Konon di sebuah hutan, hidup sesosok makhluk penghisap jiwa manusia yang disebut Moa. Ia tinggal di sebuah hutan terlarang yang berada tak jauh dari pemukiman. Dengan bantuan seorang pendeta, sebuah penghalang kuat berhasil dipasang di perbatasan antara hutan dan desa. Namun kehidupan di sana kembali terancam saat si pendeta berhasil terbunuh dan penghalang itu semakin melemah, membuat Moa bisa dengan bebas keluar masuk desa dan menyebabkan banyak korban berjatuhan. Dan di antara orang-orang itu, Moa mengincar gadis bernama Nara, yang tak lain adalah putri dari pendeta yang berhasil ia bunuh.
View MoreBeberapa orang tampak memasuki sebuah rumah dan meletakkan seorang gadis kecil di dekat perapian. Wajah gadis itu tampak begitu pucat dan berkeringat, bibirnya bergetar dan napasnya memburu cukup hebat. Dia ... tampak seperti sekarat.
Seorang pria tua yang tadi membawanya langsung mengambil sesuatu yang berada di atas meja. Sebuah mangkuk yang terbuat dari kayu itu berisi cairan berwarna hijau pekat—bahkan cenderung kehitaman.
"Minumlah," ujarnya seraya sedikit menegakkan tubuh gadis kecil di pangkuannya.
Kening gadis itu berkerut begitu merasa ada cairan aneh yang mengalir ke melewati kerongkongannya. Kedua matanya perlahan terbuka.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya pria lain yang ada di sana.
Si pria tua mengangguk. "Dia akan segera membaik," ujarnya dan membuka kepalan tangan gadis itu. Sesuatu tampak digenggamnya dengan begitu erat. Si pria tua menghela napas lega.
"Badai salju yang mengerikan. Kita datang di waktu yang tepat," sahut yang lain.
"Hal yang lebih mengerikan akan terjadi jika makhluk itu berhasil mengambil Nara. Beruntung anak ini selalu membawa norigae yang Kiara berikan. Benda ini berisi mantra dan akan selalu melindunginya dari roh jahat, tidak terkecuali Moa."
Kedua mata sayu milik Nara menatap ke luar jendela begitu sang kakek membaringkan tubuhnya di sebuah ranjang kayu di dekat perapian. Badai salju di luar sana tak kunjung berhenti.
"Kau bermain terlalu jauh, Nara. Tempat itu terlarang," ujar sang kakek seraya mengobati luka yang ada di leher cucunya. Darah tampak mengalir dari sana, dan ia tahu kalau luka itu berasal dari pedang milik Moa.
"Untung kami segera datang. Aku yakin badai salju sekarang bukanlah badai salju biasa. Kurasa ini kemarahan Moa karena kami berhasil mengambilmu terlebih dulu." Salah satu pria yang tadi bersama kakeknya berkata demikian.
"Dia terluka." Nara berujar pelan tanpa melepaskan pandangannya dari luar. Pohon-pohon di luar sana bergerak ke sana-kemari seperti hendak terlempar ke udara.
"Kau yang terluka, Nak." Kakeknya membersihkan robekan yang ada di salah satu kaki cucunya. Lukanya cukup dalam, membuat darah segar itu tidak henti-hentinya mengalir.
"Aku melihat ayah dan ibu di sana."
Gerakan tangan kakeknya terhenti sejenak. "Mereka bukan ayah dan ibumu. Itu hanyalah Moa yang menyamar dan berencana membunuhmu."
"Aku melihat mereka di sana. Mereka terluka."
"Moa membunuh orang tuamu di sana, Nara. Kau tidak boleh ke sana lagi. Kau adalah penerus ibumu. Kau harus tetap melakukan ritual itu untuk melindungi desa ini. Kau tidak boleh mati. Hanya kau yang memiliki darah ibumu di sini." Sang Kakek menatap cucunya yang terdiam. Kedua mata gadis itu tampak mengkilap. Kepalan tangannya mengerat, menggenggam norigae pemberian dari mendiang ibunya.
~Flashback~
"Tunggu aku!"
Nara berlari mengejar dua orang di depannya. Dia semakin jauh dari perbatasan tanpa disadari, meninggalkan desa tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya.
"Ayah! Ibu!"
