Aku melangkah gontai paling akhir. Rasanya kakiku gemetar dan sulit sekali untuk melangkah. Ditambah rasa sakit hati dan juga tangan yang terasa kebas, bekas menampar mas Agung dan perempuan itu. Sakit.Mereka semua sudah duduk di ruang tengah. Mas Agung tampak menenangkan perempuan itu yang masih terisak sambil memeluk Mas Agung. Dasar tidak tahu diri.Ibu mertua menatapku dengan rona sedihnya, Ayah Mertua duduk di sofa single seolah sedang berpikir. Sementara Yanti, Doni dan tiga orang lainnya yang kuketahui sebagai tetangga Ibu, tampak berdiri seakan menunggu pembicaraan Kedepannya yang akan diputuskan."Duduklah, Nak." Ibu bergeser memberi tempat di sebelahnya. Kalau saja ada tempat lain, mungkin aku tidak sudi duduk di sebelah Ibu yang menghadap tepat pada Mas Agung dan perempuan sia*a
Bab 4Aku mengangguk pada Ibu dan kupersilahkan semuanya masuk ke dalam.Semuanya kini duduk di sofa ruang tamu. Mas Agung yang duduk selalu berdekatan dengan Zahra tak memperdulikanku yang terus menatap benci padanya. Setelah hening beberapa saat, Pak Rt yang masih kerabat Ibu memulai pembicaraan."Bagaimana, bisa kita mulai sekarang?" katanya membuka suara. Aku mengangguk begitu juga yang lain."Indi, apa kabar, Nak?" Ayah Mertua menyapa dengan wajah teduhnya. Sepertinya khawatir mungkin, aku tidak tahu. Yang jelas beliau memang selalu baik padaku."Baik, Yah. Alhamdulillah.""Syukurlah …!" Kulihat lelaki itu menarik nafas panjang.
Bab 5Makanan yang tersaji tidak lagi memberikan selera. Ternyata memang percuma aku menyiapkan makan siang untuk Mas Agung, nyatanya dia sama sekali tidak menghargai usahaku. Sia-sia saja. Padahal aku tengah mencoba berdamai dengan hatiku untuk belajar ikhlas menerima mereka.Daripada mubazir, sayur sebanyak ini sebaiknya kumasukkan dalam mangkuk dan segera kubawa ke samping rumah untuk diberikan ke tetangga."Eh, Bu Indira. Tumben, ada apa nih?" Bu Yeti bertanya setelah mempersilahkanku duduk."Ini, Bu. Saya tadi masak agak banyak jadi sayang karena tidak kemakan," kujawab seraya menyerahkan mangkuk sayur dari tanganku."Oalah … makasih lho, kebetulan saya gak masak. Maklum tanggal tua." Wanita paruh ba
Bab 6Jam satu siang, Mas Agung dan Adi tiba di rumah. Entah kebetulan atau tidak, mereka datang bersamaan, yang jelas seperti biasa muka Adi terlihat kesal saat bersama ayahnya. Ini bukan kebetulan, Adi seperti tidak menyukai Mas Agung."Kok bisa barengan pulangnya?" Begitu berucap salam, segera kutanya Mas Agung guna menghilangkan keherananku.Adi hanya diam saja, tak menyahuti ucapanku. Anak itu langsung berlalu ke dalam kamarnya tanpa mencium tanganku seperti biasanya. Sejak waktu itu, sikap Adi jadi sedikit berubah. Seperti ada hal yang mengganjal di pikirannya. "Kebetulan ketemu di jalan tadi," ungkap Mas Agung dengan raut wajah datang. Lelaki itu meletakkan jaketnya di bahu sofa sambil duduk."Hanya kebetulan?" Keningku berkerut dalam. "Iya. Nasehatin tuh anakmu, Indi. Tak sopan ke orang tua masa sikapnya dingin seperti itu." Mas Agung menekuk muka lalu selonjoran di sofa depan tv sambil meraih remot. Sedangkan Adi, setelah masuk ke dalam kamar, tidak keluar lagi. Membuatku
