Share

Bab 3

"Apa ... yang kamu lakukan di sini?"

Zata, yang sekarang akan lebih banyak kita sebut Alenda, tengah menatap bingung Anggita yang berjongkok di samping tempat putri Celsion mandi.

"Saya menunggu Tuan Putri."

"Iya, maksudku kenapa kamu menungguku di sini?" tanya Alenda lagi yang masih tak paham.

"Saya akan memandikan Nona," ucapnya tanpa dosa dengan senyuman lebar.

"Hah? Ngapain? Emang ada peraturan di tempat ini kalau kita nggak boleh mandi sendiri?" Alenda bingung karena selama dia hidup di dunia asalnya, dia pasti mandi sendiri. Terakhir kali dimandikan adalah saat berusia lima tahun.

"Tidak juga, tapi ... para putri bangsawan memang selalu dimandikan. Termasuk Nona Alenda. Jadi--"

"Oke-oke, tapi ... kami berhak menolak, kan? Maksudku, kalau aku tidak nyaman, aku bisa menolak hal itu, kan?" ucap Alenda seraya memegang erat-erat piyama mandinya.

"Apa maksud Nona?"

"Aku mau mandi sendiri! Bo--boleh, kan?"

Anggita menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, dia jadi bingung dengan sikap Alenda. "Nona ... aneh hari ini."

"Aku tau. Mungkin karena kecelakaan itu, aku jadi tak nyaman untuk memperlihatkan tubuhku kepada orang lain. Jadi, bisakah kamu menungguku di luar? Aku janji tidak akan lama, tapi aku benar-benar ingin mandi sendiri."

Anggita jadi merasa bersalah. Padahal tujuannya di sini adalah untuk membantu Alenda, tapi Alenda malah sampai memohon agar tidak dimandikan. Akhirnya karena merasa tak enak, Anggita pun menurut. Dia mempersiapkan alat-alat mandi dengan benar agar Alenda mudah menggunakannya.

"Terima kasih," kata Alenda.

Lagi-lagi Anggita terkejut. Dia belum pernah mendengar ucapan terima kasih dari seorang bangsawan karena selalu berpikir bahwa ini adalah kewajibannya sebagai seorang pelayan dan merupakan hal yang wajar.

"Anda tidak perlu berterima kasih untuk hal seperti ini, Nona. Tanpa itu, saya akan selalu mengabdi pada Nona Alenda."

Alenda tampak tertegun sejenak, lantas dia mengangguk dan masuk ke dalam pemandian. "Baiklah, kamu bisa pergi dan mempersiapkan gaunku."

"Baik, Nona."

Setelah kepergian Anggita, Alenda merendam tubuhnya ke dalam air. Dia menatap kosong ke depan. Walau ada banyak pertanyaan yang melintas di kepala, dia benar-benar ingin menuntaskan semuanya. Bahkan penyebab mengapa tubuhnya berpindah ke mari, apa yang terjadi di bioskop dan apakah Inggit mencarinya?

Semoga saja orang tuanya tak terlalu khawatir dengan kepergiannya.

Sepertinya alasan duke itu memanggilnya adalah untuk mengatakan tentang pernikahannya. Kalau bukan itu mungkin saja persoalan dirinya yang kabur. Yah, apa pun alasannya Alenda yakin bisa menghadapinya. Sebab dia bukanlah Alenda yang asli atau memiliki hubungan darah dengan pria itu.

Alenda mengepalkan kuat tangan kanannya dan melayangkannya di udara. "Bikin gara-gara sama gue tinggal gue tonjok aja. Mau tua atau muda, gue dididik sama papa buat ngehajar siapa pun yang menghalangi jalan gue."

Alenda menyandarkan kepalanya dan mulai memejamkan mata. "Yah ... ada untungnya juga papa tentara. Gue jadi bisa sedikit cara bertahan hidup. Kalau dipikir-pikir, mungkin ini karma dari Tuhan karena gue terlalu banyak dapet kebahagiaan. Apa sekarang waktunya gue sengsara?"

