Bab 6
Jam satu siang, Mas Agung dan Adi tiba di rumah. Entah kebetulan atau tidak, mereka datang bersamaan, yang jelas seperti biasa muka Adi terlihat kesal saat bersama ayahnya. Ini bukan kebetulan, Adi seperti tidak menyukai Mas Agung."Kok bisa barengan pulangnya?" Begitu berucap salam, segera kutanya Mas Agung guna menghilangkan keherananku.Adi hanya diam saja, tak menyahuti ucapanku. Anak itu langsung berlalu ke dalam kamarnya tanpa mencium tanganku seperti biasanya. Sejak waktu itu, sikap Adi jadi sedikit berubah. Seperti ada hal yang mengganjal di pikirannya. "Kebetulan ketemu di jalan tadi," ungkap Mas Agung dengan raut wajah datang. Lelaki itu meletakkan jaketnya di bahu sofa sambil duduk."Hanya kebetulan?" Keningku berkerut dalam. "Iya. Nasehatin tuh anakmu, Indi. Tak sopan ke orang tua masa sikapnya dingin seperti itu." Mas Agung menekuk muka lalu selonjoran di sofa depan tv sambil meraih remot. Sedangkan Adi, setelah masuk ke dalam kamar, tidak keluar lagi. Membuatku sedikit khawatir akan dampak psikologis anak itu."Memang dia ngapain kamj, Mas?" Aku ikut dudum di sebelah kiri lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu."Anak itu makin susah diatur. Bebal. Bahkan diajak bicara pun dia tak menyahut!" keluhnya sambil memijat pelipis. Seperti orang hang tengah banyak masalah."Masa sih?" Aku setengah tak percaya. Adi bjkan tipe anak bebal seperti yang Mas Agung katakan, dia pasti punya alasannya."Tolong bawakan aku teh, Indira." Ucapan Mas Agung membuyarkan lamunanku. Aku beranjak kemudian."Mungkin dia punya alasannya." Aku mendelik tak suka. Bagaimanapun juga Adi anaknya juga. Dia ayah kandungnya. Tidak semestinya Mas Agung bicara demikian. Meskipun mereka tidak dekat, karena Mas Agung seperti menjaga jarak dari anaknya sendiri."Apa maksud kamu!? Jangan katakan bahwa kamu mencurigaiku!!" Mas Agung menoleh dengan raut tidak suka. Aku berpaling lalu melangkah ke arah dapur, enggan menanggapi lagi kembali. Percuma. Karena ujung-ujungnya pasti hanya akan memicu pertengkaran."Oh, ya Mas. Bagaimana keadaan Zahra?" Aku duduk, setelah kuletakkan secangkir di meja tak jauh darinya. Sebenarnya aku sengaja bertanya, untuk memancing reaksi yang akan Mas Agung tunjukkan. Dan benar saja, tak lama dia langsung duduk tegak dan menatapku."Oh, dia baik," jawabnya singkat sambil memperhatikan wajahku. Aku hanya tersenyum sinis dalam hati. 'Kamu mulai berbohong, Mas!'"Baiklah Indi, aku mau mandi dulu." Mas Agung berdiri meninggalkanku yang masih duduk memandang tv. Apakah tadi waktu Mas Agung datang kesini tidak mandi dulu. Entahlah. Namun kini perhatianku malah ke arah ponsel dan dompet yang tergeletak di sofa tempat Mas Agung duduk tadi. Bukan maksud lancang, aku hanya penasaran dengan isi keduanya. Biasanya aku tak pernah memeriksa dompet dan ponselnya selama kami menikah, karena aku selalu percaya padanya. Namun ternyata kini, kepercayaan itu berganti dengan kekecewaan dan juga tanda tanya tentang kehidupan Mas Agung di belakangku. Tapi, setelah kupikir bolak-balik, ternyata aku memang tak seberani itu, dan membiarkan kedua benda itu tergeletak begitu saja."Indi, aku ingin makan." Wajah Mas Agung sudah segar terlihat lebih segar dari tadi. Aku yang masih duduk di sofa melirik sekilas lalu berdiri dan meninggalkannya ke dapur. Untunglah lauk tadi tidak kuberikan semuanya ke tetangga.Segera kupanggil Adi agar bisa makan bersama. Anakku itu pasti lapar sehabis pulang sekolah.Mas Agung dan Adi makan dalam diam. Saljng acuh dan tak bicara. Rupanya sudah jadi kebiasaan Adi sekarang, mengacuhkan ayahnya. Hingga