Aku melangkah gontai paling akhir. Rasanya kakiku gemetar dan sulit sekali untuk melangkah. Ditambah rasa sakit hati dan juga tangan yang terasa kebas, bekas menampar mas Agung dan perempuan itu. Sakit.
Mereka semua sudah duduk di ruang tengah. Mas Agung tampak menenangkan perempuan itu yang masih terisak sambil memeluk Mas Agung. Dasar tidak tahu diri.
Ibu mertua menatapku dengan rona sedihnya, Ayah Mertua duduk di sofa single seolah sedang berpikir. Sementara Yanti, Doni dan tiga orang lainnya yang kuketahui sebagai tetangga Ibu, tampak berdiri seakan menunggu pembicaraan Kedepannya yang akan diputuskan.
"Duduklah, Nak." Ibu bergeser memberi tempat di sebelahnya. Kalau saja ada tempat lain, mungkin aku tidak sudi duduk di sebelah Ibu yang menghadap tepat pada Mas Agung dan perempuan sia*an itu.
"Ayo, Nak, sini," pinta Ibu masih dengan suara khasnya. Lembut. Wanita yang sudah sepuluh tahun menjadi mertuaku itu, memang sangat baik dari dulu bahkan tidak pernah berubah. Meski kadang aku yang masih belum sempurna menjadi menantunya selama ini.
"Ah, Ibu. Teganya anakmu melukai hati dan perasaanku, setelah baktiku selama ini yang sama sekali tidak dihargai.
"Agung, coba sekarang jelaskan semuanya pada istrimu!" Ayah Mertua berucap tegas. Diliriknya Mas Agung yang masih pada posisinya. Berpelukan, tepat seperti Dipsy dan Tinky Winky.
"Baik, Yah." Sejenak dia menghela nafas kasar, lalu menatap tajam ke arahku.
"Maafkan aku Indira, aku telah berbohong di belakangmu. Sekarang aku akan jujur, bahwa aku telah menikahi Zahra. Dia istriku sekarang. Dan dia tengah hamil. Tapi …," Ucapannya terjeda sebentar, seakan ragu untuk meneruskan lagi. Diusapnya wajah, seakan berat untuk bercerita.
"Tapi apa? Katakan semuanya, dan jangan pernah kamu sembunyikan semuanya dariku, Mas." sergahku muak melihat wajah tak bersalahnya. Hatiku sakit mendengar pernyataannya itu. Kenyataan yang tak ingin kudengar. Semuanya terlalu tiba-tiba dan aku tidak siap dengan semua itu tentu saja.
"Tapi …," Mas Agung kembali menghentikan ucapannya sambil menoleh pada perempuan itu dan menggenggam tangannya.
"Katakan dengan jelas! Kamu laki-laki dan harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu!" bentak Ayah Mertua. Seakan beliau juga jengah melihat anaknya yang sedikit bertele-tele.
"Tapi anak yang dikandungnya itu bukan darah dagingku," lirih Mas Agung.
Aku terperangah mendengar tutur katanya, bukan hanya aku sepertinya, semua yang mendengar di ruangan ini pun merasa kaget dengan apa yang diucapkan oleh anak sulung mertuaku ini. Terlebih Ibu, beliau begitu syok, dapat kulihat jika bibirnya sedikit bergetar.
"Ya, ampun. Agung, dimana jalan pikiranmu, kenapa kamu menikahi wanita yang jelas-jelas hamil anak orang lain!" bentak Ayah Mertua. Beliau murka dengan menunjuk muka Mas Agung.
Aku tak tahu pasti, sepertinya beliau pun baru tahu jika Mas Agung membawa perempuan itu ke rumahnya. Sama sepertiku.
"Tapi, Yah. Aku punya alasan sendiri. Aku kasihan pada Zahra. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan Zahra melahirkan tanpa sosok suami di sisinya." Mas Agung memberikan pembelaan membuat Ayah Mertua kalap.
"Tapi seharusnya kamu pikirkan hati istri kamu, Gung. Jangan gegabah, dengan menikahi wanita ini begitu saja. Dasar kamu!"
Sejenak Mas Agung melirik ke arahku. Namun melihatku yang menatapnya dengan tatapan benci, dia menunduk. Seakan ciut nyalinya.
'Kamu harus menerima balasannya dariku, Mas. Tunggu saja!'
🍎🍎🍎🍎🍎
Mau tahu rasanya, saat orang yang sudah sepuluh tahun membersamai kita, tiba-tiba dia berbuat curang di belakang. Sangat sakit. Meski dia berdalih karena kasihan, tapi kenyataannya tetap saja membuat hatiku sangat sakit. Bagai tertusuk besi panas, tepat di jantung. Seperti itulah sakitnya.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Pernikahan kalian tidak sah. Bagaimanapun juga, wanita yang hamil apalagi tanpa suami tidak boleh dinikahi!" bentak Ayah dengan menatap tajam ke arah mas Agung.
