Tiffany keluar dari ruang operasi bersama Dokter Anna, rupanya ibu beranak satu itu tengah menerima panggilan di rooftop jadi perawat tentu saja tidak bisa menjangkaunya. Untung saja, Dokter Anna dengan cepat kembali dan segera membantu Tiffany menangani pasien itu. Tidak terasa, operasi sudah berjalan selama lima jam dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Keadaan lorong rumah sakit masih dipenuhi banyak orang yang berlalu-lalang, namun pasien yang datang semakin sedikit. Tiffany menghela napasnya kasar, setelah berjuang di dalam bilik yang sempit itu, Tiffany tidak bisa menyelamatkan hidup gadis itu karena kornea matanya sudah sangat rusak parah. Ditambah lagi, ia kehabisan darah juga ada beberapa organ dalam tubuhnya yang sangat kronis.Gadis itu berjalan menuju sisi dinding pembatas yang langsung memperlihatkan hamparan suasana Kota Jakarta. Deru napasnya masih tidak beraturan. Saat di ruang operasi tadi, ia benar-benar menyaksikan langsung bahwa keadaan gadis itu semakin
Rosa duduk di kursinya dengan sosok David yang masih terlelap di sampingnya. Salah satu tangannya memegang sebuah cairan berwarna merah yang ia minum perlahan, ia memang penyuka wine. Tangan yang lainnya mengelus surai hitam milik David dengan lembut. Sebenarnya, ia tidak menyangka jika obat tidur yang ia beri akan bekerja selama ini. Dalam hati, ia juga sudah cukup puas dengan hari ini. Pakaiannya juga sudah berganti menjadi saat ia bertemu dengan David tadi siang."Tiffany tidak pernah pantas untukmu, David. Akulah yang pantas." gumamnya seraya berdiri, ingin pergi ke toilet. Namun, belum lama gadis itu melangkah, David menggeliat dari tidurnya hingga kedua matanya perlahan terbuka seraya membiaskan cahaya. Saat ia merasa tidak asing dengan ruangan itu dan menyadari satu hal, ia langsung bangkit dari tidurnya dan melirik ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. "Astaga, sudah semalam ini? Berapa lama aku tidur?" David menoleh ke arah Rosa yang baru sa
"Halo? Siapa ini?""Rosa? Ini aku Tiffany. Aku dapat nomor teleponmu dari Philip.""Oh, Tiffany! Ada apa?""Aku ingin menanyakan keberadaan David padamu, apa kau tahu dimana dia sekarang?""Tadi, dia ketiduran di ruangannya, di kantor. Aku tidak tega membangunkannya, tidurnya sangat pulas.""Lalu, dimana dia sekarang?""Aku tidak tahu, aku baru saja tiba di apartemenku.""David?"Kedua mata Tiffany menatap sosok David yang baru saja memasuki lobby rumah sakit dengan napas yang tersengal, wajahnya juga pucat dan tubuhnya basah dengan keringat. "Tiffany!"Tubuh Tiffany langsung dipeluk begitu saja oleh David, tidak peduli jika sepasang mata kini telah memperhatikan mereka. "Maafkan aku, Tiff. Aku ketiduran di ruang kerja dan tidak menyadari bahwa aku sudah tidur selama itu. Ponselku juga dalam keadaan mati, aku lupa membawa charger. Untunglah, kau masih di sini."Tiffany tersenyum seraya melepaskan pelukan mereka, "Tidak apa, aku hanya khawatir padamu. Tidak biasanya kau tidak memberi
"Halo? Siapa ini?""Rosa? Ini aku Tiffany. Aku dapat nomor teleponmu dari Philip."Lagi, emosi Rosa semakin memuncak, ia menggenggam tangannya kuat-kuat, menyalurkan emosinya yang terpendam. "Oh, Tiffany! Ada apa?" Ia berusaha menjaga nada suaranya agar tidak mencurigakan. "Aku ingin menanyakan keberadaan David padamu, apa kau tahu dimana dia sekarang?""Tadi, dia ketiduran di ruangannya, di kantor. Aku tidak tega membangunkannya, tidurnya sangat pulas." Rosa menyunggingkan senyumnya sinis mengingat apa yang sudah ia lakukan pada David."Lalu, dimana dia sekarang?""Aku tidak tahu, aku baru saja tiba di apartemenku." Sengaja, Rosa tidak memberitahu Tiffany jika David sedang menuju ke tempatnya. Biar saja, agar Tiffany merasa sendiri dan tidak bersama David."David?"Rosa menegang saat ia mendengar suara David dari seberang sana, yang sialnya lagi-lagi membuat emosinya semakin meledak, seperti ada kobaran api yang membuncah di sana."Maafkan aku, Tiff. Aku ketiduran di ruang kerja da
