Bab 7
"Kenapa kamu memberi pilihan sulit, Indira?" Mas Agung bertanya dengan mimik muka yang terlihat kaget yang justru membuatku sedikit tersenyum. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar, sepertinya dia bingung harus memilih.Kamu harus diberi sedikit pelajaran Mas, sebelum aku menyelidiki perbuatan burukmu dibelakangku."Pilihan ada ditanganmu, Mas." Aku mengangkat bahuku seolah tak peduli. Hanya ingin tahu saja, seperti apa pikirannya. Apa lebih memilih Zahra atau keluarganya."Baiklah, jika itu maumu. Aku takkan kemana-mana dan tetap di sampingmu sekarang. Apa kamu puas?!" Mas Agung duduk kembali dan meletakkan gawainya di atas nakas. Sesekali dia mengetuk-ketuk ujung jarinya ke permukaan kasur. Tanda bahwa dia sedang berpikir keras. Hingga beberapa panggilan telepon dia abaikan, entah dari siapa. Tapi sepertinya penting, mengingat tiap kali berdering wajah Mas Agung akan berubah pucat. Dia kemudian terlihat mengacak rambutnya kasar sambil berjalan mondar-mandir seperti orang yang bingung ditagih hutang."Indi, apa kamu tidak memberiku izin walau hanya sebentar saja?" Kembali Mas Agung bertanya, dari nada suaranya bisa kutebak dia sedang mencari alasan untuk pergi. Namun aku tak mau lagi dibohongi. Cukup kamu bermain-main denganku Mas. Sudah saatnya aku bertindak."Tidak, bukankah sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama, Mas?" Aku bersikap manis, dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Pundak yang sepuluh tahun ini menjadi tempatku bertumpu dan berkeluh kesah. Sebelum badai ini datang. Sebelum Mas Agung berulah di belakangku."In-Indira … aku …," Mas Agung menggeser badannya sedikit, menolak secara halus akan perbuatanku. Padahal dalam hati pun aku sudah muak untuk sekedar dekat dengannya. Semua hanya akting Mas, untuk mengukur sejauh mana rasa sayangmu padaku."Kenapa, Mas?" tanya dengan pura-pura bodoh. Sengaja kupasang mimik wajah sedih agar Mas Agung menyangka aku butuh dia. Tentu saja semua hanya akting."Aku sedang banyak pikiran, Indi. Kumohon mengertilah." Dengan tangan kokohnya Mas Agung memegangi kedua pipiku. Kucari cinta di matanya, tapi sepertinya sudah meredup, seperti bintang yang tersamarkan saat pagi datang. Membuatku semakin sadar, bahwa dia bukan Mas Agung yang dulu. Aku mengangguk, enggan untuk bertanya lagi. Lalu memilih tidur membelakanginya, mencoba menghalau rasa sakit dalam dada.Suara gedoran pintu depan membuatku tersadar dari mimpi. Kubuka mataku dan mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Rupanya Mas Agung sudah tak ada. Namun terdengar sedikit suara keributan dari arah depan. Kuraih kerudung instant dan segera beranjak menemui sumber suara. Langkah kakiku baru menginjak ruang tamu, saat seseorang menghampiri dengan cepatnya dan menampar pipiku.PLAK!!Doni. Adik dari suamiku melayangkan tangannya ke pipiku. Cukup kencang. Membuat otakku yang masih belum seratus persen terkumpul menjadi blank. Aku terhunyung hampir jatuh, kalau saja Mas Agung tidak segera menahanku.Apa maksudnya ini? Kenapa tiba-tiba dia berbuat seperti itu. Apa salahku? Doni, salah satu adik Mas Agung yang membenciku, namun tetap kuperlakukan dengan sopan karena permintaan Mas Agung suamiku, tiba-tiba saja tanpa kuduga menamparku. Tanpa ku tahu alasannya sama sekali. oh, Ya Tuhan, berani sekali dia berbuat seperti itu padaku."Doni, hentikan!! Apa yang kau lakukan, hah?!" teriak Mas Agung dengan suara lantang. Kulihat Doni menatap tajam padaku dan kakaknya secara bergantian. Matanya terlihat memerah. Jelas sekali dia sangat marah. Tapi entah karena apa. Aku masih diam dalam posisiku enggan melawan atau sekedar bertanya. Merasakan pipi yang terasa nyeri. Persis seperti saat dulu sering bertarung di tempat latihan beladiri."Semua gara-gara dia, kan?! Kenapa kamu malah berteriak padaku, Agung?" Doni menatap tajam