"Aku tidak perduli, aku akan tetap mempertahankan Zahra, baik itu sah atau tidak!" Mas Agung berdiri, lalu meraih tangan Zahra dan berlalu begitu saja menuju ke arah kamar. Disusul suara pintu yang terbanting. Membuatku semakin merasa sakit. Bahkan lelaki itu tidak menghargai orang tuanya sendiri.
"Nak, sabar ya." Ibu berusaha menenangkanku yang mulai tersedu tak kuasa menahan rasa sakit atas penghianatan dan kelakuan Mas Agung.
Sementara Ayah ikut berdiri dan berkacak pinggang.
"Dasar anak tidak tahu diri!" Setelah berkata demikian, lalu pergi entah kemana, aku tidak tahu.
"Mungkin si Agung lagi khilaf, kamu yang sabar ya, Indira." Bi Wina tetangga Ibu ikut menenangkanku. Sementara dua orang lainnya hanya diam, begitu pun dengan Yanti Dan Doni yang memang tidak suka denganku, hanya tersenyum sinis. Seakan puas melihat kesakitanku.
"Maaf, Bu, apa nggak sebaiknya Bu Indira pulang saja dulu, biar hatinya tenang." Bu Wina memberi saran, dan kupikir itu lebih baik bagiku sekarang. Aku harus bisa berpikir dengan langkah selanjutnya. Tak mungkin aku hanya diam disini dan melihat tingkah laku Mas Agung dan perempuan itu. Bisa-bisa aku mati menahan rasa sakit.
*****
Sudah dua hari sejak kejadian itu, sama sekali aku tak mendengar lagi kabar mereka. Hatiku juga sudah lebih tenang dan lebih siap dengan kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Bagaimanapun juga aku tak akan memaafkan dan melupakan semua yang telah Mas Agung lakukan padaku.
Aku tengah fokus membuat adonan kue, hingga tak kusadari ada seseorang yang tengah berdiri di dekat pintu dan tengah memperhatikanku saat ini.
Dia, orang yang dua hari ini membuatku sangat muak dan benci.
Siapa lagi kalau bukan lelaki itu, Mas Agung.
"Indi, apa kabar kamu?" Huh, untuk apa dia berbasa-basi hanya sekedar bertanya kabar, bukankah dia tahu bahwa aku tidak mungkin baik-baik saja.
"Untuk apa kamu kemari, Mas?" Aku melengos menatap kembali adonan kue yang tengah kuuleni.
"Apa salah jika aku pulang ke rumahku sendiri, hm?" Mas Agung perlahan mendekat. Dan duduk di kursi makan tidak jauh dari tempat dudukku.
"Kupikir kamu sudah lupa jalan pulang, Mas," balasku acuh.
"Aku ingin bicara denganmu, Indi. Jadi, tolong jangan acuhkan aku." Aku menghentikan kegiatanku dan beralih menatapnya tajam.
"Bukankah kamu memang sedang bicara, lantas kenapa kamu berpikir aku mengacuhkanmu?" tatapku tajam pada manik matanya.
"Sejak kapan kamu berani berkata 'kamu' padaku, Indi? Bukankah biasanya hanya kata 'Mas' yang selalu terlontar dari bibirmu, hm?" Mas Agung menatapku marah. Namun aku tidak peduli. Sejak dari rumah Ibu, segalanya telah berubah.
"Sejak kamu bawa perempuan ja***g itu ke rumah Ibumu."
"Diam kamu, Indi. Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia!" bentak Mas Agung dengan telunjuk yang mengarah tepat ke mukaku. Kenapa dia marah aku berkata yang sebenarnya. Heran.
"Oh, ya. Ternyata kamu banyak tahu tentang dia. Mungkin saja kamu juga tahu siapa ayah dari bayi yang dikandung perempuan itu." Aku tersenyum sinis. Biarlah kamu murka padaku Mas, aku sudah tidak peduli lagi sekarang.
"Ka-kamu!" Tangannya berayun ke atas, seperti ingin menamparku. Namun dengan cepat aku bicara.
"Kenapa kamu berhenti, hm? Tampar, Mas. Ayo tampar aku," tantangku tanpa rasa takut. Namun dia menghempaskan tangannya kembali. Lelaki picik.
"Ahhh!!" Dia berlalu begitu saja. Meninggalkan luka yang kembali menganga. Sakit.
Sore Hatinya.
Pintu depan terdengar ada yang mengetuk. Aku yang masih terduduk di dapur, segera beranjak dan membukanya.