sampai sesi makan berakhir, keduanya hanya diam dan sibuk dengan isi piring masing-masing. ****Mas Agung tengah berdiri sambil membelakangiku sambil menatap ke arah jendela. Dari tadi dia sibuk dengan ponselnya, hingga tak menyadari aku berjalan melewatinya."In-Indi?" Nada suara Mas Agung terdengar kaget saat aku berjalan. Biasa saja kali, Mas. Jangan seperti pencuri yang ketahuan. Aku tertawa lagi-lago dalam hati. Semakin hari banyak yang berubah dari suamiku itu."Ya!?" Aku menjawab singkat, lalu duduk di tempat tidur."Apakah tadi Zahra kesini?" Tampak ragu dia bertanya. Dia berjalan mendekat kemudian menghampiri dan duduk di sampingku dengan wajah seperti cemas. Aku mengangguk. Mas Agung menggenggam kedua tanganku erat."Boleh aku bertanya sesuatu!?" Keduanya matanya pokus menatapku. Membuatku malas untuk menatap balik. Seperti tengah mencari kebenaran. Dia meraih daguku agar menatap matanya."Apa yang kamu lakukan pada Zahra?! Apa kamu mendorongnya tadi!?" Deg, seketika aku kaget. Apa maksudnya, kenapa Mas Agung tiba-tiba bertanya demikian. Apakah ada seseorang yang mengadu melalui ponsel padanya. Itu bukan seperti pertanyaan, tapi lebih kepada tuduhan buatku."Apa maksudmu, Mas?" Aku menautkan alis dengan perasaan heran. Apa terjadi sesuatu? Entahlah."Indi … Aku percaya padamu. Aku tahu kamu tak mungkin berbuat demikian. Tapi aku mohon, katakan ya atau tidak?! Itu saja cukup." Mas Agung memohon dengan pandangan sulit kuartikan. "Kamu percaya padaku, Mas?" tanyaku sambil memicingkan mata, mencari kebenarannya."Ya, tentu saja. Sepuluh tahun kita bersama, aku tahu semua sifatmu, kamu tak mungkin berbuat demikian. Namun aku butuh jawabanmu saat ini!" Lagi, Mas Agung bertanya. Aku hanya bisa mendesah lelah. Jika percaya, harusnya tidak usah bertanya lagi."Aku tidak berbuat apapun, Mas. Harusnya aku yang bertanya sekarang. Darimana kamu tadi? Bukankah katamu ingin menemui Zahra? Kenapa malah sekarang kamu bertanya, seolah-olah aku yang mendorong Zahra," ucapku sedikit geram. Jangan sampai si mulut ular itu mengadu yang tidak-tidak. Bisa jadi fitnah untukku."Indira, ini bukan waktu yang tepat untuk kujawab semua pertanyaanmu. Aku harus pergi sekarang." Mas Agung beranjak berdiri, kemudian membuka lemari guna mencari jaketnya. Sesaat dia menoleh padaku. "Maaf, Aku harus pergi." Sekilas dia mencium keningku dan hendak melangkah. Tapi, sebelum dia berbalik, aku mencekal tangannya. Erat. Dengan tatapan menghunus ke matanya."Jika kamu pergi saat ini. Maka aku pastikan kamu tidak berhak atasku lagi, Mas!! Silahkan kamu pilih, akan bertahan dan diam di rumah bersamaku atau pergi dan memilih dia, tapi kehilangan keluargamu!!" Cukup tegas aku berkata, semoga kamu mengerti, Mas.Bab 7"Kenapa kamu memberi pilihan sulit, Indira?" Mas Agung bertanya dengan mimik muka yang terlihat kaget yang justru membuatku sedikit tersenyum. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar, sepertinya dia bingung harus memilih.Kamu harus diberi sedikit pelajaran Mas, sebelum aku menyelidiki perbuatan burukmu dibelakangku."Pilihan ada ditanganmu, Mas." Aku mengangkat bahuku seolah tak peduli. Hanya ingin tahu saja, seperti apa pikirannya. Apa lebih memilih Zahra atau keluarganya."Baiklah, jika itu maumu. Aku takkan kemana-mana dan tetap di sampingmu sekarang. Apa kamu puas?!" Mas Agung duduk kembali dan meletakkan gawainya di atas nakas. Sesekali dia mengetuk-ketuk ujung jarinya ke permukaan kasur. Tanda bahwa dia sedang berpikir keras. Hingga beberapa panggilan telepon dia abaikan, entah dari siapa. Tapi sepertinya penting, mengingat tiap kali berdering wajah Mas Agung akan berubah pucat. Dia kemudian terlihat mengacak rambutnya kasar sambil berjalan mondar-mandir seperti orang yang bi