Selesai membersihkan tubuhnya, Alenda bangkit untuk mengenakan piyama. Sebelum keluar dari kamar mandi, Alenda menarik napas dalam-dalam. "Tapi gimana, dong? Gue terlalu kuat untuk dibikin sengsara."

Alenda membuka tirai lebar-lebar dan berjalan dengan tegap. Rambutnya yang indah dan wajahnya yang rupawan tampak percaya diri. Anggita yang memperhatikannya jadi ikut senang.

"Sepertinya Nona sangat bersemangat, ya?"

Alenda menatap bayangan dirinya lalu tersenyum. "Aku harus kuat agar tidak diinjak."

Selesai memakaikan gaun dan riasan tipis, Anggita menyisir rambut panjang Alenda. Sejujurnya, Alenda tak bisa menutupi rasa kagumnya dengan penampilannya yang sekarang. Dia kira hanya bisa melihat hal seperti ini di dalam film saja. Siapa sangka pakaian seperti ini benar-benar akan dia kenakan? Kalau Inggit tau, dia pasti akan sangat iri.

"Nona sangat cantik," ucap Anggita yang telah rampung mengepang rambut Alenda ke sisi kanan.

"Oke, antarkan aku ke tempat ayah," kata Alenda.

Alenda bangkit dari tempatnya. Pintu kamar yang selalu tertutup karena penghuninya lebih suka menghabiskan waktu sendirian itu akhirnya terbuka lebar. Para pelayan yang berlalu-lalang sempat terkejut melihat penampilan Alenda yang lebih bersinar, benar-benar di luar dugaan.

"Wah, pelayan-pelayan di rumah ini semakin berani saja, ya? Mereka terlihat terang-terangan ingin memukul wajahku," ucap Alenda yang sengaja ditinggikan. Spontan Anggita mengedarkan pandangannya dengan sinis agar pelayan yang tak tau diri itu segera menunduk untuk menghormati nonanya.

"Mohon ampun, Nona!" kata mereka.

Alenda tak mengindahkan. Dia berlalu begitu saja dengan hati penuh kemenangan.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan dia?"

"Entahlah. Apa kepalanya kepentok pohon saat kabur?"

"Sudah gila kali karena mau dinikahkan dengan monster mata keranjang?"

"Hahaha, jangan keras-keras nanti dia dengar!"

Dan masih banyak lagi ejekan pelayan di belakangnya yang bisa Alenda dengar.

Sampai di depan ruang utama Duke Celsion, Alenda berhenti sebentar. Dia ambil napas dalam-dalam lalu berkata pada pengawal yang berkerja bahwa tadi duke memanggilnya.

"Tuan Duke, Nona Alenda sudah datang."

"Masuklah," ucap duke.

"Silakan, Nona." Sang pengawal yang bertugas menjaga ruangan duke pun mempersilakan. Kala pintu dibuka, sinar matahari yang terpantul dari jendela di belakang kursi kerja duke menyorot wajah Alenda.

"Alenda ...," gumam duke, sempat tertegun kala melihat penampilan Alenda yang tampak cantik. Bayangan Reya jadi terbesit sebentar di kepalanya. Alenda benar-benar mirip dengan Reya, ibunya. Hal itu membuat duke semakin enggan untuk membiarkan Alenda berlama-lama di sekitarnya. Mengingat Reya yang tak lagi menghirup udara yang sama dengannya, duke sudah sangat kesakitan.

"Saya datang ... Tuan Duke."

Kebetulan di sana ada Gaffar dan juga Galya yang tengah berkonsultasi pada ayahnya mengenai pengembangan bisnis di wilayah barat. Mereka bertiga terkejut dengan gaya bicara Alenda. Apalagi gadis yang tak pernah mendapat kelas pendidikan atau tata krama itu kini bersikap sopan sampai tidak memanggil duke dengan sebutan ayah seperti biasa.

"Apa yang kau lakukan?" ucap duke saking herannya.

"Berdiri dan menunggu Tuan Duke berbicara," jawab Alenda tanpa dosa.

"Bukan itu maksudku ... astaga." Duke tak ingin mempermasalahkan cara Alenda memanggilnya. Toh, selama ini dia enggan dipanggil ayah olehnya. Tapi bukan karena duke tak sayang, sebenarnya dia hanya terluka setiap melihat wajah Alenda. "Duduklah."