"Ibu." Ibu Mertua mendekat dan memelukku. Beliau tak datang sendiri. Di belakangnya sudah Ada Ayah Mertua, Doni, Pak RT dan tentu saja Mas Agung dan perempuan yang beberapa hari ini selalu menjadi duri untukku. Siapa lagi kalau bukan perempuan itu. Yang mengaku tengah hamil tapi bukan anak Mas Agung. Meski aku tidak percaya.
"Bisa kita bicara di dalam, Indira?"
Bab 4Aku mengangguk pada Ibu dan kupersilahkan semuanya masuk ke dalam.Semuanya kini duduk di sofa ruang tamu. Mas Agung yang duduk selalu berdekatan dengan Zahra tak memperdulikanku yang terus menatap benci padanya. Setelah hening beberapa saat, Pak Rt yang masih kerabat Ibu memulai pembicaraan."Bagaimana, bisa kita mulai sekarang?" katanya membuka suara. Aku mengangguk begitu juga yang lain."Indi, apa kabar, Nak?" Ayah Mertua menyapa dengan wajah teduhnya. Sepertinya khawatir mungkin, aku tidak tahu. Yang jelas beliau memang selalu baik padaku."Baik, Yah. Alhamdulillah.""Syukurlah …!" Kulihat lelaki itu menarik nafas panjang.
Bab 5Makanan yang tersaji tidak lagi memberikan selera. Ternyata memang percuma aku menyiapkan makan siang untuk Mas Agung, nyatanya dia sama sekali tidak menghargai usahaku. Sia-sia saja. Padahal aku tengah mencoba berdamai dengan hatiku untuk belajar ikhlas menerima mereka.Daripada mubazir, sayur sebanyak ini sebaiknya kumasukkan dalam mangkuk dan segera kubawa ke samping rumah untuk diberikan ke tetangga."Eh, Bu Indira. Tumben, ada apa nih?" Bu Yeti bertanya setelah mempersilahkanku duduk."Ini, Bu. Saya tadi masak agak banyak jadi sayang karena tidak kemakan," kujawab seraya menyerahkan mangkuk sayur dari tanganku."Oalah … makasih lho, kebetulan saya gak masak. Maklum tanggal tua." Wanita paruh ba
Bab 6Jam satu siang, Mas Agung dan Adi tiba di rumah. Entah kebetulan atau tidak, mereka datang bersamaan, yang jelas seperti biasa muka Adi terlihat kesal saat bersama ayahnya. Ini bukan kebetulan, Adi seperti tidak menyukai Mas Agung."Kok bisa barengan pulangnya?" Begitu berucap salam, segera kutanya Mas Agung guna menghilangkan keherananku.Adi hanya diam saja, tak menyahuti ucapanku. Anak itu langsung berlalu ke dalam kamarnya tanpa mencium tanganku seperti biasanya. Sejak waktu itu, sikap Adi jadi sedikit berubah. Seperti ada hal yang mengganjal di pikirannya. "Kebetulan ketemu di jalan tadi," ungkap Mas Agung dengan raut wajah datang. Lelaki itu meletakkan jaketnya di bahu sofa sambil duduk."Hanya kebetulan?" Keningku berkerut dalam. "Iya. Nasehatin tuh anakmu, Indi. Tak sopan ke orang tua masa sikapnya dingin seperti itu." Mas Agung menekuk muka lalu selonjoran di sofa depan tv sambil meraih remot. Sedangkan Adi, setelah masuk ke dalam kamar, tidak keluar lagi. Membuatku
Bab 7"Kenapa kamu memberi pilihan sulit, Indira?" Mas Agung bertanya dengan mimik muka yang terlihat kaget yang justru membuatku sedikit tersenyum. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar, sepertinya dia bingung harus memilih.Kamu harus diberi sedikit pelajaran Mas, sebelum aku menyelidiki perbuatan burukmu dibelakangku."Pilihan ada ditanganmu, Mas." Aku mengangkat bahuku seolah tak peduli. Hanya ingin tahu saja, seperti apa pikirannya. Apa lebih memilih Zahra atau keluarganya."Baiklah, jika itu maumu. Aku takkan kemana-mana dan tetap di sampingmu sekarang. Apa kamu puas?!" Mas Agung duduk kembali dan meletakkan gawainya di atas nakas. Sesekali dia mengetuk-ketuk ujung jarinya ke permukaan kasur. Tanda bahwa dia sedang berpikir keras. Hingga beberapa panggilan telepon dia abaikan, entah dari siapa. Tapi sepertinya penting, mengingat tiap kali berdering wajah Mas Agung akan berubah pucat. Dia kemudian terlihat mengacak rambutnya kasar sambil berjalan mondar-mandir seperti orang yang bi