Nara mengerang saat salah satu kakinya tergelincir dan terperosok ke dalam semak berduri. Gadis itu meraih sebuah akar di dekatnya dan berpegangan kuat. Dia semakin terisak tatkala melihat salju di kakinya berubah menjadi kemerahan. Dia takut jatuh dan takut pada darah.
"Ayah! Ibu! Tolong aku!" teriaknya dengan air mata yang berlinang. Namun sayang karena dia hanya sendiri di sana, tanpa kehadiran dua sosok tadi. Mereka entah menghilang ke mana dan meninggalkannya di sana, dengan hari yang semakin gelap.
"Akh! sakit sekali!" erangnya. Tangannya terasa kebas dan juga semakin perih.
"Tolong!"
"Tolong!"
Nara berteriak kuat, berharap ada seseorang yang mendengarnya namun tak ada seorang pun yang berani mendekat ke kawasan paling terlarang itu.
"S-sakit," isaknya. Telapak tangannya sudah memerah dan hampir mengeluarkan darah.
"Sakit?"
Dengan pandangan yang semakin buram karena air matanya, Nara samar-samar bisa melihat sepasang kaki tidak jauh di depannya. Gadis itu mendongak dan melihat seseorang.
Wajah Nara seketika memucat. Makhluk mengerikan di hadapannya tidak lain adalah pembunuh kedua orang tuanya beberapa tahun silam.
Sosok yang diyakini Moa itu perlahan melangkah mendekat, namun langsung berhenti begitu melihat sesuatu yang menggantung di baju gadis itu. Kedua matanya memicing dan kepalanya sedikit berdenyut.
"Aku benci sesuatu yang berhubungan dengan ibumu." Ditariknya sebuah pedang dari sarungnya dengan perlahan. Permukaan pedang itu tampak berkilau karena terpaan sinar bulan yang sudah mulai menampakkan diri.
"Aku akan menolongmu." Salah satu sudut bibir orang itu terangkat. Dia mengarahkan ujung pedangnya yang begitu tajam tepat beberapa senti di atas permukaan kulit leher Nara hingga napas gadis itu langsung tercekat. "Tapi pertama, aku harus menyingkirkan benda ini. Lalu aku bisa menyingkirkanmu." Ujung pedang itu bergerak ke bawah, tepat ke sebuah norigae yang menggantung di baju Nara.
"Aku akan mencabik-cabik jantungmu dengan tanganku sendiri," lanjutnya.
Tubuh Nara bergetar. Pedang itu adalah pedang yang digunakan untuk menghabisi nyawa ayah dan ibunya. Nara menggenggam norigae yang menggantung di bajunya dengan begitu erat. Air matanya sudah tidak bisa dia bendung lagi. Sosok di depannya, adalah makhluk berbahaya yang paling ditakuti di desanya. Nara kini dilanda dua ketakutan besar. Dia tidak bisa memilih. Jika dia terus di posisi itu maka dia akan jatuh ke jurang dan mati. Tapi di sisi lain Moa juga tidak akan benar-benar menolongnya, Nara tahu itu. Moa hanya mengincar nyawanya dan menginginkan kematiannya.
Nara kembali berteriak begitu tubuhnya semakin bergerak ke bawah. Akar yang menjadi pegangannya seperti kehilangan kekuatan dan bersiap menerjunkannya ke dalam jurang di bawah sana.
"Kau memiliki dua pilihan, Nak. Mati terperosok ke bawah sana dan jasadmu menghilang hingga membusuk, atau buang benda itu dan aku akan menolongmu." Moa menyeringai.
Diarahkannya ujung pedang ke leher Nara hingga membuat gadis itu semakin ketakutan. "Sekarang pilih. Kau ingin mati di bawah sana, atau mati di tanganku?" ujarnya dengan begitu jelas.
Kedua mata Nara menatap Moa dengan lehernya yang hampir tergores. Air matanya kembali jatuh.
"A-aku tidak ingin mati .... " Nara berujar lirih. "Aku tidak ingin mati!!"Moa terdiam begitu kedua mata gelapnya bertumbukan dengan mata milik Nara. Tangannya mengepal kuat. Gadis kecil di depannya, kelak akan menjadi sumber ancaman baginya. Moa semakin mendekatkan ujung pedangnya hingga benar-benar menyentuh kulit leher Nara. Setetes darah segar terlihat menuruni leher gadis itu.
