Kini, Tiffany sedang melamun di ruang kerjanya seraya menatap ke arah ponselnya. Rasanya, sudah dari lama ia mengirimkan pesan pada David yang isinya mengatakan bahwa ia sudah tiba di rumah sakit dan beberapa pesan lainnya, tapi sudah dari tiga jam yang lalu, pria itu tidak kunjung membalasnya. Ini tidak seperti biasanya, David selalu menyempatkan diri untuk memberinya kabar bagaimanapun keadaannya. "Apa aku harus menelponnya saja?" Tiffany berperang dalam hatinya. Maksud hati, ia hanya ingin mengetahui apa yang sedang dilakukan pria itu, namun satu sisi lain ia tidak ingin mengganggu David."Sepertinya tidak masalah jika hanya sekali. Siapa tahu, David tidak menyadari pesannya."Tiffany segera menghubungkan panggilan dengan David. Ia menunggu, tapi pria itu juga tak kunjung mengangkatnya."Apa ia sedang melakukan hal lain? Masalah dalam proyek belum selesai juga?" Tiffany semakin bertanya-tanya, ia tidak tahu harus menghubungi siapa. Ia ingin menanyakan kabar David pada Rosa, tapi i
"Ah, mataku! Mataku sakit!" Teriak seorang gadis yang berada di atas ranjang dengan beberapa perawat yang mendorongnya menuju ruang perawatan. "Mataku, sakit! Tolong aku!" Kedua mata gadis itu terus saja mengeluarkan darah setelah terjadi kecelakaan yang menimpanya hingga membuat ranting pohon yang patah langsung menusuk kedua netra hitam itu. Tiffany akhirnya datang, ia segera mengambil tindakan dengan membalut mata si gadis itu dengan kasa yang sebelumnya sudah ia oleskan antibiotik agar meminimalisir terjadinya infeksi. Tidak tanggung-tanggung, Tiffany naik ke atas tubuh gadis itu yang sedari tadi terus memberontak karena merasa sakit yang luar biasa di daerah matanya. Kedua kaki Tiffany segera menahan tangan gadis yang belum ia ketahui namanya itu. "Apa ada luka lain yang serius?""Tulang sumsumnya patah, Dok. Hampir mengenai lambungnya dan juga banyak sekali goresan dan luka di bagian pahanya."Tiffany mendesis mendengar itu. Tiffany tidak menduduki perut gadis itu, ia hanya b
Tiffany keluar dari ruang operasi bersama Dokter Anna, rupanya ibu beranak satu itu tengah menerima panggilan di rooftop jadi perawat tentu saja tidak bisa menjangkaunya. Untung saja, Dokter Anna dengan cepat kembali dan segera membantu Tiffany menangani pasien itu. Tidak terasa, operasi sudah berjalan selama lima jam dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Keadaan lorong rumah sakit masih dipenuhi banyak orang yang berlalu-lalang, namun pasien yang datang semakin sedikit. Tiffany menghela napasnya kasar, setelah berjuang di dalam bilik yang sempit itu, Tiffany tidak bisa menyelamatkan hidup gadis itu karena kornea matanya sudah sangat rusak parah. Ditambah lagi, ia kehabisan darah juga ada beberapa organ dalam tubuhnya yang sangat kronis.Gadis itu berjalan menuju sisi dinding pembatas yang langsung memperlihatkan hamparan suasana Kota Jakarta. Deru napasnya masih tidak beraturan. Saat di ruang operasi tadi, ia benar-benar menyaksikan langsung bahwa keadaan gadis itu semakin
Rosa duduk di kursinya dengan sosok David yang masih terlelap di sampingnya. Salah satu tangannya memegang sebuah cairan berwarna merah yang ia minum perlahan, ia memang penyuka wine. Tangan yang lainnya mengelus surai hitam milik David dengan lembut. Sebenarnya, ia tidak menyangka jika obat tidur yang ia beri akan bekerja selama ini. Dalam hati, ia juga sudah cukup puas dengan hari ini. Pakaiannya juga sudah berganti menjadi saat ia bertemu dengan David tadi siang."Tiffany tidak pernah pantas untukmu, David. Akulah yang pantas." gumamnya seraya berdiri, ingin pergi ke toilet. Namun, belum lama gadis itu melangkah, David menggeliat dari tidurnya hingga kedua matanya perlahan terbuka seraya membiaskan cahaya. Saat ia merasa tidak asing dengan ruangan itu dan menyadari satu hal, ia langsung bangkit dari tidurnya dan melirik ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. "Astaga, sudah semalam ini? Berapa lama aku tidur?" David menoleh ke arah Rosa yang baru sa