pada kakaknya. Mas Agung terlihat semakin galau saja. Terus mendengus kasar dengan dada naik turun."Karena kamu sudah keterlaluan, Don! Aku percaya istriku tidak mungkin bertindak sejauh itu." Mas Agung terdengar berusaha menguasai amarah. Tapi apa yang mereka bicarakan ini, aku masih tidak mengerti. Dan kenapa membawaku dalam masalah mereka."Oh, ya? Kenapa kamu sangat percaya padanya." Doni tersenyum sinis masih menatap ke arahku. "Tamparan ini belum seberapa, jika dibandingkan dengan perbuatan istrimu pada Zahra!!" tukasnya cepat dengan menunjuk mukaku. Oh, jadi ini gara-gara Zahra. Pantas saja. Pasti wanita gila itu mengadu yang bukan-bukan hingga aku disalahkan."Indira tidak berbuat demikian! Aku yakin!!" bela Mas Agung. Aku masih diam di posisiku, menyaksikan kakak beradik beradu mulut."Dan kamu percaya?" tanyanya penuh selidik. Mas Agung melirik padaku sekilas seolah mencari kebenaran di mataku, kemudian beralih pandang kembali pada Doni. Dia mengangguk, tapi seperti ragu."Indira tak pernah berbohong," jawabnya pelan. Seperti tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. "Apa kamu yakin. Hah!?""Tentu saja!!"Mendengar jawaban Mas Agung. Doni berlalu keluar ruang disusul Mas Agung dibelakangnya. Entah apa yang mereka bicarakan selanjutnya, aku tak mau tahu lagi. Yang jelas rasa perih di pipiku membuatku semakin berpikir untuk segera mengakhiri pernikahan ini.Beberapa saat kemudian.Pintu kamar Adi tiba-tiba terbuka. Adi berdiri dengan heran. Anakku satu-satunya itu langsung mendekat."Ibu." Dia meraih tanganku untuk berdiri. Nampak sekali wajah sedih dari mukanya yang polos itu."Ibu nggak apa-apa. Tadi Ibu jatuh." Aku mencoba berbohong, karena tak ingin Adi menjadi sedih."Aku dengan suara orang marah-marah tadi. Pasti ini semua gara-gara ayah!" Adi berdiri dan langsung mendorong tubuh Mas Agung yang baru saja masuk ke ruang tamu. "Harusnya Ayah pergi dari kehidupan kami agar tidak menyakiti Ibu lagi. Aku benci Ayah … Aku benci …!!" Luapan amarah Adi bercampur tangisan. Tangannya tak henti memukul perut dan tangan Mas Agung, ayahnya. Sesekali lelaki mengelak, mungkin dia merasakan sakit juga akibat tonjokan bocah SD itu.Aku sendiri merasa sedikit syok. Semuanya terasa sulit dipercaya. Ditampar dan menyaksikan tindakan Adi pada ayahnya sendiri membuat otakku buntu. Tak ada pembelaan ataupun sekedar menghentikan aksi tangan Adi yang terus memukuli perut dan tangan Mas Agung. Dia hanya diam dengan wajah yang menatap sendu ke arahku dan Adi bergantian. 'Apakah kamu memang pantas mendapatkan ini semua Mas? Hingga Adi terus-menerus membencimu. Kuharap aku mendapatkan jawabannya segera. *****Setelah amarah Adi mereda, Mas Agung mengajakku duduk di sofa. Lelaki itu pergi ke dapur, lalu kembali dengan baskom kecil berisi air hangat dan waslap."Indi, apakah aku masih tidak diizinkan untuk pergi?" Mas Agung tengah mengompres pipi dengan es batu yang memerah dan terasa nyeri. Tenaga Doni sangat kuat saat menamparku.Aku menggeleng lemah. Sebenarnya entahlah. Apa aku harus memberi izin atau tidak. Aku hanya spontan saja menggelengkan kepala."Kalau begitu bisakah kamu ikut denganku menemui Zahra?" Untuk kedua kalinya Mas Agung bertanya. Aku menatapnya penuh dengan kening berkerut."Besok, mas.""Baiklah, Indi. Terima kasih." Mas Agung mengusap pipi kiriku lembut. Rona di wajahnya pun sedikit lebih ceria tak seperti tadi. Apa mungkin dia bahagia karena akan bertemu Zahra, entahlah.'Kita lihat saja besok, apa yang akan terjadi, Mas!'Bab 8Pagi ini aku sudah bersiap bersama Mas Agung untuk menemui Zahra. Setelah semalam menyuruhnya menunggu sampai esok hari, lelaki itu menurut juga, meski tak dapat disembunyikan jika dia terlihat gelisah dan cemas."Kamu sudah siap, Indi?" Mas Agung memindai penampilanku saat aku baru saja keluar dari kamar lengkap dengan tunik, kerudung