Kedua matanya tidak sengaja menatap ke arah ponsel David yang berkedip, itu pasti pesan masuk dari Tiffany. Rosa diam-diam tersenyum miring. David tidak akan menyadari jika ada notifikasi di ponselnya. Tadi, saat pria itu sedang di dalam kamar mandi, Rosa telah mematikan bunyi notifikasi. Biar saja, ia hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan David. Hanya berdua saja tanpa ada Tiffany yang pengacau."Kau ingin mencoba sekali lagi?" David menggeleng, "Sudahlah, aku tidak ingin. Aku ingin beristirahat saja.""Baiklah. Jika begitu, aku akan menghapus tanda kekalahan dari wajahmu." Rosa berkata seraya mengambil beberapa lembar tissue. David yang mendengar itu hanya terkekeh dan membiarkan Rosa membersihkan wajahnya.Dalam hati, sebenarnya jantung Rosa berdegup sangat kencang. Dari jarak sedekat ini ia bisa melihat dengan jelas pahatan wajah tampan pria itu. Sangat sempurna! Rasanya, Rosa ingin menyentuhnya langsung tanpa tissue sebagai penghalangnya."Sudah?"Rosa mengerjap, "Sudah.
Kini, Tiffany sedang melamun di ruang kerjanya seraya menatap ke arah ponselnya. Rasanya, sudah dari lama ia mengirimkan pesan pada David yang isinya mengatakan bahwa ia sudah tiba di rumah sakit dan beberapa pesan lainnya, tapi sudah dari tiga jam yang lalu, pria itu tidak kunjung membalasnya. Ini tidak seperti biasanya, David selalu menyempatkan diri untuk memberinya kabar bagaimanapun keadaannya. "Apa aku harus menelponnya saja?" Tiffany berperang dalam hatinya. Maksud hati, ia hanya ingin mengetahui apa yang sedang dilakukan pria itu, namun satu sisi lain ia tidak ingin mengganggu David."Sepertinya tidak masalah jika hanya sekali. Siapa tahu, David tidak menyadari pesannya."Tiffany segera menghubungkan panggilan dengan David. Ia menunggu, tapi pria itu juga tak kunjung mengangkatnya."Apa ia sedang melakukan hal lain? Masalah dalam proyek belum selesai juga?" Tiffany semakin bertanya-tanya, ia tidak tahu harus menghubungi siapa. Ia ingin menanyakan kabar David pada Rosa, tapi i
"Ah, mataku! Mataku sakit!" Teriak seorang gadis yang berada di atas ranjang dengan beberapa perawat yang mendorongnya menuju ruang perawatan. "Mataku, sakit! Tolong aku!" Kedua mata gadis itu terus saja mengeluarkan darah setelah terjadi kecelakaan yang menimpanya hingga membuat ranting pohon yang patah langsung menusuk kedua netra hitam itu. Tiffany akhirnya datang, ia segera mengambil tindakan dengan membalut mata si gadis itu dengan kasa yang sebelumnya sudah ia oleskan antibiotik agar meminimalisir terjadinya infeksi. Tidak tanggung-tanggung, Tiffany naik ke atas tubuh gadis itu yang sedari tadi terus memberontak karena merasa sakit yang luar biasa di daerah matanya. Kedua kaki Tiffany segera menahan tangan gadis yang belum ia ketahui namanya itu. "Apa ada luka lain yang serius?""Tulang sumsumnya patah, Dok. Hampir mengenai lambungnya dan juga banyak sekali goresan dan luka di bagian pahanya."Tiffany mendesis mendengar itu. Tiffany tidak menduduki perut gadis itu, ia hanya b
Tiffany keluar dari ruang operasi bersama Dokter Anna, rupanya ibu beranak satu itu tengah menerima panggilan di rooftop jadi perawat tentu saja tidak bisa menjangkaunya. Untung saja, Dokter Anna dengan cepat kembali dan segera membantu Tiffany menangani pasien itu. Tidak terasa, operasi sudah berjalan selama lima jam dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Keadaan lorong rumah sakit masih dipenuhi banyak orang yang berlalu-lalang, namun pasien yang datang semakin sedikit. Tiffany menghela napasnya kasar, setelah berjuang di dalam bilik yang sempit itu, Tiffany tidak bisa menyelamatkan hidup gadis itu karena kornea matanya sudah sangat rusak parah. Ditambah lagi, ia kehabisan darah juga ada beberapa organ dalam tubuhnya yang sangat kronis.Gadis itu berjalan menuju sisi dinding pembatas yang langsung memperlihatkan hamparan suasana Kota Jakarta. Deru napasnya masih tidak beraturan. Saat di ruang operasi tadi, ia benar-benar menyaksikan langsung bahwa keadaan gadis itu semakin