Alenda berjalan dengan anggun ke sofa yang ada di depan meja kerja duke.

"Kalian pergilah. Setelah laporannya selesai, bawa kepadaku lagi. Akan aku pertimbangkan kembali jika bulan ini bisnis itu berhasil melampaui target," ucap duke pada kedua anaknya.

Gaffar dan Galya mengangguk bersamaan. Sebenarnya rencana bisnis itu adalah ide Galya dan Gaffar hanya menemani. Ambisi Galya mewarisi gelar duchess memang di luar dugaan duke, tapi dia cukup percaya pada kecerdasan anaknya. Sementara Gaffar yang menemani Galya dianggap sebagai penerus cadangan jika terjadi sesuatu pada Galya.

Alenda sadar bahwa dari awal kedatangannya ke ruangan duke sudah tak disambut ramah oleh saudara tirinya. Tentu saja, mereka berdua membenci dirinya. Alenda berusaha memahami kebencian itu. Siapa juga yang bisa menerima anak dari selingkuhan ayahnya sebagai saudara dengan mudah?

Tapi, tunggu ....

Saat Galya menatapnya sinis, entah mengapa Alenda tak merasakan apa pun. Seolah, Alenda yang asli tidak membenci Galya. Dia malah senang memiliki saudara perempuan. Apa ini perasaan sayang dan kagum seorang adik pada kakaknya? Alenda tak tau itu karena di dunia asli dia adalah anak tunggal.

Sementara ketika Gaffar lewat ... astaga. Jantung Alenda berdebar kencang. Sebuah ingatan melintas di kepala Alenda. Aneh, apa baru sekarang ingatan yang dimiliki Alenda asli muncul karena setting dimensi?

Tiba-tiba saja Alenda teringat saat dia berdiri di sebuah taman dalam kondisi ditemani satu bulan sabit. Keadaan yang sebelumnya sepi karena dirinya sendirian tiba-tiba berubah saat sebuah tangan menggenggamnya.

"Sudah menunggu lama?"

Siapa sangka pria itu adalah Gaffar?

"Aku berjanji, setelah kematian Galya dan aku berhasil mewarisi gelar ... maka aku akan menjadikanmu sebagai duchessku, Alenda."

Astaga!

Alenda menutup mulutnya. Ingatan itu memukul akal sehatnya. Jadi, Alenda asli memiliki hubungan gelap dengan saudara tirinya? Ini adalah hubungan terlarang! Tapi di dalam cerita seharusnya Alenda jatuh cinta pada raja buruk rupa hingga berakhir mati karena membongkar rahasianya. Apakah Alenda akhirnya diselamatkan Gaffar dan dibawa kabur dari Kerajaan Disappear? Semakin membayangkannya, perasaan Alenda semakin kacau.

Sekarang semuanya jadi sedikit masuk akal tentang bagaimana Gaffar mau menggendongnya ke kamar kemarin malam. Walau sempat heran, Alenda berpikir itu bukan apa-apa. Padahal di dalam cerita seharusnya Gaffar dan Galya membencinya.

"Kamu pasti sudah mendengarnya," ucap duke yang tiba-tiba saja sudah duduk di depan Alenda.

"Benar, saya sudah mendengar rumor tentang pernikahan saya."

"Sepertinya setelah apa yang terjadi di hutan, kamu ... sedikit berubah. Apa kamu telah merenungkan kesalahanmu dan berlagak Tuan Putri?" Duke Celsion mengambil cangkir tehnya dan menyeruput pelan. "Aku hanya ingin kamu ingat bahwa posisimu di keluarga ini adalah yang paling lemah. Saat aku mati, tak akan ada satu pun yang ingin melindungimu. Jadi, walaupun kamu masih muda, kamu harus bisa berpikir dengan otakmu sebelum bertindak dan mampu menjaga diri."

"Tuan Duke tak perlu khawatir, saya bisa mengurus diri saya sendiri tanpa campur tangan Anda. Toh, selama ini juga begitu, kan?" Alenda menyilangkan kakinya dengan berani. Dia tak peduli kalau setelah ini akan mendengar makian atau umpatan dari ayahnya.