dan tas warna senada. Kurasa penampilanku tidak buruk. Usiaku juga belum terlalu tua-tua amat untuk usia tiga puluh dua tahun, Mas Agungnya saja yang kegatelan hingga dia sibuk mencari wanita lain."Iya, Mas." Aku sedikit risih kala dia terus menatap dalam ke arahku hingga beberapa saat."Ayo kita pergi," ajaknya sambil menggenggam tanganku, erat. Perhatian yang sudah beberapa waktu tak kudapatkan darinya.Sepanjang perjalanan yang kami tempuh, Mas Agung tak banyak bicara, hingga kami sampai ke tempat yang dituju. Ternyata bukan rumah ibu yang dituju, melainkan ke sebuah klinik terkenal di kota ini. Entah kenapa lelaki itu membawaku ke tempat sep
Bab 9Di pinggir jalan, aku berdiri sambil terus berpikir dan mencari ide. Bagaimana caranya agar aku tahu apa saja yang dilakukan oleh Mas Agung di belakangku yang tidak kutahu. Ucapan Bu Dewi dan Bu Yeti waktu itu membuatku penasaran. Apa sebenarnya yang tidak kuketahui tentang Mas Agung, suamiku. Setelah bolak-balik berpikir aku mendapatkan sebuah ide, yang kurasa itu adalah pilihan tepat.Bukankah memang tepat jika aku mengulik kembali dari Bu Dewi saat ini. Ya, penyelidikan akan kumulai dari sana. Semoga saja wanita mau memberikan informasinya padaku. Agar aku tidak seperti orang bodoh yang dikelabui terus-menerus.Tak lama setelah aku memesan ojek online, akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Rumah Bu Dewi. Aku berjalan dengan cepat agar saat melewati rumah mertua, tidak ketahuan. Bagai pencuri aku berjalan terburu-buru dan memasuki rumah Bu Dewi, tetangga dari ibu mertuaku. Untunglah pintu rumah mertua tertutup, jadi tidak terlalu khawatir."Jadi benar kamu ingin mencar
Bab 10Aku kembali ke rumah dengan perasaan kecewa karena tak berhasil membuntuti kepergian Mas Agung. Suasana rumah pun nampak sepi karena tadi Adi kusuruh untuk berdiam dulu di rumah Bu Dian. Tapi dia mengatakan akan menginap.Kubaringkan tubuhku di tempat tidur berharap rasa kantuk segera datang menghampiri. Tapi, entah kenapa aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku dan pikiranku teringat dengan Mas Agung dan perbuatannya di belakangku. Padahal biasanya tidak seperti ini. Berhari-hari Mas Agung tidak pulang pun, aku tak pernah segelisah ini.Lama aku terdiam hingga saat terdengar suara ponsel bergetar. Aku meraihnya, lalu memeriksa siapa yang mengirim pesan yang ternyata dari Yuda. Kebetulan sebelum berpisah tadi, Yuda sempat meminta nomorku. [Mbak.][Ya, ada apa, Yud?] send Yuda.Hingga beberapa saat lamanya, Yuda tidak membalas lagi. Mungkin Yuda hanya memastikan nomorku, itu yang kupikir. Namun beberapa saat kemudian Yuda mengirim pesan kembali. Sebuah foto klub malam di daer
Bab 11Setengah satu siang, aku sampai di cafe tempat untuk janjian bertemu dengan Yuda. Tentu saja alasannya agar tidak ada orang yang curiga dengan pertemuan ini. Jika sampai ketahuan oleh Mas Agung aku bertemu dengan lawan jenis, sudah pasti dia akan marah besar padaku. Dan aku tak mau hal itu terjadi."Atas nama Ibu Indira, ya?" Pelayan cafe bertanya memastikan, setelah kusebut ada janji dengan orang yang bernama Yuda disini."Iya benar, Mbak." Aku tersenyum menatap wanita dengan name tag 'Diana' tersebut."Mari ikut saya." Aku mengangguk sambil mengikuti langkahnya dan masuk ke ruang yang ditunjuk. Di dalam, Yuda sudah menunggu dengan minuman yang tinggal separuh. Lelaki itu asik menatap layar yang menyala saat kuhampiri."Mbak Indira," sapanya hangat, membuatku mengulas sebuah senyum padanya. Lalu duduk setelah dipersilahkan."Gimana, Yud. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu yang kamu lihat semalam," kataku to the point. Risih rasanya jika harus duduk lama-lama bareng Yuda, apalag