Bab 8Pagi ini aku sudah bersiap bersama Mas Agung untuk menemui Zahra. Setelah semalam menyuruhnya menunggu sampai esok hari, lelaki itu menurut juga, meski tak dapat disembunyikan jika dia terlihat gelisah dan cemas."Kamu sudah siap, Indi?" Mas Agung memindai penampilanku saat aku baru saja keluar dari kamar lengkap dengan tunik, kerudung dan tas warna senada. Kurasa penampilanku tidak buruk. Usiaku juga belum terlalu tua-tua amat untuk usia tiga puluh dua tahun, Mas Agungnya saja yang kegatelan hingga dia sibuk mencari wanita lain."Iya, Mas." Aku sedikit risih kala dia terus menatap dalam ke arahku hingga beberapa saat."Ayo kita pergi," ajaknya sambil menggenggam tanganku, erat. Perhatian yang sudah beberapa waktu tak kudapatkan darinya.Sepanjang perjalanan yang kami tempuh, Mas Agung tak banyak bicara, hingga kami sampai ke tempat yang dituju. Ternyata bukan rumah ibu yang dituju, melainkan ke sebuah klinik terkenal di kota ini. Entah kenapa lelaki itu membawaku ke tempat sep
Bab 9Di pinggir jalan, aku berdiri sambil terus berpikir dan mencari ide. Bagaimana caranya agar aku tahu apa saja yang dilakukan oleh Mas Agung di belakangku yang tidak kutahu. Ucapan Bu Dewi dan Bu Yeti waktu itu membuatku penasaran. Apa sebenarnya yang tidak kuketahui tentang Mas Agung, suamiku. Setelah bolak-balik berpikir aku mendapatkan sebuah ide, yang kurasa itu adalah pilihan tepat.Bukankah memang tepat jika aku mengulik kembali dari Bu Dewi saat ini. Ya, penyelidikan akan kumulai dari sana. Semoga saja wanita mau memberikan informasinya padaku. Agar aku tidak seperti orang bodoh yang dikelabui terus-menerus.Tak lama setelah aku memesan ojek online, akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Rumah Bu Dewi. Aku berjalan dengan cepat agar saat melewati rumah mertua, tidak ketahuan. Bagai pencuri aku berjalan terburu-buru dan memasuki rumah Bu Dewi, tetangga dari ibu mertuaku. Untunglah pintu rumah mertua tertutup, jadi tidak terlalu khawatir."Jadi benar kamu ingin mencar
Bab 10Aku kembali ke rumah dengan perasaan kecewa karena tak berhasil membuntuti kepergian Mas Agung. Suasana rumah pun nampak sepi karena tadi Adi kusuruh untuk berdiam dulu di rumah Bu Dian. Tapi dia mengatakan akan menginap.Kubaringkan tubuhku di tempat tidur berharap rasa kantuk segera datang menghampiri. Tapi, entah kenapa aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku dan pikiranku teringat dengan Mas Agung dan perbuatannya di belakangku. Padahal biasanya tidak seperti ini. Berhari-hari Mas Agung tidak pulang pun, aku tak pernah segelisah ini.Lama aku terdiam hingga saat terdengar suara ponsel bergetar. Aku meraihnya, lalu memeriksa siapa yang mengirim pesan yang ternyata dari Yuda. Kebetulan sebelum berpisah tadi, Yuda sempat meminta nomorku. [Mbak.][Ya, ada apa, Yud?] send Yuda.Hingga beberapa saat lamanya, Yuda tidak membalas lagi. Mungkin Yuda hanya memastikan nomorku, itu yang kupikir. Namun beberapa saat kemudian Yuda mengirim pesan kembali. Sebuah foto klub malam di daer
Bab 11Setengah satu siang, aku sampai di cafe tempat untuk janjian bertemu dengan Yuda. Tentu saja alasannya agar tidak ada orang yang curiga dengan pertemuan ini. Jika sampai ketahuan oleh Mas Agung aku bertemu dengan lawan jenis, sudah pasti dia akan marah besar padaku. Dan aku tak mau hal itu terjadi."Atas nama Ibu Indira, ya?" Pelayan cafe bertanya memastikan, setelah kusebut ada janji dengan orang yang bernama Yuda disini."Iya benar, Mbak." Aku tersenyum menatap wanita dengan name tag 'Diana' tersebut."Mari ikut saya." Aku mengangguk sambil mengikuti langkahnya dan masuk ke ruang yang ditunjuk. Di dalam, Yuda sudah menunggu dengan minuman yang tinggal separuh. Lelaki itu asik menatap layar yang menyala saat kuhampiri."Mbak Indira," sapanya hangat, membuatku mengulas sebuah senyum padanya. Lalu duduk setelah dipersilahkan."Gimana, Yud. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu yang kamu lihat semalam," kataku to the point. Risih rasanya jika harus duduk lama-lama bareng Yuda, apalag