Salsha menatap ponselnya yang baru saja ia putuskan secara sepihak panggilan itu. Sebenarnya, ia juga tidak tega pada Matthew yang pasti sedang dalam posisi bimbang, tapi ia juga sedang tidak bisa berpikir jernih. Maksud dari pria itu jelas-jelas hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia seperti menjadi objek pengalihan perasaannya juga kemauan Ayahnya. Sebenarnya, Salsha tidaklah keberatan dengan kemauan Matthew itu, tapi mengingat pria itu yang masih berurusan dengan Tiffany membuatnya sedikit enggan."Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, tapi aku merasa aku mulai nyaman denganmu, Matthew. Tapi, aku juga tidak terima jika kau hanya memanfaatkanku. Memang sudah seharusnya, kita tidak berpura-pura seperti ini." Setelahnya, kedua mata Salsha terpejam dengan bersamaan ponselnya berkedip, sebuah pesan masuk dari Matthew. 'Salsha, aku mohon, kau jangan berburuk sangka lebih dulu padaku. Aku tidak bermaksud untuk memanfaatkanmu dalam situasi ini. Tapi, aku benar-benar serius ingin menjalin
"Kau sudah sarapan?" Salsha lagi-lagi hanya mengangguk, gadis itu seperti enggan mengeluarkan suaranya."Sebenarnya, aku membeli ini untukmu, aku pikir kau belum sarapan. Tapi, aku rasa ini bisa juga dijadikan—"Kriuk! Kriuk!Perkataan Matthew terhenti saat mendengar suara yang bersumber dari perut Salsha. Sontak saja, ia terkekeh mendengar itu, Salsha memang tidak ditakdirkan untuk membohonginya. Sedangkan, gadis itu sedang memalingkan wajahnya seraya berkomat-kamit mengumpati dirinya sendiri. Jika boleh jujur, ia memang belum sarapan pagi ini, lebih tepatnya tidak sempat sarapan karena ia telat bangun."Makanlah. Aku tahu kau belum sarapan." Matthew menyodorkan sekotak makanan itu pada Salsha."Tidak perlu." Lagi, perut gadis itu berbunyi seolah tidak bisa diajak kerjasama dengan pikirannya. Matthew menyembunyikan kekehannya dengan cepat saat gadis itu meliriknya."Jangan ditahan, itu tidak baik. Makanlah, kau juga harus segera memeriksa pasien. Kau akan berkerja keras, tidak lucu j
"Bagaimana kantor? Apakah berjalan lancar?"David mengangguk antusias, "Kantor sangat berjalan sangat lancar. Kau tahu? Rosa berhasil meyakinkan vendor-vendor yang datang itu hingga mereka mau berperan andil dalam proyekku.""Aish, kau ini berlebihan sekali. Aku hanya bicara sebentar saja pada mereka.""Tapi, tetap saja! Kau sangat keren, Rosa. Aku saja awalnya sudah menyerah dengan mereka yang terus-menerus memojokkanku.""Aish, lagi-lagi kau berlebihan. Tidak usah dipercaya, Tiffany. Dia memang selalu seperti itu.""Tidak, tidak. Ini serius mengatakannya. Satu hal lagi, kau tau, Tiff? Rosa juga berhasil mendapatkan tiga investor sekaligus agar menyimpan sahamnya di proyek kali ini. Wah, aku tidak bisa berkata-kata lagi.""Aku kan sudah mengatakannya padamu jika sebelumnya aku sudah jauh-jauh hari menawarkan ini pada mereka dan baru hari ini mereka memberikan keputusan mereka.""Ya, pada intinya kau benar-benar hebat. Aku beruntung bisa mengandalkanmu dalam hal ini." Tiffany hanya m
"Terima kasih.""Salsha." Salsha yang hendak keluar dari mobil itu terhenti saat Matthew menyuarakan namanya."Ada apa?""Malam ini, aku manggung di tempat biasa, jika kau luang, aku harap kau bisa datang."Salsha mengangguk, "Ya.""Tunggu sebentar." Salsha kembali menjatuhkan bokongnya, ia kembali menoleh pada Matthew."Ada apa lagi?""Ini." Matthew menyodorkan jus buah naga pada Salsha. "Aku tidak tahu kau suka jus apa, setelah aku cari tahu, jus buah naga salah satu jus yang bagus untuk penderita diabetes. Jadi, aku membuatnya untukmu. Aku harap kau suka."Salsha memandang jus itu lumayan lama, hatinya menghangat dengan perilaku Matthew yang manis. "Kau membuatnya?"Matthew mengangguk seraya terkekeh, "Ya sebenarnya, tidak seratus persen aku yang buat, aku dibantu oleh Bi Arum."Salsha terkekeh, "Baiklah, terima kasih. Aku terima, ya."Matthew mengangguk dan Salsha berpamitan dan segera keluar. "Aku tunggu di kafe biasa." Matthew menyembulkan kepalanya dari jendela mobil pada Sals