Nara semakin menguatkan genggaman tangannya. Dia yakin, selama norigae itu ada padanya, Moa tidak akan pernah bisa membunuhnya.
Kepala Moa kembali berdenyut. Telinganya menangkap sesuatu yang perlahan mendekat. Dia mendorong pedangnya semakin masuk ke dalam leher Nara hingga gadis itu mengerang dengan diiringi tangisan. Pedangnya, adalah satu-satunya yang bisa menangkal mantra yang ada di dalam norigae itu. Ya, itu artinya Moa tetap tidak bisa menyentuh Nara menggunakan tangannya secara langsung.
"Ayah ... " Nara berkata dengan suara parau. Gerakan tangan Moa berhenti tatkala melihat air mata yang kembali jatuh dari kedua pelupuk mata milik gadis yang masih berumur delapan tahun itu.
Dia masih anak-anak, batin Moa. Kedua matanya mengerjap. Dia tidak boleh melewatkan kesempatan ini, dia harus segera menghabisi Nara.
"I-ibu ... "
Di detik berikutnya Moa menarik kembali pedangnya. Dengan cepat ia bergerak maju dan menarik tubuh Nara ke permukaan. Ia mengerang dengan tubuh yang seperti tersengat dan juga panas hingga terpental cukup jauh ke sebuah pohon besar yang ada di sana.
"Nara!" Beberapa pasang kaki terdengar mendekat ke sana. Nara yang sudah kedinginan serta ketakutan itu seperti kehilangan suaranya. Gadis itu menatap sosok yang terbaring di bawah pohon, lalu sebuah panah melesat dan menancap di bagian dadanya. Ia mengerang dan menatap beberapa manusia yang ada di sana.
Nara menatap kakeknya yang kembali memegang busur panah, namun meleset karena targetnya sudah melarikan diri dengan begitu cepat.
"Nara!" Seseorang meraih tubuh Nara ketika pandangan gadis itu menggelap.
~Flashback Off~
Note: Norigae adalah aksesori khas Korea tradisional yang digantung pada hanbok (pakaian tradisional Korea).
Seorang anak kecil terlihat berlari mengejar-ngejar seekor kelinci yang ada di halaman rumahnya. Beberapa orang wanita yang ada di sana melihat ke arah itu dengan seulas senyuman lebar yang terlihat begitu bahagia. "Nona Sowon terlihat begitu senang, bukankah begitu?" Salah seorang wanita yang baru saja selesai menjemur pakaian itu pun berujar. "Dia terlihat menggemaskan, sama seperti Nona Nara dahulu sewaktu beliau masih kecil," jawab rekannya. "Aku dulu sempat khawatir jika Nona Nara benar-benar akan berakhir persis seperti mendiang ibunya dulu, tapi aku benar-benar bersyukur karena ternyata Nona Nara memiliki seseorang di dekatnya seperti Tuan Yooshin, bahkan hingga mereka berdua menikah pun, Tuan Yooshin terlihat semakin bahagia, kurasa beliau memang sudah memiliki perasaan yang lebih kepada Nona Nara sejak lama, atau mungkin sejak mereka masih anak-anak karena mereka sering sekali menghabiskan waktunya berdua." Wanita yang merupakan seorang pelayan di kediaman itu pun membuan
Sebuah upacara pernikahan baru saja selesai diadakan begitu hari menjelang siang. Orang-orang yang datang terlihat begitu bergembira, menatap sepasang pengantin baru yang beberapa saat lalu mengucapkan janji sehidup semati.Takdir memang tak ada yang tahu, begitu pun dengan setiap rencana milik Tuhan. Namun sebaik apapun rencana yang manusia pilih, rencana dari Tuhan adalah rencana yang terbaik dari yang paling baik.Langit pun tampak begitu cerah, seolah mendukung pasangan muda ini untuk menikmati waktu bahagia mereka.Pasangan yang dulu dikenal sebagai sahabat dekat sedari usia mereka masih belia, kini bertranformasi menjadi pasangan yang sesungguhnya. Nara melingkarkan tangannya di salah satu lengan milik Yooshin, menatap pria itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka berdua berjalan menyapa para tamu undangan.Kedua sudut bibir milik Nara naik ke atas melihat betapa bahagianya orang-orang di sana. Dan tanpa ia sadari pula, sedari tadi Yooshin menatapnya dari samping, menat