Rosa duduk di kursinya dengan sosok David yang masih terlelap di sampingnya. Salah satu tangannya memegang sebuah cairan berwarna merah yang ia minum perlahan, ia memang penyuka wine. Tangan yang lainnya mengelus surai hitam milik David dengan lembut. Sebenarnya, ia tidak menyangka jika obat tidur yang ia beri akan bekerja selama ini. Dalam hati, ia juga sudah cukup puas dengan hari ini. Pakaiannya juga sudah berganti menjadi saat ia bertemu dengan David tadi siang."Tiffany tidak pernah pantas untukmu, David. Akulah yang pantas." gumamnya seraya berdiri, ingin pergi ke toilet. Namun, belum lama gadis itu melangkah, David menggeliat dari tidurnya hingga kedua matanya perlahan terbuka seraya membiaskan cahaya. Saat ia merasa tidak asing dengan ruangan itu dan menyadari satu hal, ia langsung bangkit dari tidurnya dan melirik ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. "Astaga, sudah semalam ini? Berapa lama aku tidur?" David menoleh ke arah Rosa yang baru sa
"Halo? Siapa ini?""Rosa? Ini aku Tiffany. Aku dapat nomor teleponmu dari Philip.""Oh, Tiffany! Ada apa?""Aku ingin menanyakan keberadaan David padamu, apa kau tahu dimana dia sekarang?""Tadi, dia ketiduran di ruangannya, di kantor. Aku tidak tega membangunkannya, tidurnya sangat pulas.""Lalu, dimana dia sekarang?""Aku tidak tahu, aku baru saja tiba di apartemenku.""David?"Kedua mata Tiffany menatap sosok David yang baru saja memasuki lobby rumah sakit dengan napas yang tersengal, wajahnya juga pucat dan tubuhnya basah dengan keringat. "Tiffany!"Tubuh Tiffany langsung dipeluk begitu saja oleh David, tidak peduli jika sepasang mata kini telah memperhatikan mereka. "Maafkan aku, Tiff. Aku ketiduran di ruang kerja dan tidak menyadari bahwa aku sudah tidur selama itu. Ponselku juga dalam keadaan mati, aku lupa membawa charger. Untunglah, kau masih di sini."Tiffany tersenyum seraya melepaskan pelukan mereka, "Tidak apa, aku hanya khawatir padamu. Tidak biasanya kau tidak memberi
"Halo? Siapa ini?""Rosa? Ini aku Tiffany. Aku dapat nomor teleponmu dari Philip."Lagi, emosi Rosa semakin memuncak, ia menggenggam tangannya kuat-kuat, menyalurkan emosinya yang terpendam. "Oh, Tiffany! Ada apa?" Ia berusaha menjaga nada suaranya agar tidak mencurigakan. "Aku ingin menanyakan keberadaan David padamu, apa kau tahu dimana dia sekarang?""Tadi, dia ketiduran di ruangannya, di kantor. Aku tidak tega membangunkannya, tidurnya sangat pulas." Rosa menyunggingkan senyumnya sinis mengingat apa yang sudah ia lakukan pada David."Lalu, dimana dia sekarang?""Aku tidak tahu, aku baru saja tiba di apartemenku." Sengaja, Rosa tidak memberitahu Tiffany jika David sedang menuju ke tempatnya. Biar saja, agar Tiffany merasa sendiri dan tidak bersama David."David?"Rosa menegang saat ia mendengar suara David dari seberang sana, yang sialnya lagi-lagi membuat emosinya semakin meledak, seperti ada kobaran api yang membuncah di sana."Maafkan aku, Tiff. Aku ketiduran di ruang kerja da