Bab 8Pagi ini aku sudah bersiap bersama Mas Agung untuk menemui Zahra. Setelah semalam menyuruhnya menunggu sampai esok hari, lelaki itu menurut juga, meski tak dapat disembunyikan jika dia terlihat gelisah dan cemas."Kamu sudah siap, Indi?" Mas Agung memindai penampilanku saat aku baru saja keluar dari kamar lengkap dengan tunik, kerudung dan tas warna senada. Kurasa penampilanku tidak buruk. Usiaku juga belum terlalu tua-tua amat untuk usia tiga puluh dua tahun, Mas Agungnya saja yang kegatelan hingga dia sibuk mencari wanita lain."Iya, Mas." Aku sedikit risih kala dia terus menatap dalam ke arahku hingga beberapa saat."Ayo kita pergi," ajaknya sambil menggenggam tanganku, erat. Perhatian yang sudah beberapa waktu tak kudapatkan darinya.Sepanjang perjalanan yang kami tempuh, Mas Agung tak banyak bicara, hingga kami sampai ke tempat yang dituju. Ternyata bukan rumah ibu yang dituju, melainkan ke sebuah klinik terkenal di kota ini. Entah kenapa lelaki itu membawaku ke tempat sep
Bab 9Di pinggir jalan, aku berdiri sambil terus berpikir dan mencari ide. Bagaimana caranya agar aku tahu apa saja yang dilakukan oleh Mas Agung di belakangku yang tidak kutahu. Ucapan Bu Dewi dan Bu Yeti waktu itu membuatku penasaran. Apa sebenarnya yang tidak kuketahui tentang Mas Agung, suamiku. Setelah bolak-balik berpikir aku mendapatkan sebuah ide, yang kurasa itu adalah pilihan tepat.Bukankah memang tepat jika aku mengulik kembali dari Bu Dewi saat ini. Ya, penyelidikan akan kumulai dari sana. Semoga saja wanita mau memberikan informasinya padaku. Agar aku tidak seperti orang bodoh yang dikelabui terus-menerus.Tak lama setelah aku memesan ojek online, akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Rumah Bu Dewi. Aku berjalan dengan cepat agar saat melewati rumah mertua, tidak ketahuan. Bagai pencuri aku berjalan terburu-buru dan memasuki rumah Bu Dewi, tetangga dari ibu mertuaku. Untunglah pintu rumah mertua tertutup, jadi tidak terlalu khawatir."Jadi benar kamu ingin mencar
Bab 10Aku kembali ke rumah dengan perasaan kecewa karena tak berhasil membuntuti kepergian Mas Agung. Suasana rumah pun nampak sepi karena tadi Adi kusuruh untuk berdiam dulu di rumah Bu Dian. Tapi dia mengatakan akan menginap.Kubaringkan tubuhku di tempat tidur berharap rasa kantuk segera datang menghampiri. Tapi, entah kenapa aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku dan pikiranku teringat dengan Mas Agung dan perbuatannya di belakangku. Padahal biasanya tidak seperti ini. Berhari-hari Mas Agung tidak pulang pun, aku tak pernah segelisah ini.Lama aku terdiam hingga saat terdengar suara ponsel bergetar. Aku meraihnya, lalu memeriksa siapa yang mengirim pesan yang ternyata dari Yuda. Kebetulan sebelum berpisah tadi, Yuda sempat meminta nomorku. [Mbak.][Ya, ada apa, Yud?] send Yuda.Hingga beberapa saat lamanya, Yuda tidak membalas lagi. Mungkin Yuda hanya memastikan nomorku, itu yang kupikir. Namun beberapa saat kemudian Yuda mengirim pesan kembali. Sebuah foto klub malam di daer