Moa menyentuh permukaan wajahnya yang lain menggunakan tangan, dan menemukan adanya darah di sana, sebelum akhirnya kembali menatap Nara. Kini gadis itu bersungguh-sungguh untuk membunuhnya, tanpa mau memikirkan hal lain lagi. Nara beberapa kali melayangkan serangan padanya tanpa adanya ragu sedikit pun. "Nara ... " Yooshin berniat berdiri untuk membantu Nara. Dengan menggunakan pedangnya untuk tumpuan, pria itu berdiri dari posisinya dan mendekati Nara secara perlahan. Yooshin berlari sekuat yang ia bisa dengan pedang yang sudah bersiap di tangannya. Namun sebelum ia benar-benar mendekati Moa, mahluk itu sudah terlebih dulu berbalik dan menangkis serangannya dan memukul bahu Yooshin beberapa kali hingga tubuh pria itu terdorong beberapa kali ke belakang. "Yooshin!!" Di saat lengah itulah, Moa memanfaatkan kesempatan untuk melancarkan serangan terakhirnya pada Yooshin. "Matilah kau!!!" Tangan Moa sudah siap mengoyak perut Yooshin, membuat Nara membelalakkan kedua matanya. "Ti
"A-aku percaya Paman adalah orang yang baik." Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang keluar dari gadis kecil malang yang berusaha menyelamatkan Nara. Haewon tak bisa berkata-kata lagi. Wanita itu terduduk di atas permukaan tanah dengan air mata yang berderai."Tidakkk!!" Nara langsung bergerak dari posisinya dan meraih tubuh kecil yang kini tak berdaya itu. Air matanya berderai, tak percaya kalau seorang gadis kecil akan berbuat sampai sejauh itu demi menyelamatkan hidupnya. Gadis itu tak bersalah. Ia tak ada kaitannya dengan ini dan tak seharusnya berkorban sampai sejauh itu. Yooshin yang melihat itu tampak tak menduga kalau hal seperti ini akan terjadi, bahkan Moa sekalipun tak bisa menghindar. Gadis kecil yang baru saja meregang nyawa di hadapannya itu tak lain adalah gadis kecil yang beberapa waktu terakhir pernah ia selamatkan. Satu-satunya orang lain yang menganggapnya sebagai orang baik dan memperlakukannya layaknya seperti orang yang tak pernah membunuh.Dan siapa sangka
"Nara, kau—" Kedua mata Yooshin membulat saat melihat Nara yang benar-benar berhasil mencabut pedang itu sepenuhnya. "Yooshin, aku berhasil." Nara menatap Yooshin. Gadis itu berhasil. Yooshin dengan segera membantu Nara agar gadis itu tak kehilangan keseimbangannya. Pria itu lalu menatap luka yang ada di punggung Nara. "Nara, tapi lukamu tak menghilang sedikit pun." Napas Nara tersengal, "tak apa, Yooshin. Aku sudah tak lagi merasakan sakitnya. Ha-hanya saja—" Tubuhnya tiba-tiba limbung namun Yooshin dengan sigap menahannya. "Nara, kau tak apa?" tanya Yooshin cemas. "Aku tak apa, rasa sakitnya sudah berkurang, hanya saja aku merasa kalau tenagaku terkuras banyak hingga aku merasa kalau kedua kakiku tak sanggup menahan beban tubuhku sendiri," lirih Nara. "Ayo, kembali ke desa. Kita harus menolong semua orang. Mereka pasti memerlukan bantuan." Yooshin mengangguk. Ia segera memapah Nara dan mulai bergerak keluar dari hutan. *** Moa menggeram dengan darah yang menetes dari ujung
"AKU TAK AKAN MENGAMPUNMU!" Seungmo merasakan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya begitu salah satu tangan Moa berhasil merobek permukaan kulitnya. "Entah apa saja yang sudah kau katakan pada Nara yang jelas kau sudah menghancurkan semuanya!!" Moa berteriak tepat di depan wajah Kim Seungmo. Ia seakin mendorong masuk kuku-kuku di tangannya ke dalam, membuat Sungmo terbatu dengan darah yang keluar dari mulutnya. "Tuan Kim!" Tuan Hwang berdiri sekuat tenaga dengan bertumpu pada pedangnya dan pria itu berjalan mendekat ke arah Moa dan Seungmo. Moa langsung melompat menghindar tapat ketika Tuan Hwang mengayunkan pedang ke arahnya. "Semua kekacauan yang terjadi di desa ini, aku takkn pernah bisa memaafkanmu!" murka Tuan Hwang. "Kenapa, Kim Seungmo?" Kedua tangan Moa mengepal dengan kuat. "Kenapa kau melakukan hal ini lagi? Kenapa kau selalu saja menggagalkan semua rencanaku?!" "Ka-karena aku tak ingin menyerahkan cucuku padamu, Moa." Seungmo kembali terbatuk setelahnya.