"Halo? Siapa ini?""Rosa? Ini aku Tiffany. Aku dapat nomor teleponmu dari Philip.""Oh, Tiffany! Ada apa?""Aku ingin menanyakan keberadaan David padamu, apa kau tahu dimana dia sekarang?""Tadi, dia ketiduran di ruangannya, di kantor. Aku tidak tega membangunkannya, tidurnya sangat pulas.""Lalu, dimana dia sekarang?""Aku tidak tahu, aku baru saja tiba di apartemenku.""David?"Kedua mata Tiffany menatap sosok David yang baru saja memasuki lobby rumah sakit dengan napas yang tersengal, wajahnya juga pucat dan tubuhnya basah dengan keringat. "Tiffany!"Tubuh Tiffany langsung dipeluk begitu saja oleh David, tidak peduli jika sepasang mata kini telah memperhatikan mereka. "Maafkan aku, Tiff. Aku ketiduran di ruang kerja dan tidak menyadari bahwa aku sudah tidur selama itu. Ponselku juga dalam keadaan mati, aku lupa membawa charger. Untunglah, kau masih di sini."Tiffany tersenyum seraya melepaskan pelukan mereka, "Tidak apa, aku hanya khawatir padamu. Tidak biasanya kau tidak memberi
"Halo? Siapa ini?""Rosa? Ini aku Tiffany. Aku dapat nomor teleponmu dari Philip."Lagi, emosi Rosa semakin memuncak, ia menggenggam tangannya kuat-kuat, menyalurkan emosinya yang terpendam. "Oh, Tiffany! Ada apa?" Ia berusaha menjaga nada suaranya agar tidak mencurigakan. "Aku ingin menanyakan keberadaan David padamu, apa kau tahu dimana dia sekarang?""Tadi, dia ketiduran di ruangannya, di kantor. Aku tidak tega membangunkannya, tidurnya sangat pulas." Rosa menyunggingkan senyumnya sinis mengingat apa yang sudah ia lakukan pada David."Lalu, dimana dia sekarang?""Aku tidak tahu, aku baru saja tiba di apartemenku." Sengaja, Rosa tidak memberitahu Tiffany jika David sedang menuju ke tempatnya. Biar saja, agar Tiffany merasa sendiri dan tidak bersama David."David?"Rosa menegang saat ia mendengar suara David dari seberang sana, yang sialnya lagi-lagi membuat emosinya semakin meledak, seperti ada kobaran api yang membuncah di sana."Maafkan aku, Tiff. Aku ketiduran di ruang kerja da
Salsha menatap ponselnya yang baru saja ia putuskan secara sepihak panggilan itu. Sebenarnya, ia juga tidak tega pada Matthew yang pasti sedang dalam posisi bimbang, tapi ia juga sedang tidak bisa berpikir jernih. Maksud dari pria itu jelas-jelas hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia seperti menjadi objek pengalihan perasaannya juga kemauan Ayahnya. Sebenarnya, Salsha tidaklah keberatan dengan kemauan Matthew itu, tapi mengingat pria itu yang masih berurusan dengan Tiffany membuatnya sedikit enggan."Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, tapi aku merasa aku mulai nyaman denganmu, Matthew. Tapi, aku juga tidak terima jika kau hanya memanfaatkanku. Memang sudah seharusnya, kita tidak berpura-pura seperti ini." Setelahnya, kedua mata Salsha terpejam dengan bersamaan ponselnya berkedip, sebuah pesan masuk dari Matthew. 'Salsha, aku mohon, kau jangan berburuk sangka lebih dulu padaku. Aku tidak bermaksud untuk memanfaatkanmu dalam situasi ini. Tapi, aku benar-benar serius ingin menjalin
"Kau sudah sarapan?" Salsha lagi-lagi hanya mengangguk, gadis itu seperti enggan mengeluarkan suaranya."Sebenarnya, aku membeli ini untukmu, aku pikir kau belum sarapan. Tapi, aku rasa ini bisa juga dijadikan—"Kriuk! Kriuk!Perkataan Matthew terhenti saat mendengar suara yang bersumber dari perut Salsha. Sontak saja, ia terkekeh mendengar itu, Salsha memang tidak ditakdirkan untuk membohonginya. Sedangkan, gadis itu sedang memalingkan wajahnya seraya berkomat-kamit mengumpati dirinya sendiri. Jika boleh jujur, ia memang belum sarapan pagi ini, lebih tepatnya tidak sempat sarapan karena ia telat bangun."Makanlah. Aku tahu kau belum sarapan." Matthew menyodorkan sekotak makanan itu pada Salsha."Tidak perlu." Lagi, perut gadis itu berbunyi seolah tidak bisa diajak kerjasama dengan pikirannya. Matthew menyembunyikan kekehannya dengan cepat saat gadis itu meliriknya."Jangan ditahan, itu tidak baik. Makanlah, kau juga harus segera memeriksa pasien. Kau akan berkerja keras, tidak lucu j