Bab 11Setengah satu siang, aku sampai di cafe tempat untuk janjian bertemu dengan Yuda. Tentu saja alasannya agar tidak ada orang yang curiga dengan pertemuan ini. Jika sampai ketahuan oleh Mas Agung aku bertemu dengan lawan jenis, sudah pasti dia akan marah besar padaku. Dan aku tak mau hal itu terjadi."Atas nama Ibu Indira, ya?" Pelayan cafe bertanya memastikan, setelah kusebut ada janji dengan orang yang bernama Yuda disini."Iya benar, Mbak." Aku tersenyum menatap wanita dengan name tag 'Diana' tersebut."Mari ikut saya." Aku mengangguk sambil mengikuti langkahnya dan masuk ke ruang yang ditunjuk. Di dalam, Yuda sudah menunggu dengan minuman yang tinggal separuh. Lelaki itu asik menatap layar yang menyala saat kuhampiri."Mbak Indira," sapanya hangat, membuatku mengulas sebuah senyum padanya. Lalu duduk setelah dipersilahkan."Gimana, Yud. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu yang kamu lihat semalam," kataku to the point. Risih rasanya jika harus duduk lama-lama bareng Yuda, apalag
Bab 12"Indira, tunggu!" Mas Agung terus mengejar sampai depan rumah Yuni, tapi tak kupedulikan. Dengan hanya memakai celana pendek dia menahan dan menarik tanganku. Jijik."Lepaskan tanganku, Mas." Sekuat tenaga kutarik tanganku, tapi tak berhasil. Tenaga lelaki pasti jauh lebih besar dibanding dengan tenagaku yang lemah ini."Indira, dengar dulu penjelasanku!" Mas Agung terlihat emosi, dan dadanya naik turun melihatku. "Jangan ganggu Indira lagi, lelaki breng*ek sepertimu tak pantas untuknya menyentuhnya!" Yuda yang berdiri di atas motornya menatap nyalang pada Mas Agung. Aku tidak menduga sama sekali bahwa dia akan ikut membelaku."Siapa kamu berani menghalangi! Indira kenapa kamu bisa jalan sama laki-laki baji*gan ini!" Mas Agung menatap tajam padaku dan Yuda bergantian."Jika kamu bisa bergonta-ganti pasangan, kenapa aku tak boleh jalan sama Yuda? Egois kamu Mas."Kutinggalkan lelaki yang telah memberiku satu anak itu, lalu menaiki motor bersama Yuda dan pergi jauh meninggalka
Bab 13Suara Mas Agung tak terdengar lagi di luar, mungkin lelaki itu sudah pulang ke rumah Ibu Mertua. Aku tak masalah malah patut bersyukur karena segalanya perlahan terbongkar. Percuma saja meneruskan pernikahan dengan lelaki yang banyak main di belakang, berkhianat, tak jujur, tukang selingkuh, dan berperilaku tidak baik, bahkan berzina. Sungguh mengerikan jika hubungan ini terus berlanjut, maka aku akan terus digerogoti oleh rasa benci dan sakit hati yang berkepanjangan. Dan akan berdampak buruk pada masa depan Adi kedepannya. Apalagi dia sudah tahu bagaimana kelakuan buruk Ayahnya di belakangnya, yang justru baru kuketahui saat ini.Cukup, aku menyerah kali ini!Sekali lagi bertanya lebih dulu pada Adi, bahwa apa yang akan aku lakukan ini takkan membuatnya berkecil hati atau menjadi anak broken home nantinya. Jujur aku takut jika masalah ini akan berdampak buruk pada masa depannya nanti. Apalagi Adi anakku satu-satunya dan aku tak tega melihatnya menderita seperti ini. Bagiku k
Bab 14Suara Ayah Mertua yang meninggi membuatnya terbatuk-batuk. Mungkin karena usianya yang sudah tak muda lagi dan sering sakit-sakitan, membuat penyakitnya gampang kambuh. Apalagi ayah mertua juga punya penyakit asma dan beberapa kali di rawat di rumah sakit.Aku bergerak ke dapur dan kembali dengan segelas air minum yang langsung di raih ayah mertua."Makasih, Indi." Aku mengangguk singkat.Kulihat Zahra dan Mas Agung saling berpandangan. Tangan wanita itu bahkan melingkar di lengan Mas Agung yang besar seperti tidak mau lepas. Seakan menunjukkan bahwa lelaki itu miliknya sendiri."Ayo, masuk, Sayang." Lelaki itu membawa Zahra masuk dan melewati kami begitu saja, lalu duduk di sofa dan mengusap lembut perutnya yang katanya lagi hamil muda, hingga tak memperdulikanku dan ayah mertua yang masih menatapnya geram. Sayang katanya, ck, hebat sekali panggilannya. Semudah itu Mas Agung melontarkan kata-kata manis di depanku tanpa malu sama sekali. Setelah Zahra, Yuni, lalu siapa lagi wa