Bab 7"Kenapa kamu memberi pilihan sulit, Indira?" Mas Agung bertanya dengan mimik muka yang terlihat kaget yang justru membuatku sedikit tersenyum. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar, sepertinya dia bingung harus memilih.Kamu harus diberi sedikit pelajaran Mas, sebelum aku menyelidiki perbuatan burukmu dibelakangku."Pilihan ada ditanganmu, Mas." Aku mengangkat bahuku seolah tak peduli. Hanya ingin tahu saja, seperti apa pikirannya. Apa lebih memilih Zahra atau keluarganya."Baiklah, jika itu maumu. Aku takkan kemana-mana dan tetap di sampingmu sekarang. Apa kamu puas?!" Mas Agung duduk kembali dan meletakkan gawainya di atas nakas. Sesekali dia mengetuk-ketuk ujung jarinya ke permukaan kasur. Tanda bahwa dia sedang berpikir keras. Hingga beberapa panggilan telepon dia abaikan, entah dari siapa. Tapi sepertinya penting, mengingat tiap kali berdering wajah Mas Agung akan berubah pucat. Dia kemudian terlihat mengacak rambutnya kasar sambil berjalan mondar-mandir seperti orang yang bi
Bab 8Pagi ini aku sudah bersiap bersama Mas Agung untuk menemui Zahra. Setelah semalam menyuruhnya menunggu sampai esok hari, lelaki itu menurut juga, meski tak dapat disembunyikan jika dia terlihat gelisah dan cemas."Kamu sudah siap, Indi?" Mas Agung memindai penampilanku saat aku baru saja keluar dari kamar lengkap dengan tunik, kerudung dan tas warna senada. Kurasa penampilanku tidak buruk. Usiaku juga belum terlalu tua-tua amat untuk usia tiga puluh dua tahun, Mas Agungnya saja yang kegatelan hingga dia sibuk mencari wanita lain."Iya, Mas." Aku sedikit risih kala dia terus menatap dalam ke arahku hingga beberapa saat."Ayo kita pergi," ajaknya sambil menggenggam tanganku, erat. Perhatian yang sudah beberapa waktu tak kudapatkan darinya.Sepanjang perjalanan yang kami tempuh, Mas Agung tak banyak bicara, hingga kami sampai ke tempat yang dituju. Ternyata bukan rumah ibu yang dituju, melainkan ke sebuah klinik terkenal di kota ini. Entah kenapa lelaki itu membawaku ke tempat sep
Bab 9Di pinggir jalan, aku berdiri sambil terus berpikir dan mencari ide. Bagaimana caranya agar aku tahu apa saja yang dilakukan oleh Mas Agung di belakangku yang tidak kutahu. Ucapan Bu Dewi dan Bu Yeti waktu itu membuatku penasaran. Apa sebenarnya yang tidak kuketahui tentang Mas Agung, suamiku. Setelah bolak-balik berpikir aku mendapatkan sebuah ide, yang kurasa itu adalah pilihan tepat.Bukankah memang tepat jika aku mengulik kembali dari Bu Dewi saat ini. Ya, penyelidikan akan kumulai dari sana. Semoga saja wanita mau memberikan informasinya padaku. Agar aku tidak seperti orang bodoh yang dikelabui terus-menerus.Tak lama setelah aku memesan ojek online, akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Rumah Bu Dewi. Aku berjalan dengan cepat agar saat melewati rumah mertua, tidak ketahuan. Bagai pencuri aku berjalan terburu-buru dan memasuki rumah Bu Dewi, tetangga dari ibu mertuaku. Untunglah pintu rumah mertua tertutup, jadi tidak terlalu khawatir."Jadi benar kamu ingin mencar
Bab 10Aku kembali ke rumah dengan perasaan kecewa karena tak berhasil membuntuti kepergian Mas Agung. Suasana rumah pun nampak sepi karena tadi Adi kusuruh untuk berdiam dulu di rumah Bu Dian. Tapi dia mengatakan akan menginap.Kubaringkan tubuhku di tempat tidur berharap rasa kantuk segera datang menghampiri. Tapi, entah kenapa aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku dan pikiranku teringat dengan Mas Agung dan perbuatannya di belakangku. Padahal biasanya tidak seperti ini. Berhari-hari Mas Agung tidak pulang pun, aku tak pernah segelisah ini.Lama aku terdiam hingga saat terdengar suara ponsel bergetar. Aku meraihnya, lalu memeriksa siapa yang mengirim pesan yang ternyata dari Yuda. Kebetulan sebelum berpisah tadi, Yuda sempat meminta nomorku. [Mbak.][Ya, ada apa, Yud?] send Yuda.Hingga beberapa saat lamanya, Yuda tidak membalas lagi. Mungkin Yuda hanya memastikan nomorku, itu yang kupikir. Namun beberapa saat kemudian Yuda mengirim pesan kembali. Sebuah foto klub malam di daer