Nara mencoba bergerak namun ia merasakan sakit yang luar biasa di bagian punggungnya. Salah satu tangannya mencoba meraih punggungnya dan ia berhasil menemukan sebuah luka di sana. Ia merasa permukaan kulitnya robek dan itu pasti berasal dari serangan Moa tadi. Rasa sakit ini seolah membawa Nara kembali ke hari di mana ia mendapatkna luka di lehernya. Kedua tangannya meremas kuat dedaunan kering yang berada di sekitarnya namun rasa sakit itu masih bisa ia rasakan. Sementara itu, Yooshin yang menemukan kuda milik Nara berada di perbatasan hutan pun segera turun dari kudanya dan ia dengan segera berlari masuk ke dalam hutan. Ia harus cepat sebelum Moa melakukan sesuatu yang buruk pada Nara. Tidak lama setelah ia masuk ke dalam hutan itu, ia melihat siluet seseorang mendekat dari depan dengan cepat. Yooshin segera menyembunyikan dirinya di balik sebuah pohon besar dan lelaki itu mengintip dari baliknya. Moa terlihat bergerak menjauhi hutan sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari
"Mau ke mana kau sepagi ini?" Seungmo mengadang Nara yang yang hendak pergi. Gadis itu sudah bersiap dengan pedang dan juga panah yang berada di punggungnya. "Minggir," tegas Nara seraya menatap kakeknya dengan pandangan tajam. "Nara, ini masih terlalu pagi. Kau berencana menemui Moa dengan kondisi seperti itu? Jangan menemuinya dengan ambisi seperti itu-" "Kubilang minggir!" ulang Nara dengan nada yang lebih keras, membuat tubuh Seungmo tersentak pelan dan pria itu itu pada akhirnya memilih menyingkir dan membiarkan gadis itu berjalan melewatinya. "Nara!" Dengan sedikit berlari, Seungmo berusaha mencegah Nara yang kini sudah menaiki kudanya. Namun gadis itu seakan menulikan indra pendengarannya dan ia benar-benar diselimuti oleh kebencian yang timbul dalam dirinya. Perasaan sakit hati yang ia rasakan membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Nara merasa dipermainkan, setelah apa yang ia lakukan. "Naraaa!!" Nara sudah melesat keluar dari kediamannya. Beberapa orang pela
Musim dingin kali ini benar-benar dimanfaatkan oleh Nara dengan sebaik mungkin, karena ia yang tak ingin kehilangan momen berharga bersama dengan orang-orang terdekatnya. Salju-salju sudah mulai menghilang dan hanya tersisa sebagian kecil. Bunga-bunga dan pohon sudah mulai mempersiapkan diri menyambut angin musim baru.Keadaan desa juga baik-baik saja, membuat Nara bersyukur. Ia, Yooshin dan juga Haewon sempat berhenti di tengah perjalanan pulang ke rumah.“Bintang-bintang banyak bermunculan malam ini, Nona,” ujar Haewon.“Kau benar.” Nara tersenyum tipis, akan tetapi hal itu tak berlangsung lama begitu ia kembali mengingat apa yang harus ia lakukan setelah ini. Mungkin, momen seperti ini akan menjadi salah satu yang ia rindukan.Diam-diam, Nara menatap Yooshin yang berdiri di sebelahnya. Wajah itu terlihat menanggung tanggung jawab yang teramat besar, akan tetapi tak pernah sekali pun Nara mendengar lelaki itu mengeluh padanya. Malahan justru Nara yang lebih sering meminta maaf padan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments