Alenda berdecak. "Tinggal buka saja apa susahnya, sih? Atau kau mau aku yang membukanya?"

Gavier menggeleng, Alenda tak mungkin nekat menyentuh dirinya lagi yang menjijikkan. "Kau tak akan melakukannya."

"Hahaha ... nantangin?" Alenda bangkit dari tempatnya dan berjalan ke kursi Gavier. Dia mendudukkan diri di sana lalu mengambil tangan kiri Gavier.

"A--apa yang kau lakukan, Alenda?!"

"Ssst, diam! Kalau teriak, pelayan akan berpikir hubungan kita tidak baik."

"Be--begitukah?"

Anggita baru datang, tapi dia tak melihat posisi Alenda. Apakah nyonyanya sedang ke tempat lain?

"Sebentar, aku akan membukanya jadi jangan bergerak!"

Hah?

Anggita terkejut. Jadi tuan dan nyonyanya sedang duduk bersama? Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Karena hanya terlihat kepala Gavier saja, Anggita jadi tak tau apa yang sedang terjadi.

"Ba--baiklah. Aku yakin kamu akan menyesal setelahnya. Milikku sama saja dengan pria lain."

Pipi Anggita memerah. Sebenarnya apa yang sedang dilakukan nyonyanya?

"Wah, besar sekali, ya?"

"Nyo ... nyonyaku yang polos," gumam Anggita sambil menutup wajahnya.

"Kau berbohong. Mana mungkin aku merasa jijik. Kau kan suamiku!"

Tak tahan mendengarnya lagi, Anggita pun berlari pergi dari ruangan. Sedangkan telinga Gavier lagi-lagi memerah. Alenda memperhatikan baik-baik otot yang ada di punggung tangan Gavier.

"Kamu punya tangan yang indah, Gavier."

"Te ... rima kasih."

"Benar, kan? Aku tidak akan membencinya." Alenda meletakkan telapak tangan kiri Gavier di atas telapak tangan kanannya. "Tangan kita sama karena kita manusia. Indah atau buruknya tanganmu, fungsinya tetap akan sama seperti tanganku."

Alenda berganti menatap iris mata Gavier yang kali ini bisa dia lihat dari dekat. "Jadi ... berhenti merendahkan diri, ya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status