Bab 12"Indira, tunggu!" Mas Agung terus mengejar sampai depan rumah Yuni, tapi tak kupedulikan. Dengan hanya memakai celana pendek dia menahan dan menarik tanganku. Jijik."Lepaskan tanganku, Mas." Sekuat tenaga kutarik tanganku, tapi tak berhasil. Tenaga lelaki pasti jauh lebih besar dibanding dengan tenagaku yang lemah ini."Indira, dengar dulu penjelasanku!" Mas Agung terlihat emosi, dan dadanya naik turun melihatku. "Jangan ganggu Indira lagi, lelaki breng*ek sepertimu tak pantas untuknya menyentuhnya!" Yuda yang berdiri di atas motornya menatap nyalang pada Mas Agung. Aku tidak menduga sama sekali bahwa dia akan ikut membelaku."Siapa kamu berani menghalangi! Indira kenapa kamu bisa jalan sama laki-laki baji*gan ini!" Mas Agung menatap tajam padaku dan Yuda bergantian."Jika kamu bisa bergonta-ganti pasangan, kenapa aku tak boleh jalan sama Yuda? Egois kamu Mas."Kutinggalkan lelaki yang telah memberiku satu anak itu, lalu menaiki motor bersama Yuda dan pergi jauh meninggalka
Bab 13Suara Mas Agung tak terdengar lagi di luar, mungkin lelaki itu sudah pulang ke rumah Ibu Mertua. Aku tak masalah malah patut bersyukur karena segalanya perlahan terbongkar. Percuma saja meneruskan pernikahan dengan lelaki yang banyak main di belakang, berkhianat, tak jujur, tukang selingkuh, dan berperilaku tidak baik, bahkan berzina. Sungguh mengerikan jika hubungan ini terus berlanjut, maka aku akan terus digerogoti oleh rasa benci dan sakit hati yang berkepanjangan. Dan akan berdampak buruk pada masa depan Adi kedepannya. Apalagi dia sudah tahu bagaimana kelakuan buruk Ayahnya di belakangnya, yang justru baru kuketahui saat ini.Cukup, aku menyerah kali ini!Sekali lagi bertanya lebih dulu pada Adi, bahwa apa yang akan aku lakukan ini takkan membuatnya berkecil hati atau menjadi anak broken home nantinya. Jujur aku takut jika masalah ini akan berdampak buruk pada masa depannya nanti. Apalagi Adi anakku satu-satunya dan aku tak tega melihatnya menderita seperti ini. Bagiku k
Bab 14Suara Ayah Mertua yang meninggi membuatnya terbatuk-batuk. Mungkin karena usianya yang sudah tak muda lagi dan sering sakit-sakitan, membuat penyakitnya gampang kambuh. Apalagi ayah mertua juga punya penyakit asma dan beberapa kali di rawat di rumah sakit.Aku bergerak ke dapur dan kembali dengan segelas air minum yang langsung di raih ayah mertua."Makasih, Indi." Aku mengangguk singkat.Kulihat Zahra dan Mas Agung saling berpandangan. Tangan wanita itu bahkan melingkar di lengan Mas Agung yang besar seperti tidak mau lepas. Seakan menunjukkan bahwa lelaki itu miliknya sendiri."Ayo, masuk, Sayang." Lelaki itu membawa Zahra masuk dan melewati kami begitu saja, lalu duduk di sofa dan mengusap lembut perutnya yang katanya lagi hamil muda, hingga tak memperdulikanku dan ayah mertua yang masih menatapnya geram. Sayang katanya, ck, hebat sekali panggilannya. Semudah itu Mas Agung melontarkan kata-kata manis di depanku tanpa malu sama sekali. Setelah Zahra, Yuni, lalu siapa lagi wa
Bab 15Dengan segera, kubuka pintu kamar saat orang yang terus mengetuk pintu itu seperti tidak sabar, dan terkejut saat melihat siapa yang melakukannya. Zahra.Wanita itu berdiri di sana dengan berkacak pinggang seolah-olah dialah majikan di rumahku sendiri membuatku muak melihatnya. Dasar tidak tahu diri. Apa maksud semuanya ini."Dasar tidak sopan, untuk apa malam-malam menggedor pintu kamar orang? Apa kamu tidak dididik sopan santun?" tanyaku geram. "Sudah numpang berlagak seperti nyonya lagi!""Aku tidak perlu sopan santun pada kamu, Mbak, karena sebentar lagi aku akan menguasai rumah ini," katanya sambil tersenyum sinis. Mimpi!Keningku berkerut dan menatap sebal pada wajahnya yang sok cantik itu. Padahal di trimester pertama kehamilannya ini, terlihat sekali wajahnya yang menghitam di beberapa sudut bagian dengan jerawat yang mulai tumbuh dan memerah di wajah dan hidungnya. Jika dibandingkan Yuni, tentu saja kalah jauh. Zahra tak ubahnya abg labil yang baru beranjak dewasa, me