Salsha menatap ponselnya yang baru saja ia putuskan secara sepihak panggilan itu. Sebenarnya, ia juga tidak tega pada Matthew yang pasti sedang dalam posisi bimbang, tapi ia juga sedang tidak bisa berpikir jernih. Maksud dari pria itu jelas-jelas hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia seperti menjadi objek pengalihan perasaannya juga kemauan Ayahnya. Sebenarnya, Salsha tidaklah keberatan dengan kemauan Matthew itu, tapi mengingat pria itu yang masih berurusan dengan Tiffany membuatnya sedikit enggan."Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, tapi aku merasa aku mulai nyaman denganmu, Matthew. Tapi, aku juga tidak terima jika kau hanya memanfaatkanku. Memang sudah seharusnya, kita tidak berpura-pura seperti ini." Setelahnya, kedua mata Salsha terpejam dengan bersamaan ponselnya berkedip, sebuah pesan masuk dari Matthew. 'Salsha, aku mohon, kau jangan berburuk sangka lebih dulu padaku. Aku tidak bermaksud untuk memanfaatkanmu dalam situasi ini. Tapi, aku benar-benar serius ingin menjalin
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub
"Tiffany, kau ingin keluar? Aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka." "Baiklah. Sepertinya, udara di luar lebih sejuk." Tiffany merasakan hal yang sama, bau ruangan itu sudah bukan lagi aroma lezat makanan tapi sudah didominasi aroma minuman alkohol, ia tidak menyukainya.Tanpa berpamitan lagi pada David, Tiffany segera menyusul Rosa yang sudah lebih dulu keluar. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sebuah danau kecil dengan beberapa pohon rindang di pinggirnya, gemerlap lampu yang temaram membuat suasana semakin nyaman dinikmati.Kedua gadis itu terus berjalan hingga mereka akhirnya tiba di sebuah jembatan kecil yang digunakan untuk menyebrangi sungai. Memang, di seberang sana ada kandang kuda dan juga lapangan golf. Besar sekali memang rumah Zelo. "Aroma parfummu sama sepertiku." Tiffany menyeletuk saat ia tidak sengaja mencium bau badan Rosa."Benarkah? Aku memakai parfum Channel no 5.""Benar! Aku juga memakainya, pemberian dari David."Rosa terkekeh, "Sepertinya, it
"Kau tidak ikut bermain?"Tiffany menoleh, Rosa sudah di sampingnya sedang mengikat rambut. "Tidak, aku tidak bisa bermain baseball.""Oh, benarkah? Padahal, David sangat menyukai permainan olahraga ini. Dari kecil, dia sudah sangat jago dan berlatih setelah pulang sekolah. Aku juga bisa bermain baseball karena David." Rosa berkata dengan senyumannya."Lebih menyenangkan jika kau bisa bermain baseball dengan seseorang yang kau sayangi, bukan?" Rosa melanjutkan dengan nada yang sedikit berbeda, seolah menyudutkan Tiffany.Tidak ada respon apapun yang diberikan Tiffany, ia hanya diam seraya memperhatikan Rosa yang tengah tersenyum miring ke arahnya seraya berjalan menuju sekumpulan pria itu. Di tempatnya, Tiffany hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang asik bermain. Meski pandangannya tertuju pada lapangan juga David, tapi pikirannya sedang mengambang, ia kembali mengingat kejadian semalam dengan Salsha. Bukan hal yang tidak mungkin jika Rosa menaruh perasaan pada David, mereka sud
"Kau masih ingat bagaimana prianya?"Salsha mencoba mengingat kembali, "Sedikit. Aku ingat rambutnya."Tiffany dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang berisi enam pria yang sedang tersenyum lebar di tengah-tengah lapangan baseball, lengkap dengan pakaian juga sebuah piala di sana."Apa ada di salah satu pria ini?"Salsha mengamatinya dengan teliti hingga ia merasa familiar dengan seorang pria di tengah-tengah, "Ini! Dia orangnya."Itu, Gilang.Setelahnya, Tiffany tidak banyak bicara, ia hanya diam mencoba mencerna apa yang terjadi selama ini. Mendapati hal ini, rasa curiga yang tadi sempat terpendam kini muncul kembali, ia menggali ingatannya dengan beberapa kejadian yang melibat Rosa belakangan ini. Gadis itu memang selalu hadir menjadi topik pertengkaran ia dan David hingga berujung salah paham."Tiffany, jika aku boleh menyarankan, kau harus berhati-hati dengan dia. Kau jangan terlalu percaya padanya. Dia memang sahabat David, tapi dia tetap orang asin