"Begitu ... ya?"

Alenda bingung dengan ketenangan Duke Celsion. Padahal waktu dia ditemukan di hutan, bapak tua ini sangat galak dan memarahinya habis-habisan. Tapi kenapa sekarang kalem begini?

"Ada yang luka?"

"Apa?"

Duke Celsion menunjuk Alenda dengan dagunya. "Tubuhmu ... apa ada yang terluka?"

"Tidak. Saya baik-baik saja."

Setelah itu terjadi keheningan yang tidak nyaman di antara mereka berdua. Alenda menunggu Duke Celsion bicara dan Duke Celsion yang ragu untuk mengatakan maksudnya.

"Apa ... yang sebenarnya ingin Anda bicarakan?" tanya Alenda pada akhirnya.

Sepertinya, Tuan Duke Celsion tidak seperti dugaanku. Dia terlihat peduli pada anaknya walau tidak berterus terang, pikir Alenda setelah mengamati cara Celsion bicara dan memandangnya.

"Dua puluh tahun lalu aku bertemu ibumu untuk pertama kali. Dia perempuan yang cantik dan aktif. Pandai sekali bergaul dan punya banyak teman. Bahkan sampai akhir kematiannya, dia tetap menjadi satu-satunya perempuan yang bersinar di mataku."

Alenda tak mengerti alasan Celsion tiba-tiba membicarakan ibunya. Sehingga dia memilih diam mendengarkan sampai selesai.

"Pertikaian antar negara yang selalu berusaha dihindari oleh Kerajaan Stereo akhirnya datang. Aku yang saat itu menjadi calon penerus Duke Celsion harus terjun memimpin pasukan dari utara. Negara dari benua lain melakukan agresi militer besar-besaran setelah beredar rumor bahwa Raja kita menjadikan Putri ketiga mereka sebagai selir. Penghinaan itu menjadi alasan utamanya. Tapi tak berlangsung lama, muncul berbagai konspirasi yang menyebabkan meruaknya macam-macam kesalahpahaman. Situasi negara semakin kacau dan tak aman. Keluarga kita yang dianggap sebagai tangan kanan kuat kerajaan berusaha mati-matian untuk menjaga keselamatan penduduk dan kestabilan negara."

Alenda merasa seperti sedang mendengar tokoh bersejarah. Sangat seru! Tak disangka ayahnya berjasa begitu besar pada negara.

"Tentu saja semua itu tak bisa terjadi berkat kekuatan ayah saja. Sebenarnya ... ayah diam-diam menjalin kesepakatan dengan Kerajaan Disappear yang saat itu juga memegang wilayah dekat perbatasan. Karena lokasinya cukup strategis, ayah menjalin kerja sama dan bantuan dari mereka. Biaya yang ayah gunakan selama ini tak berhasil menutup kebutuhan perang besar. Apalagi arus perekonomian negara juga tidak lancar untuk mengeluarkan anggaran besar. Dan sebagai gantinya, ayah menjalin kesepakatan untuk menyerahkan putri ayah sebagai istri anaknya di masa depan."

Jadi inilah intinya! Celsion menjual Alenda!

"Jadi begitu ...."

"Ayah harap, kamu menger--"

"Baiklah."

Celsion terkejut. Apa mungkin Alenda menerimanya begitu saja?

"Tuan Duke tak punya pilihan, kan? Aku juga tak ada alasan lagi untuk tinggal di sini." Alenda bangkit dan menatap tajam laki-laki yang sudah pucat di depannya. "Terima kasih sudah merawatku selama ini, Tuan Duke."

"Tunggu!"

Alenda pergi dari ruangan duke begitu saja, tanpa mengetahui kebenaran yang ingin pria itu ungkap.

Sebenarnya, perjanjian itu diperuntukkan untuk anak dari perempuan yang paling kucintai dan aku benar-benar tak punya pilihan selain mengirim Alenda, batin Celsion.

"Maafkan aku, Reya. Aku melanggar janjiku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status